Share

Part 2

Saat ini aku sudah berada di rumah, tepatnya di dalam kamar. Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, meski rasanya mataku susah terpejam.

Jiwa dan ragaku begitu lelah, terasa ada beban yang menumpuk di pundakku, apalagi saat mengingat wajah paklik dan bulik yang kecewa mendengar jawabanku, karena aku mengiyakan menerima lamaran Gus Ibrahim.

Aku bingung harus berbuat apa, apakah harus lari dari kenyataan dan meninggalkan ibu, ataukah harus bertahan dengan mengikuti keputusan ibu.

Apapun alasannya aku adalah anak pertama di rumah ini, yang seharusnya membantu ibu meringankan beban dan tanggung jawabnya.

Demi kami bertiga ibu tidak menikah lagi, demi kami bertiga ibu tidak pernah memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Dan jika saat ini dia terlilit hutang yang begitu besar, itu pun untuk membiayai kehidupan kami.

Ibu tidak memiliki ketrampilan apapun saat ditinggalkan ayah pergi, toko kelontong di pasar, itulah satu-satunya warisan ayah.

Setelah masa Iddahnya usai, ibu mulai belajar mandiri, meneruskan usaha ayah berjualan, dengan keterampilan berdagang yang masih amatiran.

Sembari mengasuh kami bertiga, ibu menjalankan usahanya itu. Aku ingat ibu mengantarku ke sekolah dengan membawa dua adikku yang masih balita, dan setelah itu ibu membawa serta dua adikku berjualan di pasar.

Mengingat semua itu, akankah aku meninggalkan ibu, membiarkan dia menanggung sendiri masalah yang dia hadapi.

Aku mengusap air mataku yang deras mengalir, berat rasanya berada dalam dilema ini, karena dengan keputusanku membantu ibu akan banyak hati yang tersakiti. Bude Siti, Mbak Zahra, dan keluarga besarku semua. Aku hanya bisa berpasrah dan berdoa menyerahkan takdirku pada yang maha kuasa.

"Dreeeeeet!" tiba-tiba ku lihat handphone di meja belajarku bergetar. Segera aku bangun dari tempat tidurku dan meraih handphone itu, kugesek layarnya sembari kuterima telepon yang aku lihat dari ustadzahku saat di pesantren dulu.

"Assalamualaikum ustadzah Hafsah?" sapaku dalam telepon.

"Waalaikum salam," jawabnya. "Bagaimana kabar kamu Alifah?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah, sehat ustadzah."

"Alifah, maaf mengganggu kamu malam-malam!" katanya. "Ustadzah hanya ingin menyampaikan salam dari salah satu ustadz di pesantren ini, yang berniat untuk mengkhitbahmu."

Aku tercengang saat mendengar kabar dari ustadzah Hafsah itu.

"Ustadz siapa ustadzah?" tanyaku penasaran.

"Ustadz Mirza."

Aku bergeming, dan tidak menyahuti jawaban ustadzah Hafsah.

"Insya Allah, dua minggu lagi keluarga Ustadz Mirza akan ke rumahmu untuk menyampaikan niat baik mereka mengkhitbah-mu," katanya kemudian.

Setelah mengatakan hal itu padaku, Ustadzah Hafsah mengakhiri percakapannya dengan beruluk salam.

Aku masih terdiam, tertegun, dan masih tidak percaya dengan kabar yang disampaikan oleh Ustadzah Hafsah.

Berlahan aku letakkan handphoneku di meja, dan kembali duduk di ranjang tidur.

Ustadz Mirza, dia adalah ustadz muda di pesantren, dan beliau pernah menjadi pembimbingku di kelas pidato bahasa Arab, salah satu program kegiatan di pesantren yang harus diikuti oleh semua Santriwati.

Aku masih tidak percaya Ustadz Mirza akan melamarku, apalagi yang aku tahu, lebih dari enam bulan yang lalu dia sudah keluar dari pesantren untuk melanjutkan pendidikan agamanya di Sudan.

Tak lama setelah aku memikirkan Ustadz Mirza, handphone di mejaku kembali bergetar, segera aku meraihnya dan menggesek layarnya. Kulihat sebuah nomor yang tidak aku kenal meneleponku.

"Assalamualaikum!" aku mengangkat telepon itu sembari mengucapkan salam.

"Waalaikum salam Alifah."

Aku berfikir, sepertinya aku mengenal suara itu.

"Ini siapa?" tanyaku

"Aku, Mirza," jawabnya.

"Oooh, Ustadz Mirza?"

"Maaf! aku mengganggu kamu malam-malam, aku mendapatkan nomer handphone kamu ini dari Ustadzah Hafsah, tidak apa-apa kan, aku meneleponmu?" tanyanya.

"Iya Ustadz tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ustadz? Aku dengar Ustadz mendapatan beasiswa ke Sudan, Masya Allah, aku ikut senang mendengarnya."

"Iya, terimakasih," jawab Ustadz Mirza. "Alhamdulillah aku sudah mengikuti satu semester perkuliahan," lanjutnya. "O iya Alifah, mmm, sebenarnya sebelum keberangkatanku melanjutkan pendidikan di Sudah, aku berniat untuk mengkhitbah-mu. Tapi karena jadwal keberangkatan yang tidak bisa diundur, akhirnya rencana itu tertunda," katanya kemudian padaku.

"Hmm!"

Aku tersenyum tipis saat mendengar kata-kata Ustadz Mirza.

"Alifah, sejujurnya aku mengagumi kamu, dan berniat untuk menghalalkan kamu setelah aku pulang ke Indonesia nanti."

Ungkapan Ustadz Mirza sontak membuat jantungku berdenyut.

"Jika kamu berkenan, aku ingin kamu menungguku, dan mengatakan kepada laki-laki yang ingin mendekatimu, kalau aku sudah mengkhitbahmu!" pintanya dengan suara penuh kesungguhan.

Aku menghelan nafas panjang dan sejenak berfikir sebelum memberikan jawaban.

"Insya Allah!"

"Terimakasih Alifah! Insya Allah keluargaku akan bersilaturahmi ke rumahmu," jawab laki-laki itu kemudian.

"Mmm, iya," sahutku, sembari kemudian berpamitan untuk mengakhiri telepon darinya. "Ustadz, aku mau shalat dulu, tidak apa-apa kan, teleponnya aku tutup? Assalamualaikum!"

"Iya! Waalaikum salam."

Jantungku masih berdegup kencang. Telepon dari Ustadz Mirza benar-benar membuat pikiranku tidak tenang.

Aku kembali berfikir, mungkinkah Ustadz Mirza serius akan melamarku. Ya Allah aku benar-benar bingung, gelisah, bercampur resah, sungguh aku butuh Allah untuk berkeluh kesah.

Tanpa berpikir panjang segera aku melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan kemudian kembali ke kamarku, menggelar sajadah, menunaikan sholat sunnah, membaca Al-Quran, dan memperbanyak berdzikir, hingga kantukku datang, dan aku dapat tertidur lelap.

Alhamdulillah, aku dapat melewati malam dengan beristirahat. Aku bahagia dan bersyukur masih dapat bernafas di pagi ini dengan merasakan kehangatan sinar mentari pagi.

Seperti biasa, di pagi hari, aku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah, menyapu, mengepel, dan mencuci piring, setelah itu menata makanan yang sudah ibu masak di meja makan.

Aku temani ibu sarapan pagi ini, sebelum wanita yang melahirkanku itu berangkat ke pasar untuk berjualan.

"Ibu, biasanya Ibu pagi ke pasar, ini sudah sangat siang?" tanyaku pada ibu saat berada di meja makan.

"Iya, ibu sudah minta tolong pada Mbak Murni untuk menjaga toko sampai ibu datang," jawab ibu dengan menyebut nama Mbak Murni, salah satu buruh harian yang ada di pasar.

"Bu, bagaimana jika ada seseorang yang ingin melamarku?" tanyaku lembut pada ibu.

Seketika ibu mengangkat kepalanya yang semula menunduk, matanya terlihat sayu menatapku.

"Ibu sudah pernah cerita, kan? Ibu sudah meminta mahar pernikahanmu kepada Gus Ibrahim, dan ibu juga sudah memakainya," sahut ibu dengan nada lesu.

Aku tersenyum tipis menanggapi jawaban ibu, wajah ibu yang tampak tidak bersemangat membuat aku merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu.

Terlihat setelah menjawab pertanyaan dariku, ibu beranjak dari kursinya, sembari mengambil tas yang biasa beliau bawa ke pasar.

"Ibu berangkat dulu!" pamitnya dengan mengusap-usap kepalaku.

Aku yang saat itu masih berada di meja makan, menjadi enggan menyantap makanan yang ada di hadapanku.

Kembali air mataku terjatuh. "Ibu, apakah harus dengan menjadi madu sepupuku, aku bisa berbakti pada ibu?" tanyaku dalam hati.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status