LOGIN"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi.
Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh pria itu. Ia berdiri dan... "Berputar!" "Astaga!" Karra ingin mengumpat. Ia merasa seperti seekor anjing di hadapan tuannya. "Ck, gayamu sama sekali tidak anggun! Kevin, panggilkan guru privat. Buat dia jadi perempuan berkelas dalam waktu satu minggu sebelum saya menikahinya!" Max kemudian berdiri, dan Kevin menyanggupi perintah sang tuan. "T-tunggu, Paman. Menikah? S-saya barusan tidak salah dengar? Siapa yang akan menikah dengan siapa??" cecar Karra dengan wajah panik. Pria itu hanya melirik sekilas dan membuang napas kasar. "Nanti kita bicarakan! Saya sedang lelah!" ucap pria itu. Max berbalik tapi Karra berlari mengejarnya. Gadis itu nekat meraih tangan Max yang besar. "Paman!! S-saya mohon tolong katakan sesuatu, untuk apa saya di sini??" "Harusnya kamu berterima kasih, kamu tidak saya siksa di penjara!" desis pria itu. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Max melepas tangannya dengan kasar, kemudian berlalu. "P-paman!!" Karra masih memanggil tapi percuma. Pria itu seolah tuli. "Mari, Nona!" Suara Kevin membuat Karra menoleh dengan pandangan mengiba. "Ayo, Nona!! Tolong jangan buat dia marah!" tambah Kevin. Karra terpaksa mengangguk, dan mengekor lagi. Kevin tidak lebih tinggi dari Max. Wajahnya juga tidak begitu seram. Karra pun membuang perasaan takut dan mencoba menenangkan dirinya di sepanjang langkah. "Pak, Paman Max... tidak berencana menikahi saya, kan??" tanya gadis itu gugup. Tidak ada jawaban. Kevin pun terlihat gelisah sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar. "Istirahatlah di sini. Semua yang Nona butuhkan sudah ada di dalam. Siang nanti, akan ada seseorang yang datang. Tolong menurut. Pak Max ... paling senang dengan gadis penurut!" Tanya di kepala Karra masih belum terjawab, dan asisten pribadi itu sudah berlalu dari hadapannya. "Aku pasti salah dengar!" lirih gadis itu sebelum menutup pintu. Ya, Max sudah beristri, dan selama ini dia sangat mencintai istrinya. Mana mungkin pria itu berencana menikahi seorang Karra yang justru sudah membuat istrinya celaka? * Kamar itu cukup indah. Ada banyak pakaian di dalam lemari, lengkap dengan produk-produk kecantikan seharga jutaan yang selama ini hanya bisa Karra lihat di televisi. Gadis itu duduk di tepi tempat tidur, sambil menunggu takdir. Lalu Karra teringat, ia masih membawa ponsel bututnya di dalam saku. Karra mengeluarkan benda itu dan membuka laman berita. Rupanya, desas desus kecelakaan yang dialami oleh Nyonya Draven sudah mereda. "Wah... the power of money," lirih gadis itu. Seharusnya saat ini, mereka masih memberitakan Ghania. Perempuan itu bahkan belum terbangun dari koma. Karra kemudian beralih membuka laman pesan. Satu pesan dari kontak 'Iblis' berharsil menarik perhatiannya. ["Kopermu kenapa tidak dibawa? Sudah aku periksa, tidak ada barang berharga dan karena ini pun tidak berguna bagi kami jadi sebaiknya kubuang saja di tempat pembuangan sampah!"] "T-tidaak!!" Karra panik. Semua berkas dan barang miliknya ada di koper itu. Karra kemudian menghambur ke pintu, lalu mencoba membukanya. Rupanya terkunci. "Pak Kevin??? Paman Max?? T-tolong, saya harus pergi!!" teriak Karra sambil menggedor pintu kokoh berbahan kayu jati. Yang ada, tangannya justru merasa sakit. "PAMAAN!!" Karra berteriak sekuat tenaga hingga beberapa saat kemudian, pintu itu terdorong ke arah dalam. Karra nyaris jatuh tersungkur. "Jangan berisik!" sentak seseorang di hadapan Karra. Max tampak memakai pakaian santai. Rambutnya pun sedikit berantakan, dan... rupanya dia sangat tampan. Karra mengerjap. Bukan waktunya mengagumi harimau besar ini. "Paman, saya harus pulang. Berkas penting saya ... akan segera diangkut truk sampah!" Karra memperlihatkan foto di ponselnya. Foto yang baru saja dirikirim oleh Sonya si ibu tiri. "Paman, saya masuk fakultas kedokteran itu dengan susah payah!! Sendirian!" tambah Karra karena Max tidak jua bereaksi. "Dan kamu baru saja menyebabkan kecelakaan besar. Kamu pikir, kamu masih bisa kuliah di sana? Andai pihak kampus tahu siapa korban yang kamu buat menjadi koma, kamu pasti akan dikeluarkan dengan tidak hormat, Nona. Jadi, lupakan pendidikanmu!! Tugasmu di sini adalah, belajar jadi wanita berkelas!" Max kemudian menatap gadis itu dari atas sampai bawah. "Kenapa tidak ganti pakaian?" sinisnya. "T-tapi pakaian di dalam sana ... semuanya terbuka, Paman. Saya tidak terbiasa," cicit gadis itu. "Biasakan!" perintah Max, dan Karra hanya bisa menelan saliva. "Oh... b-baiklah!" Karra mundur, lalu berbalik menuju lemari pakaian yang berjejer rapi di sudut kamar itu. Ia mencari-cari pakaian yang sekiranya pantas. Menit demi menit berlalu, dan Karra belum jua menjatuhkan pilihan. Karra terperanjat saat tangan Max tiba-tiba terulur di sampingnya. "Ini!" perintah pria itu. Ia mengambil sebuah dress selutut berwarna merah menyala, dengan bagian dada yang cukup rendah. "I-ini..." Karra terlihat ragu. "Saya tidak akan memakanmu. Pakailah!!" Batin Karra terus bertanya-tanya. Apa maksud pria ini? Apa jangan-jangan, Max akan menjualnya ke rumah bordil? Karra melirik punggung pria itu. Max bahkan tidak berniat meninggalkan ruangan ini. Haruskah Karra berganti pakaian begitu saja, tanpa menyuruhnya keluar lebih dulu? Akhirnya gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya di sana. "Jangan buang waktu saya lebih lama lagi," teriak pria itu. Tidak sampai lima menit kemudian, Karra akhirnya keluar dari sana. Max berbalik, lalu memandanginya dari atas sampai bawah. "Lumayan juga!" Max membatin. Ukuran dadanya pun tidak mengecewakan. Kulitnya putih bersih. Hanya saja ... bekas luka di bagian bahunya sedikit mengganggu. Gaya rambutnya juga terlalu sederhana. "Duduk!" Max menunjuk tempat tidur dengan dagunya. "Astaga, bagaimana ini?" Karra membatin. Ia merasa sedang dipermalukan. "Saya harap Paman tidak memaksa saya untuk... berbuat tidak senonoh!" ucap gadis itu sambil memainkan jemarinya. Max menarik napas dalam, lalu mengawasi gadis itu sampai ia benar-benar duduk di tepi tempat tidur. Roknya sedikit tersingkap, mempertontonkan kaki jenjangnya yang indah. Max biasanya tidak pernah tergoda oleh perempuan lain, tap kali ini ia harus mengakui bahwa tubuhnya bereaksi. "Kita akan menikah minggu depan!" ucap pria itu, datar. "A-apa??" Karra terlonjak, sedangkan Max membuang muka, lalu memilih duduk di sebuah sofa. Tidak jauh dari Karra. "Kamu benar. Saya ... sudah dikhianati habis-habisan." "Lalu, Paman ingin membalas dendam dengan menikahi saya?" tebak gadis itu. "Kamu pintar juga!" Max sedikit tersenyum. Dan itu adalah senyuman pertamanya untuk Karra. Gadis itu mengerjap lalu mengalihkan pandangan. Senyuman pria itu... rupanya cukup menyilaukan. "Ini bukan pernikahan yang normal. Kamu hanya perlu menjadi perempuan bi nal di depan banyak orang, seolah sudah berhasil menggoda saya. Selebihnya ... kita hanya orang asing yang tidak mengenal satu sama lain." "Tunggu!" Karra menginterupsi. "Perempuan bi nal? Jadi, Paman ingin saya terlihat seperti seorang wanita perusak rumah tangga, begitu?" "Ya!" jawab Max santai. "Jatuh cinta lagi adalah hal yang wajar bagi seorang pria seperti saya. Saya tidak mau citra saya rusak di depan banyak orang. Kamu cukup bersikap seperti ja lang dan buat orang-orang menghujat dirimu. Lalu, kamu akan saya perkenalkan sebagai istri simpanan. Ini akan menyakitkan bagimu, dan juga bagi perempuan itu. Setidaknya ini lebih baik dari pada mendekam di penjara, bukan?" Karra menggeleng lemah. Tidak, ia lebih baik mati di penjara dari pada di cap sebagai perempuan perusak rumah tangga. "Maaf, Paman. Saya tidak mau!" tolaknya. "Mama saya meninggal tidak lama setelah papa menikah lagi. Ini pasti akan mengecewakan mendiang mama saya!!" Max berdiri, lalu memandangi gadis itu. Karra tampak berkaca-kaca, hendak menangis. "Saya tidak peduli," lirih Max. "Kamu yang membongkar rahasia perselingkuhan istri saya jadi..." "Harusnya Paman berterima kasih!!" potong Karra dengan suara bergetar. Max tersenyum sinis. "Berterima kasih? Pikirkan baik-baik. Jadi istri simpanan yang bi nal selama satu tahun dengan bayaran fantastis, atau ... kamu harus membayar ganti rugi semua kerusakan mobil istri saya seharga puluhan miliar, biaya operasi dan pengobatan istri saya, dan juga semua biaya yang sudah saya keluarkan untuk menurunkan berita kecelakaan itu dari semua portal berita. Total semuanya ada sekitar... delapan belas miliar." Karra menelan saliva. Melacurkan diri pun, ia tidak akan pernah bisa mengumpulkan sebanyak itu. "B-baiklah! Tapi... jangan salahkan saya kalau pada akhirnya, Paman jatuh cinta pada saya!" Max tertawa. Dirinya? Jatuh cinta pada gadis bodoh ini?? "Jangan mimpi!!" -----++-----Seminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh. "Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Be
"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi. Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa
"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!." Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "
“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah."Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?”“Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini.“Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!”Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil. Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan







