Share

Menjadi Madu
Menjadi Madu
Penulis: Anis _Mo

Part 1

Aku hanya bisa memandangi wajah ibu yang marah padaku, saat aku menolak keinginannya.

"Ibu, bagaimana mungkin Ibu mau menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, dia itu suami Mbak Zahra, Bu! Keponakan ibu sendiri?"

Aku mencoba membantah keinginan ibu yang ingin menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, seorang saudagar kaya raya, suami sepupuku.

"Alifah!" ibu kembali meninggikan suaranya. "Gus Ibrahim sudah melunasi semua biaya pendaftaran kuliah kamu, dan dia juga bersedia membiayai kuliah kamu sampai kamu menjadi sarjana," kata ibu dengan menekan suaranya.

"Ibu, aku rela meski tidak kuliah, biar aku kerja saja!"

Aku menghampiri ibu yang duduk di hadapanku, memohon padanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangannya.

"Kamu mau kerja apa dengan ijazah Aliyah kamu itu?" tanya ibu ketus dengan tidak melihatku.

"Aku bisa mengajar di yayasan Paklik Gufron, Bu!" sahutku dengan menyebut nama Paklik Gufron adik kandung ibuku yang memiliki sebuah yayasan pendidikan.

"Mau ngajar apa kamu dengan ijazahmu itu?"

"Aku bisa membantu mengajar PAUD, Bu! Setelah itu, jika sudah punya uang sendiri, aku bisa kuliah," jelasku meyakinkan ibu.

"Kamu pikir berapa gaji mengajar di PAUD, Nak? Dua ratus ribu, tiga ratus ribu, Nak! Apalagi dengan ijasah kamu yang hanya lulusan Aliyah itu. Kamu pikir cukup buat kuliah, dan buat membayar hutang ibu kepada Gus Ibrahim?"

Aku meneteskan air mata, melihat ibu yang meneriakiku dengan menangis.

"Kamu pikir selama ini kamu dan adik-adik kamu sekolah siapa yang membiayai? Ibu dapat hutang, Nak! Ibu hutang kesana-kesini, karena jualan ibu di pasar sepi, dan Gus Ibrahim yang sering membantu ibu," terang ibu dengan masih menangis.

"Ibu juga sudah meminta mahar pernikahanmu pada Gus Ibrahim, dan ibu juga sudah memakainya untuk menebus sertifikat toko yang ibu gadaikan di bank."

Air mataku semakin tumpah saat mendengar penjelasan ibu. Aku melepaskan genggaman tanganku, dan duduk di kursi ruang tengah rumahku dengan lemas.

Ibu, ibuku adalah seorang janda, beberapa tahun lalu ayahku meninggal dunia, dan saat itu kedua adikku masih balita. Aku bisa melihat bagaimana perjuangan ibu saat membesarkan kami bertiga seorang diri, dia berjualan di pasar, berangkat pagi dan pulang sore hari.

Ibu, dia sangat sayang kepada kami, dan selalu mengutamakan pendidikan kami. Aku dan kedua adikku dikirim oleh ibu untuk belajar di pesantren yang ada di luar kota, tentu uang yang dikeluarkan ibu untuk membiayai kami cukup besar, tapi aku tidak menyangka, jika ibu memperoleh uang tersebut dengan berhutang kesana-kemari.

"Kamu mau tahu berapa hutang ibu pada Gus Ibrahim?"

Ibu terdengar bertanya padaku.

"Mungkin sudah lebih dari tiga ratus juta, Nak!" katanya dengan wajah lemas sembari kembali meneteskan air mata.

"Bagaimana ibu bisa membayarnya nak, jika kamu tidak menikah dengan Gus Ibrahim?" lanjutnya. "Cuma kamu jalan keluar ibu, dan Gus Ibrahim juga sudah setuju untuk menikah dengan kamu," timpal ibu.

Aku hanya terdiam, sembari mengatur nafasku, perih rasanya mendengar ungkapan ibu, dan melihat air mata ibu terjatuh.

Gus Ibrahim, dia adalah menantu Bude Siti, kakak kandung ibuku, dia suami dari sepupuku Mbak Zahra yang saat ini sedang hamil muda anak keempatnya.

Gus Ibrahim memang laki-laki yang mapan, dia memiliki usaha di mana-mana, selain itu dia memang keturunan orang kaya, dia juga salah satu putra kiayi besar di kotaku, karena itulah keluarga kami memanggil laki-laki ini dengan sebutan "Gus" di depan namanya.

Tahun lalu aku pernah dengar Gus Ibrahim menjadi anggota dewan di kotaku, kearifannya dan juga loyalitasnya pada masyarakat menghantarkan dia pada sebuah jabatan menjadi wakil rakyat. Namun sekarang dia telah pensiun dari jabatan itu, dan lebih sering terlihat mengembangkan usahanya.

Beberapa kali aku bertemu dengan Gus Ibrahim dalam acara keluarga, tegur sapa pun sewajarnya, dia sopan dan juga tidak pernah terlihat kurang ajar padaku, dan aku lihat hubungan rumah tangganya dengan Mbak Zahra juga sangat harmonis.

Aku menghelan nafas panjang. Aku berfikir dalam, mungkinkah aku merusak hubungan keluarga yang begitu sakinah itu.

"Dreeeeeet!" terasa handphone di kantong bajuku bergetar. Kulihat, Paklik Gufron yang meneleponku.

"Assalamualaikum, Paklik?"

"Waalaikum salam, kamu sudah pulang dari pesantren nak?" tanya Paklik Gufron.

"Sudah, kenapa Paklik?"

"Main ke rumah Paklik ya, Mbah Ibu katanya kangen sama kamu."

Paklik Gufron mengatakan kalau nenekku yang biasa aku panggil Mbah Ibu, yang tinggal bersama Paklik Gufron saat ini merindukanku.

"Insya Allah, besok saya ke sana Paklik," sahutku.

******

Tak terasa hari ini berlalu, hari dimana seoalah ada badai menyerangku.

"Bu, aku mau sowan ke Mbah Ibu!"

Pagi ini aku berpamitan pada ibu yang tengah memasak di dapur. Aku berniat untuk mengunjungi nenekku.

"Sebentar lagi! Ibu juga mau sowan ke Mbah Ibu," sahut ibu dengan nada datar.

Aku mengangguk sembari meninggalkan ibu, dan masuk ke dalam kamarku. Kemudian menunggu ibu untuk berangkat bersama-sama sowan kepada nenekku.

Dua puluh menit kemudian kami pun berangkat.

Setelah sampai di rumah Paklik Gufron, kulihat beliau dan istrinya sudah menunggu aku dan ibu di ruang tamu.

Aku beruluk salam, dan kemudian masuk ke dalam, segera aku menemui nenekku yang saat itu tengah beristirahat di dalam kamarnya. Ku pijiti kaki nenek yang sudah mengering dan keriput, sembari mendengarkan petuah-petuah bijaknya.

Selang beberapa menit di kamar nenek, putra Paklik Gufron memanggilku.

"Mbak Alifah di panggil Abi, di ruang tengah!" kata adik sepupuku, memberitahukan kalau ayahnya sedang memanggilku.

"Iya," aku mengangguk, sembari berpamitan kepada nenek untuk keluar dari kamarnya, karena Paklik memanggilku.

Kulihat di ruang tengang ibu, paklik, dan istri paklikku sedang serius berbicara.

"Jadi benar, Zahra melamar Alifah untuk jadi istri kedua Gus Ibrahim, Mbak?" tanya paklik kepada ibu.

Aku yang baru masuk ruangan itu berlahan duduk di samping Bulik Anna istri paklikku.

"Iya," ibuku mengangguk.

"Dan Mbak Sri menerimanya?"

"Iya."

"Mbak, apa Mbak Sri tidak memikirkan perasaan Mbak Siti? Zahra sedang hamil muda mbak, gimana coba perasaannya Mbak Siti kalau putrinya dimadu oleh suaminya saat dia tengah hamil?" kata paklik. "Zahra itu kan keponakan Mbak Sri, anak Mbak Sri juga, seharusnya Mbak dapat memahami perasaannya!" paklik berusaha menasehati ibu perihal niatnya untuk menikahkan aku dengan Gus Ibrahim.

"Gufron! Zahra sendiri yang melamar Alifah, aku tidak pernah memaksanya, dan dia sendiri yang rela suaminya menikah lagi!" sahut ibuku.

"Seharusnya Mbak menolaknya! Apa Mbak nggak mikir? Alifah baru saja lulus SMA, dan Gus Ibrahim sudah berusia empat puluh tahun, terlebih dia adalah suami orang. Apa Mbak nggak kasihan sama anak Mbak sendiri?" tanya paklikku lagi.

"Gufron! Apanya yang harus dikasihani? Keluarga Gus Ibrahim juga banyak yang menikah lebih dari satu. Pamannya, kakaknya, dan hubungan rumah tangga mereka tetap baik-baik saja," sahut ibu. "Bukankah lebih baik berterus-terang saat ingin memiliki dua orang istri, dari pada sembunyi-sembunyi dan berzina? Banyak kan sekarang? Pura-pura jadi suami setia, tapi banyak simpanan di luar sana."

Ibu terlihat mempertahankan keputusannya.

"Mbak? Tapi tolong pikirkan Alifah? Apa Mbak rela putri mbak disebut pelakor yang merusak pagar ayu rumah tangga orang?"

Kudengar Bulik Anna ikut angkat bicara.

"Anakku bukan pelakor Anna. Alifah tidak pernah mengganggu suami orang, dia tidak pernah mengganggu Gus Ibrahim  Alifah dilamar oleh istri Gus Ibrahim dengan cara yang baik. Jadi jaga mulut kamu kalau bicara!" ibu terlihat marah dan menunjuk muka adik iparnya.

Aku yang mendengarkan percakapan mereka hanya menunduk, dan berulang-ulang membaca istighfar di dalam hati.

"Alifah! Apa kamu benar-benar bersedia menikah dengan Gus Ibrahim?" tanya paklik kemudian memecah kekalutan hatiku.

Berlahan aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arah paklik yang duduk di hadapanku.

Kulihat juga ibu menatap mataku, dengan tatapan mata yang begitu sendu.

Melihat tatapan ibu, memoriku mulai mengingat kembali kata-katanya, bagaimana dia dapat membayar hutang yang begitu besar, dan saat ini hanya akulah harapannya.

"Iya, aku bersedia Paklik!" jawabku tegas sembari menunduk karena aku tidak sanggup menahan air mataku yang tiba-tiba deras berjatuhan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status