Kedua alis Angga tampak mengerut saat Aluna memintanya berhenti. Angga pikir Aluna akan memintanya mengantarkan ke suatu tempat. Namun dugaannya salah.
Melihat Angga yang tidak meresponnya, membuat Aluna mulai kesal. "Hei Tuan, aku bilang berhenti. Aku peringatkan kepadamu, jangan main-main denganku ya. Kau lihat sendiri, betapa takutnya pencuri mobil tadi kepadaku. Jika kau berani menyentuhku, aku akan melemparmu seperti bola!" gertak Aluna penuh ancaman. Alih-alih takut, Angga malah mendengus geli saat Aluna melontarkan ancaman untuknya. Angga menggeleng pelan, sungguh tidak habis pikir dengan keberanian yang dimiliki calon istrinya tersebut. Aluna mulai resah. Pasalnya, Angga sedikitpun tidak gentar terhadap ancamannya. Malah semakin melajukan mobilnya tanpa ada tanda-tanda ingin berhenti sesuai permintaannya. "Tuan, aku mohon padamu. Hentikan mobil ini. Aku kan sudah membantumu menggagalkan pencurian yang terjadi pada mobilmu. Atau bila kau mau, katakan saja berapa aku harus membayarmu," usul Aluna. Perkataan yang baru saja dilontarkan Aluna membuat Angga tidak dapat menahan diri untuk tertawa. "Berapa banyak yang bisa kau berikan kepadaku?" tanya Angga dengan nada meremehkan. Aluna terkesiap dan tersadar dari kebodohannya. Padahal saat ini dirinya tidak membawa uang sepeserpun. Bagaimana caranya membayar? "Masalah uang, bisakah kita bahas lagi nanti Tuan? Masalahnya dompet dan ponselku tertinggal," pinta Aluna, mencoba untuk bernegosiasi. Namun pernyataan Aluna tidak membuat hati Angga melunak. Angga semakin menancap gas lebih dalam. Sehingga membuat kepanikan tercipta diwajah Aluna. "Tuan, aku mohon kasihanilah aku. Aku terpaksa kabur dari pernikahan karena tidak ingin menikah dengan seorang pria tua yang jelek dan tidak perkasa itu," pinta Aluna, sembari memelas. Angga terbelalak kaget saat Aluna secara tidak langsung mengatai dirinya. Hal itu membuat Angga menghentikan mobil secara mendadak. Aluna yang tak siap, berakhir menghantam kursi bagian depan. Sambil meringis memegang keningnya yang merah, akibat ulah Angga. Kesabaran Aluna yang setipis tisu, benar-benar sedang diuji saat ini. "Astaga! Bisakah kau membawa mobil ini dengan santai Tuan. Apakah kau sudah bosan hidup. Jika ingin mati, tolong jangan libatkan aku," omel Aluna. Dada Angga terasa bergemuruh. Perkataan Aluna tadi, terasa mencubit hatinya. "Katakan kepadaku, apakah kau pernah bertemu dengan calon suamimu yang tua, jelek dan tidak perkasa itu?" tanya Angga. Suaranya terdengar berat, penuh penekanan. Aluna tercengang saat melihat orang yang belum dikenalnya tersebut, merasa tersinggung oleh perkataannya. "Be-belum pernah Tuan," ucap Aluna, sedikit terbata. Rasa gugup mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. "Lalu mengapa kau bisa mengatakan hal itu kepadanya? Sedangkan kau belum pernah bertemu?" tanya Angga kembali. "Aku hanya mengarang saja. Maaf bila perkataanku kurang mengenakkan. Tapi mengapa malah kau yang marah? Apa jangan-jangan kau itu adalah Tuan Angga ya," ucap Aluna penuh selidik. Netranya memicing, menatap curiga ke arah Angga. Melihat Aluna yang menatapnya penuh curiga, membuat Angga seketika gugup. Namun Angga mampu menyembunyikan kegugupannya. "Siapa juga yang marah. Aku hanya bertanya saja. Bila kau tidak mengijinkanku untuk bertanya ya sudah. Aku tidak akan memaksa," ucap Angga, berusaha mengelak. Aluna masih merasa yakin bahwa ada yang tengah disembunyikan oleh pemilik mobil tersebut. "Apakah kau yakin hanya —" "Sudahlah lupakan saja," potong Angga. Angga sengaja mengalihkan pembicaraan, agar identitas aslinya tidak diketahui oleh Aluna. Sebab Angga mempunyai rencana tersendiri. Aluna menghembuskan napas kasar. Saat netranya menatap sekeliling kendaraan yang tengah berhenti, sebab lampu merah. 'Pantas saja dia tiba-tiba berhenti. Ternyata sedang lampu merah,' batin Aluna. Wajahnya menunjukkan kekesalan. Saat dalam keheningan yang terasa mencekam, Aluna memikirkan sekelebat ide. Agar bisa segera terbebas dari orang yang ada dihadapannya. "Tuan, bolehkah aku meminta sesuatu padamu? Karena dompet dan ponselku tertinggal, bisakah kau meninggalkan nomer ponselmu untukku, agar aku bisa menghubungimu nanti dan membayar biaya bensinmu karena telah sudi mengantarku," pinta Aluna, dengan penuh kehati-hatian. Angga bergeming tanpa mengeluarkan suara. Tanpa diduga, tangannya terulur ke arah Aluna. Aluna berpikir bahwa Angga ingin bersalaman. Sehingga dengan senang hati Aluna menyambut uluran tangan Angga. Namun hal tak terduga terjadi. Dengan gerakan cepat, Angga menarik tangan Aluna hingga tubuhnya condong ke depan. Membuat jarak diantara mereka terkikis dan hanya menyisakan beberapa inci. Ada sesuatu yang bergetar dalam tubuh Angga, saat menatap Aluna sedekat itu. Wajahnya yang cantik, dengan bulu mata lentik dan bola mata berwarna hazel, serta bibir Aluna yang tipis alami membuat Angga terpaku sesaat. Mengagumi indahnya ciptaan Tuhan tersebut. Tak jauh berbeda dengan yang dirasakan Aluna. Jantungnya berdetak lebih kencang, saat netranya menembus netra Angga yang berwarna coklat. Setiap pahatan dari wajah Angga, nyaris sempurna. Sungguh membuat Aluna terpesona. 'Ternyata dia sangat tampan. Andai saja Tuan Angga itu adalah dia,' batin Aluna, berkhayal. Seandainya Aluna menyadari, bahwa tebakannya tidak meleset. Namun kepolosannya membuat Aluna tidak akan pernah sadar. Sampai waktu yang menjawab. Aluna segera memutuskan kontak mata diantara mereka. Mencoba menarik tangannya kembali yang saat ini tengah digenggam oleh Angga. Namun Angga tidak membiarkannya begitu saja. "Kenapa kau menarik tanganku?" tanya Aluna dengan nada ketus. Tetapi sepertinya Angga tidak berniat untuk menjawab. Angga meraih pulpen didalam dashboard mobil menggunakan sebelah tangannya. Menuliskan sebuah nomor telepon ditangan Aluna. "Ini nomorku. Jangan sampai terhapus. Oh ya, perkenalkan namaku Wijaya," ucapnya seraya mengaku sebagai Wijaya, yang diambil dari nama tengahnya, agar Aluna tidak curiga. "Namaku Alana. Senang bertemu denganmu," sahut Aluna, yang mengaku sebagai kembarannya. Selama berada di kota, Aluna akan mengaku sebagai Alana. Walaupun telah melarikan diri dari pernikahan, tetap saja Aluna belum sepenuhnya bebas dari sang ayah. "Oke baiklah sekarang kau boleh turun," suruh Angga. Seketika Aluna membelalak, "di mana ini? Mengapa begitu jauh?" protes Aluna. "Bukannya kau dari tadi bersikeras ingin turun," sela Angga. Perkataan Angga membuat hatinya tertohok. Aluna menundukkan kepalanya. Merasa malu karena perbuatannya sendiri. Sedetik kemudian, Aluna mengangkat wajahnya. Berharap Angga mau mengasihaninya kali ini. "Tuan Wijaya, bolehkah kau membawaku langsung ke kota London? Aku mohon," pinta Aluna, sembari mengatupkan kedua tangannya. Angga termangu. Mempertimbangkan permintaan Aluna. Sedetik kemudian, Angga mengangguk pasrah. Akhirnya Aluna merasakan sensasi kelegaan dihatinya. Walaupun harus kembali ke pusat kota London, setidaknya Aluna masih mengingat sedikit jalannya. Karena saat ini mereka berada di kota kecil, yang cukup jauh dari London. Sepanjang mata memandang, Aluna terus menatap ke arah luar jendela. Tanpa sadar bulir bening membasahi pipinya. 'Alana.. Di mana kau saat ini? Aku begini karena dirimu,' batin Aluna pilu.Di malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan k
Tak terasa, hari telah merangkak perlahan meninggalkan senja yang muram dan berubah menjadi malam yang dingin. Cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menghiasi cakrawala dengan kelap-kelip bagaikan bintang yang turun ke bumi.Di lantai atas sebuah apartemen mewah, di salah satu kamar bernuansa hangat dan elegan, berdiri seorang wanita muda di tepi balkon. Angin malam yang lembut memainkan helaian rambut panjangnya yang tergerai, sesekali menyingkap sebagian wajahnya yang dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikannya yang tenang dan anggun.Tatapan matanya menerawang jauh menembus gelapnya langit malam. Ada kesedihan samar di sana. Ada rindu yang tidak terucapkan. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia adalah Aluna. Tapi tidak. Wanita itu adalah Alana—kembaran identik Aluna.Meski terlahir dari rahim yang sama, jalan hidup keduanya begitu berbeda. Aluna t
Daniel mengajak Aluna ke sebuah tempat makan sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Bukan restoran mewah yang biasa mereka datangi untuk urusan bisnis. Hari ini, Daniel ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam. Ia merasa ada hal-hal penting yang tak bisa dibahas di balik meja kerja atau suasana restoran yang terlalu formal. Kadang, tempat yang sederhana justru menghadirkan kenyamanan dan ketulusan yang sulit ditemukan di tempat bergengsi sekalipun.Café kecil itu berada di pinggiran kota London, tersembunyi di antara deretan toko-toko buku tua dan toko bunga klasik. Aromanya khas: campuran kopi hangat, kayu tua, dan kue kayu manis yang baru saja keluar dari oven. Aluna duduk di sudut ruangan, di balik jendela kaca yang menghadap ke jalan, menanti Daniel dengan secangkir cokelat hangat di tangan. Matanya sesekali melirik keluar, mengamati lalu lalang orang-orang yang berjalan cepat menantang angin musim gugur.Beberapa menit kemudian, Daniel muncul di depa
Setelah menyelesaikan urusannya di dalam ruangan Daniel, Aluna segera melangkah keluar dari restoran Tanpopo’s. Namun langkahnya terhenti secara mendadak.Tepat di depan pintu keluar, berdiri seseorang dengan tubuh tegap dan wajah penuh keyakinan. Angga. Pria yang sebelumnya mengaku bernama Wijaya itu kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Aluna dengan sorot mata penuh perhitungan.Saking kagetnya, Aluna tanpa sengaja menabraknya. Tubuh mungilnya sedikit terpental ke belakang. Ia hampir jatuh, namun segera menegakkan tubuh dan menatap pria itu dengan mata membulat.“Ya Tuhan… kau?” ucap Aluna, setengah terkejut dan setengah kesal.Angga hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau hendak pergi ke mana? Biar aku antar,” katanya datar, seolah tidak ada kejadian berarti barusan.Namun bukannya terharu, Aluna justru memandangnya tajam. Napasnya terdengar berat, seperti menahan amarah.“Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang kamu menguntitku,” katanya penuh curiga.“Kalau aku bilan
Setelah selesai sarapan pagi, Aluna segera bersiap. Hari itu cuaca cukup cerah, langit tampak bersih dengan semburat jingga yang belum sepenuhnya menghilang.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.“Ini yang terbaik, Aluna… Demi semua orang,” gumamnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tak berapa lama, taksi yang ia pesan lewat aplikasi pun tiba. Dengan langkah ringan namun hati berat, Aluna masuk ke dalam mobil tersebut. Sepanjang perjalanan menuju restoran milik Daniel, pikirannya melayang-layang. Ia menatap keluar jendela, memandangi pepohonan dan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Semua tampak berjalan seperti biasa, seolah dunia tak peduli dengan konflik kecil yang tengah berkecamuk di hatinya.'Kalau aku tetap bekerja di sana, mungkin semuanya akan jadi rumit. Aku tidak ingin membuat masalah baru untuk orang lain,' batinnya.Sesampainya di depan restoran, taksi berhenti perlahan. Aluna
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu di balik tirai jendela kamar Aluna. Udara terasa segar, langit tampak biru cerah, seolah hari menjanjikan kebahagiaan. Namun, tidak bagi Aluna. Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat dan senyuman lebar, kali ini terasa hambar. Wajahnya kusut, matanya sembab, bibirnya mengerucut dalam diam.Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, menatap nanar lantai kamar yang dingin. Tak ada suara, hanya detik jam dinding yang berdetak pelan seiring waktu yang terus berjalan.Biasanya, pagi adalah momen yang paling ia nantikan. Ia akan bersiap-siap pergi ke restoran Tanpopo’s, tempat ia bekerja sekaligus tempat hatinya berlabuh diam-diam. Daniel, pemilik restoran itu, bukan hanya sahabat masa kecilnya, tapi juga seseorang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hati Aluna.Namun, malam tadi telah mengubah semuanya.Saat James mendadak masuk ke kamarnya hanya untuk mengantar black card dari Angga. Aluna masih ingat jelas bagaimana James, dengan ekspres