Amelie membenamkan wajah pada kedua lutut di tempat yang sama saat ia jatuh tersungkur akibat ulah kejam Theresia. Sementara para pekerja lain masih mengelilinginya dan terus memberi semangat pada gadis malang tersebut.
"Amelie, aku minta maaf. Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak menyarankanmu untuk ..." Katie yang tertunduk dan enggan menatap mata Amelie tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Kau tidak perlu merasa bersalah untuk itu, Katie."Mendengar jawaban Amelie, Katie pun menatap wajah Amelie sebentar, lalu kembali menunduk. Perasaan bersalahnya kepada Amelie begitu besar. Katie berpikir petaka yang menimpa Amelie hari ini merupakan akibat dari sarannya agar Amelie memberi tahu kepada Jonathan perihal kehamilannya."Karena cepat atau lambat, Jonathan harus mengetahui kehamilanku.""Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Apakah kau akan menuruti keinginan Nyonya Theresia untuk menggugurkan kandunganmu?" tanya Katie dengan penuh kehati-hatian."Tentu saja tidak." Amelie menjawab dengan yakin, dan berhasil membuat semua mata tertuju padanya. "Aku akan menjaga bayiku dan merawatnya agar dia tumbuh dengan baik." tangan Amelie mengusap lembut perutnya dan tersenyum simpul, walau dia mengerti, konsekuensi atas pilihanya untuk mempertahankan kandungan, merawat dan membesarkan anak seorang diri bukanlah hal yang mudah."Apakah itu artinya ..." kembali Katie berucap dan menatap Amelie dengan tatapan nanar, seolah sudh mengetahui apa jawaban yang akan ia dengar dari bibir sahabatnya."Benar. Aku akan segera meninggalkan rumah ini demi mempertahankan bayiku."Katie mendesah dan menepuk dahinya dengan perasaan kacau. Akankah hari-harinya bekerja di rumah Keluarga Hayes akan sama, seperti saat dia dan Amelie bekerja bersama."Apa tidak sebaiknya-" Katie yang merasa frustasi langsung mengatupkan bibirnya untuk mengurungkan niatnya memberi saran kepada Amelie. Bagaimana jika sarannya akan berakibat fatal seperti yang baru saja terjadi?"Ada yang ingin kau katakan, Katie? Katakan saja." ucap Amelie sembari menatap wajah semua orang yang mengelilinginya satu per satu."Aku tidak yakin untuk mengatakan ini. Tapi aku akan kembali memberi saran jika kau ingin mendengarnya." jawab Katie dengan rasa bersalah dan keraguan yang masih bergelayut di dalam dada.Irene yang mengelus pelan punggung anaknya mengangguk, diikuti oleh semua orang yang ada disana, tak terkecuali Amelie."Akan ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Yang pertama, Tuan Muda akan berusaha merayu Nyonya besar untuk berlapang dada menerima bahwa saat ini kau sedang mengandung cucunya. Dan kemungkinan ke dua yang dapat terjadi, nenek sihir itu akan tetap marah besar dan mencacimu, menyalahkanmu, bahkan merendahkanmu. Kau sendiri tau, dia wanita yang begitu angkuh yang memperlakukan kita dengan sangat buruk jika sesuatu terjadi tidak seperti yang dia harapkan." semua yang ada di ruangan tersebut menganggukkan kepala. Membenarkan apa yang Katie ucapkan."Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Amelie kepada Katie."Kamu hanya perlu sembunyi saat ini, Amelie. Kami akan mengabarimu begitu salah satu dari kemungkinan yang aku sebutkan tadi sudah terjadi. Aku akan memintamu kembali jika Theresia bisa menerima kehadiran cucunya yang saat ini kau kandung, atau memintamu tetap bersembunyi jika kemungkinan buruk itu terjadi." tutup Katie sembari menoleh ke arah Robert dan Irene.Semua kepala mengangguk menyetujui saran Katie. Meski kesemuanya tau, kemungkinan ke dua adalah yang paling mungkin untuk terjadi."Aku tau kalau hal seperti ini pasti terjadi." gumam Robert sembari bersandar pada dinding dengan satu tangannya.Saat pertama kali Robert menyadari hubungan Amelie dan Jonathan begitu akrab, pria itu sudah memperingatkan berkali-kali pada putrinya, agar menjaga jarak dengan pemuda itu. Robert tahu pasti bagaimana watak majikan perempuannya.Theresia Hayes adalah sosialita yang namanya cukup tersohor di wilayah Auckland. Memiliki sifat yang angkuh dan arogan. Rasanya sangat mustahil jika wanita itu mau menerima Amelie di tengah keluargan Hayes. Terlebih, Amelie hanyalah seorang pembantu. Dengan sikapnya yang arogan, tidak menutup kemungkinan Theresia akan berbuat tega kepada Amelie untuk memaksa gadis itu menggugurkan kandungannya.Hati ayah mana yang tidak hancur melihat putri yang ia sayangi sedang dihadapkan dengan situasi yang sulit? Seandainya tau akan seperti ini, Robert akan dengan keras melarang putrinya untuk tidak menjalin keakraban dengan pemuda itu, sekalipun harus memperingatkan gadis itu dengan pukulan demi membuatnya jera. Tapi semua itu sudah terlambat."Sayang, tenangkan dirimu." suara lembut Irene berhasil membuat Robert berhenti mengeluh."Dengan senang hati, aku menerima saran darimu, Katie." ucap Amelie yakin sembari bangkit dari posisi duduknya."Kamu bisa tinggal di rumah orang tuaku, Amelie. Letaknya tidak jauh dari Westfield Newmarket. Aku akan memberimu alamatnya." Katie mengeluarkan alat tulis yang selalu dia simpan di dalam saku apron miliknya. Alat itu seperti jimat keselamatan bagi Katie. Untuk melindunginya dari cecaran Theresia yang akan memakinya jika dia lupa melakukan suatu perintah yang wanita itu berikan.Gadis itu mengulurkan secarik kertas yang berisikan alamat rumah orang tuanya kepada Amelie."Terimakasih, Katie. Aku akan pergi sore ini juga." jawab Amelie memastikan waktu kepergiannya agar tidak mengundang curiga pemilik rumah."Jangan takut, kami akan merahasiakan keberadaanmu dari seluruh anggota keluarga Hayes." ucap Janne yang sedari tadi diam menyimak percakapan Amelie dan Katie."Pergilah, Anakku. Ibu tau, itu adalah keputusan yang tepat demi kebaikanmu dan bayi di dalam kandunganmu." Irene merengkuh tubuh putrinya ke dalam pelukan.Amelie memejamkan mata, sesaat gadis itu menghirup bau tubuh ibunya yang menenangkan untuk memenuhi paru-parunya. Karena firasatnya berkata; sebentar lagi, dia akan tinggal berjauhan dari Irene dan Robert, dua manusia yang telah membawanya terlahir di dunia.Amelie melepas pelukannya, lalu berkata; "Baik. Aku akan segera pergi dari sini."Semua yang ada di dalam ruangan kecil itu mengangguk sembari tersenyum. Bagi mereka, keputusan meminta Amelie pergi dari kediaman keluarga Hayes adalah pilihan yang sangat tepat."Benar apa yang kau katakan, Amelie. Malam adalah waktu yang tepat untuk kau pergi. Aku akan menelepon Ibuku untuk mengabarinya, kalau kau akan menginap disana untuk beberapa hari." Katie memeluk Amelie dan mengecup kedua pipi sahabatnya secara bergantian, dari kanan ke kiri."Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Ibu dan Ayah akan selalu merindukanmu." pinta Irene sembari menggenggam kedua tangan Amelie dan menatap lekat kedua matanya. Gadis itu hanya mengangguk sembari terus memaksa kedua sudit bibirnya tetap terangkat."Jaga cucuku baik-baik, Amelie. Pastikan dia terlahir dengan sehat." Robert turut menimpali yang seketika membuat Amelie menoleh cepat.Senyum lebar terukir di wajah Amelie. Gadis itu menyeka air mata haru yang mendesak di pelupuk mata. Amelie menghambur memeluk Robert yang bertubuh sedikit tambun.Robert membelai rambut putrinya dan mengecup kening gadis yang amat ia cintai setelah Irene.Senyum Amelie kian merekah saat mendengar Robert menyebut janin di dalam kandungannya dengan sebutan 'cucuku'. Itu artinya, akan ada manusia lain yang menyayangi anak dalam kandungannya selain dirinya sendiri.Secercah harapan dan semangat perlahan menerobos hati Amelie yang sempat gelap gulita. Kini, ia semakin yakin dan bersemangat dalam menjaga anak dalam kandungannya."Katakan padanya, Amelie. Neneknya sudah rindu menantikan kelahirannya." timpal Irene sembari berhambur memeluk ayah dan anak yang masih berpelukan. Ketiganya larut dalam isakkan tangis.Ketie dan yang lain masih berdiri terpaku, menatap penuh haru apa yang saat ini dia saksikan. Tak terasa Katie pun ikut menangis.***Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa