Vannia sampai di rumah Chella yang katanya rumah pemberian dari Zein. Vannia menekan bel sambil meneteng sekotak pizza pesanan Chella. Tak lama pintu dibuka oleh Chella.
"Selamat malam. Aku tidak terlambat, bukan?"
"Tidak, Vannia. Aku masih bisa bernapas di tengah kelaparan ini. Ayo masuk!"
Mereka menuju ruang tengah. Ternyata Chella sedang menonton drama percintaan.
"Oh iya, tunggu di sini dulu. Aku akan mengambilkan sebuah undangan party padamu."
"Undangan party apa?"
Vannia tak mendapatkan jawabannya karena Chella telah berlari ke kamar untuk mengambil undangan itu.
Ponsel Vannia tiba-tiba berdering. Vannia merogoh ponsel di dalam tasnya. Nama Anya yang tertera pada layar ponselnya.
"Untuk apa dia meneleponku?" gumam Vannia.
Walau ragu, Vannia pun mengangkat telepon itu.
Ada keperluan apa kau meneleponku?
Santai, Vannia. Aku hanya ingin berbagi pemandangan indah padamu. Kau masih ingat akun sosial media suamimu, kan? Ayo periksa sekarang.
Untuk apa aku—halo? Halo, Anya?
Anya telah memutuskan sambungan teleponnya. Vannia tiba-tiba terpikir tentang apa yang dikatakan Anya tadi. Apakah ia harus memeriksa akun sosial media suaminya?
"Tapi untuk apa aku memeriksanya? Selama ini tak ada postingan yang menarik di sosial media Renvier. Dia hanya memenuhi akun sosial medianya dengan tempat bisnis miliknya," monolog Vannia.
"Ah, aku lihat saja. Tak mungkin Anya memintaku melihatnya jika tak ada sesuatu."
Vannia pun membuka akun sosial media Renvier. Raut wajahnya yang tadinya datar, berubah menjadi sebuah keterkejutan. Tangan Vannia tiba-tiba bergetar sambil meng-klik postingan terbaru itu.
"R-Reinvier memosting ini di akun sosial media pribadinya?"
Pada postingan itu, tampak Anya dan Renvier berpose mesra di balkon kamar yang dulunya ditempati oleh Vannia dan Renvier. Tak hanya itu, postingan itu juga terdapat caption yang membuat Vannia terluka.
Renvier_Rvier
Tempat yang sama tetapi dengan orang yang berbeda. Rasanya aku seperti mengulang kenangan lama, tetapi dengan Anya adalah momen terindah dari yang sebelumnya."Maksudnya kenangan bersamaku tak indah bagimu, Renvier?" Vannia meneteskan air mata dengan perasaan sesak di dadanya.
Tiba-tiba seseorang merebut ponsel Vannia. Ternyata pelakunya adalah Chella. Tanpa banyak bicara Chella block akun Renvier.
"Tak ada gunanya untuk melihat luka, Vannia. Ayolah, jangan lemah. Anya hanya akan membuatmu merasa kalah. Lebih baik, kau lihat undangan ini." Chella memberikan undangan berwarna merah itu pada Vannia.
"Glow Up Party?" ucap Vannia membaca tema yang tertulis pada undangan itu.
"Benar. Ini undangan reuni sekolah kita dulu. Temanya Glow Up Party yang artinya semua tamu memancarkan aura paling bersinar," jelas Chella bersemangat. "Vannia, datanglah ke sini bersama Zein. Pada undangan ini, kita boleh membawa pasangan masing-masing,"lanjutnya.
"T-tapi Zein bukan pasanganku, Chella."
"Tapi dia bisa jadi pasanganmu," sahut Chella cepat. "Aku yakin Anya dan Renvier juga berhadir. Ini saatnya kau membuktikan betapa terhormatnya dirimu. Kau wanita yang sukses, karir cemerlang, dan memiliki kekasih tampan serta mapan seperti Zein. Jadi ketika Anya mencoba mempermalukanmu di pesta, Zein akan melindungimu."
Di satu sisi Vannia setuju akan hal itu, tapi di sisi lain ia juga ragu. Apakah Zein bersedia untuk membantunya?
"Apa yang kau pikirkan? Aku telah mengabari Zein soal ini dan dia sangat-sangat bersedia," kata Chella dengan penuh bangga.
Vannia mengembuskan napasnya, lalu tersenyum pada Chella. Ia memeluk sahabatnya itu dengan lembut.
"Terima kasih telah datang pada hidupku yang mulai kelam, Chella."
"Kau membuatku malu, Vannia," sahut Chella tertawa kecil. "Tapi kau juga harus berterima kasih pada Zein. Dia yang membuatku datang ke sini dan memberikan jaminan hidup yang nyaman padaku. Setidaknya aku tak jadi gelandangan di Jerman."
"Kau terlalu berlebihan. Orang tuamu bukannya ada di sana?"
"Mereka telah tiada semenjak kecelakaan mobil satu tahun yang lalu," ucap Chella membuat Vannia mencelos.
"Chella, aku tak—"
"Tidak masalah. Aku minta maaf karena tak mengabarimu. Sulit bagiku untuk mendapatkan kontakmu di sosial media."
"Aku sudah tak memakainya. Sejak menikah dengan Renvier, duniaku hanya dia. Aku menutup diri dari dunia luar karena dirinya. Agar tak ada yang mempertanyakan statusku yang dulu pernah diperkenalkan sebagai anak dari kedua orang tuaku," kata Vannia kembali sendu.
Chella merangkulnya dengan akrab. "Sekarang duniamu bebas, Vannia. Jangan bodoh lagi mencintai seorang pria. Kau hanya boleh mencintai seseorang pada porsinya. Berlebihan dalam mencintai hanya akan membuatmu terluka. Percaya padaku."
"Ya-ya-ya. Sahabatku sangatlah dewasa. Kau pantas mendapatkan pangeran dari seberang sana," gurau Vannia.
"Bagaimana kalau aku rebut Renvier saja?"
Vannia terkejut dan segera menegakkan tubuhnya. Saat itulah Chella tertawa keras.
"Astaga Vannia, wajahmu sungguh panik mendengar ucapanku tadi? Vannia, aku hanya bercanda." Chella mencoleh dagu temannya dengan usil.
"Aku sungguh merasakan jantungku seperti berhenti berdetak untuk seperkian detik," protes Vannia. "Woah, ini gila. Jangan sampai aku trauma berteman setelah ini karena candaanmu tadi."
"Aku minta maaf, okay? Ahahhaha! Vannia wajahmu sangat lucu. Kau begitu terkejut."
Vannia hanya bisa geleng-geleng saja dengan tingkah sahabatnya. Namun, tak bisa dipungkiri jikalau ia sungguh sangat terkejut tadi. Rasanya ... sejak Anya mengkhianatinya, Vannia memiliki trauma akan pertemanan. Ada rasa kekhawatiran ketika Vannia memutuskan percaya pada seseorang.
"Chella, aku baru ingat aku punya janji dengan ayahku. Apa tak masalah aku pergi sekarang?"
Chelle cemberut. "Benarkah? Ya sudah tidak masalah."
"Aku pulang, Chell," ucap Vannia beranjak dari sofa.
"Kau akan datang ke pesta, bukan? Ingat, Zein telah menyetujuinya."
"Aku akan datang. Bye, Chella."
"Bye, Vannia. Jangan lupa tutup pintunya!" seru Chella dari sofa.
"Baiklah!" Vannia keluar dari rumah itu dan menutup pintunya dengan rapat.
Saat di perjalanan pulang, Vannia mampir terlebih dahulu ke minimarket. Tuju Vannia ketika masuk minimaket adalah tempat buah.
Saat Vannia sibuk memilih buah apel, tiba-tiba ada yang menyenggol tubuhnya.
"Ups! Maaf, aku sedikit sengaja tadi," ucap Anya tersenyum remeh pada Vannia yang baru saja ia jahili.
"Dengar ini, Anya. Aku tak ingin ribut denganmu di tempat umum. Jadi mari menjaga sikap masing-masing," tegas Vannia. Ia kembali memasukkan apel hijau ke dalam keranjang belanjanya.
Bukannya pergi, Anya malah sengaja berdiri di samping Vannia. Walau Vannia berusaha mengacuhkannya.
"Kudengar ... ibu mertuaku mendesak suamiku untuk menceraikanmu. Itu tandanya kau sungguh tak diharapkan lagi di keluarga Renvier. Mau bagaimana pun juga akulah pemenangnya," tukas Anya dengan bangga.
Vannia tertawa remeh, langsung melunturkan senyum percaya diri Anya menipis seketika.
"Astaga, Anya ... kau lupa dengan ancamanku ketika di kafe itu?" tanya Vannia sambil menatap remeh Anya. "Aku akan membagi rasa sakitku dan menjadikan hidup kalian bagai di neraka. Jadi ... apa kau siap menerima takdir burukmu, Nyonya Anya penghianat?"
Meski gugup dan menyimpan rasa takut, Anya tetap berusaha elegan di hadapan Vannia.
"Kau pikir kau bisa berbuat seenakmu? Dengar, kau akan diceraikan!" hardik Anya.
"Sayangnya aku sudah berubah pikiran. Jika aku menerima perceraian itu, maka kau akan menang dan merasa bahagia. Jadi untuk menambah beban hidupmu, aku tak bersedia untuk cerai dengan Renvier. Tunggu nerakamu, Anya," cetus Vannia melenggang meninggalkan Anya yang terdiam dengan perasaan kalutnya.
Lantas, apakah benar Vannia menolak perceraian itu nanti? Dan bagaimana respon mertuanya dengan keputusannya itu?
Anya masuk ke dalam kamar. Tampak Renvier masih tertidur karena pengaruh obat itu. Namun, pria itu beberapa kali melakukan pergerakan. Anya duduk di samping tubuh suaminya seraya mengeluarkan sebuah suntikan dan obat."Sepertinya obatnya akan hilang khasiat. Aku harus menyuntiknya lagi agar dia kembali tidur hingga besok. Pernikahan Vannia dan Zein tetap harus terjadi. Maaf ya, Sayang. Tapi aku harus melakukan ini demi cinta kita tetap terjadi, Renvier."Anya pun menyuntikan obat itu ke lengan Renier. Pria itu mengeryit dalam tidurnya. Anya benar-benar khawatir Renvier akan terbangun oleh rasa sakit itu. Beruntungnya tidak, ia bisa melakukannya dengan baik. Renvier tak terbangun sama sekali."Berhasil. Selamat tidur nyanyak, Sayang," ucap Anya membelai pipi Renvier, sebelum pergi dari kamar tersebut.Di sisi lain, Vannia dengan telaten menyuapi Zein. Pria itu tampak lebih baik dari sebelumnya. Bahkan saat ini Zein sudah dalam keadaan duduk. Tubuhnya tak sekaku dan selemas kemarin. Rau
Zein akhirnya sadar juga. Di ruangan itu hanya ada Vannia yang masih setia menjaganya. Kedua orang tua Zein sudah kembali ke kantor, begitu juga dengan orang tua Vannia. Gavano sudah aman bersama baby sitter di rumah Vannia, jadi Vannia bisa fokus pada Zein hari ini. Melihat Zein membuka matanya, membut Vannia yang sedari tadi menggenggam tangan Zein pun langsung berdiri dengan senyuman senang."Zein, kau sudah sadar? Hei, lihat aku di sini. Kau baik-baik saja, bukan?"Zein perlahan menoleh pada Vannia. Senyuman tipisnya pun terukir. Membuat resah di hati Vannia perlahan menguap ke udara. Ia senang Zein bisa merespons dirinya dengan baik."A-aku ...." Zein terlihat susah menggerakan mulutnya. "Ak-aku tak t-tahu, Vannia. Aku merasa k-kaku dan lemas."Vannia kembali duduk sambil menggenggam tangan Zein dengan raut wajah kembali sendu. "Zein, kau jangan khawatir soal itu. Dokter mengatakan hal demikian. Kau akan lemas saat terbangun nanti. Ternyata benar. Dokter mengatakan cairan obat pe
Renvier membanting penutup wajah kain itu ke lantai ruangan di kantornya. Ternyata pria yang mengawasi Zein dan Vannia itu adalah dirinya. Tentu saja orang yang mencelakai Zein juga dirinya."Sial! Obat itu hanya masuk ke tubuhnya sedikit saja. Ditambah ada seseorang yang membawanya ke rumah sakit. Siapa dia? Bukankah aku telah membayar beberapa pendekor di sana agar tak membantu Zein sama sekali. Mengapa tiba-tiba ada orang yang mmbantu mereka?"Renvier duduk di kursinya dengan raut wajah yang sangat kusut sekali, nyaris frustrasi. Aksi nekatnya benar-benar tak dibayar kontan. Kepuasaannya akan rencana itu tak ada. Walau melihat Zein terkulai lemas, tetapi Renvier tak puas sampai di situ tentang pengaruh obat yang tak sesuai dengan dosisnya."Jika dosis yang aku berikan padanya hanya sedikit, kemungkinan dokter akan menyembuhkannya dengan cepat. Berarti aku harus membuat rencana baru lagi untuk menggagalkan pernikahan itu," gumam Renvier seraya berpikir keras untuk itu."Tapi sebelum
Persiapan pernikahan sudah benar-benar nyaris sempurna. Mereka tak menyewa gedung, sebab gedung pernikahan mereka milik keluarga Vannia. Dua hari sebelum hari pernikahan gedung itu mulai didekorasi. Konsep yang digunakan benar-benar seperti di negeri dongeng. Vannia akan menjadi cinderella dan Zein menjadi pangerannya.Zein membukakan pintu mobil untuk Vannia. Vannia pun keluar dari mobil dengan perlahan. Digendongannya ada Gevan berbalut pakaian yang hangat."Lihatlah matanya. Dia membuka mata menatap langit. Beruntungnya langit tak begitu cerah, jadi bayi kita tak merasa silau," ucap Zein.Vannia tersenyum manis melihat mata putranya yang tampan. Benar kata Zein, mata Gevan sedikit terbuka. "Dia sangat manis, Zein. Ini pertama kalinya dia melihat alam bebas seperti ini. Dia pasti sangat senang.""Tentu. Ayo kita masuk! Katanya dekorasi gedung pernikahan kita hampir selesai. Tapi tetap saja, kita harus memperhatikan keselamatan Gevano.""Iya, Zein. Kita akan menjaga Gevano sama-sama.
Vannia keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang sangat cantik. Gaun itu sangat menyatu dengan kulitnya yang putih bersedih. Zein yang sedari tadi duduk di sofa dengan setelan jas hitam, takjub melihat begitu cantiknya Vannia. Ia tersenyum lebar sambil menghampiri Vannia yang sedang menatap dirinya di cermin."Bidadari dari mana ini? Seingatku aku membawa calon istriku tadi ke sini, mengapa yang keluar dari bilik itu malah bidadari," goda Zein.Vannia tersenyum malu, ia mencubit perut Zein hingga pria itu memekik. "Apa kau belajar menggombal sekarang, Tuan Zein?""Aduhh Vannia cubitanmu ..." Zein mengelus perutnya yang ngilu, tetapi setelah tersenyum pada wanita di hadapannya. "Tanpa belajar pun aku akan terbiasa menggombalimu, karena kau memang pantas untuk aku gombali. Kau sangat cantik. Benar-benar cantik."Giliran Vannia yang bertindak, ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Zein sambil menatap penuh pria itu. "Kau juga sangat tampan, Zein. A
Sudah beberapa hari ini sikap Renvier pada Anya terkesan sangat dingin. Walau Anya sudah berusana untuk melakukan yang terbaik dengan membuatkan susu untuk suaminya."Sayang, ini susu sereal untukmu. Kau menyukainya, bukan?" ucap Anya tersenyum manis.Renvier meneguk air putih setelah menjejal sisa roti ke mulutmnya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meraih tisu dan mengelap mulutnya dengan cepat."Aku ada meeting penting pagi ini. Aku snagat terburu-buru. Aku pergi dulu," ucap Renvier beranjak dari duduknya."Renvier, minum susu ini dulu," ucap Anya menyerahkan segelas susu buatannya."Aku sedang tak ingin susu, Anya. Ibu, aku pergi dulu," ucap Renvier seraya melangkah pergi dari sana dengan cepat.Anya mencengkram gelas susu di tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang terluka. Marisa yang menyaksikan semua itu merasa iba dengan menantunya."Anya, ada apa dengan kalian? Ibu lihat akhir-akhir ini kalian seperti ada jarak. Beberapa kali juga Ibu mendengar kau dan Renvier berde