Share

BAB 2 - Retak yang Menganga

Author: Dhalika Noire
last update Last Updated: 2025-05-11 13:26:28

   Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya.

 Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut.

 Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?"

 

Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam."

 

   Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi.

 

 Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah.

 

  "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri, udah numpang hidup di rumah ini, masih juga cari laki-laki lain?!"

 

 Rani menatapnya ngeri. "Bu, demi Allah, saya nggak "

 

  ~ Plaaakk!

 

 Bahkan Ia belum sempat membela diri. Satu tamparan mendarat di pipinya. Perihnya menusuk, tapi lebih sakit lagi karena ia dipukul di depan Nadine dengan senyum licik kemenangan.

 

  Lalu Nadine pura-pura khawatir.

 

 "Bu, jangan terlalu kasar dong. Tapi emang sih, aku juga pernah lihat dia bisik-bisik sama tukang kebun tetangga. Baju dia waktu itu juga... agak terlalu terbuka, ya?"

 

 Bu Yulia mengerutkan dahi. "Dasar perempuan murahan!"

 

   Rania menangis diam-diam. Meskipun Raka tau itu tidak benar, Ia Tak membela istrinya. Raka hanya Diam dan keluarganya menjadikannya kambing hitam atas semua masalah rumah tangga mereka.

 

 ***

 

   Masakan nya telah matang, Ia memang sudah lapar sekali dan hendak mengambil sebuah piring di Rak dapur, namun belum juga ia menyentuh piring tersebut, dari arah belakang tangan seseorang memukul tangan nya, dan benar saja itu Bu yulia.

 

  “Mau apa kamu? mau makan? Enak aja, tuh cuci dulu baju kotor di ember, setelah itu baru boleh makan! “ bentaknya.

 

   Ia hanya bisa mematuhi perintah ibu mertuanya tanpa berani membantah, padahal ia sudah lapar sekali.

 

  Rania Tak boleh menggunakan mesin cuci yang ada dirumah itu, alasannya biar lebih berguna jadi istri.

 

  Rania membati, aku ini menantu apa budak? kalau pembantu pun masih dapat gaji.

 Saat pikirannya melayang entah kemana, Ia mendengar percakapan seseorang, bangkit perlahan lalu terdengar suara bisik-bisik dari ruang makan. Ia berhenti di balik tembok.

 

  “Aku hanya kasihan lihat kamu,” suara Nadine.

 

 

  “Terima kasih, Mbak, tapi aku dan Rania baik-baik saja,” jawab Raka, datar tapi lelah.

 

  “Baik? Kamu pikir bahagia itu hanya bertahan? Aku tahu kamu... kamu butuh seseorang yang benar-benar bisa buat kamu tenang, dimengerti…”

 

 

  “Sudahlah, Mbak Nadine. Jangan bahas ini lagi.”

 

  Rania terdiam. Suaminya tidak marah. Hanya menghindar.

 

  Nadine mendesah, “Aku tidak bisa pura-pura lagi, Raka. Tiap malam lihat kamu dan Rania… aku cuma bisa berpikir, kenapa bukan aku?”

 

  Langkah Rania melemah. Tangannya gemetar memegang dinding. Tapi sebelum air mata jatuh, ia berbalik melanjutkan cucian tersebut agar bisa segera makan.

 

 ***

  2 jam kemudian

 Pekerjaannya sudah selesai, Rania segera makan dengan lahap, Namun belum selesai Ia makan terdengar suara tangisan bayinya, tidak melanjutkan makannya Ia langsung bergegas ke kamar dan mengangkat bayinya. Ia menyusui buah hatinya yang sejak tadi menangis kehausan.

 

 “Rania!!” terdengar suara teriakan seseorang.

 

 Baru 10 menit Ia menyusui bayinya, terdengar suara teriakan dari ibu mertuanya. Mau tidak mau ia kembali meletakkan bayinya di ranjang tersebut dan menghampiri bu Yulia

 

“Ada apa bu?” tanya Rania

 

 Bu Yulia memaki dirinya dengan keras, “Dasar pemalas, setelah makan langsung cuci piringnya!”

 

 Rania menjawab, “Maaf bu, tadi aku langsung menyusui bayiku karena Ia menangis kehausan.”

 

 Tiba-tiba Bu Yulia menyeret Rania ke kamar mandi. Bahkan pakaian Rania masih basah kuyup karena tadi disiram air dari selang oleh ibu mertuanya. Tanpa alasan jelas, hanya karena Bu Yulia tak suka dengan cara Rania menjawab. Bukan membantah, hanya menjawab. Itu saja cukup untuk memicu amarahnya.

 

 ***

 

 Di teras belakang, Rania berlutut, menggosok lantai kasar dengan tangan telanjang. Sendi-sendinya terasa ngilu, kulit tangannya merah dan terkelupas karena sabun keras yang biasa dipakai untuk membersihkan kamar mandi.

 

 Langit malam menyimpan sunyi. Tapi rumah itu bising dengan hinaan.

 

 Nadine muncul dari balik pintu, sambil tertawa kecil dan memegang ponsel.

 

  "Kamu jangan pikir aku nggak punya bukti. Nih, rekaman kamu ngobrol sama tukang kebun tetangga, Tinggal aku edit dikit, kasih ke Raka. Biar dia tahu siapa istrinya sebenarnya." Ucap Nadine

 

 Rania menatapnya lelah. Air mata jatuh tanpa suara. “Nadine, tolong... Aku nggak pernah macam-macam. Aku cuma minta dikasih kesempatan hidup tenang…”

 

 Nadine menyeringai. “Tenang? Di rumah ini? Kamu pikir kamu siapa? Raka itu milikku, bukan suamimu. Di keluarga ini harusnya Aku yang jadi istrinya bukan kamu.”

 

 Tiba-tiba, suara pintu dibanting. Bu Yulia datang membawa sepatu milik Raka.

 

  "Ini sepatu anakku sampai rusak begini karena kamu! Kamu istri nggak becus! Pantas saja ibumu meninggalkanmu?!"

 

 Rania tertegun. Itu rahasia yang hanya diketahui oleh keluarganya, tentang ibunya yang dulu Tega meninggalkan dirinya dan ayahnya demi lelaki lain.

 

 

  Bugh!! ...

 

 Sepatu itu dilempar tepat ke arah dada Rani. Ia terjengkang. Nafasnya sesak. Tapi tak ada yang peduli.

 

****

 

  Sore itu tangisan bayinya menggema pelan, seperti jeritan kecil yang tersangkut di sela-sela tembok dingin. Rania memeluk bayinya, tubuhnya masih lemas, bekas jahitan pasca melahirkan masih perih, namun tubuhnya tak punya pilihan untuk beristirahat.

 

 Tangannya bergetar ketika menyusui. Air susunya tak lancar. Kepalanya pening, dan punggungnya nyeri hebat. Tapi suara langkah kaki ibu mertua lebih menakutkan dari semua rasa sakit itu.

 

 Pintu kamar didobrak.

 

  "Anakmu nangis terus! Kamu tuh ibu macam apa?! Jangan-jangan kamu sengaja bikin dia nangis biar kami semua terganggu!" bentak Bu Yulia

 

 Rania hanya bisa menunduk. Suaranya tercekat. Lidahnya kelu. Ia hanya ingin meminta sedikit waktu untuk memulihkan diri, tapi siapa yang akan mau mendengar?

 

 “Kamu itu sial, Rania. Sejak kamu masuk rumah ini, Raka makin jauh dari keluarga. Aku yakin anak itu juga bukan dari darah Raka!”

 

 Darah Rania mendidih mendengar ucapan itu. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya bisa memeluk bayinya lebih erat, berharap tangis anaknya bisa meredam tangis batinnya.

 

 Malam hari. Raka pulang larut. Ia mencium anaknya sebentar, lalu menatap istrinya tanpa berkata apa-apa.

 

 Rania duduk di lantai, menyusui sambil menangis dalam diam.

 

 Tangis Rania "Raka..." suaranya parau, "Ibumu tadi lempar botol susu ke arah kita. Anak kita hampir kena lemparan di kepalanya..."

 

 

 Raka hanya menoleh sebentar.

 

  "Kamu terlalu sensitif. Ibu capek, kamu juga jangan bikin masalah."

 

 

 Kata-katanya seperti belati ke dada. Rania ingin menjerit, tapi tenggorokannya tersumbat oleh luka-luka yang tak terlihat.

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 29 - Pengungkapan yang Lebih Dalam

    Setelah pertempuran yang sengit, markas Darmawan kini terasa sepi. Hujan yang semula deras mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa air yang menggenang di sekitar bangunan. Para pasukan Darmawan yang baru datang terlihat sedang mengamankan area, memastikan tidak ada ancaman yang tersisa. Namun, di dalam markas, Rania dan keluarganya tidak merasa sepenuhnya aman. Rania berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke luar. Pikirannya jauh, merenung. Darmawan, yang sebelumnya dianggap sebagai korban dalam permainan jahat keluarga Wicaksono, kini terlihat sangat berbeda. Pencapaian dan pengorbanannya ternyata lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan Rania. “Rania,” suara Sinta memecah lamunannya. “Kita perlu bicara.” Rania menoleh dan melihat Sinta berdiri di dekat meja, menggenggam berkas-berkas lama yang baru saja ditemukan. Di sana, terdapat beberapa dokumen yang menunjukkan hubungan antara Darmawan dan jaringan kekuasaan yang lebih besar daripada yang pernah

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 28 - Pertarungan untuk Takdir

    Darmawan, yang selama ini dianggap sebagai korban dari rencana jahat keluarga Wicaksono, mengangkat tangan dan melangkah maju dengan tenang. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan, Ran. Tapi aku bertindak untuk sesuatu yang lebih besar dari kalian bayangkan.” Rania terdiam, hampir tidak percaya. Ia telah mengira ayahnya tewas karena serangan itu, dan kini dia muncul di hadapannya, lebih hidup dan lebih kuat dari sebelumnya. “Aku bersembunyi selama ini karena mereka tidak tahu jika aku masih hidup. Yulia akan mengira aku mati, dan itu memberiku kesempatan untuk mengatur semua ini dari belakang,” lanjut Darmawan. “Namun, aku tidak bisa membiarkan Felix menguasai segalanya.” Sinta, yang sudah tahu tentang banyak hal, menatap Darmawan dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘lebih besar’?” tanya Sinta. “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Darmawan menatap mereka semua dengan tatapan tegas. “Aku menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang pernah dibangun Yulia

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 27 - Pemburuan Malam

    Malam itu, langit gelap seolah menutupi segala rahasia yang hendak terungkap. Rania berdiri di luar markas sementara mereka, menatap cakrawala yang hanya diterangi kilatan petir yang sesekali mengarah ke tanah. Hujan semakin deras, mengaburkan pandangan, namun di balik kabut itu ada ancaman yang semakin nyata. Raka, yang sedang beristirahat di dalam ruangan, merasa ada yang tak beres. Instingnya, yang selama ini tajam, terasa menggigit. Sesuatu mengintai. “Kita tidak punya banyak waktu,” kata Raka, matanya tajam menatap layar monitor. “Felix pasti datang, dan jika dia membawa pasukan... kita tidak akan cukup kuat.” Reyhan mengangguk dan berdiri. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan, tapi yang lebih penting sekarang adalah memastikan semua bukti tetap aman. Tanpa itu, kita bisa kehilangan semuanya.” Sinta yang berada di sisi meja kerja menekan layar ponselnya. “Aku sudah menghubungi teman-teman di lembaga hak asasi. Mereka akan siap untuk mendengar kebenaran jika kita bisa m

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 26 - Kembali dari Bayangan

    Hujan turun deras malam itu. Rania tengah memandangi berkas-berkas peninggalan Dimas di ruang kerja ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia nyaris tak mengangkat, tapi suara di seberang membuat napasnya tercekat. “Rania…” Suara itu… lemah, serak, tapi sangat familiar. “Raka?” “Aku... butuh bantuanmu. Aku masih hidup.” Ponsel nyaris jatuh dari tangan Rania. “Di mana kamu?!” “Jangan bilang siapa-siapa… mereka masih mengincar aku. Aku di rumah tua Ayah, di lereng Brava…” *** Rania langsung berangkat bersama Reyhan dan Sinta secara diam-diam. Mereka tiba di sebuah rumah terbengkalai, dikelilingi kabut dan hujan. Di dalamnya, Raka terbaring lemah di sofa usang, tubuhnya penuh luka lama, beberapa masih membekas jelas. Matanya sayu, tapi masih menyala. Tangis Rania pecah seketika. Ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat. “Kau… kau hidup… Tuhan, aku kira kau sudah…” Raka menggeleng pelan. “Dimas… merancang semuanya. Membuat seolah aku tewas di tempat ke

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 25 - Perburuan Terakhir

    Dua minggu sejak pelarian Dimas. Selama itu pula Rania hidup dalam pengawasan ketat. Rumahnya dijaga aparat, Reya dipindahkan ke tempat rahasia. Tapi Rania menolak bersembunyi. Ia tahu, selama Dimas belum tertangkap, tak ada tempat yang benar-benar aman. “Dia akan datang padaku. Bukan Sinta, bukan Felix. Aku. Karena aku yang menjatuhkannya,” ujar Rania tegas saat Sinta menyarankan pelindung tambahan. Reyhan mengatur strategi, tapi Dimas seolah lenyap. Semua jejak menghilang. Sampai akhirnya, surat tanpa pengirim tiba di kantor kejaksaan. Isinya: “Main terakhir kita. Tanpa polisi. Tanpa kamera. Datanglah ke tempat semuanya bermula. Sendirian. Jika kau ingin ini berakhir.” Tertulis di bawahnya: “Villa Gunung Senja.” Itu adalah rumah lama keluarga Wicaksono. Tempat pertama Rania dibawa setelah menikah. Tempat Yulia pertama kali menyiksanya. *** Malam itu. Rania memutuskan untuk datang. Meski ditentang semua pihak, ia tahu—ini bukan lagi sekadar perburuan hukum. Ini te

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 24 - Balas Dendam dari Balik Jeruji

    BAB 36 — Balas Dendam dari Balik Jeruji Malam sunyi. Di dalam penjara kelas satu, Dimas duduk di ranjangnya, ditemani sebatang rokok yang menyala setengah. Meski dinding jeruji mengelilinginya, wajahnya tetap tenang. Di depannya, seorang pengacara bayangan membisikkan kabar. "Kami sudah temukan orangnya. Infiltrasi ke dalam LPSK, akses ke lokasi rumah aman Felix. Kita hanya butuh waktu." Dimas mengangguk pelan. “Aku tak butuh waktu. Aku butuh hasil. Buat mereka menderita, satu per satu. Mulai dari Rania.” *** Keesokan harinya, Rania menerima paket misterius. Sebuah kotak kayu kecil dengan inisial “R”. Di dalamnya, bukan barang, melainkan segel rambut bayi, yang ia kenali sebagai milik anaknya, Reya. Tangannya gemetar. Pesan pendek tertulis di balik tutup kotak: "Kau mencuri milikku. Sekarang, kutarik kembali yang jadi milikmu." Rania langsung menggendong Reya dan menghubungi Sinta. Laporan diajukan ke kepolisian, dan Reyhan mempercepat proses pemindahan saksi dan kelu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status