Share

Bab 7 : Done For Me

Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi.

Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina.

"Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa.

Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa.

"akh!" pekik Lisa.

"Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik.

"Karina!" Lisa menggeram.

"Kamu benar-benar nggak tahu malu. Kamu pura-pura baik sama aku tapi di belakang kamu justru main api dengan suami aku. Kamu masih punya muka untuk datang ke sini?"

"Kamu belum sadar juga? Haris itu nggak pernah cinta sama kamu. Dia cintanya cuma sama aku. Dia menikahi kamu hanya untuk—"

Karina langsung menyela, "aku nggak peduli! Aku nggak peduli siapa yang dia cintai. Aku nggak peduli dia menghamili wanita manapun. Itu bukan urusan aku lagi."

Lisa menyunggingkan senyumnya. "Bukan urusan kamu tapi kamu melakukan semua ini untuk menghancurkan kami berdua. Sekarang kamu puas?!"

"Aku nggak ngerti maksud kamu dan aku nggak mau tahu."

"Kamu, kan yang nyebarin semua ini di rumah sakit. Kamu jangan pura-pura bodoh. Jelas-jelas kamu pelakunya!"

Kini Karina tahu tujuan utama Lisa datang ke sini. Firasatnya benar, dia akan disalahkan atas terbongkarnya hubungan keduanya.

"Aku atau bukan, itu nggak akan merubah apapun. Bahkan sepertinya semua orang udah tahu sejak awal. Tapi mereka hanya menutup mata karena itu bukan masalah mereka. Kamu jangan khawatir, aku akan menceraikan Mas Haris. Silakan kalau kamu mau mengambil Mas Haris. Dan apapun yang terjadi dengan kalian, itu bukan tanggung jawab aku. Jadi berhenti ganggu hidup aku lagi."

Karina mendorong Lisa dan langsung menutup pintu dengan kasar.

"Karina! Buka pintunya! Aku belum selesai bicara..." Sementara Lisa masih memaki di depan pintu.

Karina memegangi dadanya menggunakan satu tangan di saat tangan yang lain masih menggenggam gagang pintu. Dadanya masih terasa sakit. Hatinya belum bisa menerima pengkhianatan yang dilakukan oleh Haris.

"Aku nggak akan pernah maafin kalian. Demi apapun... aku nggak akan maafin kalian..."

Proses perceraian pun mulai berjalan. Keduanya hadir dalam mediasi dan mengikuti semua proses yang ada tanpa melibatkan pihak keluarga. Hingga pada akhirnya setelah melalui proses yang panjang, keduanya sepakat untuk berpisah. Palu sudah diketuk, ikatan keduanya terputus di titik paling bahagia yang mungkin hanya dirasakan oleh Karina seorang.

Karina meninggalkan ruang persidangan dan di depan ruangan itu Haris sudah menunggunya. Situasi tiba-tiba canggung bagi Karina ketika Haris bersikap tak peduli. Bahkan laki-laki itu masih bisa berjalan dengan santai di samping wanita yang sudah ia lukai hatinya.

"Kita bicara sebentar," ujar Haris ketika mereka sampai di luar gedung.

"Ini yang terakhir," ujar Karina.

"Apa mungkin kamu yang menyebarkan berita itu?" Bukan tuduhan, Haris benar-benar bertanya karena ingin tahu.

Karina memberi jeda, sedikit rasa sakit kembali ketika ia mendengar pertanyaan itu sebagai sebuah tuduhan.

"Aku nggak ada urusan dengan hal itu. Aku nggak perlu menjelaskan apapun lagi. Terserah kamu mau berpikir seperti apa. Aku harap kita nggak akan bertemu lagi setelah ini."

Karina kemudian meninggalkan Haris dan Haris pun bergegas pergi. Sepulangnya dari pengadilan, Haris langsung pergi ke rumah keluarga besarnya dan siapa sangka bahwa semua orang sudah berkumpul di ruang tamu.

Brata langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Haris. Pria itu langsung mengambil dokumen di tangan Haris dan tampak murka ketika mengetahui dokumen apa yang dibawa oleh putra sulungnya. Brata langsung menampar wajah Haris dan mengangkat berkas di tangannya.

"Apa-apaan ini?! Kamu tidak mendengar apa yang papa ucapkan waktu itu. Tidak ada perceraian! Beraninya kamu menceraikan istri kamu tanpa persetujuan papa!"

Haris menjawab dengan tenang, tapi ia juga cukup tahu malu. "Bukan aku menceraikan Karina. Papa udah dengar sendiri dari Karina, dia yang mengajukan gugatan."

"Dan kamu diam saja! Kamu benar-benar—"

"Aku cukup tahu malu," Haris menyela. "Aku cukup tahu malu untuk melakukan apapun, Pa."

"Ya jelas harus tahu malu lah. Lo aja selingkuh sama cewek hamil," sarkas Haikal, saudara laki-laki Haris. "Atau jangan-jangan yang ada di perut selingkuhan lo itu, bayi lo juga."

"Haikal, kamu diam aja." Soraya—ibu dari keduanya memberikan peringatan.

Haikal menyunggingkan senyumnya dan berujar, "semua orang juga udah mau, Ma. Kalau aku jadi Haris, aku nggak akan berani datang ke rumah sakit."

"Haikal, cukup!"

Haikal bangkit dan pergi dengan senyum meremehkannya. Begitu pun dengan Harus yang bergegas pergi ke kamar lamanya. Masih ada hal yang ia bicarakan dengan keluarganya. Namun, ia memutuskan untuk menunggu hingga keadaan tenang.

Soraya kemudian mendatangi Haris dan kala itu Haris tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

"Kita bicara nanti." Haris segera memutuskan sambungan.

"Mama mau bicara kalau kamu nggak sibuk."

Haris yang sebelumnya berdiri menghadap jendela berbalik dan Soraya mendekatinya.

"Benar jika Karina yang menggugat kamu?"

Haris mengangguk.

"Mama mau tanya satu hal. Apa selama hidup bersama Karina, benar-benar nggak ada sedikitpun perasaan cinta kamu terhadap Karina?"

Haris memalingkan wajahnya, terlihat enggan untuk memberikan jawaban. Soraya lantas meraih satu tangan Haris.

"Haris."

"Semua itu udah nggak penting lagi, Ma. Hubungan aku dan Karina sudah selesai."

"Haris. Mama mengerti jika kamu dulu terpaksa menikahi Karina. Tapi bukan berarti kamu bisa menyakiti Karina seperti ini. Karina sangat mencintai kamu, apa kamu nggak bisa melihat ketulusan Karina?"

Haris sekilas memijat keningnya. Jujur saja, ia merasa tertekan dengan masalah ini. Bahkan sedetikpun, ia tidak pernah berpikir bahwa hal seperti ini akan terjadi pada hidupnya meski ia tidak memiliki pandangan akan seperti apa hubungannya dengan Lisa ke depannya.

"Apa kamu udah berbicara dengan mertua kamu?"

"Ma, aku mau sendiri dulu. Mama tolong keluar."

"Haris."

"Tolong!" Haris memberikan sedikit penekanan.

Tak lagi bisa melanjutkan pembicaraan, Soraya pun lantas pergi. Dan hari itu, setelah putrinya resmi bercerai, Nathalie baru mengetahui apa yang tengah dihadapi oleh putrinya. Segera setelah mendapatkan kabar itu, Nathalie langsung menghubungi Karina yang kala itu menetap di hotel.

Karina terlihat enggan untuk menjawab panggilan ketika ia melihat nama sang ibu di layar ponselnya. Firasatnya mengatakan bahwa ibunya sudah mengetahui semuanya dari orang lain. Tak bisa terus melarikan diri, Karina lantas menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Karin. Kamu di mana?" Suara Nathalie terdengar sangat tenang.

"Aku di luar, Ma."

"Kamu pulang sekarang, mama tunggu di rumah."

Sambungan terputus. Karina tertunduk, menghela napas panjang. Ia harus menyelesaikan semuanya sebelum memulai kehidupan yang baru dengan status barunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status