“Apa-apaan ini?! Keluar kalian berdua! Cepat keluar, sialan!”
Jack Hall memukul-mukul kaca mobil putih yang berhenti di halaman rumah, setelah melihat sang istri, Elena Moore, bermesraan dengan sang atasan.
Sebelumnya Jack sibuk membantu keluarga istrinya mendekor ruang tamu dengan aneka pita, bunga-bunga, dan balon warna-warni untuk merayakan entah. Dia yang pulang lebih awal dari dinas di luar kota, bahkan tidak diberi kesempatan untuk sekadar meletakkan koper di kamar atau mengganti baju.
Meski tidak yakin, Jack memilih berprasangka bahwa hiasan-hiasan di rumah adalah untuk memperingati hari ulang tahunnya. Itulah alasan Jack pulang lebih cepat, sebab ingin memberi kejutan kepada istri tersayang.
Siapa sangka, malah Jack yang sekarang dibuat terkejut, atau lebih tepatnya syok!
Elena dan Victor Exton, atasan Jack, terkesiap. Mereka tidak tahu kalau Jack sudah pulang. Dengan gugup keduanya turun dari dalam mobil.
“Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Benar, Jack. Jangan salah sangka. Ini benar-benar tidak seperti yang terlihat. Aku bisa menjelaskan.” Victor ikut meyakinkan.
Dengan tangan bergetar Jack mengacungkan telunjuknya ke hadapan Victor. “Tutup mulutmu! Aku bisa melihat dengan jelas apa yang kalian lakukan tadi.”
“Jack, kamu salah paham. Victor hanya memberiku tumpangan. Dia hanya mengantarku pulang setelah belanja sendirian. Itu saja! Kami tidak melakukan apa pun yang tidak semestinya.”
Jack tertawa getir. “Itu saja? Oh, lalu apa yang barusan aku lihat? Pria ini memberikan napas buatan padamu yang sehat walafiat? Dan sebagai tanda terima kasih, kamu menjulurkan lidahmu? Cih! Kekonyolan macam apa yang coba kalian jelaskan?”
Elena merapatkan kedua bibirnya sebelum memegang lengan Jack. “Sayang ….”
“Singkirkan tanganmu!” Jack mendesis dengan sorot tajam pada istrinya yang menggeleng. “Aku tidak menyangka kamu melakukan ini. Saat aku bekerja keras untukmu dan keluargamu, kamu justru berselingkuh dengan atasanku? Kamu sudah tidak waras, Elena!”
Satu-satunya alasan Jack diam dan bertahan meski mendapat perlakuan buruk dari keluarga Elena adalah Elena itu sendiri. Dia tidak keberatan hidup bersama mertua dan ipar menyebalkan demi Elena. Hampir satu tahun menikah, mereka adalah suami-istri yang harmonis dan saling mencintai. Jack tidak menaruh curiga sebab Elena selalu bersikap sangat baik dan manis padanya. Tapi kali ini wajah asli istrinya terungkap.
Tidak terima disalahkan begitu saja, Elena membela diri. “Kamu tidak bisa melimpahkan semua ini padaku, Jack. Apa kamu tidak mengerti, ini semua salahmu.”
“Salahku?” Jack menunjuk dirinya sendiri.
“YA!” Elena menjawab lantang dan mantap. “Jika kamu berusaha sedikit saja untuk membahagiakan aku, pasti aku tidak akan mengkhianatimu.”
Jack tertawa sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Tidak hanya sedikit usaha yang telah dia lakukan. Jack rela berhari-hari berada di luar kota, sering mengambil lembur, dan masih harus mengerjakan tugas-tugas rumah yang tidak masuk akal. Dia mengabaikan diskriminasi dari keluarga Elena, bahkan bersikap seolah semuanya adalah hal wajar.
Jadi, sebenarnya istrinya itu buta atau apa?
“Kamu terlalu miskin untuk membelikanku barang-barang branded, makan di restoran mewah, tinggal di rumah megah. Aku akui kamu memang pekerja keras dan rajin. Tapi Jack, kenyang saja tidak cukup. Bisa beli baju dan sepatu saja tidak berarti apa-apa. Aku menderita harus menahan diri untuk keluar dengan teman-temanku karena apa yang aku miliki tidak cukup berkilau.”
Elena mengeluh lagi, “Kamu selalu bekerja dan bekerja, tapi tidak ada hasilnya. Aku tahu pasti, meski kamu menghabiskan seluruh hidupmu untuk bekerja, kamu tidak akan bisa memberikan kemewahan sekecil apa pun, sebab kamu hanya sales, Jack. Kamu ada atau tidak di sisiku, tidak mengubah keadaan, aku tetap harus bersabar dan bersabar. Maaf ya, tapi aku tidak sebodoh itu hingga menghabiskan hidupku yang berharga dalam kemiskinan.”
Jack menunduk sejenak tanpa menghapus senyum getir di wajahnya. Di bawah sana, dia melihat sepasang sepatu usang membungkus kakinya. Membeli sepatu baru jelas tidak akan menghabiskan gajinya, tapi Jack tidak melakukan itu demi Elena.
“Konyol.”
Mendengar gumaman bawahannya, Victor bereaksi, “Jack, tidak semestinya kamu menyalahkan Elena atas kegagalanmu dalam menjadi seorang suami. Elena hanya mencari sosok pria yang bisa diandalkan, bisa memenuhi keinginannya, dan pastinya bisa membuatnya bahagia. Kamu bahkan tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Bukan salah istrimu jika malah mendapatkan hal itu dariku. Jika ada yang harus disalahkan dari semua ini, ya jelas itu kamu!”
“Sangat benar!” sahut Ibu mertua Jack. Entah sejak kapan dia dan yang lainnya berdiri di depan pintu rumah, mengawasi yang terjadi. Ibu mertua mendekat untuk memaki, “Pria miskin, seharusnya kamu berterima kasih pada Victor karena sudah memberikan apa yang tidak bisa kamu berikan pada Elena. Dia dengan suka rela menggantikan tanggung jawabmu sebagai suami, menantu, bahkan ipar!”
Jack tertawa keras sambil menggelengkan kepala. “Apa Ibu berbicara seperti itu supaya aku membenarkan perselingkuhan Elena dengan pria berengsek ini?”
“Jack! Jaga ucapanmu!” Ibu mertua membentak dengan suara sangat keras. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghina calon suami putriku!”
Kedua alis Jack bertaut, “Bagaimana bisa Elena memiliki calon suami saat aku masih menjadi suami sahnya?”
“Kalau begitu, kalian berpisah saja!” Ayah mertua berbicara dengan entengnya.
"Ide bagus, Paman! Aku yakin, Elena tidak sudi punya suami pengangguran." Victor menggeser pandangannya ke Jack. "Ya Jack, kamu benar. Aku memecatmu secara tidak hormat detik ini juga, TANPA PESANGON."
Victor berjalan mendekat pada Jack untuk berbisik, "Itulah akibatnya karena kamu berani menghinaku."
Jack mengepalkan tinju selagi rahangnya gemeretak. Matanya memerah, menatap Victor nyaris tanpa berkedip.
Victor tertawa mengetahui Jack tidak bisa berbuat apa-apa. Dia berbalik, menghampiri Elena. Sambil menggenggam kedua tangan Elena, Victor berkata, “Elena Moore, apa kamu bersedia menikah denganku?"
“Sialan, apa-apaan ini?! Berani sekali kamu melamar istriku di hadapanku?!”
Mata Victor menantang Jack. Dia menarik salah satu ujung bibirnya, memutar bola mata sebelum berkata, “Bukankah kalian akan bercerai? Wajar bukan sebagai pacar yang baik, aku mengajak Elena menikah? Elena sangat luar biasa, tidak ada pria yang tidak tergoda melihatnya.”
“Pacar?!”
“Ya! Elena dan Victor sudah tiga bulan berpacaran. Memangnya untuk apa pernak-pernik dekorasi yang kamu pasang di ruang tamu tadi? Jelas itu untuk acara pertunangan mereka!” kata kakak ipar sambil melotot pada Jack.
Jack tertawa getir menatap semua orang satu per satu. Rahangnya mengeras mengingat bahwa dalam tiga bulan terakhir, dia selalu ada tugas dinas ke luar kota setiap minggunya.
“Jack, asal kamu tahu, jika bukan karena Victor, perceraian kita pasti sudah terjadi sejak lama. Aku sudah memberimu kesempatan, tapi kamu tetap saja menjadi pecundang.”
Elena membuka pintu mobil Victor untuk mengambil sesuatu. Dia menyodorkannya pada Jack. “Ini berkas perceraian kita. Semestinya aku memberikan ini padamu minggu depan. Tapi, karena kamu sudah tahu yang sebenarnya hari ini, ya baguslah. Lebih cepat bercerai denganmu akan semakin baik.”
Mata Jack menatap lekat map berisi dokumen perceraian itu. Kenangan manis selama menikah dengan Elena terlintas begitu saja.
[Ding!]
[Host telah ditemukan! Sistem Kekayaan Super akan segera terpasang!]
“A-apa?” Jack tidak mengerti tentang ucapan yang ada di kepalanya.
Dia bahkan tidak tahu siapa yang berbicara. Namun sesudah itu, Jack merasa ada sesuatu yang menjalar ke seluruh tubuhnya, memacu detak jantung, dan membuat darahnya berdesir cepat.
Jack merasa sesak napas, dadanya turun naik, wajahnya memerah dan terasa panas. Dia merasa seperti akan meledak hingga tubuhnya menjadi kejang-kejang.
[Pemasangan selesai. Selamat Tuan Jack Hall, sekarang anda menjadi Host dari Sistem Kekayaan Super. Sebagai salam perkenalan, saldo 100 juta dolar berhasil ditambahkan ke akun bank anda.]
Jack berdiri di depan kontrakan Emma dengan membawa sebuket bunga mawar putih. Ini hari yang baik karena dia telah menuntaskan janjinya untuk mentraktir Lily dan Irene sekaligus. Meski itu bukan kopi dan hanya air mineral, tidak masalah, justru lebih sehat.Sekarang, paginya menjadi semakin cerah setelah melihat Emma membuka pintu dan menyapanya dengan senyum terindah. "Hai, um, ini bunga." Jack tersenyum juga, ada sedikit gugup yang menggelayuti hatinya.Kedua mata Emma membulat saat Jack menyerahkan buket mawar putih. Senyumnya menjadi lebih lebar. Tampak jelas bahwa dia terpukau dengan keindahan rangkaian bunga itu, putih bersih."Nanek pasti akan sangat senang melihat ini. Manis sekali!" Emma mencubit lembut pipi Jack.Jelas Jack senang, tapi raut mukanya berubah. "Nenek?" Sebelah alisnya menjadi lebih tinggi."Ya, bunga ini... untuk Nenek 'kan?"Jack menunduk sejenak sambil tersenyum. Dia mengelus lehernya. "Ya, tentu saja."Jack tidak menyangkal Emma biarpun dia membeli bunga i
Kali ini rahang Lily benar-benar jatuh ke lantai. "Maksudmu, Tuan Tampan menyamar menjadi pesuruh yang mengantarkan pesanan, membawa nampan, berpakaian hitam putih dengan dasi kupu-kupu? Menjadi orang yang mau diperintah ini itu?""Itu belum seberapa sampai kamu tahu bahwa saat itu Emma datang bersama pacarnya untuk merayakan ulang tahun temannya.""Hah?!" Lily terbelalak. Dia terdiam, kesulitan untuk mengucapkan kata-kata.Irene menghela napas. "Kecil kemungkinan bagi kita untuk masuk ke hati Jack. Aku tidak tahu, apa yang membuat Emma menjadi sangat istimewa untuknya." Dia mengangkat kedua tangan.Dua wanita yang tadi saling berteriak, kini mendadak akur. Mereka berbicara dari hati ke hati, mengisahkan awal mula pertemuan mereka dengan Jack. Sekarang, keduanya memikul rasa yang sama, patah hati."Tapi, menurut cerita yang kamu sampaikan, artinya mereka belum berpacaran 'kan?" tanya Lily berharap.Irene membuka botol air mineral. Dia meneguknya. "Jika kamu bertemu dengan Emma, sungguh
Ruangan itu menjadi hening sesaat. Lily tersenyum puas karena Irene terpancing provokasinya. Kecanggungan jelas menyelimuti hati Irene karena sudah keceplosan atas isi hatinya. Terlebih, yang dia lihat dari reaksi Jack hanyalah sempat terkejut beberapa saat, sesudahnya tidak terlihat raut senang. Dia khawatir Jack tidak berkenan dengan apa yang dia lakukan, sehingga tidak sudi lagi mengenalnya.Sebetulnya Jack memang terkejut. Tapi, satu-satunya hal yang mengejutkan Jack adalah fakta bahwa itu merupakan pertemuan keduanya dengan Irene. Dia sekarang mengerti, dua wanita yang saling berteriak di sampingnya memiliki satu kesamaan, sama-sama mudah jatuh cinta."Maaf, Jack. Aku tidak bermaksud... um, ini terjadi begitu saja," lirih Irene, tidak ingin suasana kikuk itu terus berlangsung.Tanpa diduga, Jack menyunggingkan senyum. Dia memegang tangan Irene. Hal itu tentu membuat Lily tidak bisa menahan rahangnya untuk tidak jatuh.Pipi Irene merona. Terbesit di benaknya bahwa Jack juga memil
Lily tersentak. Dia mendadak was-was. Sungguh, ucapan pedas Irene seperti sambaran petir yang menghantamnya. Pasalnya, dia sudah bersikap ramah dan cukup manis, tetapi Irene malah membalas dengan lancang!Dalam keadaan kesal itu, Lily melirik ke arah Jack untuk melihat reaksinya. Dia tentu mencemaskan penilaian Jack terhadap dirinya, setelah Irene mengumbar citra buruknya tanpa filter sama sekali.Lily tidak mau skandal masa lalunya membuat Jack enggan untuk dekat dengannya. Sebelum ini, tanpa kabar miring saja, dia kesulitan untuk meluluhkan hati Jack. Lily bisa bernapas normal karena Jack tidak menunjukkan perubahan mimik yang berarti. Sepertinya Jack tidak terpengaruh.Meski demikian, Lily sudah terlanjur kesal pada Irene. Dengan raut wajah dan nada bicara lebih dingin dan tegas, Lily menyangkal, "Itu hanya rumor. Bukan rahasia lagi jika seseorang yang penting dan berpengaruh, public figur, artis, ataupun orang terkenal menjadi target utama infotainment dan berita-berita gosip. Me
“Apa dia pacarmu juga? Bagus! Itu artinya kamu suka wanita!” Lily bertepuk tangan.Jack bergeming, menatap Lily dengan espresi wajah datar. Dia tidak berkomentar, tetapi sebuah napas panjang yang lepas dari mulutnya cukup mewakili perasaannya.“Apa aku boleh membukakan pintu sekarang?” Lily mengerjap-ngerjapkan matanya.Jack mengulurkan tangannya ke arah pintu dengan senyum pasrah, masih tanpa mengatakan apa-apa.Karena Jack sudah mempersilakan, Lily pun membuka pintu dengan semangat penuh.“Selamat datang!” serunya menyapa tamu Jack dengan wajah berseri.Ternyata, tamu yang datang mengunjungi apartemen Jack adalah manajer The Groove Spot, Irene Walker. Sebenarnya hari ini belum waktunya libur, tetapi dia sengaja meninggalkan tempat karaoke itu sejenak terkhusus untuk menemui Jack.Selain karena mobil super mewah Jack masih berada di tempat parkir The Groove Spot, Irene juga sudah tidak kuat lagi menahan rasa rindu. Terlebih pesan yang dia kirim beberapa hari lalu kepada Jack tidak di
Dada Jack menjadi sesak mengingat kelancangan wanita yang berdiri di depan pintunya. Dia sampai refleks menutup bibirnya sendiri. Meski begitu, sekarang Jack tersenyum sambil menggelengkan kepala.Bisa-bisanya wanita itu datang saat aku baru saja memikirkannya!Jack menghela napas panjang. Itu flat apartemennya, tidak ada yang perlu dia cemaskan. Lagipula, ini malah lebih efisien. Dia bisa mentraktir wanita gila itu minum di rumahnya saja."Hei Tuan Tampan, sampai kapan kamu akan membiarkan pacarmu ini menunggu? Buka pintunya, lalu kita ke tempat fitness bersama, oke?!"Jack mengernyitkan dahi mendengar celoteh Lily Harvey. Sejak kapan mereka berpacaran? Jack tahu, waktu itu dengan seenaknya Lily mengangkat diri sendiri menjadi pacar barunya. Tapi Jack tidak mengira jika Lily akan melakukannya lagi sekarang.Apa dia benar-benar berpikir bahwa mereka telah berpacaran? Astaga!Seolah mendengar kata batin Jack, dari luar Lily menyahut, "Sejak kita resmi berpacaran, belum sekali pun kita
Setelah tadi malam Jack kembali menginap di kontrakan Emma untuk merayakan kabar baik dari Redwave Group bersama Nenek, rasanya masih belum cukup. Dia masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Emma.Kini di dalam apartemennya, Jack memandangi foto profil pada nomor ponsel Emma. Dia tersenyum mengingat ekspresi gembira yang ditunjukkan Emma ketika mendapat email panggilan interview dari Perusahaan Redwave Group. Senyumnya menjadi semakin lebar ketika melihat Nenek sampai menangis terharu. Walaupun itu adalah panggilan interview dan belum ada kepastian bahwa Emma akan diterima di sana, bagi Nenek hal itu tetaplah hal besar."Aku pastikan Nenek akan menangis lagi karena melihatmu menjadi resepsionis di perusahaanku!"Selain karena Redwave Group menunjukkan performa yang baik, Jack memang sengaja mengambil alih perusahaan tersebut terkhusus untuk Emma, supaya wanita itu bisa bekerja di tempat yang bagus dan bergengsi, tanpa perlu jauh-jauh dari kontrakannya. Setidaknya dengan men
Jack keluar lift dengan senyum lebar. Dia berjalan ke flat apartemennya tanpa menurunkan senyum itu. Tidak dipungkiri, imbalan tak ternilai setelah menolong orang lain adalah mendapat kebahagiaan tersendiri. Rasa bahagia tersebut sangat khas karena hanya bisa diperoleh setelah berhasil meringankan beban orang lain. Dan, perasaan tersebut menjadi berlipat-lipat ketika orang yang dibantu adalah orang tersayang.Jack tidak mengelak bahwa dulu dia sering merasakannya ketika membuat Elena tersenyum setelah memberikan barang-barang yang diinginkan atau menuruti permintaannya. Dan sekarang, kebahagiaan semacam itu bersumber dari senyum Emma, yang tidak meminta atau menuntut apa-apa darinya. Rupanya, hal itu membuat Jack jauh lebih bahagia.Ketika Jack sampai di depan flatnya, dia mengernyitkan dahi karena melihat sebuah parcel ada di depan pintu. Dia mengambil parcel tersebut. Ada banyak kudapan lengkap dengan sebotol anggur premium. Selain itu, juga ada sebuah kartu berwarna emas, yang ber
Ketika membuka dan membaca email dari perusahaan besar itu, Emma terbelalak. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Mustahil," desis Emma dengan tatapan yang masih terpaku pada layar ponselnya."Apanya yang mustahil?"Emma menyodorkan ponselnya kepada Jack. "Ini tidak mungkin," katanya lagi sebelum bersandar di kursi.Jack meraih ponsel Emma. Matanya bergerak lincah ke kanan dan ke kiri, membaca kata demi kata, yang membuat Emma terlihat kaget, bingung, heran, perasaannya bercampur aduk hingga membentuk ekspresi wajah yang rumit. Malahan, Emma juga terlihat lemas secara tiba-tiba."Hei, ini kabar baik!" seru Jack bersemangat. Reaksinya saat membaca email itu berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan Emma."Kamu mendapat panggilan interview di perusahaan Redwave Group untuk posisi resepsionis. Itu sangat bagus, Emma! Berikan tanganmu!"Masih dengan gesture bingung Emma menurut saja mengulurkan tangannya. Dengan cepat Jack menggenggam dan mengguncangkannya. "Selamat, Em