Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya.
Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut. Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?" Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam." Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi. Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri, udah numpang hidup di rumah ini, masih juga cari laki-laki lain?!" Rani menatapnya ngeri. "Bu, demi Allah, saya nggak " ~ Plaaakk! Bahkan Ia belum sempat membela diri. Satu tamparan mendarat di pipinya. Perihnya menusuk, tapi lebih sakit lagi karena ia dipukul di depan Nadine dengan senyum licik kemenangan. Lalu Nadine pura-pura khawatir. "Bu, jangan terlalu kasar dong. Tapi emang sih, aku juga pernah lihat dia bisik-bisik sama tukang kebun tetangga. Baju dia waktu itu juga... agak terlalu terbuka, ya?" Bu Yulia mengerutkan dahi. "Dasar perempuan murahan!" Rania menangis diam-diam. Meskipun Raka tau itu tidak benar, Ia Tak membela istrinya. Raka hanya Diam dan keluarganya menjadikannya kambing hitam atas semua masalah rumah tangga mereka. *** Masakan nya telah matang, Ia memang sudah lapar sekali dan hendak mengambil sebuah piring di Rak dapur, namun belum juga ia menyentuh piring tersebut, dari arah belakang tangan seseorang memukul tangan nya, dan benar saja itu Bu yulia. “Mau apa kamu? mau makan? Enak aja, tuh cuci dulu baju kotor di ember, setelah itu baru boleh makan! “ bentaknya. Ia hanya bisa mematuhi perintah ibu mertuanya tanpa berani membantah, padahal ia sudah lapar sekali. Rania Tak boleh menggunakan mesin cuci yang ada dirumah itu, alasannya biar lebih berguna jadi istri. Rania membati, aku ini menantu apa budak? kalau pembantu pun masih dapat gaji. Saat pikirannya melayang entah kemana, Ia mendengar percakapan seseorang, bangkit perlahan lalu terdengar suara bisik-bisik dari ruang makan. Ia berhenti di balik tembok. “Aku hanya kasihan lihat kamu,” suara Nadine. “Terima kasih, Mbak, tapi aku dan Rania baik-baik saja,” jawab Raka, datar tapi lelah. “Baik? Kamu pikir bahagia itu hanya bertahan? Aku tahu kamu... kamu butuh seseorang yang benar-benar bisa buat kamu tenang, dimengerti…” “Sudahlah, Mbak Nadine. Jangan bahas ini lagi.” Rania terdiam. Suaminya tidak marah. Hanya menghindar. Nadine mendesah, “Aku tidak bisa pura-pura lagi, Raka. Tiap malam lihat kamu dan Rania… aku cuma bisa berpikir, kenapa bukan aku?” Langkah Rania melemah. Tangannya gemetar memegang dinding. Tapi sebelum air mata jatuh, ia berbalik melanjutkan cucian tersebut agar bisa segera makan. *** 2 jam kemudian Pekerjaannya sudah selesai, Rania segera makan dengan lahap, Namun belum selesai Ia makan terdengar suara tangisan bayinya, tidak melanjutkan makannya Ia langsung bergegas ke kamar dan mengangkat bayinya. Ia menyusui buah hatinya yang sejak tadi menangis kehausan. “Rania!!” terdengar suara teriakan seseorang. Baru 10 menit Ia menyusui bayinya, terdengar suara teriakan dari ibu mertuanya. Mau tidak mau ia kembali meletakkan bayinya di ranjang tersebut dan menghampiri bu Yulia “Ada apa bu?” tanya Rania Bu Yulia memaki dirinya dengan keras, “Dasar pemalas, setelah makan langsung cuci piringnya!” Rania menjawab, “Maaf bu, tadi aku langsung menyusui bayiku karena Ia menangis kehausan.” Tiba-tiba Bu Yulia menyeret Rania ke kamar mandi. Bahkan pakaian Rania masih basah kuyup karena tadi disiram air dari selang oleh ibu mertuanya. Tanpa alasan jelas, hanya karena Bu Yulia tak suka dengan cara Rania menjawab. Bukan membantah, hanya menjawab. Itu saja cukup untuk memicu amarahnya. *** Di teras belakang, Rania berlutut, menggosok lantai kasar dengan tangan telanjang. Sendi-sendinya terasa ngilu, kulit tangannya merah dan terkelupas karena sabun keras yang biasa dipakai untuk membersihkan kamar mandi. Langit malam menyimpan sunyi. Tapi rumah itu bising dengan hinaan. Nadine muncul dari balik pintu, sambil tertawa kecil dan memegang ponsel. "Kamu jangan pikir aku nggak punya bukti. Nih, rekaman kamu ngobrol sama tukang kebun tetangga, Tinggal aku edit dikit, kasih ke Raka. Biar dia tahu siapa istrinya sebenarnya." Ucap Nadine Rania menatapnya lelah. Air mata jatuh tanpa suara. “Nadine, tolong... Aku nggak pernah macam-macam. Aku cuma minta dikasih kesempatan hidup tenang…” Nadine menyeringai. “Tenang? Di rumah ini? Kamu pikir kamu siapa? Raka itu milikku, bukan suamimu. Di keluarga ini harusnya Aku yang jadi istrinya bukan kamu.” Tiba-tiba, suara pintu dibanting. Bu Yulia datang membawa sepatu milik Raka. "Ini sepatu anakku sampai rusak begini karena kamu! Kamu istri nggak becus! Pantas saja ibumu meninggalkanmu?!" Rania tertegun. Itu rahasia yang hanya diketahui oleh keluarganya, tentang ibunya yang dulu Tega meninggalkan dirinya dan ayahnya demi lelaki lain. Bugh!! ... Sepatu itu dilempar tepat ke arah dada Rani. Ia terjengkang. Nafasnya sesak. Tapi tak ada yang peduli. **** Sore itu tangisan bayinya menggema pelan, seperti jeritan kecil yang tersangkut di sela-sela tembok dingin. Rania memeluk bayinya, tubuhnya masih lemas, bekas jahitan pasca melahirkan masih perih, namun tubuhnya tak punya pilihan untuk beristirahat. Tangannya bergetar ketika menyusui. Air susunya tak lancar. Kepalanya pening, dan punggungnya nyeri hebat. Tapi suara langkah kaki ibu mertua lebih menakutkan dari semua rasa sakit itu. Pintu kamar didobrak. "Anakmu nangis terus! Kamu tuh ibu macam apa?! Jangan-jangan kamu sengaja bikin dia nangis biar kami semua terganggu!" bentak Bu Yulia Rania hanya bisa menunduk. Suaranya tercekat. Lidahnya kelu. Ia hanya ingin meminta sedikit waktu untuk memulihkan diri, tapi siapa yang akan mau mendengar? “Kamu itu sial, Rania. Sejak kamu masuk rumah ini, Raka makin jauh dari keluarga. Aku yakin anak itu juga bukan dari darah Raka!” Darah Rania mendidih mendengar ucapan itu. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya bisa memeluk bayinya lebih erat, berharap tangis anaknya bisa meredam tangis batinnya. Malam hari. Raka pulang larut. Ia mencium anaknya sebentar, lalu menatap istrinya tanpa berkata apa-apa. Rania duduk di lantai, menyusui sambil menangis dalam diam. Tangis Rania "Raka..." suaranya parau, "Ibumu tadi lempar botol susu ke arah kita. Anak kita hampir kena lemparan di kepalanya..." Raka hanya menoleh sebentar. "Kamu terlalu sensitif. Ibu capek, kamu juga jangan bikin masalah." Kata-katanya seperti belati ke dada. Rania ingin menjerit, tapi tenggorokannya tersumbat oleh luka-luka yang tak terlihat.Hujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal. Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam. Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara. Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.” “Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine. Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?” “Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.” Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.” Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu n
BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos. Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri. "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..." Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan. Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri. Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka. Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.” Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?” “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan ko
Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.Raka menunduk. Suaranya lirih. “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.”Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya.Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi. “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.”Raka tersenyum tipis, sopan. “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi”Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam. “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?”Raka diam. Matanya mulai waspada
Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil. Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar. Tiba-tiba ... sunyi. Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening. Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Dan . . . . Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur. Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania. “DANI!!!” teriak Rania. Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania Dani terkejut, lalu langsung menangis keras. “Aku nggak ngapa-ngapai
Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak. Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.” “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.” Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.” Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.” Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!” Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya. “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia “Iya Bu,” jawab Rania pasrah.***** Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress c
Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut. Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?"Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam." Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi. Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri,