LOGINSeminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh.
"Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Belum sampai ke tahap itu. Melihat reaksi si gadis, Max hanya menggelengkan kepala. Sepertinya ia sudah membuat kesalahan besar. "Kamu payah! Jadi, rencana ini kita batalkan saja. Yang ada, keluarga saya akan tahu kalau kita sedang bersandiwara!" Max melepas dasinya dengan gerakan kasar, sedangkan gadis di hadapannya mulai terlihat gelisah. "Batal? Maksud Paman..." "Ya, batal. Kamu silahkan bayar ganti rugi kecelakaan, biaya rumah sakit dan juga semua barang yang sudah kamu pakai!" "T-tunggu, mana bisa begitu??" Karra mendelik marah. Dan anehnya, melihat sorot mata gadis itu berubah menguat, Max jadi sedikit penasaran. "Bisa, kalau saya memang ingin seperti itu. Nanti silahkah hubungi Kevin dan keluar dari rumah ini sekarang juga!!" Max melangkah ke pintu tapi sesuai dugaan, gadis itu segera menahannya. "T-tunggu, Paman!" Karra merengek. "Ck, apa lagi? Kamu benar-benar payah!!" "Kasih saya satu kesempatan. Apa begini? Begini??" Karra memposisikan diri tepat di hadapan Max, lalu mencoba merapatkan tubuh mereka. Sepasang lengannya ia lingkarkan di leher Max yang kokoh. Tatapan mata mereka bertemu dan... jantung Karra mulai tidak aman. Ia gadis normal dan Max adalah seorang pria matang dengan wajah dan postur tubuhnya yang sempurna. "Ck, apa-apaan ini? Kamu pikir saya bercanda? Awas!! Masih banyak perempuan lain di luar sana! Saya juga bisa kerja sama dengan jalang sungguhan!" "Saya masih perawan, Uncle!!" bisik Karra. Kali ini gadis itu berjinjit untuk mencapai titik di bawah telinga Max. "Saya... belum pernah disentuh siapa pun. Atau... Paman mau mengajarkan saya?" Karra sedikit beringsut untuk melihat wajah pria itu. Max terdiam, dan tampak meneguk salivanya dengan susah payah. "Oh ya?" Sebelah alis pria itu terangkat. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Karra yang ramping, lalu menekannya kuat. "Ngh..." Karra sedikit bersuara kala dadanya juga ikut menempel dengan tubuh Max. "Ya, saya belum pernah dengan siapa pun. Apa... saya boleh mencobanya dengan Paman saja??" Gadis itu menatap manja, lalu sedikit menggigit bibirnya. Max kembali menelan saliva dan pandangannya perlahan tertumbuk pada bibir mungil itu. Max merunduk, dan nyaris saja menciumnya. Tapi Karra malah menarik kepalanya menjauh. "Apa begitu caranya?" Tatapan Karra kembali terlihat lugu. "Sial!" desis Max dalam hati. Ia dorong gadis itu sampai nyaris terjungkal. Rupannya si bodoh hanya sedang mencoba kemampuan, bukan sungguh ingin menggoda Max. "Apa sudah cukup nakal?? Ayolah, Paman!! Perempuan di luar sana belum tentu bersih. Mereka mungkin sudah sering having sex dengan berbagai jenis laki-laki. Kalau untuk kerja sama, saya bisa! Saya bersih." Karra sungguh takut andai Max meminta ganti rugi senilai belasan miliar. Biarlah ia menjadi gadis penurut seperti saran Kevin. Max membuang napas kasar, lalu berdecak. "Baiklah. Saya kasih waktu untuk berlatih dan kalau malam ini kamu berhasil... besok kita temui keluarga saya!!" "Sungguh??" Mata lugu itu terlihat berbinar, seperti anak kucing. "Hmm!" jawab Max singkat. Pria itu melonggaran kemejanya dan beranjak dari kamar itu. Ia harus pergi mengurus sesuatu sebelum mempersiapkan kejutan untuk keluarga istrinya, secepatnya. "Paman tunggu!!" Karra kembali memanggil. "Apa lagi?" Max menoleh. Aneh, mengapa gadis itu jadi terlihat semakin cantik? Apa benar dia masih perawan? Kepala Max mulai mempertanyakan sesuatu yang tidak penting. "Bagaimana kondisi ... Nyonya Draven?" tanya Karra lirih. Kadang, gadis itu masih didera perasaan bersalah. Ia tidak dihukum, tidak dituntut apa pun, tapi malah hidup mewah di istana milik wanita itu. Barusan, Karra malah memeluk mesra suaminya. "Apa dia sudah bangun?" tanya Karra dengan nada getir, dan Max menggeleng sebagai jawaban. "Saya harap dia bangun di saat yang tepat!" "Tapi ... bagaimana kalau dia tidak pernah bangun lagi??" tanya Karra sambil meremas ujung roknya. Gadis itu tidak sadar, pergerakannya justru membuat pakaiannya terangkat. Max mengerjap dan membuang pandangan. "Kamu akan saya penjarakan kalau dia tidak bangun lagi. Jadi ... berdoalah yang banyak. Dia harus bangun, dan harus melihat kalau suaminya juga bisa bahagia dengan perempuan lain!!" Max sudah nyaris pergi tapi Karra masih saja bicara. "Kenapa Paman tidak cari saja perempuan yang benar-benar Paman sukai?" "Oke, saya akan cari dan perjanjian kita batal!!" "B-bukan begitu. Saya hanya penasaran!!" Karra tersenyum aneh, menampakkan barisan giginya yang rapi. Akhirnya pria itu benar-benar pergi. Karra terduduk di tepian tempat tidur, dan menggelengkan kepalanya. Ia masih saja berdebar bila mengingat kejadian beberapa saat lalu, ketika tubuhnya menempel dengan tubuh kokoh pria itu. "Apa begitu rasanya... berpelukan dengan laki-laki tampan?" Karra mengigit bibir. Nalurinya sebagai seorang gadis sepertinya mulai terpanggil. "Astaga, apa aku sudah jadi jalang??" * Malamnya, Karra hanya duduk sambil menatap ponsel. Ia membuka laman pesan group teman-teman sekelasnya. Mereka semua membicarakan dirinya yang sudah menghilang selama beberapa waktu. Rupanya ada juga yang khawatir. Gadis itu pun tersenyum getir. "Bagaimana dengan koperku, apa benar-benar sudah dibuang?" Karra membanting punggungnya ke tempat tidur. Dress tipis yang ia pakai seketika tersingkap. Bertepatan dengan itu, Max datang tanpa mengetuk pintu. Pria itu tanpa sadar menahan napasnya. "Paman?" Karra terduduk. "Bisa berhenti memanggilku Paman?" sinis Max. Pria itu mendekat tanpa berkedip. Ia terus memandangi Karra yang sibuk membenarkan pakaiannya. "Lakukan lagi, menjadi jalang!" perintahnya. Karra mengambil napas dan berdiri. Ia mendekat, lalu melingkarkan tangan di leher pria itu lagi, seperti tadi siang. "Mas dari mana?" tanya Karra dengan nada manis. Masih canggung, tapi anehnya Max tidak protes. Pria itu juga memeluk pinggul ramping Karra seperti beberapa jam yang lalu, hingga ia dapat merasakan lekuk tubuh gadis itu. Hangat, dan lembut. "Saya dari ... rumah sakit!" "Istri Mas sudah ada perkembangan??" Kali ini Karra juga berjinjit, dan meniupkan napasnya di leher Max yang putih. "Hmm, dia sedikit merespon." Karra berhenti. Ia jadi takut membayangkan apa yang akan terjadi jika wanita itu bangun dan memergoki mereka. "Kenapa berhenti?" protes pria itu. "Ng... aku... cuma takut." Gadis itu kembali memeluk Max. Kali ini sedikit lebih berani dari sebelumnya. "Takut?" Pria itu menyelami mata indah milik Karra dari jarak dekat. "Hmm, aku takut dia bangun dan... aku tidak punya kesempatan untuk memeluk Mas lagi." Karra membalas pandangan itu. Ia mulai tahu kelemahan Max. Lehernya di bagian bawah telinga. "Aku... ingin memiliki Mas untuk diriku sendiri! Bukan untuk berbagi!" bisik Karra. Lalu, ia mencoba sedikit menggoda daun telinga pria itu. Karra mendaratkan bibirnya di sana, juga ujung lidahnya yang basah. Max spontan memejamkan mata. "Good!" ucapnya seraya menarik napas dalam. "Teruskan!" Karra bimbang. Bagaimana ini? Ia perlahan turun menuju leher Max yang kokoh, membuat sedikit kecupan di sana. "Mas tau, apa yang paling aku suka dari kamu?" tanya Karra. "Hmm, apa itu??" "Wangimu! Kamu wangi sekali!" Karra terus menggoda di sana, dan tanpa sadar bahwa ia tengah bersungguh-sungguh dengan semua yang ia lakukan. Ia tidak berbohong. Ia memang suka dengan aroma tubuh Max.. "Aku juga suka ini!!" Karra mengangkat wajahnya, lalu menyentuh bibir pria itu dengan ujung jari. "Apa sudah cukup? Apa sudah seperti jalang??" Bukannya menyahut, pria itu malah merunduk dan... melumat habis bibir Karra. Gadis itu terkejut, ini di luar dugaan. Ini ciuman pertamanya, dan Max mengambilnya begitu saja. Akhirnya Karra mencoba memejamkan mata. Mempelajari rasa yang tercipta saat bibir lembut pria itu mempermainkan kewarasannya perlahan. "Teruskan!" bisik Max seraya membalas godaan Karra sebelumnya. Pria itu juga mulai mempermainkan daun telinga Karra. "Ah.... P-paman, ini sudah di luar batas!!" Gadis itu menggeliat di dalam kungkungan Max. Tapi pria itu malah makin menggila. Tangan Max mulai menyusup di bawah gaunnya. "Paman, j-jangan!! Aahh!!" -----++-----Seminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh. "Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Be
"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi. Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa
"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!." Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "
“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah."Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?”“Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini.“Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!”Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil. Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan







