Yang lain pun akhirnya setuju untuk menikahkan Kenzo dan Ayana tanpa pesta. Yang penting sah itu sudah lebih baik.
Ayana yang mendengar diskusi dan keputusan mereka pun melotot seketika. Namun, ia tidak berani protes. Hanya bisa menelan saliva dan rasa sesak di dada.
‘Apa-apaan orang-orang ini? Main ambil keputusan sendiri tanpa tanya dan tanpa minta persetujuan pengantinnya. Langsung oke-oke aja. Ngeselin! Kira-kira Mas Kenzo-nya tahu nggak?’ gerutu Ayana dalam hati.
Usai mendapatkan kesepakatan yang diinginkan, rombongan keluarga Pak Budi pun pamit pulang.
Tadinya Ayana sangat penasaran dengan rupa laki-laki yang bernama Kenzo. Namun, sayangnya laki-laki itu tidak ikut dalam acara lamaran ini karena belum pulang dan masih sibuk di Malang.
Nyatanya, keluarga Pak Budi belum memberitahu Kenzo kalau akan segera dinikahkan dengan Ayana tiga minggu ke depan.
Di dalam kamar, Ayana memandangi cincin pertunangan yang disematkan ibu Kenzo di jari manis tangan kirinya. Cincin itu sangat indah. Entah siapa yang memilih dan membelinya. Sangat begitu pas dan cocok di jarinya.
“Semoga ini awal yang baik. Aku nggak peduli dengan pernikahannya. Yang penting aku bisa kuliah sekarang,” gumam Ayana pelan.
*
Keesokan harinya
Ketiga teman Ayana berebut tangan kiri Ayana untuk melihat cincin pertunangan yang tersemat di jari Ayana. Mereka masih tidak percaya kalau Ayana sebentar lagi akan menikah.
“Ay, kamu beneran mau nikah?” tanya Wulan seraya menatap Ayana.
Ayana menganggukkan kepalanya. Entah ia harus merasa bahagia atau bersedih saat ini.
“Katanya mau kerja biar nggak jadi nikah? Gimana sih?” tanya Mala bingung dengan keputusan Ayana yang plin-plan.
“Ayah nggak bisa membatalkan rencananya. Udah terlanjur sepakat sama Pak Budi. Mau gimana lagi?” jawab Ayana pasrah dengan bibir cemberut.
“Kamu udah tahu rupa dan wajah calon suami kamu? Jangan-jangan ... gendut, pendek, item, botak. Ih ... syerem amit-amit jabang bayi,” ujar Rara seraya mengetuk-ngetuk meja bangku beberapa kali.
Ayana pun tiba-tiba memberengut mendengar deskripsi fisik calon suaminya dari Rara. Wulan dan Mala malah tertawa mengakak.
“Ay, kamu tahu ‘kan kalau nikah nantinya kamu bakal diajak begituan sama suami kamu. Emang kamu mau? Berani?” ujar Mala tiba-tiba sudah membayangkan yang tidak-tidak.
Sontak Ayana pun terlihat panik dan menggelengkan kepalanya. Kenapa ia tidak berpikir sampai ke sana. Yang dipikirkannya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah.
“Udah-udah. Jangan nakut-nakutin Ayana dong, Guys. Yuk ah pulang. Bosen nih. Dari tadi nyari-nyari info di papan pengumuman nggak ada apa-apa,” ujar Wulan. Ia tidak mau Ayana terlalu banyak beban pikiran. Dilarang kuliah ke Yogyakarta saja Ayana sudah stres. Ditambah lagi sekarang harus nikah dengan orang yang tak dikenalnya.
*
Hari berganti hari. Tidak terasa hari pernikahan Ayana kurang dua hari lagi. Semua persiapan sudah sembilan puluh persen. Surat nikah pun sudah jadi, hanya tinggal tanda tangan saat akad pernikahan nanti.
Semua bisa berjalan dengan lancar lantaran beberapa saudara Pak Cahyo ada yang bekerja di kantor kelurahan, catatan sipil, dan KUA. Sehingga semuanya bisa diproses dengan cepat.
Untuk makanan dan minuman, para tetangga selalu saling bantu membantu saat ada orang yang sedang hajatan. Semuanya jadi terasa mudah dan cepat meskipun hanya ada waktu tiga minggu saja.
Tenda berwarna putih kombinasi emas sudah berdiri di halaman rumah Pak Cahyo. Ayana menatap tenda itu seakan tak percaya kalau lusa ia akan menikah. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia wisuda kelulusan SMA.
Meskipun akan menjadi pengantin, tidak ada sedikit pun aura kebahagiaan di wajah Ayana.
BAB 13Setelah itu pak penghulu pun memanjatkan doa berkah dan selamat. Semua orang yang hadir mengangkat tangan menengadah ke atas di depan dada untuk mengaminkan.Usai acara ijab kabul, semua tamu undangan pun dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Sedangkan Kenzo dan Ayana duduk di pelaminan untuk foto bersama.“Mbak, tolong lihat ke kamera! Senyum dikit juga ya!” ujar sang fotografer yang hendak mengambil foto mereka. Sedari tadi Ayana menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap siapa pun, apalagi Kenzo.Dengan terpaksa Ayana pun mengangkat kepalanya menatap sang fotografer. Namun, tetap saja bibirnya sulit untuk tersenyum.Berbeda dengan Kenzo yang sangat kooperatif. Sedari tadi ia bersikap tenang dan tersenyum. Ia tersenyum bukan karena bahagia dengan pernikahan ini. Ia hanya tidak mau orang lain melihatnya bersedih. Ia menghargai orang-orang yang membuat acara ini. Ia tahu pernikahan sederhana ini mengeluarkan dana yang tidak sedikit.Ketika Ayana mengangkat pandangannya,
Kenzo hanya bisa tersenyum dan menunduk di pelukan Pak Cahyo. Saat ini ia memakai pakaian pengantin berwarna putih yang senada dengan Ayana. Kalung dari bunga sedap malam melingkar di lehernya dan menjuntai di dadanya.Pak penghulu sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kenzo pun segera dipersilakan duduk di depan pak penghulu untuk segera memulai acara akad nikah.“Ayo, Ay, keluar!” seru Bu Retno seraya membuka pintu kamar Ayana.Ayana menatap ibunya yang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan enggan. Andai ia punya keberanian untuk kabur, mungkin sudah sejak tadi malam ia pergi dari rumah. Namun, ia terlalu takut untuk hidup sendirian di luar sana tanpa punya pengalaman hidup mandiri sebelumnya. Ia juga tidak punya pekerjaan untuk menopang biaya hidupnya sehari-hari.Dengan dada berdebar-debar, Ayana pun bangkit dari duduknya. Ia menatap ketiga sahabatnya yang juga menatapnya saat ini.“Genks ...,” rengek Ayana enggan untuk keluar kamar.“Semangat, Ay!” ujar Rara, Wulan, dan
“Jangan nangis lagi ya, Mbak. Sayang ini make up-nya sudah bagus loh. Kalau luntur nanti jadi jelak gimana? Suaminya kaget nanti. Hihi,” ucap sang MUA dengan lembut agar Ayana tidak menangis lagi dan make up-nya tidak sia-sia.Ayana pun menelan salivanya dengan sedikit kesusahan. Dadanya terasa sangat sesak. Kemudian ia menengadah ke atas agar air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya tidak jatuh. Usai itu ia mengambil tisu lalu menempelkannya di sudut matanya.Setelah merias Ayana, sang MUA pun keluar kamar untuk memberikan Ayana waktu sendiri. Ia tahu sepertinya Ayana melakukan pernikahan ini dengan terpaksa, alias dijodohkan. Ia sudah sering menemui pengantin yang seperti ini saat bekerja. Hanya memberikan waktu sendiri untuk sang pengantin sebelum akad nikah yang bisa ia lakukan agar sang pengantin merasa lebih tenang.Tidak lama kemudian Mala, Rara, dan Wulan datang. Mereka bertiga diizinkan Bu Retno masuk ke dalam kamar Ayana agar bisa menemani dan menenangkan Ayana terl
Kenzo tidak kuat menahan tawa ketika melihat bapaknya yang tiba-tiba murka. Muka Pak Budi kelihatan merah kehitaman karena amarah yang membuncah.Pak Budi menatap Kenzo dengan mata melotot. Hampir saja ia mengalami serangan jantung.“Canda, Pak. Ya ampun ... sampai segitunya pengen punya mantu. Iya … iya …, besok aku nikahi anaknya Pak Cahyo,” ucap Kenzo dengan tersenyum tulus seraya menatap Pak Budi.Pak Budi pun merasa lega sembari memegang dadanya. Ia sempat merasa khawatir kalau seandainya Kenzo tidak mau menikah besok. Mau ditaruh di mana mukanya ini. Tenda sudah berdiri di depan rumah, tiba-tiba pernikahan dibatalkan. Apa tidak jadi gunjingan orang-orang? Bahkan di sekolah tempatnya bekerja pun juga sudah pada tahu kalau besok akan ada acara pernikahan anaknya dengan anak Pak Cahyo.Kenzo terpaksa patuh, meskipun ada rasa enggan di hatinya. Bagaimana pun ia tidak mau menjadi anak durhaka. Kesuksesannya saat ini adalah berkat doa dan dukungan kedua orang tuanya. Sampai kapan pun,
“Ada apa ini? Nggak ada yang meninggal ‘kan?” gumam Kenzo pelan. Ia pun buru-buru turun dari mobilnya dan melihat Pak Budi tengah mengatur letak-letak kursi untuk walimah nanti malam.“Assalamu ’alaikum. Ada apa ini, Pak?” tanya Kenzo. Kemudian ia meraih tangan Pak Budi dan mencium punggung tangan itu.“Wa ’alaikum salam. Akhirnya kamu pulang juga, Ken!” sambut Pak Budi senang. Ia sangat khawatir kalau Kenzo tidak jadi pulang hari ini.“Ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam!” ajak Pak Budi.Kenzo pun patuh dan mengekor di belakang Pak Budi. Ketika memasuki ruang tamu, bau bunga sedap malam, pandan, dan bunga melati masuk ke indra penciumannya.“Ada apa ini, Pak? Kok kayak ada orang yang mau nikah?” tanya Kenzo ketika melihat berbagai macam seserahan dan mahar berada di dalam kamarnya.Pak Budi sengaja mengajak Kenzo masuk ke dalam kamar Kenzo untuk bicara empat mata.“Iya. Besok kamu nikah, Ken,” jawab Pak Budi pelan.“Apa?! Gimana ceritanya, Pak? Kok bisa tiba-tiba besok nikah? Aku ‘
Sementara itu di sebuah rumah mungil berukuran tipe 50/84, seorang laki-laki tengah berkutat dengan laptopnya. Dia adalah Kenzo Naufal Maulana. Hari-harinya disibukkan dengan membuat materi kuliah dan menilai tugas mahasiswanya.Saat tangannya sedang sibuk mengetik-ngetik pada keyboard laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada telepon masuk. Kenzo pun segera melihat nama penelepon yang ada di layar ponselnya.“Bapak? Tumben telepon,” gumam Kenzo seraya mengerutkan keningnya.Dengan segera ia meraih ponsel itu lalu menempelkan pada telinganya usai menggeser icon hijau.“Assalamu ’alaikum, Pak …,” ucap Kenzo lembut.“Wa’alaikum salam, Ken,” sahut Pak Budi di seberang telepon.“Ada apa, Pak? Tumben telepon? Biasanya ‘kan aku yang telepon Bapak,” tanya Kenzo. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu anggota keluarganya.“Besok kamu harus pulang, Ken!” ujar Pak Budi, tepatnya perintah. Untuk satu ini ia tidak mau Kenzo menolak dan harus memastikan betul-betul Kenzo pulang be