Roy mengangguk ringan. "Mm."Dia tidak memperhatikan Aura dan langsung melangkah masuk ke kamar Aura, lalu memandang sekeliling. Akhirnya, pandangannya tertuju pada meja rias.Dia melangkah mendekat. Tubuhnya yang tinggi bersandar di meja rias, lalu dia tersenyum ringan pada Aura."Aku cuma ingin lihat, kamu betah tinggal di sini nggak?" ujar Roy.Aura mengangguk. "Lumayan nyaman."Tangan panjang Roy menyentuh sisir Aura, mengambil dua helai rambutnya. Ekspresinya tetap tenang."Aku tinggal di halaman sebelahmu. Kalau ada perlu, bilang saja padaku. Bisa telepon atau kirim pesan."Aura mengangguk. "Terima kasih.""Malam sudah larut, aku kembali dulu." Usai berbicara, Roy pun pergi.Aura mengangkat alisnya, tampak heran. Hanya obrolan singkat, rasanya tidak perlu repot-repot kemari. Dia menutup pintu dan berbaring di tempat tidur.Sepanjang malam, tak ada yang terjadi.Keesokan paginya setelah sarapan, seperti biasa Aura pergi ke halaman Parviz untuk menemaninya. Kemudian, dia berencana
"Kakek, ini siapa?"Yang berbicara adalah putri bungsu Jayden, Summer. Dia terlihat sangat polos. Wajah bulatnya jauh lebih menggemaskan dibandingkan ayahnya. Matanya berkedip-kedip saat menatap, terlihat sangat imut.Parviz sepertinya juga menyukainya. Mendengar pertanyaan itu, Parviz tersenyum sambil menjawab, "Ini tamu kehormatanku."Begitu kata "tamu kehormatan" keluar, orang-orang di meja kembali terdiam.Summer mengerutkan alisnya sebentar, lalu mengangguk. Tatapannya pada Aura terlihat agak aneh, bahkan ... merendahkan. Ya, merendahkan. Terlihat jelas, tanpa ditutupi sedikit pun.Aura memperhatikannya dengan jelas dan tahu gadis kecil ini pasti salah paham. Dia mengangkat alis dan tidak berkata apa-apa. Dengan tenang, dia mengambil satu suap makanan dari piringnya.Tidak bisa dipungkiri, koki Keluarga Kusuma memang cukup hebat. Aura makan dengan senang hati, sementara kebanyakan orang di meja terlihat kurang fokus.Setelah makan, Parviz memanggil Roy secara khusus ke ruang kerja
"Paman, Kakek memanggilmu."Jayden termangu sejenak. Dia melirik Roy yang berdiri tidak jauh, lalu mengerutkan alisnya. Sebelum pergi, dia sempat berkata kepada Aura, "Sebaiknya pikirkan baik-baik ucapanku tadi."Kata-kata itu terdengar seperti ancaman terselubung.Aura tersenyum tipis, menampilkan senyuman sopan sekaligus asing. Jayden mendengus sebelum melangkah pergi. Saat melewati Roy, langkahnya sempat terhenti sejenak. Dia menatap Roy dengan sinis, lalu akhirnya pergi.Aura mengangkat alisnya, membuka pintu ruang rawat, dan masuk. Roy ikut masuk bersamanya."Pamanku nggak menyulitkanmu, 'kan?" Roy menanyakan dengan nada peduli.Aura tersenyum tipis padanya. "Nggak masalah. Toh mereka sebenarnya melawanmu, bukan aku."Roy menghela napas. "Maaf, aku nggak nyangka para pamanku akan bereaksi sebesar ini hanya karena aku membawamu ke sini."Roy merasa tak berdaya. Anggota Keluarga Kusuma mengira Roy membawa Aura kembali ke Kota Morimas agar Parviz senang dan menyerahkan kendali keluar
Tinggal di rumah Keluarga Kusuma tampaknya menjadi pilihan yang bagus untuk Aura saat ini. Dari segala sisi, ini memang menguntungkan dirinya.Melihat Parviz masih termenung, Aura akhirnya membuka mulut. "Kakek Parvis, jangan bicara begitu lagi."Aura berkata dengan tenang, "Aku setuju, hanya saja gajinya nggak perlu. Lagi pula, aku sudah dapat tempat tinggal. Apalagi Pak Roy sudah menyelamatkan nyawaku. Kalau sampai minta gaji, malah terkesan aku terlalu menuntut."Aura memang orang yang selalu membalas budi, begitu pula jika punya dendam.Parviz menoleh padanya, matanya menampakkan kilatan nakal. Aura menangkap kilatan itu, tampak tidak berdaya. Meskipun usianya sudah tua, Parviz tetap bisa terlihat menggemaskan.Suasana di antara mereka cukup hangat. Namun, baru saja Aura berbicara, terdengar suara seorang pria paruh baya dari belakang. "Ayah!"Jayden melangkah maju. Matanya yang tajam menyapu Aura sebentar, lalu jatuh pada Parviz. Dia menunduk dan berkata, "Ayah, sekarang kondisimu
"Awas saja kalau kamu mati!"Dalam cahaya redup, Jose tiba-tiba berdiri dan masuk ke kamar mandi. Namun, di setiap sudut ruangan ini selalu ada jejak keberadaan Aura.Di meja wastafel, di bawah pancuran, seolah-olah di mana-mana ada bayangannya.Karena itu, Jose hanya mandi sebentar, lalu keluar dan berbaring di atas ranjang. Sudah lama sekali dia tidak benar-benar tidur. Baru saja terlelap sebentar, dia mendengar ada ketukan pintu.Mata yang baru saja terpejam kembali terbuka. "Ada apa?"Pintu kamar langsung terbuka, Tiano muncul di ambang pintu. "Pak Jose, orang itu menggigit lidahnya untuk bunuh diri."Jose sedikit mengernyit. Namun, raut wajahnya tidak banyak berubah. "Sudah mati?""Belum. Mau diselamatkan?" tanya Tiano.Jose mendengus dingin. "Benar-benar keras kepala. Kalau mati begitu saja, sayang sekali. Tentu saja harus diselamatkan. Kalau nggak, kita yang rugi."Tiga kata terakhir diucapkan Jose dengan sangat ringan, tetapi membuat Tiano tanpa sadar menggigil. Karena dia tahu
Selesai berbicara, Jose mengangkat pandangannya ke arah Black. Jari-jarinya yang panjang mengetuk pelan meja kecil di sampingnya. Bunyi itu seperti lonceng kematian untuk Black.Meskipun sudah sering melakukan kejahatan, saat ini Black tetap merasa takut. Walaupun tidak pernah banyak berurusan dengan Jose, dia sangat paham kalau pria ini punya metode-metode kejam. Jatuh di tangannya mungkin lebih menyakitkan daripada kematian."Coba bilang, siapa yang menyuruhmu?" Suara Jose terdengar malas dan datar, tidak bisa ditebak apakah marah atau tidak. Meskipun begitu, tetap saja membuat orang merinding.Black menggertakkan gigi, menjawab, "Aku nggak tahu apa maksudmu. Nggak ada yang menyuruhku."Melihat dia tidak kooperatif, Jose sama sekali tidak marah. Dia hanya melirik Tiano.Tiano langsung paham dan mengangkat pistol. Dor! Dia menembak kaki Black yang satu lagi"Argh!" Rasa sakit yang menusuk membuat Black tidak bisa menahan jeritannya.Wajah Jose tampak mengejek. "Sepertinya kamu ini san