Sebuah pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dan seketika membuyarkan lamunan Aluna yang saat ini tengah merenungi nasibnya yang malang.
"Permisi non, Tuan Abigael menyuruh saya untuk memanggil Non Aluna agar segera turun ke bawah. Karena keluarga dari mempelai pria sudah tiba. Tinggal menunggu pengantin prianya datang non," ucap pelayan yang bekerja di kediaman megah milik keluarga Abigael—ayah Aluna. "Baiklah. Saya akan segera turun," balas Aluna. Tatapannya datar dan dingin. Aluna sejenak menatap dirinya dari pantulan kaca. Kecantikan alami yang dimiliki Aluna sejak kecil membuatnya terlihat menawan. Berbalut gaun putih panjang, dipadu dengan polesan make up tipis diwajahnya, semakin menambah pesonanya yang sempurna. Namun bukan pancaran kebahagiaan yang tercipta diwajahnya, melainkan tatapan sendu penuh kesedihan yang mendalam. Seperti menyimpan beban yang sangat berat. Bukannya seorang pengantin harusnya terlihat bahagia dihari pernikahannya? Tetapi tidak untuk Aluna. Bukan dirinya yang menginginkan pernikahan ini terjadi. Tanpa menunggu lama, Aluna segera bangkit dari tempat duduknya yang nyaman. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Namun apalah daya. Aluna tidak bisa berbuat apapun saat ini, selain menerima pernikahannya dengan penuh keterpaksaan. Diiringi para pengiring pengantin, Aluna berjalan anggun menuruni anak tangga satu-persatu. Hingga sepasang kaki jenjangnya berhasil menapaki lantai dasar. Sembari menunggu sang pengantin pria datang, Aluna dipersilahkan untuk duduk bersanding terlebih dahulu dengan sang ayah. Namun sudah sejam waktu berlalu, calon mempelai pria belum juga menunjukkan eksistensinya. Hal itu membuat Abigael resah nan gelisah. "Kenapa mempelai pria belum sampai juga. Kemana dia?" gumam Abigael yang masih didengar oleh Aluna. "Kalau begitu lebih baik pernikahan ini dibatalkan saja ayah. Aku yakin pria itu juga pasti tak menginginkan pernikahan ini terjadi," cetus Aluna. Abigael seketika menoleh ke arah sang putri. Tatapannya berubah tajam seperti belati. "Tidak bisa! Jangan seenakmu saja. Ayah sudah berusaha agar kau bisa menikah dengan keluarga Kusuma. Jika kau mengacaukannya, seluruh keluarga kita akan terkena masalah," timpal Abigael penuh penolakan. Aluna terdiam beberapa saat. Hanya pasrah yang saat ini bisa dilakukannya. Seharusnya bukan dirinya yang akan menikah, tetapi sang kembaran—Alana. **** Disebuah tempat makan yang cukup terkenal di Kota London. Terlihat Abigael sedang duduk sendirian. Menatap layar ponselnya dengan penuh keseriusan. Sambil menyesap sedikit demi sedikit kopi pahit yang terhidang di mejanya. Tiba-tiba seorang wanita muda datang menghampirinya. Abigael yang melihat sepasang kaki tengah berdiri dihadapannya, segera mengangkat wajah. Seketika netranya berbinar, saat melihat seseorang yang sudah dia tunggu-tunggu kehadirannya. . "Aluna, akhirnya kamu datang juga nak." Satu kata terlontar dari mulut Abigael. Memanggil wanita muda tersebut dengan panggilan 'nak'. Dia adalah Aluna Putri. Salah satu putrinya yang selama ini dia abaikan. Sejak Abigael bercerai dengan istrinya, Aluna berpisah dengannya. Begitu juga dengan kembarannya—Alana. Aluna ikut ibunya, sedangkan Alana ikut dengan sang ayah. Sudah 5 tahun lamanya, semenjak perceraian itu terjadi, Abigael tidak pernah menemui Aluna. Jangankan untuk mengirimkan uang, Aluna hanya ingin bertukar kabar dengannya saja sangat sulit. Bisnis yang tengah dijalani Abigael, membuatnya lupa bahwa dirinya mempunyai putri lebih dari satu. Hanya Alana yang selalu dia pedulikan. Sedangkan Aluna, begitu terabaikan. "Halo ayah apa kabar?" sapa Aluna. Seraya melambaikan tangannya. "Kabar ayah baik. Bagaimana denganmu sayang?" tanya Abigael sembari mengukir senyuman. Senyuman yang sudah lama Aluna nantikan. "Alhamdulillah kabarku baik ayah," balas Aluna yang langsung memeluk ayahnya sekadar melepas kerinduan. Begitupun dengan Abigael yang membalas pelukannya. "Maafkan ayah ya. Selama ini tidak pernah datang menemuimu," ungkap Abigael penuh penyesalan. Aluna segera melepaskan pelukannya seraya tersenyum dengan tulus, "aku mengerti ayah. Bila kau selalu sibuk dengan bisnismu." Abigael tersenyum getir mendengar perkataan Aluna yang begitu menohok. Walaupun Aluna tidak bermaksud menyinggungnya, namun hati kecil Abigael merasa ter cubit oleh perkataan sang putri. Setelah melepaskan kerinduan yang mendalam, sejenak mereka menikmati hidangan yang telah tersaji di meja restoran. Selesai makan, tanpa berlama-lama Abigael segera mengutarakan alasannya menjumpai sang putri. "Sebenarnya ayah memintamu datang kesini, karena ingin membicarakan masalah tentang kembaranmu," ucap Abigael. Seketika kerutan samar tercipta di kening Aluna, "memangnya apa yang terjadi dengan Alana ayah?" Abigael menarik napas dalam. Menghembuskan pasokan oksigen yang menghimpit dadanya. Hingga terasa sesak, kala mengingat apa yang terjadi. "Alana ayah jodohkan dengan anak rekan bisnis ayah. Yaitu keluarga Kusuma. Kamu pasti tau siapa mereka. Alana juga menyetujui perjodohan ini. Pernikahan mereka akan dilaksanakan dua hari lagi. Ntah mengapa tiba-tiba saja Alana meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan ayah. Alana hanya menyelipkan sepucuk surat di bawah bantalnya. Dia bilang ingin pergi jauh dan jangan mencarinya. Ayah bingung harus bagaimana. Sementara pernikahannya akan dilangsungkan dua hari kedepan. Jika pernikahan ini batal, keluarga kita akan terkena masalah," terang Abigael penuh kecemasan.. "Jadi, maksud ayah memintaku untuk datang kesini hanya mendengarkan keluh kesah ayah atau ada hal lain?" terka Aluna. Abigael menatap dalam manik indah yang mirip dengannya itu. Seraya menggenggam kedua tangan sang putri dengan penuh kelembutan. "Ayah ingin kamu menggantikan posisi Alana untuk menikah dengan keluarga Kusuma," pinta Abigael. Deg! Aluna mematung. Mencoba mencerna perkataan yang baru saja dilontarkan oleh sang ayah. Lidahnya kelu. Tenggorokannya terasa tercekat. Dadanya berubah menjadi sesak, dan napasnya terlihat naik turun. "Maksud ayah apa! Ayah memintaku datang kesini hanya untuk memenuhi keinginanmu yang ambisius itu. Ayah tega mengorbankan masa depanku hanya untuk kepentingan bisnis ayah? Begitu iya!" murka Aluna. Sambil melepaskan kedua tangannya dari sang ayah. "Maafkan ayah Aluna. Ayah tidak bermaksud untuk berbuat seperti ini kepadamu. Jika pernikahan ini batal, maka keluarga Kusuma akan memutuskan semua kontrak kerja sama dengan ayah. Ayah mohon, tolong kamu gantikan posisi Alana sampai ayah menemukan keberadaan kembaranmu itu," mohon Abigael sembari mengatupkan kedua tangannya. Aluna menggelengkan kepalanya. Tidak menyangka pertemuan dengan sang ayah akan menjadi malapetaka untuknya. Ternyata sang ayah tidak benar-benar tulus ingin bertemu. Melainkan mempunyai maksud tertentu. "Ayah mohon Aluna. Ayah tidak ingin bisnis yang ayah bangun hancur begitu saja karena kesalahan Alana. Ayah janji akan segera menemukan Alana secepatnya. Ayah mohon, gantikan sementara posisi kembaranmu," ucap Abigael seraya bersimpuh di kaki Aluna. Aluna bergeser saat sang ayah ingin menyentuh kakinya. Hati kecilnya yang rapuh tidak tega melihat sang ayah memohon padanya. Aluna segera memegang kedua bahu sang ayah, dan menatapnya dalam. "Baiklah ayah. Aku setuju dengan keputusanmu. Aku akan menggantikan posisi Alana untuk menikah dengan keluarga Kusuma. Tapi dengan catatan, ayah harus bisa menemukan Alana secepatnya," titah Aluna. Abigael mengangguk dengan cepat. Seraya memeluk kembali putrinya dengan erat. Senyuman lebar tercipta diwajahnya yang tampak masih gagah diusia yang tak lagi muda. "Terima kasih sayang," ucap Abigael ditelinga Aluna. **** Ditengah kebosanan menunggu, tiba-tiba terdengar dering ponsel begitu nyaring. Abigael segera meraih ponselnya yang bergetar didalam saku celana. Setelah melihat layar ponselnya, Abigael bangkit menjauhi keramaian sekadar untuk menerima panggilan. Aluna yang melihat ayahnya pergi berpikir untuk melakukan hal gila. Sudut bibirnya tersungging, menyiratkan sebuah arti. 'Apa sebaiknya aku kabur saja dari sini. Aku tidak mau mengorbankan diriku hanya untuk ambisi ayah. Selama ini juga ayah tidak pernah memperhatikanku. Ya, sebaiknya aku lari saja dari pernikahan ini," batin Aluna.Di malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan k
Tak terasa, hari telah merangkak perlahan meninggalkan senja yang muram dan berubah menjadi malam yang dingin. Cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menghiasi cakrawala dengan kelap-kelip bagaikan bintang yang turun ke bumi.Di lantai atas sebuah apartemen mewah, di salah satu kamar bernuansa hangat dan elegan, berdiri seorang wanita muda di tepi balkon. Angin malam yang lembut memainkan helaian rambut panjangnya yang tergerai, sesekali menyingkap sebagian wajahnya yang dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikannya yang tenang dan anggun.Tatapan matanya menerawang jauh menembus gelapnya langit malam. Ada kesedihan samar di sana. Ada rindu yang tidak terucapkan. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia adalah Aluna. Tapi tidak. Wanita itu adalah Alana—kembaran identik Aluna.Meski terlahir dari rahim yang sama, jalan hidup keduanya begitu berbeda. Aluna t
Daniel mengajak Aluna ke sebuah tempat makan sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Bukan restoran mewah yang biasa mereka datangi untuk urusan bisnis. Hari ini, Daniel ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam. Ia merasa ada hal-hal penting yang tak bisa dibahas di balik meja kerja atau suasana restoran yang terlalu formal. Kadang, tempat yang sederhana justru menghadirkan kenyamanan dan ketulusan yang sulit ditemukan di tempat bergengsi sekalipun.Café kecil itu berada di pinggiran kota London, tersembunyi di antara deretan toko-toko buku tua dan toko bunga klasik. Aromanya khas: campuran kopi hangat, kayu tua, dan kue kayu manis yang baru saja keluar dari oven. Aluna duduk di sudut ruangan, di balik jendela kaca yang menghadap ke jalan, menanti Daniel dengan secangkir cokelat hangat di tangan. Matanya sesekali melirik keluar, mengamati lalu lalang orang-orang yang berjalan cepat menantang angin musim gugur.Beberapa menit kemudian, Daniel muncul di depa
Setelah menyelesaikan urusannya di dalam ruangan Daniel, Aluna segera melangkah keluar dari restoran Tanpopo’s. Namun langkahnya terhenti secara mendadak.Tepat di depan pintu keluar, berdiri seseorang dengan tubuh tegap dan wajah penuh keyakinan. Angga. Pria yang sebelumnya mengaku bernama Wijaya itu kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Aluna dengan sorot mata penuh perhitungan.Saking kagetnya, Aluna tanpa sengaja menabraknya. Tubuh mungilnya sedikit terpental ke belakang. Ia hampir jatuh, namun segera menegakkan tubuh dan menatap pria itu dengan mata membulat.“Ya Tuhan… kau?” ucap Aluna, setengah terkejut dan setengah kesal.Angga hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau hendak pergi ke mana? Biar aku antar,” katanya datar, seolah tidak ada kejadian berarti barusan.Namun bukannya terharu, Aluna justru memandangnya tajam. Napasnya terdengar berat, seperti menahan amarah.“Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang kamu menguntitku,” katanya penuh curiga.“Kalau aku bilan
Setelah selesai sarapan pagi, Aluna segera bersiap. Hari itu cuaca cukup cerah, langit tampak bersih dengan semburat jingga yang belum sepenuhnya menghilang.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.“Ini yang terbaik, Aluna… Demi semua orang,” gumamnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tak berapa lama, taksi yang ia pesan lewat aplikasi pun tiba. Dengan langkah ringan namun hati berat, Aluna masuk ke dalam mobil tersebut. Sepanjang perjalanan menuju restoran milik Daniel, pikirannya melayang-layang. Ia menatap keluar jendela, memandangi pepohonan dan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Semua tampak berjalan seperti biasa, seolah dunia tak peduli dengan konflik kecil yang tengah berkecamuk di hatinya.'Kalau aku tetap bekerja di sana, mungkin semuanya akan jadi rumit. Aku tidak ingin membuat masalah baru untuk orang lain,' batinnya.Sesampainya di depan restoran, taksi berhenti perlahan. Aluna
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu di balik tirai jendela kamar Aluna. Udara terasa segar, langit tampak biru cerah, seolah hari menjanjikan kebahagiaan. Namun, tidak bagi Aluna. Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat dan senyuman lebar, kali ini terasa hambar. Wajahnya kusut, matanya sembab, bibirnya mengerucut dalam diam.Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, menatap nanar lantai kamar yang dingin. Tak ada suara, hanya detik jam dinding yang berdetak pelan seiring waktu yang terus berjalan.Biasanya, pagi adalah momen yang paling ia nantikan. Ia akan bersiap-siap pergi ke restoran Tanpopo’s, tempat ia bekerja sekaligus tempat hatinya berlabuh diam-diam. Daniel, pemilik restoran itu, bukan hanya sahabat masa kecilnya, tapi juga seseorang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hati Aluna.Namun, malam tadi telah mengubah semuanya.Saat James mendadak masuk ke kamarnya hanya untuk mengantar black card dari Angga. Aluna masih ingat jelas bagaimana James, dengan ekspres