Share

Part 3

Sore ini aku dan ibu diundang untuk datang diacara pengajian keluarga yang diselenggarakan di rumah Paklik Gufron.

"Bu, aku nggak usah ikut ya!" kataku pada ibu.

"Kenapa? Ayo ikut, temani Ibu!" sahut ibu.

Sebenarnya aku enggan untuk bertemu keluarga besarku, karena pasti kabar lamaran Gus Ibrahim untukku sudah terdengar di telinga mereka semua, dan rasanya aku tidak sanggup untuk menghadapi gunjingan atau pun komentar yang akan mereka tujukan padaku.

Aku masuk ke dalam kamar, dan mengurung diri di tempat itu, berharap ibu tidak mengajak aku pergi.

"Alifah! Ayo cepat!"

Kudengar beberapa menit kemudian ibu memanggilku. Wanita yang melahirkanku itu bersikeras untuk mengajak aku pergi bersamanya, menghadiri pengajian keluarga di rumah Paklik Gufron.

Dengan berat hati, aku mengganti bajuku, dan ikut ibu untuk pergi menghadiri pengajian keluarga.

Sesampai di sana terlihat sudah banyak saudaraku yang datang, entah kenapa aku merasa seolah semua mata tertuju ke arahku. Ah, aku tepis perasaan itu, karena aku yakin itu hanya pikiranku yang terlalu terbawa rasa.

Saat aku hendak duduk di kursi yang sudah disediakan, kulihat Mbak Zahra sepupuku yang tidak lain adalah istri dari Gus Ibrahim melangkah masuk ke tempat ini. Sepertinya dia baru datang, dan aku pun segera menyapanya saat dia lewat di depanku.

"Mbak Zahra!" sapaku sembari meraih tangannya untuk bersalaman. "Mbak Zahra sendirian?" tanyaku saat melihat wanita ini masuk ke dalam rumah paklik sendirian.

"Iya aku sendirian, kenapa? Kamu mau ketemu suamiku?" tanyanya datar, seolah menyindirku, seraya kemudian melangkah pergi dengan acuh.

Masya Allah benar-benar terluka hatiku dengan sikap Mbak Zahra, tapi aku berfikir mungkin hati Mbak Zahra jauh lebih terluka dari pada hatiku.

Karena merasa tidak nyaman berada di tempat ini, akhirnya aku masuk ke dalam rumah paklik menuju kamar Mbah Ibu, nenekku yang sudah sepuh dan tidak lagi mampu untuk berjalan.

"Masya Allah, pulang dari pesantren kok ya merebut suami orang, ilmunya nggak barokah mungkin, ya?"

"Padahal lo cantik. Kan, bisa to cari suami yang bukan suami orang!"

Sekilas aku mendengar percakapan beberapa orang yang berada di dapur paklikku, dapur yang terletak tidak jauh dari kamar Mbah Ibu.

Mungkin saat ini mereka membicarakan diriku. Tentang kabar rencana pernikahanku dengan Gus Ibrahim, sungguh aku sangat sedih memikirkannya, tapi apa yang bisa aku lakukan, lari dari kenyataan, atau tetap bertahan melewatinya.

"Kenapa menangis?" tanya Mbah Ibu saat melihatku meneteskan air mata.

"Aku rindu nyantri mbah, aku ingin kembali ke pesantren," jawabku dengan menghapus air mata, sembari memijit kaki Mbah Ibu.

Satu jam, dua jam, hingga tiga jam, aku berada di kamar Mbah Ibu, hingga acara pengajian itu selesai.

Aku sengaja berdiam diri di dalam kamar, karena tidak sanggup rasanya jika aku harus bertemu dengan keluarga besarku, khususnya dengan keluarga Bude Siti, dan saudara-saudara kandung Mbak Zahra, karena pasti mereka akan memandangku dengan tatapan hina dan sebelah mata.

Satu jam setelah acara selesai akhirnya aku dan ibu berpamitan untuk pulang.

"Ibu heran, paklikmu itu tidak mau mengumumkan kepada sanak saudara tentang rencana pernikahanmu dengan Gus Ibrahim, padahal ibu kan ingin acara pernikahanmu itu dihadiri oleh semua keluarga," kata ibu saat kita baru sampai rumah.

"Apa karena ibu ini miskin, jadi pernikahan putri ibu tidak layak dihadiri oleh keluarga?" katanya lagi dengan wajah kesal. "Ibu tersinggung Alifah, mentang-mentang mereka semua orang kaya. Paklik kamu, Bude kamu, mereka seenaknya memperlakukan kita seperti ini," lanjutnya. "Mereka itu orang-orang yang nggak pernah tahu bagaimana susahnya hidup, jadi mudah meremehkan orang lain," keluh ibu kesal. "Awas saja nanti kalau kamu sudah menikah dengan Gus Ibrahim!" tambah ibu penuh kebencian.

"Ibu! Istighfar!" sahutku lembut dengan menggenggam tangan ibu. "Pernikahanku dengan Gus Ibrahim, kan hanya di bawah tangan? jadi tidak perlu mengundang siapapun," kataku. "Lagi pula, malu Bu! Jika harus mengundang banyak orang!"

Aku melepas tangan ibu sembari berjalan menuju kamar.

"Alifah, kenapa ibu harus malu? Gus Ibrahim bilang kamu akan dinikahi secara syah setelah itu."

Ibu menghentikan langkahku dengan suara lantangnya.

"Ibu! Ibu boleh tidak malu, tapi aku malu Bu! Aku akan menjadi istri kedua suami sepupuku, aku malu, Bu! Tolong Ibu mengerti! Biarlah pernikahanku ini menjadi penebus hutang Ibu! Setelah itu, kita perbaiki ekonomi keluarga kita, agar Ibu tidak terlilit hutang lagi, jangan sampai Aliya, dan Azzam, bernasib sama seperti aku! Harus menikah dengan orang kaya karena menanggung hutang!" tandasku dengan menoleh ke arah ibu.

"Alifah??"

Ibu menatapku dengan mengernyitkan dahi. Mungkin kata-kataku ini telah menyinggung perasaannya.

"Aku minta maaf, Bu!" ucapku kemudian seraya bergegas masuk ke dalam kamar.

Tak terasa air mataku kembali tumpah, aku menutup kamarku rapat, dan mengurung diri di sana. Jujur aku enggan keluar dan berdebat dengan ibu.

****

Hari pun berlalu, keesoknya, saat kami berada di meja makan.

"Satu Minggu lagi acara pernikahan kamu dengan Gus Ibrahim akan dilaksanakan," kata ibu di sela-sela sarapan pagi.

Aku mulai mengatur nafasku, seraya mengangkat wajahku yang saat itu menunduk, mencoba menatap mata ibu dengan mengangguk.

Kemudian aku lanjutkan sarapan, dan segera membereskan rumah setelah ibu berangkat ke pasar.

Rasanya telah habis air mataku, menangis pun takdir ini telah datang padaku, aku hanya meminta kepada Allah, agar aku sanggup berdiri di jalan yang telah ditetapkannya ini, hanya istighfar, dan istighfar yang aku sematkan di hati, agar kudapatkan hikmah di balik perjalan yang bagiku terasa rumit ini.

Tidak terasa waktu berlalu, hari berganti, dan satu Minggu telah tiba, saatnya pernikahanku akan dilaksanakan.

Sedih, gundah, resah, gelisah, malu, bercampur hingga berkecamuk di dalam hatiku.

Jujur rasanya aku ingin lari, apalagi saat kulihat meja akad yang sudah disiapkan untuk acara ijab qobul ku.

Aku akan menikah dengan pria tua yang usianya selisih dua puluh dua tahun denganku.

Derai air mataku mengalir deras, hingga riasan pengantin yang sudah menempel di wajahku terhapus oleh derasnya air mata.

Satu jam lagi, acara akad nikah akan dimulai. kulihat ibu membuka kamarku.

"Pergilah!" kata ibu saat menjejeriku duduk di ranjang tidur kamarku. "Maafkan ibu sudah melibatkan mu dalam masalah yang seharusnya ibu yang menanggungnya!" kata ibu dengan mengusap air mataku.

"Mbak Sri! Keluarga Gus Ibrahim sudah datang!"

Tiba-tiba Bulik Anna istri Paklik Gufron masuk ke dalam kamar mengabarkan kalau keluarga calon suamiku sudah datang.

"Iya, sebentar!" sahut ibu.

Kulihat setelah itu ibu menyentuh tanganku lembut.

"Pergilah! lewatlah pintu belakang!" kata ibu kemudian.

"Ibu!" gumamku dengan meneteskan air mata.

"Jangan pikirkan ibu! Jika keadaannya sudah lebih baik nanti, pulanglah!" kata ibu kemudian sembari meninggalkanku keluar dari kamar.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status