Share

Bab 5 : Tak Pantas Diperjuangkan

"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."

Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara.

"Silakan lakukan apa yang kamu mau."

Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.

Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?

Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara yang kejam seperti ini.

Sebenarnya siapa yang bersalah? Siapa yang berkhianat? Siapa yang menipu?

Dalam situasi ini, satu hal yang diketahui oleh Karina. Dalam hubungan itu, hanya dirinya yang bertahan dengan perasaan yang tulus. Hanya dia yang mencintai dan sayangnya, sampai akhir dia tidak bisa dicintai oleh orang yang ia kehendaki.

Bukankah semua ini terlalu singkat, begitu mudahnya perpisahan itu terjadi mengingat bahwa selama ini rumah tangga mereka baik-baik saja. Karina yang terlalu percaya pada cinta pada akhirnya tertipu oleh seorang pemain handal seperti Haris Ghaffari Dananjaya. Pria kaku yang nyatanya benar-benar tak memiliki hati nurani.

Sementara itu Haris kembali ke mobilnya. Dari sana ia melihat Karina yang tengah menangis. Terlihat dengan jelas karena bagian depan dari klinik terbuat dari kaca dengan beberapa bagian terlihat buram. Tak ada yang bisa Haris tunjukkan dari wajahnya ketika ia menolak untuk mengekspresikan sesuatu menggunakan wajahnya. Ia hanya berdiam diri di sana dalam waktu yang lama. Entah ingin menemani atau hanya ingin melihat Karina menangis.

Malam itu, tanpa harus repot-repot memberi dan mendengar penjelasan. Mereka telah memilih jalan yang paling mudah dengan satu orang yang ingin diperjuangkan dan satu orang yang lebih memilih untuk melepaskan tanpa adanya permintaan maaf.

Karina tak percaya, rumah tangganya yang harmonis tiba-tiba berakhir dalam satu hari. Baru kemarin suaminya bersikap sangat manis, tapi di malam selanjutnya, semua justru berakhir. Semuanya tanpa tersisa. Meski bermula dari perjodohan, Karina berpikir bahwa rumah tangganya sudah sangat sempurna. Akan tetapi, nasib buruk seakan tak mau pergi dari hidupnya. Ia terpuruk, lagi dan lagi.

Malam itu Karina tak memiliki tempat untuk pulang. Ia tak ingin pulang ke rumah ibunya dalam keadaan seperti ini. Alhasil ia memilih untuk menyewa satu kamar di salah satu hotel. Berusaha untuk menenangkan diri sebelum menghadapi hari esok.

•••••

Pintu rumah terbuka, mengalihkan atensi Haris yang kala itu duduk di sofa ruang tamu. Karina masuk dan sempat menghentikan langkahnya. Tampaknya ia berusaha untuk mencari waktu saat Haris sudah pergi dari rumah agar mereka tidak bertemu. Tapi sayangnya Haris justru tengah menunggu kepulangannya.

Memilih untuk mengabaikan Haris, Karina menutup pintu dan bergegas menuju kamar untuk membereskan barang-barang miliknya. Seperti perjanjian pra-nikah yang telah disepakati, yang menggugat adalah pihak yang harus meninggalkan rumah. Tapi bahkan tanpa surat perjanjian itu, Karina akan tetap meninggalkan rumah itu.

"Kita harus bicara," tegur pria berkacamata itu.

Karina menghentikan langkahnya, menjatuhkan pandangannya pada Haris yang berada di samping kirinya.

"Kamu duduk dulu."

Karina memalingkan wajahnya dan menghela napas pelan. Ia belum siap, bahkan tak siap untuk apapun.

"Kita akan benar-benar bercerai?" Haris kembali berbicara saat Karina tak kunjung merespon.

Karina menjatuhkan pandangannya pada Haris. Sungguh, pria itu sangat kejam hanya dengan kalimat yang ia ucapkan.

Haris kemudian menaruh sebuah berkas di atas meja, tak lain adalah dokumen perjanjian mereka.

"Kamu masih punya banyak waktu untuk berpikir."

Haris beranjak berdiri. Tanpa membuat kontak mata, dengan angkuhnya pria itu pergi. Karina sejenak memejamkan matanya sembari menahan napas. Ia kemudian memukul pelan dadanya yang kembali terasa sesak.

"Sampai akhir, kamu nggak ada penyesalan sama sekali."

Karina bergegas menuju kamar dan membereskan semua barang-barang. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan sekarang ketika bahkan Haris tak lagi ingin memperjuangkannya. Semuanya palsu, termasuk kebahagiaan yang diberikan oleh pria itu.

Selesai mengangkut semua barang miliknya, Karina kembali ke kamar itu untuk sekedar memastikan bahwa dia tidak meninggalkan sesuatu. Lemari pakaian sudah kosong, meja rias juga sudah bersih. Hanya satu miliknya yang masih berada di sana, hatinya. Hati yang sudah dihancurkan oleh laki-laki yang sudah ia kagumi selama tujuh tahun terakhir.

Pandangan Karina tertuju pada foto pernikahan mereka yang menempel pada dinding kamar. Tak ada lagi kebahagian di sana. Semua menjadi abu-abu. Karina kemudian menurunkan foto itu dan membantingnya ke lantai, membuat kaca bingkai retak. Namun, ketika hatinya kembali sakit setelah membanting foto itu, Karina justru menginjak-injak foto pernikahan dengan lelaki yang selalu ia sanjung. Menginjakkan dengan penuh kemarahan meski pada akhirnya berakhir dengan keputusasaan.

Tanpa ada satu orang pun yang peduli, hari itu juga Karina meninggalkan rumah suaminya. Tanpa kalimat perpisahan atau pun sebuah lambaian tangan. Hari itu, Karina pergi bukan untuk kembali.

•••••

Haris kembali ke rumah sakit, bersikap seperti tak ada apapun yang terjadi di dalam hidupnya. Saat hendak ke kantor divisi, Haris berpapasan dengan Julia. Seperti orang asing, Haris mengabaikan keberadaan Julia. Tapi Julia yang tak tenang, lantas menghentikan langkah. Ia berbalik, memperhatikan punggung Haris sebelum memutuskan untuk menyusul pria itu.

"Haris!"

Langkah Haris terhenti. Ia menoleh dan Julia langsung menarik lengannya.

"Kamu jangan pergi ke sana."

Haris ingin memastikan ucapan Julia. Akan tetapi sebuah teguran datang padanya.

"Haris Dananjaya."

Keduanya langsung menoleh. Julia tampak terkejut, tapi tidak dengan Haris yang tak menunjukkan perubahan pada garis wajahnya. Pria itu, Rico Herlambang—seorang pengusaha yang telah menikahi Lisa sembilan tahun yang lalu. Pria itu mendatangi Haris dan membuat Julia tampak khawatir.

"Kamu pergi dari sini," gumam Julia, mengalihkan perhatian Haris.

Julia kembali berbicara. "Rico udah tahu tentang hubungan kalian."

Haris terkejut, tapi tak banyak ekspresi yang bisa ia tunjukkan. Ia kemudian menepis pelan tangan Julia dan mendorong wanita itu agar menjauh darinya. Saat sudah berhadapan, Rico langsung meninju wajah Haris dan langsung mencengkram kerah kemeja yang dikenakan oleh Haris. Mendorong Haris hingga punggung pria itu membentur tembok.

"Bajingan! Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Rico, pelan tapi penuh penekanan.

"Apa yang sudah kamu lakukan pada wanita hamil?" sahut Haris, tetap dengan sikap tenangnya.

Rico menatap tak percaya, tampak kesulitan untuk mengendalikan emosinya setelah ia bertatap muka secara langsung dengan selingkuhan istrinya.

"Brengsek!" gumam Rico, satu kata yang mampu keluar dari mulutnya sebelum ia meninju perut Haris beberapa kali hingga wajah Haris.

"Pak Rico, cukup! Tolong jangan melakukan kekerasan di rumah sakit!"

Julia memberikan peringatan, tapi apa gunanya. Hal itu tidak berpengaruh terhadap apapun. Rico menghajar Haris, mengambil keuntungan ketika Haris tak memberikan perlawanan bahkan hingga jatuh tersungkur di lantai. Karena dia bekerja di sana, ia akan mendapatkan masalah jika sampai ia membalas perlakuan Rico.

"Pak Rico, berhenti!"

Julia berusaha untuk menjauhkan Rico yang menendangi perut Haris. Tapi Rico justru menepis Julia hingga Julia terlempar ke samping dan tanpa sengaja kepalanya membentur dinding. Hal itu membuat tubuh Julia langsung merosot.

"Apa-apaan ini? Berhenti!"

Satpam rumah sakit yang sebelumnya mendapat laporan dari seorang keluarga pasien bergegas menghampiri keduanya. Dua pria dengan tubuh yang sedikit berisi itu langsung meringkus Rico.

"Ada apa ini, Pak? Bapak tidak boleh membuat keributan seperti ini di rumah sakit!" tegur salah seorang satpam.

"Diam kalian semua! Kalian tidak tahu apa-apa. Lepas! Saya akan habisin bajingan ini!"

"Mari ikut ke kantor, Pak!"

Rico hendak dibawa paksa. Tapi tentu saja ia memberontak karena urusannya dengan Haris belum selesai.

"Kamu dengar saya baik-baik. Urusan kita belum selesai. Sekali lagi kita bertemu, saya pastikan kamu mati di tangan saya. Ingat itu baik-baik, Haris Dananjaya!"

"Sudah, Pak. Ayo ikut kami!"

Sembari memegangi keningnya, Julia menghampiri Haris dan memastikan keadaan rekan kerjanya itu.

"Haris, kamu baik-baik aja?"

Haris bangkit, terduduk pasrah di lantai dengan punggung yang sedikit membungkuk. Sedangkan Julia sibuk mencari kaca mata Haris yang terlempar entah ke mana. Setelah menemukan benda itu, Julia kembali ke tempat Haris dan langsung membantu Haris mengenakan kaca mata.

"Kamu bisa jalan? Kita harus segera pergi dari sini. Akan menjadi masalah kalau ada orang yang melihat kamu kayak gini."

"Lisa di mana?" gumam Haris. Alih-alih mengkhawatirkan dirinya sendiri, ia justru mengkhawatirkan orang lain.

"Ini bukan saatnya kamu untuk mengkhawatirkan orang lain."

Julia menarik lengan Haris agar bangkit. Dia kemudian membantu Haris yang berjalan dengan sedikit tertatih untuk meninggalkan tempat itu. Dan hari itu, seakan waktu tak lagi berpihak padanya. Semua rekan kerja Haris mengetahui rumor tentang hubungannya bersama dengan Lisa. Entah siapa yang menyebarkan itu semua. Tapi yang pasti, Haris seperti tengah menerima karma atas pengkhianatan yang telah ia lakukan terhadap istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status