Share

Bab 3

Penulis: Bowieta
"Rumah sakit menagih biaya, tapi Kakak nggak bisa dihubungi ...."

"Apa?" Kakak mengernyit. Belum sempat berkata lebih jauh, Merry sudah berjalan mendekat.

"Nadia, cepat masuk. Sudah agak baikan? Harus bayar, 'kan? Biar aku yang transfer untukmu."

"Biar aku saja," ujar Kakak, lalu langsung mentransfer 200 juta ke rekeningku. "Cukup, 'kan?"

Aku mengangguk, lalu bersiap keluar untuk menebus kalungku.

"Kamu mau ke mana lagi?"

"Ambil kalungku, aku jadikan jaminan di rumah sakit."

Baru melangkah beberapa langkah, Merry menahanku. "Di luar sebentar lagi hujan, kamu baru keluar dari rumah sakit, jangan sembarangan. Biar sopir yang ambilkan."

Aku tidak ingin menyetujuinya, tetapi tatapan Kakak membuatku terdiam. Aku tahu, begitu aku menolak Merry, Kakak pasti marah.

Namun, sopir pergi lama dan kembali tanpa membawa kalungku. Perawat mengatakan kalung itu hilang.

"Gimana bisa hilang? Kok bisa? Baru dua jam, kenapa bisa hilang? Aku jelas sudah bilang akan menebusnya dengan uang!"

"Orang di rumah sakit banyak, kami juga nggak tahu. Palingan, biaya pengobatanmu kami anggap lunas saja."

Aku meraih tangan perawat itu, terus memohon, terus bertanya.

"Cukup! Jangan bikin malu! Itu kalung peninggalan Ibu! Gimana bisa kamu sembarangan menitipkannya? Sekarang hilang, salah siapa?" Kakak menarikku, lalu meminta maaf pada perawat dan menyeretku pulang.

"Aku akan suruh orang cari. Jangan keluar lagi, buat aku malu saja. Ngapain teriak-teriak di tempat umum?"

Bentakannya membuatku tidak bisa lagi berkata apa pun.

Aku mengurung diri di kamar, semalaman tak bisa tidur. Entah kenapa, kehilangan kalung itu membuatku begitu takut dan panik.

Mungkin karena itu satu-satunya peninggalan yang masih menjadi milikku, tetapi aku tetap tak mampu menjaganya.

Malam itu aku bermimpi. Aku bermimpi bertemu Ibu. Dia mengelus wajahku, senyumannya lembut penuh kasih. "Sayangku, kenapa jadi kurus begini? Kakakmu nggak menjagamu dengan baik ya?"

Aku menahan tangis, memeluk Ibu sambil menangis tersedu-sedu. "Siapa yang berani menyakiti putriku? Ibu akan menegurnya. Kakakmu ya?"

"Bukan, Ibu. Kakak sangat baik padaku." Namun, air mataku tak berhenti jatuh. "Ibu, aku kangen sekali. Aku sangat lelah. Aku kehilangan kalung yang Ibu berikan padaku. Aku benar-benar nggak berguna."

Seharian penuh aku bersembunyi di kamar, tidak ingin bertemu siapa pun. Kakak tidak datang menanyakan keadaanku, tetapi Merry justru mendatangiku.

Melihat itu adalah Merry, aku ingin menutup pintu. Namun, Merry malah mengangkat dagunya, memperlihatkan kalung yang hilang itu.

"Itu ... kenapa ada padamu?" Saat aku tertegun, dia langsung mendorong pintu masuk.

"Kembalikan kalungku!"

"Kenapa harus kukembalikan? Kakakmu sudah memberikannya padaku. Dia bilang, kamu nggak pantas memakainya. Hanya aku yang layak." Merry menghindar dari tanganku, lalu dengan penuh kebanggaan memamerkannya.

"Itu peninggalan ibuku! Kembalikan padaku!"

Segala hal bisa kuabaikan, tetapi hanya kalung itu tidak bisa. Aku hendak meraih, tetapi dia terus mundur. Ketika aku menerjang, dia sigap menghindar lagi. Melihatku jatuh tersungkur dengan memalukan, dia tertawa puas.

"Hahaha! Lihat dirimu sekarang, apa masih seperti primadona sekolah dulu? Sekarang kamu cuma jadi bahan tertawaan. Kamu seperti seekor anjing."

Saat aku mencoba bangkit, dia menendang punggungku, lalu menginjak tanganku yang berusaha meraih.

"Apa bedanya hidupmu ini dengan kematian? Nadia, kakakmu sudah nggak menginginkanmu. Di rumah ini, kamu hanyalah orang yang paling nggak berguna!"

Dia membawa kalung itu ke jendela, perlahan melepaskan genggaman. "Kamu mau kalung ini ya? Hahaha, aku nggak akan memberikannya."

"Ah!" Aku meraih kakinya, lalu mendorongnya sekuat tenaga, seperti orang gila yang menerjang. "Merry! Kamu sudah merebut Kakak dariku! Rumah ini pun sudah kamu rebut! Kenapa masih nggak mau melepaskanku?"

Aku tidak tahu bagaimana semua itu terjadi. Saat sadar, Merry sudah terkapar di lantai, menangis menahan perutnya.

"Merry!" Kakak berdiri di pintu, wajahnya dipenuhi kejutan dan kemarahan. Dia berteriak memanggil nama Merry.

"Perutku sakit ...." Merry menangis, menatapku. "Nadia, kenapa kamu mendorongku ...."

Tamparan Kakak menghantam wajahku dengan keras. Aku terjatuh, kepalaku berdengung.

"Nadia! Kamu terlalu jahat! Sudah sekian lama kuhukum, tapi kamu masih nggak bertobat! Aku nggak ingin melihatmu lagi!"

Dia menggendong Merry dan buru-buru pergi. Aku menutupi wajah, melihat tatapan penuh kebencian dari Merry. Bibirnya tanpa suara berkata, riwayatmu sudah tamat.

Pemandangan itu persis dengan malam pesta kelulusan dulu. Rasa takut yang tak terucapkan menyembul dari dalam hatiku.

Aku akan dikirim kembali ke tempat gelap itu! Kakak tidak menginginkanku lagi! Tidak! Aku tidak mau kembali ke sana!

Ketakutan besar membuatku menangis. Aku berlari mengejar, memegang lengan Kakak. "Aku nggak mendorongnya! Kakak! Tolong percaya aku!"

"Lepaskan! Merry lagi hamil! Yang kamu lakukan itu pembunuhan! Seharusnya aku nggak pernah mengizinkanmu keluar dari sekolah itu! Nadia, gimana aku bisa punya adik sejahat kamu? Kenapa kamu nggak mati saja?"

Dia menepis tanganku, lalu seperti dulu, pergi tanpa menoleh.

Wajahku sakit, tetapi di kepalaku terus terngiang satu kalimat. "Kenapa kamu nggak mati saja?"

Kalimat itu tumpang tindih dengan hari-hari menyiksa di sekolah.

"Kakak, kamu nggak tahu ... aku sudah lama berpikir untuk mati ...." Aku menggulung lengan baju. Lengan itu penuh bekas luka, bukti bahwa aku pernah beberapa kali tak sanggup bertahan hidup.

Aku berdiri di jendela, menatap ke bawah, ke arah tempat kalung itu jatuh. Kemudian, aku menghubungi nomor Kakak.

"Kak, kalau aku mati, apa saat itu kamu akan percaya padaku? Aku nggak mendorongnya ... dia yang mengambil kalung Ibu."

"Kalau begitu, kamu mati saja!" Suara Kakak di seberang telepon penuh amarah.

Aku duduk di jendela, melemparkan ponselku, lalu tersenyum putus asa. Perlahan-lahan, aku memejamkan mata dan menjatuhkan tubuhku ke belakang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 7

    Saat pulang, jejak Merry di rumah sudah dibersihkan. Tempat itu kembali seperti yang kuingat dulu.Aku berjalan ke loteng, tetapi Kakak menahanku. "Ini baru kamarmu, Nadia. Kakak nggak akan membiarkanmu tersakiti lagi."Aku memegang tas kecilku dan menggeleng. "Tidur di mana pun sama saja. Nanti setelah aku sembuh, aku akan kerja dan pindah."Ekspresi Kakak berubah. "Kenapa mau pindah? Ini rumahmu, Nadia."Aku menggeleng. "Bukan. Ini rumah Kakak. Aku ingin punya tempat yang aman, yang nggak bisa diusir sewaktu-waktu. Aku nggak mau dikirim lagi ke tempat itu."Kakak meneteskan air mata, lalu berlutut di hadapanku. "Nadia, hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Kakak janji."Agar aku tenang, Kakak membawaku ke notaris, memindahkan kepemilikan rumah atas namaku, bahkan memberikan semua asetnya.Dia mengamati lukaku, lalu menyalin semua luka itu ke tubuhnya sendiri. Meskipun darah bercucuran dan wajahnya pucat, dia tetap tersenyum."Aku sudah menebus semuanya, Nadia. Aku menanggung semua

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 6

    Sebelum Merry selesai berbicara, tiba-tiba lehernya dicekik oleh Kakak dan tubuhnya dihantamkan ke dinding. Tatapan Kakak dipenuhi niat membunuh yang dingin, seakan-akan ingin melahapnya hidup-hidup."Nggak boleh lagi ada sepatah kata pun yang menjelekkan Nadia! Dasar wanita jahat! Kamu yang mengambil kalung itu! Kamu yang memprovokasi Nadia dengan kalung itu! Kamu yang memfitnah dia mendorongmu!""Aku nggak melakukan itu.""Kamu masih berani menyangkal! Aku sudah melihat rekaman CCTV, juga rekaman malam perpisahan dulu! Nadia sama sekali nggak mendorongmu! Semua itu hanya sandiwara yang kamu buat sendiri! Kamu yang membunuh adikku! Pembunuh!"Kakak menggunakan seluruh tenaganya. Awalnya Merry masih bisa meronta, tetapi segera dia dicekik sampai meneteskan air mata."Lepaskan aku ... uhuk, uhuk ... aku dijebak ....""Aku sudah melihat buktinya! Kamu masih berani membantah! Kembalikan adikku!""Tolong! Tolong!"Melihat Kakak sudah kehilangan kendali, Merry panik ketakutan dan berteriak

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 5

    "CCTV di luar vilamu juga sudah kutemukan. Dari sana terlihat kalung itu dilempar keluar lewat jendela. Aku sudah menyuruh orang mencarinya di sekitar, hanya saja sudah berlalu beberapa hari, entah masih bisa ditemukan atau nggak."Ekspresi Kakak hancur. Dia berusaha keras tetap terlihat tenang. "Baiklah. Ada satu hal lagi, meski sudah lama berlalu, tolong bantu selidiki dengan jelas."Seluruh dirinya tampak runtuh. Dia terduduk lama di lantai, tak sanggup mencerna kabar itu. Entah saat ini apakah dia teringat kalau di detik terakhir aku melompat, aku hanya menunggu satu kalimat darinya, yaitu aku percaya padamu.Namun, dia tidak mengatakannya. Itulah hal terakhir yang menghancurkanku.Kakak berulang kali melihat barang-barang yang kutinggalkan. Saat dia menemukan kertas-kertas kecil yang kuselipkan di dalam boneka beruang, dia akhirnya benar-benar hancur.[ Kak, aku ingin pulang! Aku sakit sekali! Kak! Tubuhku penuh luka, jelek sekali, sakit sekali. ][ Kak, apa aku akan mati? Aku ing

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 4

    Aku tidak merasakan sakit. Semua itu datang begitu cepat. Aku justru merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena mulai sekarang, aku tidak akan pernah merasa sakit lagi.Dalam kesadaran yang samar, aku teringat tak lama setelah Ibu meninggal, aku sakit parah. Saat itu, Kakak sangat panik sampai terus menjagaku di sisi tempat tidur. Aku sering mendengar suaranya dalam tidurku. Dia memanggil namaku berulang kali, mengusap keningku dengan lembut.Ketika demamku reda dan aku terbangun, aku melihat mata Kakak memerah. Dia menangis. "Nadia, aku mohon, kamu harus sembuh, jangan tinggalkan Kakak. Kakak hanya punya kamu. Kalau kamu kenapa-napa, Kakak nggak tahu gimana harus hidup."Namun, mata yang memerah itu perlahan berubah menjadi tatapan dingin penuh benci. "Kenapa kamu nggak mati saja?"Kakak, aku akan mati sekarang. Apa sekarang kamu bahagia? Namun ... kenapa sepertinya Kakak sedang menangis?Aku merasa seperti sedang bermimpi, seakan-akan jiwaku terlepas dari tubuh

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 3

    "Rumah sakit menagih biaya, tapi Kakak nggak bisa dihubungi ....""Apa?" Kakak mengernyit. Belum sempat berkata lebih jauh, Merry sudah berjalan mendekat."Nadia, cepat masuk. Sudah agak baikan? Harus bayar, 'kan? Biar aku yang transfer untukmu.""Biar aku saja," ujar Kakak, lalu langsung mentransfer 200 juta ke rekeningku. "Cukup, 'kan?"Aku mengangguk, lalu bersiap keluar untuk menebus kalungku."Kamu mau ke mana lagi?""Ambil kalungku, aku jadikan jaminan di rumah sakit."Baru melangkah beberapa langkah, Merry menahanku. "Di luar sebentar lagi hujan, kamu baru keluar dari rumah sakit, jangan sembarangan. Biar sopir yang ambilkan."Aku tidak ingin menyetujuinya, tetapi tatapan Kakak membuatku terdiam. Aku tahu, begitu aku menolak Merry, Kakak pasti marah.Namun, sopir pergi lama dan kembali tanpa membawa kalungku. Perawat mengatakan kalung itu hilang."Gimana bisa hilang? Kok bisa? Baru dua jam, kenapa bisa hilang? Aku jelas sudah bilang akan menebusnya dengan uang!""Orang di rumah

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 2

    "Ini rumah Kakak, bagaimanapun pengaturannya tentu terserah Kakak. Di sini juga bagus, nggak masalah aku tinggal di sini." Aku menunduk, berbicara pelan.Ekspresi Kakak sulit kupahami, seolah-olah dia tidak senang. Aku semakin gelisah. Padahal aku sudah menurutinya, mengalah pada orang yang paling dia sayangi, tetapi kenapa dia tetap tidak puas?Yang paling menyiksa adalah saat makan bersama mereka. Meja penuh dengan hidangan lezat. Kakak menyendokkan makanan untuk Merry sambil tertawa bahagia. Sementara itu, aku hanya menunduk dan diam, memakan nasi putih di piring."Kenapa kamu nggak makan lauk, Nadia?" tanya Merry yang meletakkan sepotong daging kambing ke piringku.Aku tidak memakannya, hanya diam-diam memindahkannya ke samping."Nadia pasti punya masalah denganku. Aku kasih lauk, dia malah nggak mau makan." Wajah Merry tampak sedih, Kakak pun langsung memasang ekspresi dingin."Nadia! Makan lauknya! Wajah masammu itu mau ditunjukkan kasih siapa?"Aku mengangkat kepala, hatiku tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status