'Mati aku, mati ...! Tampaknya Brayan mulai menyadari gelagat aneh ku. Bagaimana mungkin aku tahu semua yang Lisa tahu?'
'Ini baru perkara toilet, bagaimana lagi jika Brayan melihat kulitku yang memerah karena alergi seafood? Come on Key, tetap tenang dan jangan terlihat panik. Kamu harus cari cara agar Brayan tidak curiga jika kamu bukan Lisa.' Key memegang pelipis dengan kedua tangannya. Setelah merasa cukup tenang, ia pun menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Kemudian mulai membongkar tas Lisa dan mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk meredakan sedikit gatal-gatal di tubuhnya. "Astaga apa ini?" tanya Key saat membongkar semua isi tas Lisa. "Pil kontrasepsi? Heh?" Key terkekeh saat mendapati obat pencegah kehamilan di dalam tas Lisa. Tenyata selingkuhan suaminya ini pintar juga. Meminum obat kontrasepsi agar tidak kebobolan saat berhubungan. 'Menjijikkan!' Key lalu mengambil sesuatu yang mirip dengan aroma balsem tapi dalam bentuk roll on. Langsung ia olesi pada bagian tubuhnya yang merah-merah agar gatalnya bisa sedikit mereda. Dan untungnya lagi ia memakai baju lengan panjang sehingga bisa menutupi bagian tubuhnya yang merah-merah. Setelah merasa lebih baik, Key pun kembali ke meja mereka dan duduk di depan Brayan. Pria tampan itu langsung mengalihkan pandang kepadanya dan berkata, "Kau baik-baik saja?" "Yah ... i am fine." Key tersenyum gantung. Brayan memanggil pelayan untuk membayar tagihan bill. Namun, seketika mata elang Key langsung melirik kepada nampan yang dibawa oleh pelayan tersebut. Sebuah black card yang pernah ia berikan kepada Brayan terpampang nyata di sana. 'Lagi dan lagi. Ternyata ini yang dia lakukan selama di belakangku? Bahkan belum sehari aku mati dia sudah makan di restoran semewah ini bersama selingkuhannya. Mana bayarnya dengan kartu yang aku kasih lagi? Sial, ini sih namanya aku memfasilitasi perempuan jalang ini.' "Ini Pak, kartunya. Terima kasih banyak sudah berlangganan di restoran kami." Brayan segera bangkit setelah mengambil kartunya. Dia lalu mengajak Key untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, pria tampan itu sangat terlihat irit bicara. Bahkan, tak mengatakan apa-apa sejak mereka masuk ke dalam mobil. Sangat jauh berbeda, seperti saat awal-awal Key bangun dan menjadi selingkuhannya. 'Apa dia mulai menyesali perbuatannya?' Batin Key seraya terus melihat ke arah luar. "Lis ...." Baru saja Key bertanya-tanya tentang diamnya suaminya, pria itu sudah kembali bersuara. "Ya Mas?" "Aku ... aku mau bilang, kalau ...." "Kalau apa, Mas?" "Aku ...." Brayan menoleh ke arah Key dan fokusnya langsung terpatri pada batang leher perempuan itu. "Lis ... ada apa denganmu?" "Heuh? Memangnya aku kenapa, Mas?" "Lehermu, kok ... merah-merah semua?" tanya Brayan. Key langsung memegang dan menutup alerginya. "Oh, ini ... ini cuma gatal biasa aja kok Mas." Namun Brayan tidak percaya begitu saja. Bermaksud untuk melihat keadaan selingkuhannya, ia pun menepikan mobil pada rest area. Lalu, dengan cepat ia pun menyingkirkan tangan Key dan melihat sekali lagi kepada ruam-ruam tersebut. "Kau punya alergi juga Lis?" selidik Brayan. "A—aku ... aku tidak tahu, Mas," gugup Key. "Tapi selama ini kita makan di sana, kau baik-baik saja. Kenapa hari ini bisa begini? Ya sudah, sekarang kita cari obat, ya?" Key pun mengangguk pelan. *** Setibanya di kamar hotel .... "Kenapa kau tak bilang jika punya alergi pada makanan laut? Begini kan sekarang?" Brayan mengomel seraya terus mengolesi salap pada ruam Lisa. Ia juga meminta Lisa untuk segera meminum obat yang baru ia beli. 'Sialan, dia begitu perhatian pada selingkuhannya. Sedang padaku saja dulu tidak seperti ini. Dasar playboy cap kadal!' Key pun mengambil obat itu dan meminumnya segera. Sebab ia benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan gatal-gatal di sekujur tubuh Lisa itu. "Gimana? Sudah mendingan tidak?" tanya Brayan. Key pun mengangguk pelan seraya tersenyum simpul. Padahal di dalam hati sedang mengomel dengan kecepatan seratus kilometer per jam. "Cepat sembuh ya?" Brayan menepuk pelan pipi Key. Lalu ia bangkit karena akan membawa gelas minum dan obat ke atas nakas. Namun, belum juga ia melangkah, tangan Key sudah lebih dulu menahannya. "Eh, Mas ...." "Iya?" "Kok Mas bisa tahu sih obat alergi?" Key pura-pura bertanya. Tak langsung menjawab, Brayan segera berlalu menuju nakas lalu meletakkan gelas dan obat di sana. Beberapa detik kemudian, barulah ia kembali bersuara dengan berkata, "Key ... istriku." "Key?" "Eum. Dia juga alergi pada seafood. Bahkan lebih parah darimu. Ia sama sekali tidak boleh makan makanan yang mengandung seafood, walau hanya dalam jumlah sedikit. Itulah sebabnya aku tidak pernah membawanya ke restoran itu. Sebab aku tidak mau dia kenapa-kenapa." Deg! Key langsung terdiam. Tiba-tiba saja jantung Lisa berdetak dengan begitu kencang, dan Key bisa merasakan getarannya itu. Entah apa penyebabnya, ia sendiri tak tahu. Mungkinkah karena mendengar kata-kata Brayan barusan? Tapi, siapa yang berdebar saat ini, dia atau Lisa? "Kenapa diam? Apa kau cemburu?" Brayan kembali mendekat dan menatap selingkuhannya lekat-lekat. "Cemburu? Ah, ya tidak dong Mas. 'Kan selama ini Mas selalu memprioritaskan aku. Iya 'kan?" Brayan tersenyum dan kemudian kembali bangkit. Merapikan sedikit jasnya seperti akan pergi. Key hanya melihatnya saja dengan ujung matanya. "Aku kembali ke rumah dulu ya? Di sana pasti sudah ramai tamu. Nanti aku telepon." Brayan segera melangkah ke arah pintu. Dahi Key bertaut. Dia mulai bingung apa yang harus ia lakukan. Tetap diam di kamar hotel, atau ikut suaminya pulang ke rumahnya sendiri. Jika ia tak ikut, apa yang akan ia lakukan sendirian di kamar hotel itu? Namun, jika ia meminta ikut, apa alasan yang masuk di akal Brayan untuk dia ikut ke rumah "Key"? Agh, bingung kan jadinya? Brayan sudah membuka pintu dan bersiap melangkah keluar. Namun, belum juga ia kembali menutup pintu, Key sudah lebih dulu bangkit dan berlari ke arahnya. "Mas ... Mas ... tunggu." Brayan menghentikan gerakan tangannya dan melihat ke arah Key. "Ada apa Lis?" "Mas ... aku ikut." "Hah, ikut?""Iya, rahasia. Kamu dan Brayan pasti punya rahasia kan yang tidak Kayla tahu. Ngaku kamu!" Elena terus maju sedang Key mulai mundur perlahan. "Tidak ada rahasia apa-apa, Mbak. A—aku ...." "Tega banget ya kamu sama Kayla. Salah apa Kayla sama kamu? Jawab!" Elena terus mendorong pundak Lisa hingga membuat Kayla takut. Selama ini, Key tidak pernah melihat asisten pribadinya bersikap seperti itu kepada orang lain, apalagi kepadanya. Mungkin karena Elena sudah benar-benar muak melihat Lisa yang sampai hati merebut suami sahabatnya. "Mbak ... tahan dulu. Aku benar-benar tidak menyimpan rahasia apa pun dari Ibu Kayla. Kalau Mbak marah karena go public kami hari ini, Mbak sebaiknya tanyakan ke Mas Brayan. Ini semua atas kemauan Mas Brayan, bukan aku. Sumpah." Elena menghentikan langkah kakinya dan menyunggingkan senyum sinis kepada Lisa. Untuk kali ini, ia sedikit setuju dengan kata-kata sang pelakor. Memang benar, dalam setiap hubungan perselingkuhan, acap kali yang menjadi sasar
"Kamu?" tanya Key tak percaya. Rava menyorot tajam dan penuh kebengisan ke arah wajah Lisa. Punggung perempuan itu tampak masih menempel di dinding lift, dengan kedua tangan yang berada dalam cengkeraman tangan sang pacar. "Tolong jelaskan kepadaku, Lisa. Apa maksud dari semua itu tadi?" tanya Rava sembari menggigit gigit. Geram. "Rava, sakit. Tolong lepasin," mohon Kayl "Sakit katamu, hah? Sakit mana dengan hatiku, hmm? Bertahun-tahun aku berjuang, hanya untuk bisa melamarmu suatu hari nanti, tapi apa yang aku dapat? Kau malah mau menikah dengan Pak Brayan?" "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Rava. A—aku ...." Key mencoba untuk menjelaskan tapi terhenti. "Tidak seperti yang aku bayangkan bagaimana? Jelas-jelas tadi Pak Brayan bilang, jika kalian akan segera menikah. Apa kau mau bilang jika itu hanya lelucon saja?" Kayla menggeleng dengan kepala yang menunduk. Ia benar-benar bingung dengan situasi ini. Bagaimana cara menjelaskan kepada laki-laki yang ada di depannya
"Perkenalkan, ini Lisa, calon istri saya," ucap Brayan santai. "What?!" Elena dan semua yang mendengar pengakuan Brayan terkejut luar biasa. Mereka sampai ricuh dan saling lihat satu sama lain. Tak terkecuali Rava. Pria berjas abu-abu itu bahkan sampai tak mengedipkan matanya sejak dari Key melangkah naik ke atas panggung dan berdiri sembari tersenyum manis di sisi sang CEO. 'Lisa? Dia akan menikah dengan Pak Brayan? Bagaimana bisa? Semalam aku baru bertemu dengannya dan dia tampak baik menyambut kedatangan dan niat baikku. Apa itu semua hanya sandiwaranya untuk menutupi perselingkuhannya selama ini?' Tangan Rava menggenggam erat. Dengan penuh kekecewaan, ia pun berbalik dan langsung berlalu, keluar dari ruangan itu. Entah ke mana ia akan pergi? Yang jelas, ia ingin meluapkan kekesalannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan acara tersebut. Begitu menyesakkan, saat melihat pengkhianatan yang Lisa lakukan di depan matanya. Bagaimana tidak, selama ini ia telah berjuang hab
Key duduk sembari terus menatap ke arah gedung tinggi yang ada di depannya. Memainkan tangan Lisa demi menghilangkan rasa gugupnya yang kian membuncah. Itu kantor milikinya, tapi rasanya seperti neraka bagi dia yang masih terjebak di dalam tubuh sang pelakor. Kalau saja raganya bukan raga Lisa, melainkan raga perempuan lain, mungkin ia tidak akan se-nervous ini. Terlebih saat mengingat bagaimana dulu ia dan Lisa berseteru di depan semua karyawan, ia yakin, para karyawannya belum amnesia dengan kejadian itu. 'Bagaimana jika saat mereka melihatku, aku justru di perlakukan kasar. Diserang seperti saat Elena menyerangku waktu itu? Astaga, aku bisa mati di sana.' Key membuang napas kasar. Bersamaan dengan kekhawatiran Kayla, Brayan pun sudah kembali ke mobil. "Maaf ya aku lama. Nih, untukmu." Brayan menyodorkan sekaleng coffee dingin yang baru saja ia beli dari mini market kepada Lisa. "Terima kasih, Mas." Key memasang raut wajah datar di wajah selingkuhan suaminya itu. Melihat
Lima bulan yang lalu .... "Kau sudah atur jadwal pertemuan kita dengan pihak ketiga pada proyek yang kemarin?" tanya Kayla pada bawahannya yang sedang mengikuti langkahnya yang tergesa. Ia ada meeting dadakan sebentar lagi, jadi harus segera tiba di ruangan sebelum kliennya tiba. "Sudah, Bu. Saya sudah atur jadwalnya. Pukul delapan malam ini di Hotel Ocean," jawab sang bawahan. "Bagus. Terus soal proposal kita yang akan diantar kepada Pak Ridwan, apa sudah kamu selesaikan." "E ... untuk itu, saya ... saya belum ...." Key menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban terbata dari bawahannya. Ia pun berbalik dan melihat tajam kepada pria berkemeja putih dengan dasi biru dongker tersebut. "Kenapa kamu belum menyelesaikannya?" tanya Key dengan raut wajah kesal. "E ... maaf, Bu. Saya kemarin harus mengerjakan yang lain, jadi ...." "Astaga, Brayan! Kamu tahu kan kalau proposal itu harus diantar besok sebelum pukul dua. Kalau telat, mereka tidak akan mau menerimanya lagi. Ka
Selang dua puluh menit, mobil Brayan sudah tiba di depan rumah Lisa. Bersamaan dengan itu, tampak Hendra yang juga baru pulang dengan langkah sempoyongan. Berjalan ke arah Brayan dan berhenti tepat di depan selingkuhan anaknya itu. "Selamat malam, Pak," sapa Brayan sopan. "Eum, malam juga. Mau jemput Lisa kau?" tanya Hendra sinis. "Iya ... soalnya besok ...." Belum selesai Brayan dengan kata-katanya, Key sudah lebih dulu keluar dan langsung menyapa sang suami. "Maaf ya, Mas, aku lama." sandiwaranya. "Tidak apa-apa sayang. Justru harusnya aku yang minta maaf, karena sudah buat kau nunggu lama. Tadi ada meeting dengan klien, jadi aku pulangnya agak malam," jelas pria yang masih memakai setelan jas kantornya itu. "Tidak apa-apa kok, Mas. Aku juga sudah kangen sama kamarku. Malah tadi aku pikir Mas tidak akan datang dan aku bisa menginap di sini." Key melepas senyum palsunya. "Ya tidak dong sayang. Lagian besok kan ada acara penting yang harus kita hadiri," jelas Brayan yang