Saat ini aku sudah berada di rumah, tepatnya di dalam kamar. Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, meski rasanya mataku susah terpejam.
Jiwa dan ragaku begitu lelah, terasa ada beban yang menumpuk di pundakku, apalagi saat mengingat wajah paklik dan bulik yang kecewa mendengar jawabanku, karena aku mengiyakan menerima lamaran Gus Ibrahim.
Aku bingung harus berbuat apa, apakah harus lari dari kenyataan dan meninggalkan ibu, ataukah harus bertahan dengan mengikuti keputusan ibu.
Apapun alasannya aku adalah anak pertama di rumah ini, yang seharusnya membantu ibu meringankan beban dan tanggung jawabnya.
Demi kami bertiga ibu tidak menikah lagi, demi kami bertiga ibu tidak pernah memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Dan jika saat ini dia terlilit hutang yang begitu besar, itu pun untuk membiayai kehidupan kami.
Ibu tidak memiliki ketrampilan apapun saat ditinggalkan ayah pergi, toko kelontong di pasar, itulah satu-satunya warisan ayah.
Setelah masa Iddahnya usai, ibu mulai belajar mandiri, meneruskan usaha ayah berjualan, dengan keterampilan berdagang yang masih amatiran.
Sembari mengasuh kami bertiga, ibu menjalankan usahanya itu. Aku ingat ibu mengantarku ke sekolah dengan membawa dua adikku yang masih balita, dan setelah itu ibu membawa serta dua adikku berjualan di pasar.
Mengingat semua itu, akankah aku meninggalkan ibu, membiarkan dia menanggung sendiri masalah yang dia hadapi.
Aku mengusap air mataku yang deras mengalir, berat rasanya berada dalam dilema ini, karena dengan keputusanku membantu ibu akan banyak hati yang tersakiti. Bude Siti, Mbak Zahra, dan keluarga besarku semua. Aku hanya bisa berpasrah dan berdoa menyerahkan takdirku pada yang maha kuasa.
"Dreeeeeet!" tiba-tiba ku lihat handphone di meja belajarku bergetar. Segera aku bangun dari tempat tidurku dan meraih handphone itu, kugesek layarnya sembari kuterima telepon yang aku lihat dari ustadzahku saat di pesantren dulu.
"Assalamualaikum ustadzah Hafsah?" sapaku dalam telepon.
"Waalaikum salam," jawabnya. "Bagaimana kabar kamu Alifah?" tanyanya kemudian.
"Alhamdulillah, sehat ustadzah."
"Alifah, maaf mengganggu kamu malam-malam!" katanya. "Ustadzah hanya ingin menyampaikan salam dari salah satu ustadz di pesantren ini, yang berniat untuk mengkhitbahmu."
Aku tercengang saat mendengar kabar dari ustadzah Hafsah itu.
"Ustadz siapa ustadzah?" tanyaku penasaran.
"Ustadz Mirza."
Aku bergeming, dan tidak menyahuti jawaban ustadzah Hafsah.
"Insya Allah, dua minggu lagi keluarga Ustadz Mirza akan ke rumahmu untuk menyampaikan niat baik mereka mengkhitbah-mu," katanya kemudian.
Setelah mengatakan hal itu padaku, Ustadzah Hafsah mengakhiri percakapannya dengan beruluk salam.
Aku masih terdiam, tertegun, dan masih tidak percaya dengan kabar yang disampaikan oleh Ustadzah Hafsah.
Berlahan aku letakkan handphoneku di meja, dan kembali duduk di ranjang tidur.
Ustadz Mirza, dia adalah ustadz muda di pesantren, dan beliau pernah menjadi pembimbingku di kelas pidato bahasa Arab, salah satu program kegiatan di pesantren yang harus diikuti oleh semua Santriwati.
Aku masih tidak percaya Ustadz Mirza akan melamarku, apalagi yang aku tahu, lebih dari enam bulan yang lalu dia sudah keluar dari pesantren untuk melanjutkan pendidikan agamanya di Sudan.
Tak lama setelah aku memikirkan Ustadz Mirza, handphone di mejaku kembali bergetar, segera aku meraihnya dan menggesek layarnya. Kulihat sebuah nomor yang tidak aku kenal meneleponku.
"Assalamualaikum!" aku mengangkat telepon itu sembari mengucapkan salam.
"Waalaikum salam Alifah."
Aku berfikir, sepertinya aku mengenal suara itu.
"Ini siapa?" tanyaku
"Aku, Mirza," jawabnya.
"Oooh, Ustadz Mirza?"
"Maaf! aku mengganggu kamu malam-malam, aku mendapatkan nomer handphone kamu ini dari Ustadzah Hafsah, tidak apa-apa kan, aku meneleponmu?" tanyanya.
"Iya Ustadz tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ustadz? Aku dengar Ustadz mendapatan beasiswa ke Sudan, Masya Allah, aku ikut senang mendengarnya."
"Iya, terimakasih," jawab Ustadz Mirza. "Alhamdulillah aku sudah mengikuti satu semester perkuliahan," lanjutnya. "O iya Alifah, mmm, sebenarnya sebelum keberangkatanku melanjutkan pendidikan di Sudah, aku berniat untuk mengkhitbah-mu. Tapi karena jadwal keberangkatan yang tidak bisa diundur, akhirnya rencana itu tertunda," katanya kemudian padaku.
"Hmm!"
Aku tersenyum tipis saat mendengar kata-kata Ustadz Mirza.
"Alifah, sejujurnya aku mengagumi kamu, dan berniat untuk menghalalkan kamu setelah aku pulang ke Indonesia nanti."
Ungkapan Ustadz Mirza sontak membuat jantungku berdenyut.
"Jika kamu berkenan, aku ingin kamu menungguku, dan mengatakan kepada laki-laki yang ingin mendekatimu, kalau aku sudah mengkhitbahmu!" pintanya dengan suara penuh kesungguhan.
Aku menghelan nafas panjang dan sejenak berfikir sebelum memberikan jawaban.
"Insya Allah!"
"Terimakasih Alifah! Insya Allah keluargaku akan bersilaturahmi ke rumahmu," jawab laki-laki itu kemudian.
"Mmm, iya," sahutku, sembari kemudian berpamitan untuk mengakhiri telepon darinya. "Ustadz, aku mau shalat dulu, tidak apa-apa kan, teleponnya aku tutup? Assalamualaikum!"
"Iya! Waalaikum salam."
Jantungku masih berdegup kencang. Telepon dari Ustadz Mirza benar-benar membuat pikiranku tidak tenang.
Aku kembali berfikir, mungkinkah Ustadz Mirza serius akan melamarku. Ya Allah aku benar-benar bingung, gelisah, bercampur resah, sungguh aku butuh Allah untuk berkeluh kesah.
Tanpa berpikir panjang segera aku melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan kemudian kembali ke kamarku, menggelar sajadah, menunaikan sholat sunnah, membaca Al-Quran, dan memperbanyak berdzikir, hingga kantukku datang, dan aku dapat tertidur lelap.
Alhamdulillah, aku dapat melewati malam dengan beristirahat. Aku bahagia dan bersyukur masih dapat bernafas di pagi ini dengan merasakan kehangatan sinar mentari pagi.
Seperti biasa, di pagi hari, aku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah, menyapu, mengepel, dan mencuci piring, setelah itu menata makanan yang sudah ibu masak di meja makan.
Aku temani ibu sarapan pagi ini, sebelum wanita yang melahirkanku itu berangkat ke pasar untuk berjualan.
"Ibu, biasanya Ibu pagi ke pasar, ini sudah sangat siang?" tanyaku pada ibu saat berada di meja makan.
"Iya, ibu sudah minta tolong pada Mbak Murni untuk menjaga toko sampai ibu datang," jawab ibu dengan menyebut nama Mbak Murni, salah satu buruh harian yang ada di pasar.
"Bu, bagaimana jika ada seseorang yang ingin melamarku?" tanyaku lembut pada ibu.
Seketika ibu mengangkat kepalanya yang semula menunduk, matanya terlihat sayu menatapku.
"Ibu sudah pernah cerita, kan? Ibu sudah meminta mahar pernikahanmu kepada Gus Ibrahim, dan ibu juga sudah memakainya," sahut ibu dengan nada lesu.
Aku tersenyum tipis menanggapi jawaban ibu, wajah ibu yang tampak tidak bersemangat membuat aku merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu.
Terlihat setelah menjawab pertanyaan dariku, ibu beranjak dari kursinya, sembari mengambil tas yang biasa beliau bawa ke pasar.
"Ibu berangkat dulu!" pamitnya dengan mengusap-usap kepalaku.
Aku yang saat itu masih berada di meja makan, menjadi enggan menyantap makanan yang ada di hadapanku.
Kembali air mataku terjatuh. "Ibu, apakah harus dengan menjadi madu sepupuku, aku bisa berbakti pada ibu?" tanyaku dalam hati.
Bersambung
Sore ini aku dan ibu diundang untuk datang diacara pengajian keluarga yang diselenggarakan di rumah Paklik Gufron."Bu, aku nggak usah ikut ya!" kataku pada ibu."Kenapa? Ayo ikut, temani Ibu!" sahut ibu.Sebenarnya aku enggan untuk bertemu keluarga besarku, karena pasti kabar lamaran Gus Ibrahim untukku sudah terdengar di telinga mereka semua, dan rasanya aku tidak sanggup untuk menghadapi gunjingan atau pun komentar yang akan mereka tujukan padaku.Aku masuk ke dalam kamar, dan mengurung diri di tempat itu, berharap ibu tidak mengajak aku pergi."Alifah! Ayo cepat!"Kudengar beberapa menit kemudian ibu memanggilku. Wanita yang melahirkanku itu bersikeras untuk mengajak aku pergi bersamanya, menghadiri pengajian keluarga di rumah Paklik Gufron.Dengan berat hati, aku mengganti bajuku, dan ikut ibu untuk pergi menghadiri pengajian keluarga.Sesampai di sana terlihat sudah banyak saudaraku yang datang, entah kenapa aku merasa se
Tidak terasa air mataku semakin tumpah, ibu memintaku untuk pergi dari rumah ini saat acara pernikahanku dengan laki-laki dewasa yang dia pilihkan akan berlangsung.Aku berfikir, bagaimana ibu menanggung hutangnya jika aku benar-benar pergi. Terlebih, bagaimana malu yang akan ibu dapatkan di hadapan keluarga Gus Ibrahim. Memikirkan hal itu aku semakin tidak bisa berhenti menangis.Saat ini aku masih bersembunyi di kamar, aku menunggu waktu yang tepat bagaimana caranya aku bisa keluar dari pintu belakang dan lari dari rumah ini.Kudengar samar-samar suara di luar kamarku, kalau acara akan segera di mulai. Wali nikah, saksi, dan keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahanku dengan Gus Ibrahim juga telah siap menyaksikan ijab qobul yang akan berlangsung."Maaf! Alifah tidak ada di kamarnya!" kudengar ibu mengatakan hal itu pada semua tamu.Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, bukan takut ketahuan karena akan meninggalkan pernikahan ini, melainkan
Kulihat Gus Ibrahim menghampiriku yang saat ini sedang berada di dalam kamar.Laki-laki itu memperhatikan aku yang hanya menunduk di atas ranjang dengan masih berpakaian menutup aurat lengkap.Aku tahu ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai seorang istri, tapi aku adalah gadis remaja dengan usia belasan tahun, yang di dalam hati ini, tidak sudi disentuh oleh laki-laki seumuran Gus Ibrahim yang sama sekali tidak pernah aku sukai."Alifah! Jangan pernah takut denganku! Jika kamu tidak rela aku sentuh, aku juga tidak akan memaksamu!" kata laki-laki itu dengan lembut.Berlahan aku menoleh ke arahnya, ku pandang wajahnya yang tersenyum manis kepadaku. Dan saat itu mulai berlinang air mataku."Istirahatlah! Aku akan keluar dari kamarmu! Jika kamu merasa takut, kunci pintunya dari dalam!" katanya kemudian dengan beranjak pergi meninggalkanku.Aku terperangah melihat sikap Gus Ibrahim yang begitu baik padaku, bahkan dia mengijinkan aku mengunc
Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kama
Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan."Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da