Share

1. Gerimis dan Kepergianmu

Malang, Desember 2016

Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.

Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun.

"Apa kau tak punya partner?"

Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.

Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu.

"Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.

Setelah menghela napas, Denis kembali melanjutkan kegiatannya bersama ponsel. Tepatnya, tengah menyelesaikan tantangan game balapan mobil bersama sahabat karibnya sejak SD, Shaka.

Sesekali, pemuda itu terkekeh-kekeh geli saat Shaka harus menerima kekalahan darinya. Tak jarang pula dia menggerutu, saat sang sahabat menyalip skornya.

"Sepertinya asyik. Lagi nge-game bareng Shaka, ya?"

Kali ini suara sang kakak, David Anggara Wibisono, membuat Denis harus mengalihkan fokus lagi dari ponselnya.

Pemuda itu hendak menjawab pertanyaan David, tapi urung ketika tiba-tiba muncul sosok perempuan cantik di belakang kakaknya itu. Dengan tinggi 168 cm, berkulit putih, berpenampilan glamour. Dia memakai gaun berwarna biru tua dengan lengan tertutup, tapi leher sampai dada atas terbuka, menampakkan sedikit belahan di sana.

Kedua iris perempuan cantik itu, yang dipakaikan lensa warna biru keabu-abuan malam ini, bertemu dengan milik Denis. Membuat Denis segera mengalihkan lagi tatapan matanya ke ponsel.

"Sayang, lima menit lagi sambutan Papa, setelahnya kita makan bersama keluarga di ruang VIP. Pastikan adikmu tidak berniat kabur lagi." Perempuan itu, Nadia Dewanti Wardoyo, berbisik lembut kepada David, tunangannya.

"Kamu dengar apa kata calon kakak iparmu, 'kan, Den?" David mengerling ke Denis, yang masih asyik berkutat dengan ponselnya.

"Ya," jawab Denis singkat, tanpa mengalihkan tatapan mata dari gadgetnya itu.

"David!" Tiba-tiba terdengar suara Adi Wibisono, ayah David dan Denis, memanggil anak lelaki pertamanya. Lelaki paruh baya itu tampak sedang bersama Seno Wardoyo, ayah dari Nadia. Mereka berdiri sekitar satu meter dari tempat Denis, David, dan Nadia berada.

"Aku ke Papa dulu, Sayang. Sepertinya mau membicarakan persiapan makan malam nanti." David berbisik lembut ke Nadia. Di mana gadis itu hanya tersenyum kecut.

"Sepertinya aku tak terlalu diharapkan oleh mereka, padahal posisiku di perusahaan lebih tinggi darimu, Dave!"

Sindiran Nadia membuat David terbahak-bahak. Dia lalu menyelipkan juntaian anak rambut di pelipis kiri tunangannya itu, ke balik telinga.

"Ini karena kami akan membicarakan surprise untukmu pekan depan, di saat ulang tahunmu. Jangan sampaikan pada siapa pun kalau aku membocorkan ini padamu, Nad."

Nadia terkekeh-kekeh. "Kamu lupa ada dua telinga lain selain milik kita berdua, Dave?" Lalu, perempuan cantik itu melirik Denis yang masih asyik berkutat dengan ponselnya.

"Kalau Denis, sih," David ikut mengerling adik lelakinya, "tanpa diminta juga gak bakalan bilang siapa pun."

David lalu kembali tertawa, sebelum akhirnya pamit untuk segera menuju ke ayah dan calon ayah mertuanya.

Setelah David pergi, Nadia masih bertahan di tempatnya berdiri, dan memanggil pelayan mendekat untuk memberinya segelas wine.

"Kamu tak minum beginian, ya?" Nadia bertanya ke Denis setelah meneguk habis wine-nya.

Denis tak segera menjawab, dia memilih menyelesaikan dulu lap terakhir di game-nya, baru beberapa detik setelahnya logout dan mematikan ponsel, untuk menatap Nadia.

"Retoris." Denis memasukkan ponselnya ke saku jas, lalu dia bersandar ke dinding dan menyilangkan lengan di dada.

"Bagaimana penampilanku malam ini? Sudah cocok jika berdiri di samping David?" Nadia, masih memegang gelas pialanya, berputar pelan. Memamerkan tubuh indah dan gaun glamour-nya pada Denis.

Denis mengamati Nadia dari atas ke bawah, lalu terkekeh-kekeh. "Ya, lumayan lah! Kalau kamu memakai pakaian lebih sopan begini, itu akan cocok dengan image Mas David."

Nadia tersenyum sinis. "Serius? Ini sudah sopan menurutmu?"

Denis mengangguk, masih menyilangkan lengan di dada. "Daripada biasanya. Meski dadamu masih sedikit terekspos begitu."

Nadia langsung terbahak-bahak. "Ternyata masih ada yang luput juga. Ah sudahlah, aku lama-lama lelah juga mengikuti saranmu."

"Kalau begitu tak usah ikuti dan kembali saja berpakaian seperti kesukaanmu biasanya." Denis membalas dengan enteng.

"Kamu memang tak bisa dikalahkan dalam hal berdebat, Denis." Nadia menaikkan alisnya.

Denis melepas lengannya dari dada dan mengangkat bahu. "Kalau begitu, tak usah mengajakku berdebat. Karena aku juga tak akan pernah bisa mengimbangi segala sikap aroganmu yang selalu memandang rendah keluargaku."

Nadia kembali terbahak-bahak. "Hei, Bocah! Aku kan sudah berbaik hati ingin lebih akrab denganmu sebagai calon kakak ipar. Mengikuti saranmu untuk tampil lebih sopan setelah bertunangan dengan David, juga karena aku ingin bisa lebih dekat dengan keluargamu. Apa itu kurang?"

Denis menatap tajam kedua mata Nadia. Entah kenapa, setiap melihat senyum perempuan itu, Denis selalu kesal. Rasanya emosi dalam dirinya bisa saja akan meledak sewaktu-waktu.

Nadia itu seperti ular. Tak ada yang tahu senyum yang dia tampakkan itu benar-benar tulus atau hanya sebuah kamuflase belaka.

Perempuan itu sangat angkuh dengan posisinya yang dia anggap sangat tinggi dibanding siapa pun. Bersedia bertunangan dengan David yang lebih muda darinya lima tahun, karena ingin lepas dari kesan 'bekas' seseorang, setelah bercerai dengan mantan suaminya yang seorang warga negara Jepang satu setengah tahun lalu.

Denis selalu berpikir, betapa bodoh David yang sejak dulu menyukai perempuan itu. Sampai saat tiba waktunya Seno Wardoyo meminta Adi Wibisono untuk menyatukan David dan Nadia dalam ikatan pertunangan menuju pernikahan, kakaknya itu senang bukan main.

Padahal, di luar sana banyak sekali perempuan-perempuan cantik yang antri ingin menjadi belahan jiwa dan pendamping hidup kakaknya tersebut.

Mereka jauh lebih sopan, lebih tulus, meski dari segi fisik dan wajah, tak diragukan lagi bahwa seorang Nadia, Wakil Presiden Direktur WW Tech, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia ini, seolah tak memiliki cela, dan tak bisa dibandingkan dengan perempuan mana pun.

"Hah." Denis terlihat mulai kesal. Dia kemudian berjalan mendekat ke Nadia, dan berkata pelan, "Seseorang sepertimu akan sulit untuk bisa menemukan cinta sejati, kalau kamu tak benar-benar merubah sikap dan kepribadian, Nad."

Nadia tersenyum sinis. "Seorang Denis menasihatiku? Luar biasa!" Lalu, meraih dasi Denis dan menariknya, hingga kepala pemuda jangkung itu sejajar dengannya.

"Orang kaku yang sangat egois dan hanya bisa memikirkan dirinya sendiri, mimpinya sendiri, keasyikan dalam hidupnya sendiri ... sampai ayahnya lelah, dan lebih memilih melepas anak keduanya ini untuk hidup sesukanya saja. Begitu?"

Denis menepis tangan Nadia dan menatap kesal perempuan itu, sambil kembali berdiri tegak dan membenarkan posisi dasinya. "Aku bukan budak ambisi seperti kalian semua. Hidupku murni milikku. Lalu, satu hal lagi. Tolong jangan menampakkan wajah atau kesan manis padaku hanya untuk bisa membuat David percaya bahwa kamu tulus ingin bisa menjadi bagian penuh keluarga Wibisono."

Denis merapikan jasnya."Sebab, itu tak berguna. Semua orang tahu betapa liciknya seorang Nadia Wardoyo itu. Daripada mempercayaimu, lebih baik percaya pada Sunny, kucing Shaka."

Nadia langsung terbahak-bahak. Setelah mengumpat, perempuan itu menyindir Denis dengan frontal. "Seseorang yang kaku sepertimu, yang harusnya mendapatkan banyak nasihat tentang bagaimana cara mendapatkan cinta sejati. Sebab, hatimu itu keras bagai batu sungai."

"Ya, ya, ya. Kak Nadia memang hebat!" Denis tersenyum dibuat-buat. Lalu, dia melambaikan tangan dan berjalan pergi, meninggalkan Nadia yang menatap pemuda itu dengan ekspresi kesal.

"Sialan!" umpat Nadia. "Kalau tidak untuk bertahan hidup, kamu pikir orang-orang sepertiku akan mau terus diperbudak oleh ambisi kekuasaan?"

Perempuan itu lalu memanggil pelayan, menyerahkan gelas pialanya, dan berjalan dengan langkah yang anggun, menuju ruang makan VIP.

Malam itu, hujan turun cukup deras di luar hotel. Tempat di mana diselenggarakan acara ulang tahun perusahaan WW Tech yang ke 53 tahun.

Acara yang seperti itu memang selalu membuat Denis kesal, tapi tak bisa menghindarinya. Menjadi bagian dari keluarga yang berkutat di dunia bisnis, dengan segala ambisi kekuasaan dan kemewahan hidup yang berputar di dalamnya, membuat pemuda itu mau tak mau tetap harus hadir dalam momen-momen publik, sebagai anak dari salah satu tokoh di WW Tech dan juga aktor dunia bisnis di Kota Malang.

Saat ini, Malang telah menjadi kota kedua, setelah Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, yang menjadi pusat kehidupan bisnis paling besar. (*)

Meski hatinya berontak sekali pun, Denis tetap berusaha terlihat tenang di muka umum. Menampilkan wajah datar dan kesan bersahaja dirinya, yang telah menjadi image publik sejak dulu.

Anak kedua sosok Adi Wibisono, yang diasuh oleh Jenar Ayu, mantan istri pengusaha itu, sampai usia 18 tahun karena wanita yang memiliki usaha bakery itu meninggal. Denis kemudian kembali pulang ke rumah sang ayah, dan terpaksa mengikuti alur kehidupan di keluarga Wibisono.

Bermodal image anak yang ditinggal mati ibunya, korban perceraian, hanya seorang anak bungsu dari keluarga pengusaha kaya yang ingin hidup dengan tenang di antara para pelaku bisnis besar itu, Denis akhirnya bertahan hidup bersama ayah dan kakaknya.

Membuatnya mampu mendapat izin dari sang ayah untuk kuliah di jurusan yang dia inginkan, menikmati aktivitas melukis dan bermain bersama dua sahabatnya, Shaka serta Sarah, asalkan dia tidak banyak protes atau menunjukkan pemberontakan yang bisa mencoreng nama baik keluarga Wibisono.

Setidaknya begitu yang harus terus Denis lakukan. Menjadi manusia kaku, tak banyak bicara, tak usah protes atau berpendapat apa pun. Cukup diam, menjalani hidup dengan normal, dan tak mengusik semua rencana dan jalan-jalan yang sudah disusun ayahnya.

***

Malang, Januari 2017

Isak tangis mewarnai suasana pemakaman David Anggara Wibisono, yang meninggal semalam karena kecelakaan tunggal di tol Semarang, saat perjalanan pulang menuju Malang. Dia dan supirnya tewas seketika di tempat.

Meninggalkan Adi Wibisono yang tak bisa menghentikan tangisnya dan terus meratap di tengah gerimis, dekat pusara anak pertamanya. Serta, Denis yang hanya bisa menatap hampa makam basah sang kakak.

Padahal, kemarin lusa, David masih bercanda dengannya. Menggoda dirinya kenapa tidak berkencan saja dengan Sarah, karena sudah berteman akrab dengan gadis itu sejak SMA.

"Lihat tuh! Mas-e** meninggal tapi dia biasa aja. Emang anak kaku, bagaimanapun juga tetep gak bisa tersentuh. Entah apa yang membuat dia hidup dengan kepribadian seperti itu."

"Padahal, ayahnya meraung-raung meratapi kematian David. Eh, dia cuma bengong dan seolah tak masalah jika kakak satu-satunya itu pergi untuk selamanya."

Serta, masih banyak lagi perkataan-perkataan sumbang di sekitar telinga Denis. Bagaimana reaksi pemuda itu? Tentu saja dia sudah terbiasa.

Menjadi bagian dari keluarga pengusaha yang sukses di mata publik, dibicarakan dengan baik atau buruk sudah menjadi santapan yang harus dilahapnya setiap hari, jam, menit, maupun detik.

Dia tak lagi peduli. Menganggap itu semua hanya sebagai lalat-lalat yang tengah berpesta di atas bangkai, yaitu tubuhnya sendiri.

Matanya masih menatap sosok sang ayah yang belum mau bangun, dan masih menangis di dekat nisan David. Kuncoro Jati, sahabat Adi yang juga adalah adik ipar Seno Wardoyo itu, masih setia memayungi ayah Denis tersebut. Agar gerimis tipis yang turun di Bumi Arema, tidak membasahi jas hitam mahal Adi.

Denis menghela napas, lalu melirik Seno Wardoyo yang ditemani Nadia, berdiri di belakang ayahnya. Seno tampak terpukul, dan Nadia dengan wajah masih sembab setelah menangis, menatap hampa nisan David. Tak ada tanda-tanda sosok istri Seno hadir, dan itu sudah biasa, yaitu karena alasan mengurus usaha butiknya yang sudah go internasional.

Denis menghela napas lagi, lalu mendongak ke langit. Masih membiarkan dirinya basah karena gerimis.

Dengan pelan dia bergumam sambil menutup mata, agar air hujan tak membasahi kedua matanya, "Aku iri padamu, Mas Dave. Sudah bebas dari kehidupan gila ini."

====

(*) Di sini author membuat latar fiktif, bahwa Malang telah menjadi kota bisnis dan metropolitan kedua terbesar dan termaju di Indonesia setelah Jakarta, untuk mendukung alur cerita.

(**) Mas-e= Kakak laki-lakinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diana Agustina
Nadia nyebelin banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status