Share

Waktu bersama, part 2

Ini adalah pertama kalinya aku tidur di puncak. Kami memutuskan untuk menginap semalam di villa milik teman mas Aziel. Sepanjang hari itu aku pun terus memikirkan ucapan mas Aziel padaku, tentang fakta dan alasan jika aku adalah orang pertama yang diajak di villa ini. Apakah mas Aziel berbohong? Jika iya, lalu untuk apa? Selama aku mengenal mas Aziel, dia bukanlah pria yang suka merayu wanita. Selama ini justru yang aku tahu jika mbak Laura yang tergila-gila dengan mas Aziel, secara fisik Mas Aziel memang adalah pria idaman semua wanita, termasuk mbak Laura sendiri. Itulah sebabnya aku seperti ditampar keras oleh kenyataan kalau ternyata di belakangku selama ini mbak Laura menjalin hubungan dengan suamiku sendiri yang memang lebih mapan dalam segi keuangan dan pekerjaannya.

Lagi-lagi aku tersenyum kecut mengingat akan hal itu. Ternyata memang benar uang dapat membutakan mata siapa saja. Sekalipun didasari cinta yang besar, namun jika hati itu rapuh, cinta itu pun akan hilang dengan sendirinya. Itulah yang dialami oleh Laura Bramawijaya, kakak perempuanku dari ibu Mega, istri pertama ayahku sendiri. Sedangkan ibuku adalah istri kedua ayah yang sudah lebih dulu berpulang empat tahun yang lalu sebelum aku menikah.

Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan aku masih terjaga tak bisa memejamkan mata. Karena itu aku lebih memilih keluar untuk melihat pemandangan luar villa di malam hari, tetapi belum sampai ke luar aku mendengar suara mas Aziel yang mengobrol dengan seseorang melalui sambungan teleponnya. Aku tidak terlalu jelas mendengar isi percakapannya, tetapi aku masih bisa menangkap sedikit pembicaraan mas Aziel yang terdengar serius dan tentang sebuah perusahaan. Selain tak ingin campur tangan dengan urusan orang lain, aku juga tak ingin mengganggu mas Aziel, karena itu aku lebih memilih berbalik masuk ke kamar.

“Amara?? Kau belum tidur?” suara mas Aziel mengejutkanku, membuatku secara refleks menghentikan langkah kakiku saat itu juga.

Aku berbalik menoleh dan mengulas senyuman pada mas Aziel.

“Iya Mas, aku belum bisa tidur karena mungkin ini untuk pertama kalinya bagiku tidur sendiri di villa seluas ini,” aku beralasan.

Mas Aziel membalas dengan senyuman hangatnya lalu berkata. “Ya, aku bisa memahaminya. Kalau begitu, bagaimana kalau aku temani kamu mengobrol? Mungkin dengan itu, rasa kantukmu akan muncul nanti,” mas Aziel menawarkan.

“Udara di luar sangat dingin, lebih baik kita mengobrol di ruangan tengah saja agar lebih nyaman,” tutur Mas Aziel.

“Iya, Mas.”

Aku dan Mas Aziel pun duduk saling berhadapan di sofa ruang tengah yang memang terlihat jauh lebih nyaman seperti apa yang dikatakan Mas Aziel tadi.

“Apa yang membebani pikiranmu, Amara? Sepertinya kamu tidak bisa tidur bukan hanya karena masalah villa ini saja,” mas Aziel memancing. “Apa kamu masih memikirkan tentang Radit dan Laura?” tebaknya kemudian.

Aku tersenyum kecut. “Untuk dua pengkhianat itu aku sudah tak terlalu memikirkannya, Mas. Namun, sekarang aku justru sedang memikirkan apa yang akan aku katakan pada ayahku tentang perpisahanku dengan Mas Radit yang tiba-tiba seperti ini,” terangku merasakan delima.

“Kau hanya tinggal mengatakan faktanya saja pada Pak Dedi, kan? Apa yang membuatmu takut, Amara?” ujar mas Aziel.

“Yang jadi masalah di sini ayah tak pernah percaya padaku, Mas. Beliau lebih percaya pada setiap ucapan dari Mbak Laura,” ungkapku.

“Jika itu adalah masalahnya, aku ada dipihakmu. Mau bagaimana Laura akan memutar balikkan fakta, kesaksianku akan membuat Pak Dedi tahu kalau putri pertama yang beliau banggakan tidak sebaik yang dikira selama ini,” tegas Mas Aziel meyakinkanku.

“Terima kasih, Mas. Kalau tidak ada kamu, entahlah.... aku benar-benar merasa seorang diri walaupun aku sebenarnya masih memiliki keluarga.” Entah kenapa perasaanku menjadi sentimentil saat ini.

“Tak perlu berterima kasih. Bukankah kita sama-sama keluarga? Jadi tak ada yang perlu kamu cemaskan.” Mas Aziel menatapku dalam. “Dan yang pasti, jangan pernah menganggap kamu sendirian, Amara. Kamu masih memiliki aku, tolong ingat akan hal itu,” ucap mas Aziel tulus.

“Sejak ibu meninggal aku semakin merasa sendirian. Aku tahu posisiku hanya sebagai anak kedua dari istri kedua dari Bramawijaya. Karena itu sejak kecil aku tak pernah berharap lebih dari ayahku sendiri.” Aku tersenyum kecut mengingat masa-masa pahit selama aku menjadi bagian dari keluarga Bramawijaya.

Tetapi beberapa saat kemudian aku tersadar, tak seharusnya aku menceritakan penderitaanku pada Mas Aziel. Menepis kegundahan hatiku dengan tersenyum, aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana dengan Mas Aziel. Mas belum pernah menceritakan tentang masa kecilmu selama ini?” tanyaku sedikit penasaran.

“Aku? Tidak ada yang istimewa dariku. Seperti yang kamu dan keluarga Bramawijaya tahu jika aku hanya seorang anak yatim piatu yang hanya tinggal dengan Pamanku saja,” jawab Mas Aziel datar. “Aku terbiasa hidup hanya dengan mengandalkan kaki dan tanganku sendiri. Dengan keterbatasan ekonomi yang mungkin membuat Laura merasa enggan hidup bersamaku. Jadi jujur saja, sejak dulu aku sudah siap apabila suatu saat Laura yang sudah terbiasa hidup berkecukupan harus hidup serba keterbatasan denganku.” Tutur mas Aziel seraya tersenyum getir.

Aku menatap mas Aziel dengan tatapan penuh simpatik. Begitu dalam luka yang mbak Laura torehkan pada mas Aziel. Ucapan mas Aziel membuatku berpikir jika kesetiaan mas Aziel dikhianati oleh istrinya sendiri karena harta. Sekarang aku tahu apa alasan yang membuat mas Aziel terlihat tegar sejak tahu pengkhianatan istrinya sendiri di belakangnya selama ini. Ternyata sejak mengawali pernikahan dengan mbak Laura, mas Aziel sudah tahu sifat asli mbak Laura yang tak pernah bisa hidup susah.

“Jika aku boleh bicara. Di mataku mas Aziel adalah sosok suami yang sempurna. Hanya saja Mbak Laura tak pernah bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Kita lihat saja, sampai kapan kedua pasangan pengkhianat itu akan bertahan dengan hubungan mereka Mas?” ujarku merasa geram.

Mas Aziel mengulas senyum diagonalnya yang nyaris tak kentara lalu berkata. “Kamu dan Laura masih memiliki darah yang sama, tetapi aku melihat tak ada sedikit pun kemiripan di antara kalian, terutama dari sifat kalian berdua yang begitu berbeda,” mas Aziel berpendapat.

“Terima kasih, Mas. Aku anggap itu sebagai pujian untukku. Semoga saja aku tak menjadi wanita yang serakah dan bisa selalu menjaga martabatku sebagai seorang wanita sekaligus istri yang baik,” harapku.

Mas Aziel mengangguk, pandangan kami sempat bertemu selama beberapa saat, seolah dunia berputar begitu lambat. Ruangan yang sunyi dan dingin seakan menambah suasana di antara kami, membuat aku merasakan gugup dan canggung dengan tiba-tiba. Astaga, kenapa akhir-akhir ini selalu merasa seperti ini bila bersama dengan mas Aziel? Apa ada yang salah dengan diriku?

Tak mau semakin terperangkap dengan perasaan aneh yang melingkupiku, aku lebih memilih cepat-cepat pergi.

“Sepertinya aku sudah mengantuk, terima kasih karena Mas sudah menemaniku mengobrol malam ini.” Aku bangkit dari tempat duduk dan hendak kembali ke kamarku, namun sial karena terlalu terburu-buru, langkahku justru tersandung oleh kakiku sendiri hingga membuatku oleng dan...

“Aahh!!” pekikku spontan.

Aku baru tersadar kalau tubuhku ternyata jatuh tepat di pelukan mas Aziel tepat pada waktunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status