Share

Bab 2 MJDMP

Bab 2 MJDMP

Langkah Anjani kini terhenti di sebuah pertigaan, sejenak ia bingung kemana ia akan melangkahkan kakinya.

"Ke mana aku harus pergi? Ke arah kiri kah untuk kembali ke rumah Paman dan Bibi? Atau ke arah kanan untuk kembali ke rumah terakhir Bapak dan Ibu? Atau justru berjalan lurus tanpa tujuan pasti? Aku sungguh tak punya pilihan," batin Anjani.

Ia lalu melirik ke arah kiri, jalan yang mengarah ke tempat di mana ia tinggal sejak kecil. Anjani adalah yatim piatu, yang sejak kecil diasuh oleh pamannya, alias adik dari ibunya.

Paman yang telah menjualnya ke Juragan Supeno demi melunasi hutang-hutangnya. Paman yang telah mengorbankan harga dirinya demi menebus sejumlah materi, yang kini mengantarkannya pada nasib yang sama sekali tak pernah ia inginkan.

Mengatasnamakan balas budi, Paman Basuki meminta Anjani untuk melunasi hutang-hutangnya dengan menjadi istri ke-dua Juragan Supeno. Anjani menolak, namun Paman dan Bibinya memaksa, sehingga ia tak punya pilihan lain selain menurut.

Membayangkan dinikahi oleh Juragan Supeno, lelaki berusia 45 tahun dengan postur gendut dan perut seperti badut membuat Anjani kerap kali ketakutan sendiri.

Pola pikirnya yang masih primitif membuatnya begitu takut membayangkan betapa seram malam yang akan ia lalui bersama Juragan Supeno nanti.

Ketakutan itu semakin menjadi kala Juragan Supeno tak kunjung berhasil melaksanakan hajatnya di malam pertama, hingga terjadilah tragedi yang sangat memalukannya malam ini.

Mengingat kembali kejadian itu membuat dada Anjani terasa nyeri. Air matanya kembali berjatuhan membasahi kaki. Ia lalu memutuskan untuk melangkahkan kakinya lurus, pergi tanpa tujuan pasti menjadi pilihannya saat ini. Ia berpikir, pulang ke rumah Paman dan Bibi hanya akan menambah luka di hati.

Dengan air mata yang masih berderai, Anjani melanjutkan langkahnya, menyusuri setapak demi setapak jalanan malam dengan mengandalkan pencahayaan lampu jalan yang temaram.

Hingga satu jam berlalu, Anjani terus berjalan tanpa tau kemana ia akan pergi. Kini langkahnya berhenti di sebuah trotoar jembatan layang, sejenak mengistirahatkan kaki yang mulai terasa nyeri.

Pandangan Anjani kosong mengarah ke bawah, ke arah beberapa mobil yang berlalu-lalang melintasi tol dengan kecepatan maksimal.

"Dasar perempuan nggak guna, Cacat! untuk apa aku menikahi gadis sepertimu? percuma cantik tapi nggak punya lubang! "

"Nggak sudi aku punya istri sepertimu! cuuuihhh, masih mending ayam betina punya lubang buat bertelor, lah kamu?"

Umpatan Juragan Supeno beberapa waktu lalu kembali terngiang di telinganya. Anjani menutup telinga dengan tangannya sembari menggeleng-gelengkan kepala, berharap suara itu akan segera pergi dari telinganya.

Namun semakin Anjani berusaha menutup telinga, suara itu seolah semakin keras didengarnya.

"Stop, Anjani, Stop! Kamu jangan lemah! Jangan biarkan hinaan lelaki tua itu merusak hidupmu! Kamu masih punya harapan, Anjani! Masih punya tangan kaki untuk bekerja! Buktikan pada Juragan Supeno, bahwa kamu tidak layak dihinakan seperti ini!" Anjani mencoba mengafirmasi dirinya sendiri.

Ia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Berharap bebannya ikut keluar bersama nafas yang terhembus. Sesaat ia merasa lebih tenang.

"Tapi apa benar yang dikatakan Supeno? Benarkah aku tidak memilikinya? Tapi ... Ini terasa aneh, sebab selama ini aku tak merasa demikian. Aku merasa tumbuh sebagaimana gadis pada umumnya. Aku pipis dan mens dengan normal.

Tapi apa mungkin Supeno salah? Dia kan sudah berpengalaman? Bagaimana mungkin dia tidak bisa melakukannya? Bahkan anaknya sudah tiga dari istri pertama." Anjani mulai heran dan bertanya-tanya dengan apa yang kini tengah menimpanya.

Perlahan Anjani membalikkan posisi menghadap ke jalan, tubuhnya merosot sebab kaki tak mampu lagi menahan beban. Anjani terduduk di sisi trotoar bagaikan seorang pengemis yang sedang memohon belas kasihan. Kepalanya tertunduk bertopang tangan yang ia sedekapkan memeluk kedua lututnya.

Sejenak ingatannya kembali memutar sebuah kejadian yang menjadi awal dari segala deritanya. Tepatnya dua tahun lalu, saat sebuah kecelakaan menimpanya, tepat di depan tempat ia bersandar saat ini. Kecelakaan akibat kelalaian pengendara mobil yang sempat membuatnya kehilangan kesempatan memandang keindahan alam semesta.

Korneanya rusak akibat terkena serpihan kaca mobil, ia dinyatakan buta untuk selamanya.

Namun keberuntungan masih berpihak kepadanya, ia dinyatakan selamat dan mendapatkan donor mata yang hingga kini tak ia ketahui siapa malaikat yang rela memberikan mata itu padanya.

Sejak kejadian itu lah, Paman dan Bibinya selalu menyalahkan Anjani, menganggapnya sebagai beban hidup dalam keluarga. Sebab akibat kecelakaan yang dialaminya, Paman Basuki dan Bibi Lestari harus mengeluarkan biaya untuk pengobatannya yang tak murah. Membuat mereka terpaksa harus berhutang ke Juragan Supeno dengan bunga yang tak kira-kira. Hutang yang membawanya ke dalam lubang nestapa sebab harus menjadi janda di malam pertama.

"Ya Allah ... Andai semua ini tak pernah terjadi. Andai aku tahu nasibku akan berujung seperti ini, mungkin aku akan lebih memilih selamanya buta ketimbang harus berkorban harga diri. Aku diperlakukan bagai sampah yang tak ada harganya. Rasanya sakit sekali Ya Allah ..." batin Anjani pilu, masih enggan mengangkat kepala dari tumpuannya.

Hingga sebuah pertanyaan terbesit di benaknya, "Sebenarnya kenapa Paman dan Bibi melakukan ini untukku? Untuk apa mereka rela membayar mahal demi agar aku bisa kembali melihat dunia?

Bukankah selama ini bahkan untuk biaya sekolahku pun mereka enggan mengupayakannya? Rasanya aneh.

Jika memang mereka melakukannya karena sayang padaku, lalu mengapa mereka memperalatku? Bahkan rela menjadikanku pembantu selamanya di rumah orang yang terang-terangan telah menghinakanku?" Anjani semakin merasakan kejanggalan dari sikap dan keputusan Paman dan Bibinya. Namun ia pun tak dapat memecahkannya.

Hingga rintik hujan mulai menetes membasahi kulitnya yang tak tertutupi busana. Suara guntur dan kilatan cahaya juga turut mendramatisir suasana. Anjani lalu memutuskan untuk lanjut berjalan, setidaknya mencari tempat untuk berteduh sementara waktu.

***PZ

Suara kicauan burung saling bersahutan meramaikan suasana pagi. Membangunkan Anjani yang tengah tidur beralaskan kardus di teras bangunan entah milik siapa.

Anjani memutuskan untuk berteduh di pertokoan yang ada di sisi jalan raya. Dan karena kondisi tubuhnya lelah, ia tertidur hingga pagi menyapa.

Perlahan Anjani bangkit dari posisi semula, memandang langit yang mulai berubah warna menjadi cerah.

"Sepertinya udah, pagi," gumamnya seraya mengusap wajah.

Ia menoleh ke kanan dan kiri. Kondisi masih sepi, bahkan lampu-lampu belum mati. Ia lalu memutuskan untuk berdiri dan membereskan kardus yang ia jadikan alas sebelum sang pemilik toko datang.

Sejenak ia merasakan perutnya lapar, beberapa kali juga sempat terdengar bersuara, meronta meminta agar segera diberikan haknya.

"Ya Allah, aku nggak pegang uang sepeserpun. Sebaiknya aku segera mencari pekerjaan. Seingatku nggak jauh dari sini ada agency ketenaga kerjaan. Mungkin aku bisa coba melamar di sana," batin Anjani kemudian berjalan mencari kantor agency yang ia ingat.

Sesampainya di sana, ternyata kantor itu masih tutup. Maklum saja, waktu masih menunjukkan pukul 06.00, dan biasanya toko-toko ini akan buka jam 8.

Sambil menunggu, Anjani memutuskan untuk mencari pekerjaan serabutan di pasar yang terletak tak jauh dari tempatnya berpijak saat ini. Ia berjalan dari satu warung ke warung lain untuk mendapatkan pekerjaan, walau sekedar diupah sepiring sarapan.

Ia mengabaikan orang-orang yang memandangnya aneh, mungkin karena ia yang masih mengenakan kebaya pengantin dengan penampilan yang acak-acakan. Baginya, yang terpenting saat ini adalah segera mendapatkan sarapan dan pekerjaan.

Namun ternyata, untuk mendapatkan sepiring sarapan itu tak semudah membalikkan tangan. Beberapa warung menolaknya dengan alasan tidak sedang membutuhkan jasanya. Namun hal itu tak membuatnya putus asa, ia terus berjalan menjajakan jasanya dari satu warung ke warung lainnya.

Hingga tiba-tiba, suara yang tak asing terdengar memanggilnya.

"Anjani!" pekik wanita paruh baya yang sedang berdiri tak jauh dari arah belakang Anjani.

"Bu Ambar? Itu kan suara Bu Ambar, istri juragan Supeno?" batin Anjani tanpa menolehkan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status