MasukBegitu Jose selesai berbicara, mobil langsung melaju.Pada saat yang bersamaan, pesawat yang membawa Aura juga mulai bergerak perlahan-lahan di landasan.Saat Jose tiba di rumah sakit tempat Tigor dirawat, Tigor sedang berbaring di ranjang pasien. Setelah kehilangan seorang cucu, kini sosoknya yang biasanya berwibawa pun terlihat jauh lebih rapuh. Namun, begitu melihat Jose masuk, dia tiba-tiba meraih termos di samping tempat tidurnya dan melemparkannya ke arah Jose.Klang!Termos itu terjatuh ke lantai, tetapi sayangnya tidak mengenai sasaran.Hanya perlu memiringkan tubuhnya sedikit, Jose sudah berhasil menghindari serangan Tigor. Dia menundukkan kepala dan menatap termos yang tergeletak di lantai, lalu mengernyitkan alisnya dan menatap Tigor. "Kakek, kalau sedang sakit, sebaiknya jangan marah-marah.""Dasar anak durhaka! Berani-beraninya kamu membunuh saudaramu sendiri" teriak Tigor dengan marah. Namun, begitu selesai berbicara, dia kembali batuk-batuk dengan hebat.Jose tersenyum s
Melihat Tiano terpaku, Aura bertanya, "Ada apa?"Tiano yang tersadar kembali menundukkan kepala dengan perasaan bersalah, lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Ayo pergi."Aura menganggukkan kepala, lalu mengikuti Tiano dari belakang dengan sepatu hak tingginya. Begitu sampai di parkiran, dia mengikuti Tiano masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang. Namun, dia tidak menyadari Tiano terus meliriknya lewat kaca spion karena dia merasa sedikit tegang. Jika tangannya tidak terluka, mungkin dia sudah mengepalkan tangannya dengan erat.Tiano melirik Aura sekali lagi lewat kaca spion, lalu membuka sebotol air dan memberikannya pada Aura. "Nyonya Aura, jangan terlalu tegang. Minum air sedikit."Aura menerima air itu, lalu berkata dengan pelan, "Terima kasih."Tanpa banyak berpikir, Aura meneguk sedikit air itu dan mobil pun mulai bergerak.Aura menatap pemandangan di luar jendela di mana hujan menutupi segala sesuatu di Jakoro, tetapi dia tetap memikirkan apa yang harus dikatakannya nan
Aura mengernyitkan alisnya karena semalam Jose sempat membicarakan hal itu, tetapi selanjutnya tidak pernah menyinggung hal itu lagi. Dia awalnya mengira semuanya akan berlalu begitu saja, tak disangka ternyata Jose tetap bersikeras ingin mengantarnya pergi. Dia bingung sejenak, lalu menatap Tiano dan bertanya dengan nada dingin, "Apa Jose menyembunyikan sesuatu dariku?"Tiano tertegun sejenak, lalu perlahan-lahan menggelengkan kepala. "Nyonya Aura sudah terlalu banyak berpikir, nggak ada apa-apa."Setelah mengatakan itu, Tiano menundukkan kepala dan melirik jam tangannya. "Nyonya Aura, kamu sebaiknya segera berangkat, pesawat sudah menunggumu."Aura menundukkan kepalanya dan bulu matanya yang panjang bergetar sejenak, lalu dia mengangkat kepala dan menatap Tiano. "Aku nggak akan pergi."Tiano secara refleks mengernyitkan alisnya. "Nggak boleh ...."Begitu kata-kata itu terucap, Tiano baru menyadari dia sudah kehilangan kendali. Dia berdeham, lalu menundukkan kepala dan berkata pada Au
Jose mengangkat alis dan menatap Aura. "Nggak rela ninggalin aku ya?"Tatapannya penuh godaan.Aura langsung batuk ringan, merasa malu seolah-olah rahasianya baru saja dibongkar. "Bukan begitu."Dia buru-buru menyangkal, lalu melirik sekilas ke arah tangan Jose yang masih terluka. "Aku cuma merasa lukamu belum sembuh. Jadi ... agak khawatir saja.""Itu artinya nggak rela," ujar Jose sambil menatapnya. Senyuman di wajahnya semakin jelas. Tubuhnya yang tinggi tegap perlahan mendekat ke arah Aura.Mobil itu sebenarnya cukup luas, bagian belakang juga lega. Namun, karena Jose bertubuh besar, begitu dia duduk, ruang di dalam terasa menyempit drastis. Begitu dia sedikit bergerak, Aura langsung terdesak ke pojok kursi."Istriku, kita ini ... masih ada satu hal yang belum diselesaikan, 'kan?"Aura tercengang. "Hal apa?"Jose terkekeh-kekeh. "Tidur lebih awal malam ini. Besok aku kasih tahu."Begitu kata-kata itu dilontarkan, Jose menunduk dan mencium lembut sudut bibir Aura.Ketika mereka kemb
Jordan menatap mata Jose yang gelap dan berbahaya. Tiba-tiba, dia merasa hari ini mungkin adalah hari kematiannya."Tolong! Tolong aku!" teriak Jordan dengan panik sambil berusaha mundur. Namun, sudah tidak ada jalan untuk melarikan diri. Sejak siang dia kehilangan banyak darah, tubuhnya sangat lemah.Begitu bergerak sedikit saja, luka di tubuhnya akan terasa perih hingga menusuk tulang. Meskipun berteriak sampai serak, tidak ada seorang pun datang menyelamatkannya.Jose berdiri di depan ranjang, menatapnya dari atas dengan dingin. Tatapan itu seperti seorang pemburu yang sedang mempermainkan mangsanya, penuh minat dan kekejaman.Tak lama kemudian, Tiano masuk dari luar. "Pak Jose, semuanya sudah beres."Jose mengangkat alis sedikit. "Masih ada satu lagi, 'kan?"Dia menggerakkan dagunya, menunjuk ke arah Jordan yang wajahnya sudah pucat pasi di atas ranjang."Jose ...." Suara Jordan bergetar hebat. "Lepaskan aku. Aku akan serahkan semua sahamku di Alatas Heir ke kamu. Semuanya."Di had
Saat sampai di pintu, dari jauh sudah terlihat beberapa pengawal di bangsal. Melihat Jose, para pengawal itu langsung berwaspada seolah-olah menghadapi bahaya besar.Jose mengambil langkah panjang."Tuan Jose." Salah satu pengawal mencoba menghentikannya. "Tuan nggak boleh masuk.""Oh?" Jose mengernyit ringan, menatap pengawal yang berbicara itu. "Yakin?"Pengawal itu tampak canggung, lalu menunduk. "Kasihanilah kami. Kami hanya menjalankan perintah Tuan Tigor. Kalau Tuan masuk sekarang, kami nggak bisa mempertanggungjawabkannya ke pihak sana!"Mendengar bujukan si pengawal, wajah Jose malah semakin penuh sindiran. Dia mengangkat tangan sedikit.Dua sosok hitam tiba-tiba muncul tak jauh dari sana. "Tuan Jose, serahkan pada kami saja."Jose mengangkat sedikit alisnya, mengabaikan pengawal yang menjaga pintu kamar, lalu melangkah masuk. Langkahnya meninggalkan aura tak tertandingi.Para pengawal yang hendak menghentikannya, ditarik kuat-kuat dan langsung terlempar jauh tanpa sempat menye







