Share

Bab 2

Auteur: Bowieta
"Ini rumah Kakak, bagaimanapun pengaturannya tentu terserah Kakak. Di sini juga bagus, nggak masalah aku tinggal di sini." Aku menunduk, berbicara pelan.

Ekspresi Kakak sulit kupahami, seolah-olah dia tidak senang. Aku semakin gelisah. Padahal aku sudah menurutinya, mengalah pada orang yang paling dia sayangi, tetapi kenapa dia tetap tidak puas?

Yang paling menyiksa adalah saat makan bersama mereka. Meja penuh dengan hidangan lezat. Kakak menyendokkan makanan untuk Merry sambil tertawa bahagia. Sementara itu, aku hanya menunduk dan diam, memakan nasi putih di piring.

"Kenapa kamu nggak makan lauk, Nadia?" tanya Merry yang meletakkan sepotong daging kambing ke piringku.

Aku tidak memakannya, hanya diam-diam memindahkannya ke samping.

"Nadia pasti punya masalah denganku. Aku kasih lauk, dia malah nggak mau makan." Wajah Merry tampak sedih, Kakak pun langsung memasang ekspresi dingin.

"Nadia! Makan lauknya! Wajah masammu itu mau ditunjukkan kasih siapa?"

Aku mengangkat kepala, hatiku terasa sesak. "Aku nggak bisa makan ini."

Aku memang alergi pada banyak makanan. Dulu di meja makan rumah kami, tidak pernah ada makanan yang tidak bisa kumakan. Namun sekarang, tidak ada satu pun yang bisa kumakan.

Kakak ... sudah lupa.

"Kenapa nggak bisa dimakan? Merry ingin akrab denganmu, jangan nggak tahu diri. Cepat makan dagingnya."

"Sudahlah, salahku. Hari ini pelayan memang masak semua makanan kesukaanku. Nadia baru pulang, wajar kalau dia nggak senang. Nadia, kalau ada yang kamu mau makan, aku bakal suruh pelayan buatkan lagi." Tatapan Merry penuh dengan kesombongan yang disengaja.

Namun, hal-hal seperti ini sudah tak mampu membuatku marah lagi.

"Mana boleh semanja itu. Hanya karena kamu nggak suka, bukan berarti nggak bisa makan. Nadia, jangan bikin semua orang kesal. Belajarlah lebih dewasa."

Wajahnya tegang, alisnya berkerut erat. Itu adalah tanda dia akan marah. Seperti biasa, dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Baginya, semuanya selalu salahku.

Namun, di sekolah aku sudah diajarkan bahwa aku harus mendengarkan kata-kata Kakak karena dia yang menghidupiku. Aku tidak boleh membuat Kakak marah. Kalau tidak, aku yang bersalah.

"Baiklah, aku makan." Aku menunduk, lalu memasukkan potongan besar daging itu ke mulut, hanya untuk meredakan ketegangan ini.

Melihatku menelan, kerutan di alis Kakak akhirnya mengendur.

Aku menahan rasa mual yang bergejolak. Apa pun yang mereka ambilkan untukku, aku makan.

Namun, leher dan seluruh tubuhku mulai terasa gatal, bahkan tenggorokan seperti dicekik. Tanganku yang gemetar tak mampu lagi memegang sendok, lalu aku jatuh tersungkur.

"Ah!" Merry menjerit, bersembunyi ke dalam pelukan Kakak. Refleks pertama Kakak adalah merangkulnya.

Hingga aku susah payah meraih ponsel di lantai, menelepon ambulans, barulah dia seperti tersadar. "Kamu kenapa?"

Melihat bintik-bintik merah menyebar di tubuhku, Kakak akhirnya panik. "Alergi! Kamu alergi daging kambing! Gimana bisa aku lupa!"

Saat dibawa ke rumah sakit, aku hampir tak bisa bernapas. Untungnya, aku masih bisa diselamatkan.

Kakak duduk di samping ranjangku, sepenuh hati menenangkan wanita yang menangis di pelukannya.

"Ini semua salahku. Kalau saja aku nggak mengambilkan lauk untuknya, dia nggak bakal makan, lalu alergi."

"Jangan salahkan dirimu, ini bukan salahmu. Dia yang bodoh. Sudah tahu alergi, masih saja makan."

Heh ... ternyata memang salahku.

"Kamu sudah sadar, Nadia." Merry menyeka air matanya, lalu berpura-pura menghampiriku dengan gembira.

Kakak lebih dulu berbicara, "Kalau tahu alergi, kenapa nggak bilang? Kenapa tetap memakannya?"

"Aku sudah bilang aku nggak bisa makan. Tapi kalau aku nggak makan, Kakak akan marah."

Mendengar itu, Kakak malah semakin marah. "Kamu sengaja ya? Kamu ingin balas dendam? Membuatku merasa bersalah?"

Memangnya aku yang memaksa untuk makan? Kakak ini benar-benar pelupa.

Aku menggeleng dengan panik, tak tahu apa lagi yang salah. Namun, aku tetap harus mengaku, "Aku yang salah, Kak. Tapi aku nggak sengaja. Tolong, jangan marah."

"Kamu ...." Kakak menatapku, menarik napas panjang, lalu segera menarik Merry keluar dengan wajah kesal. Dia tidak datang menjengukku lagi.

Setelah dua hari di rumah sakit, perawat mulai menagih biaya pengobatan. Aku membuka ponsel dengan panik. Saldoku tidak cukup.

"Boleh aku telepon keluarga dulu?"

Perawat itu mengangkat alis dengan heran. "Silakan."

Namun, Kakak tidak mengangkat teleponku. Aku sudah berkali-kali menelepon. Perawat pun menjadi tidak sabar. "Gimana?"

"Aku akan bayar."

Tatapannya membuatku menunduk, wajahku panas karena malu.

Sehari kemudian, aku tetap tidak bisa menghubungi Kakak. Perawat kembali menagih. "Jangan-jangan kamu nggak bisa bayar, makanya menunda-nunda? Sepertinya kamu sudah dewasa ya? Apa keluargamu benar-benar nggak bisa dihubungi? Mau aku bantu lapor polisi?"

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan. "Aku bisa meninggalkan barang di sini sebagai jaminan. Nanti aku akan pulang ambil uang, lalu bayar biaya pengobatan."

Kalung di leherku adalah peninggalan Ibu. Ibu yang memakaikannya padaku sebelum meninggal. Pada malam-malam panjang yang tak tertahankan di sekolah, hanya kalung itu yang menjadi penopang jiwaku. Ini juga satu-satunya barang berharga yang kupunya.

Rumah sakit akhirnya menerima kalung itu sebagai jaminan, aku pun bisa pulang.

"Benar, arah ke sana?" Entah kenapa, ingatanku semakin buruk, aku sering tidak mengenali jalan.

Dengan bantuan polisi, akhirnya aku sampai di rumah saat malam tiba.

Aku berdiri menggigil di depan pintu. Namun, pintu sudah tak mengenali sidik jariku. Aku tidak bisa masuk.

Dari jendela, aku mendengar tawa mereka.

"Hadiah untukmu, suka nggak?"

"Cincin ini indah sekali. Berlian merah muda. Pasti mahal ya?"

"Aku lihat di balai lelang. Aku yakin kamu suka, jadi kubeli. Asalkan kamu suka, berapa pun harganya nggak masalah."

Tatapan Kakak pada Merry begitu lembut. Merry tersenyum bahagia dalam pelukannya.

Sesaat, aku terhanyut dalam kebingungan. Dulu setiap ulang tahunku, Kakak selalu jauh-jauh hari menyiapkan hadiah dengan sepenuh hati. Waktu itu, tatapannya padaku juga begitu lembut.

Aku mengetuk pintu berkali-kali. Akhirnya, Kakak datang membuka. "Kamu?"

Dia terlihat agak terkejut. "Kenapa nggak kasih kabar dulu sebelum pulang?"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 7

    Saat pulang, jejak Merry di rumah sudah dibersihkan. Tempat itu kembali seperti yang kuingat dulu.Aku berjalan ke loteng, tetapi Kakak menahanku. "Ini baru kamarmu, Nadia. Kakak nggak akan membiarkanmu tersakiti lagi."Aku memegang tas kecilku dan menggeleng. "Tidur di mana pun sama saja. Nanti setelah aku sembuh, aku akan kerja dan pindah."Ekspresi Kakak berubah. "Kenapa mau pindah? Ini rumahmu, Nadia."Aku menggeleng. "Bukan. Ini rumah Kakak. Aku ingin punya tempat yang aman, yang nggak bisa diusir sewaktu-waktu. Aku nggak mau dikirim lagi ke tempat itu."Kakak meneteskan air mata, lalu berlutut di hadapanku. "Nadia, hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Kakak janji."Agar aku tenang, Kakak membawaku ke notaris, memindahkan kepemilikan rumah atas namaku, bahkan memberikan semua asetnya.Dia mengamati lukaku, lalu menyalin semua luka itu ke tubuhnya sendiri. Meskipun darah bercucuran dan wajahnya pucat, dia tetap tersenyum."Aku sudah menebus semuanya, Nadia. Aku menanggung semua

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 6

    Sebelum Merry selesai berbicara, tiba-tiba lehernya dicekik oleh Kakak dan tubuhnya dihantamkan ke dinding. Tatapan Kakak dipenuhi niat membunuh yang dingin, seakan-akan ingin melahapnya hidup-hidup."Nggak boleh lagi ada sepatah kata pun yang menjelekkan Nadia! Dasar wanita jahat! Kamu yang mengambil kalung itu! Kamu yang memprovokasi Nadia dengan kalung itu! Kamu yang memfitnah dia mendorongmu!""Aku nggak melakukan itu.""Kamu masih berani menyangkal! Aku sudah melihat rekaman CCTV, juga rekaman malam perpisahan dulu! Nadia sama sekali nggak mendorongmu! Semua itu hanya sandiwara yang kamu buat sendiri! Kamu yang membunuh adikku! Pembunuh!"Kakak menggunakan seluruh tenaganya. Awalnya Merry masih bisa meronta, tetapi segera dia dicekik sampai meneteskan air mata."Lepaskan aku ... uhuk, uhuk ... aku dijebak ....""Aku sudah melihat buktinya! Kamu masih berani membantah! Kembalikan adikku!""Tolong! Tolong!"Melihat Kakak sudah kehilangan kendali, Merry panik ketakutan dan berteriak

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 5

    "CCTV di luar vilamu juga sudah kutemukan. Dari sana terlihat kalung itu dilempar keluar lewat jendela. Aku sudah menyuruh orang mencarinya di sekitar, hanya saja sudah berlalu beberapa hari, entah masih bisa ditemukan atau nggak."Ekspresi Kakak hancur. Dia berusaha keras tetap terlihat tenang. "Baiklah. Ada satu hal lagi, meski sudah lama berlalu, tolong bantu selidiki dengan jelas."Seluruh dirinya tampak runtuh. Dia terduduk lama di lantai, tak sanggup mencerna kabar itu. Entah saat ini apakah dia teringat kalau di detik terakhir aku melompat, aku hanya menunggu satu kalimat darinya, yaitu aku percaya padamu.Namun, dia tidak mengatakannya. Itulah hal terakhir yang menghancurkanku.Kakak berulang kali melihat barang-barang yang kutinggalkan. Saat dia menemukan kertas-kertas kecil yang kuselipkan di dalam boneka beruang, dia akhirnya benar-benar hancur.[ Kak, aku ingin pulang! Aku sakit sekali! Kak! Tubuhku penuh luka, jelek sekali, sakit sekali. ][ Kak, apa aku akan mati? Aku ing

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 4

    Aku tidak merasakan sakit. Semua itu datang begitu cepat. Aku justru merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena mulai sekarang, aku tidak akan pernah merasa sakit lagi.Dalam kesadaran yang samar, aku teringat tak lama setelah Ibu meninggal, aku sakit parah. Saat itu, Kakak sangat panik sampai terus menjagaku di sisi tempat tidur. Aku sering mendengar suaranya dalam tidurku. Dia memanggil namaku berulang kali, mengusap keningku dengan lembut.Ketika demamku reda dan aku terbangun, aku melihat mata Kakak memerah. Dia menangis. "Nadia, aku mohon, kamu harus sembuh, jangan tinggalkan Kakak. Kakak hanya punya kamu. Kalau kamu kenapa-napa, Kakak nggak tahu gimana harus hidup."Namun, mata yang memerah itu perlahan berubah menjadi tatapan dingin penuh benci. "Kenapa kamu nggak mati saja?"Kakak, aku akan mati sekarang. Apa sekarang kamu bahagia? Namun ... kenapa sepertinya Kakak sedang menangis?Aku merasa seperti sedang bermimpi, seakan-akan jiwaku terlepas dari tubuh

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 3

    "Rumah sakit menagih biaya, tapi Kakak nggak bisa dihubungi ....""Apa?" Kakak mengernyit. Belum sempat berkata lebih jauh, Merry sudah berjalan mendekat."Nadia, cepat masuk. Sudah agak baikan? Harus bayar, 'kan? Biar aku yang transfer untukmu.""Biar aku saja," ujar Kakak, lalu langsung mentransfer 200 juta ke rekeningku. "Cukup, 'kan?"Aku mengangguk, lalu bersiap keluar untuk menebus kalungku."Kamu mau ke mana lagi?""Ambil kalungku, aku jadikan jaminan di rumah sakit."Baru melangkah beberapa langkah, Merry menahanku. "Di luar sebentar lagi hujan, kamu baru keluar dari rumah sakit, jangan sembarangan. Biar sopir yang ambilkan."Aku tidak ingin menyetujuinya, tetapi tatapan Kakak membuatku terdiam. Aku tahu, begitu aku menolak Merry, Kakak pasti marah.Namun, sopir pergi lama dan kembali tanpa membawa kalungku. Perawat mengatakan kalung itu hilang."Gimana bisa hilang? Kok bisa? Baru dua jam, kenapa bisa hilang? Aku jelas sudah bilang akan menebusnya dengan uang!""Orang di rumah

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 2

    "Ini rumah Kakak, bagaimanapun pengaturannya tentu terserah Kakak. Di sini juga bagus, nggak masalah aku tinggal di sini." Aku menunduk, berbicara pelan.Ekspresi Kakak sulit kupahami, seolah-olah dia tidak senang. Aku semakin gelisah. Padahal aku sudah menurutinya, mengalah pada orang yang paling dia sayangi, tetapi kenapa dia tetap tidak puas?Yang paling menyiksa adalah saat makan bersama mereka. Meja penuh dengan hidangan lezat. Kakak menyendokkan makanan untuk Merry sambil tertawa bahagia. Sementara itu, aku hanya menunduk dan diam, memakan nasi putih di piring."Kenapa kamu nggak makan lauk, Nadia?" tanya Merry yang meletakkan sepotong daging kambing ke piringku.Aku tidak memakannya, hanya diam-diam memindahkannya ke samping."Nadia pasti punya masalah denganku. Aku kasih lauk, dia malah nggak mau makan." Wajah Merry tampak sedih, Kakak pun langsung memasang ekspresi dingin."Nadia! Makan lauknya! Wajah masammu itu mau ditunjukkan kasih siapa?"Aku mengangkat kepala, hatiku tera

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status