Ini adalah pertama kalinya aku tidur di puncak. Kami memutuskan untuk menginap semalam di villa milik teman mas Aziel. Sepanjang hari itu aku pun terus memikirkan ucapan mas Aziel padaku, tentang fakta dan alasan jika aku adalah orang pertama yang diajak di villa ini. Apakah mas Aziel berbohong? Jika iya, lalu untuk apa? Selama aku mengenal mas Aziel, dia bukanlah pria yang suka merayu wanita. Selama ini justru yang aku tahu jika mbak Laura yang tergila-gila dengan mas Aziel, secara fisik Mas Aziel memang adalah pria idaman semua wanita, termasuk mbak Laura sendiri. Itulah sebabnya aku seperti ditampar keras oleh kenyataan kalau ternyata di belakangku selama ini mbak Laura menjalin hubungan dengan suamiku sendiri yang memang lebih mapan dalam segi keuangan dan pekerjaannya.
Lagi-lagi aku tersenyum kecut mengingat akan hal itu. Ternyata memang benar uang dapat membutakan mata siapa saja. Sekalipun didasari cinta yang besar, namun jika hati itu rapuh, cinta itu pun akan hilang dengan sendirinya. Itulah yang dialami oleh Laura Bramawijaya, kakak perempuanku dari ibu Mega, istri pertama ayahku sendiri. Sedangkan ibuku adalah istri kedua ayah yang sudah lebih dulu berpulang empat tahun yang lalu sebelum aku menikah.Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan aku masih terjaga tak bisa memejamkan mata. Karena itu aku lebih memilih keluar untuk melihat pemandangan luar villa di malam hari, tetapi belum sampai ke luar aku mendengar suara mas Aziel yang mengobrol dengan seseorang melalui sambungan teleponnya. Aku tidak terlalu jelas mendengar isi percakapannya, tetapi aku masih bisa menangkap sedikit pembicaraan mas Aziel yang terdengar serius dan tentang sebuah perusahaan. Selain tak ingin campur tangan dengan urusan orang lain, aku juga tak ingin mengganggu mas Aziel, karena itu aku lebih memilih berbalik masuk ke kamar.“Amara?? Kau belum tidur?” suara mas Aziel mengejutkanku, membuatku secara refleks menghentikan langkah kakiku saat itu juga.Aku berbalik menoleh dan mengulas senyuman pada mas Aziel.“Iya Mas, aku belum bisa tidur karena mungkin ini untuk pertama kalinya bagiku tidur sendiri di villa seluas ini,” aku beralasan.Mas Aziel membalas dengan senyuman hangatnya lalu berkata. “Ya, aku bisa memahaminya. Kalau begitu, bagaimana kalau aku temani kamu mengobrol? Mungkin dengan itu, rasa kantukmu akan muncul nanti,” mas Aziel menawarkan.“Udara di luar sangat dingin, lebih baik kita mengobrol di ruangan tengah saja agar lebih nyaman,” tutur Mas Aziel.“Iya, Mas.”Aku dan Mas Aziel pun duduk saling berhadapan di sofa ruang tengah yang memang terlihat jauh lebih nyaman seperti apa yang dikatakan Mas Aziel tadi.“Apa yang membebani pikiranmu, Amara? Sepertinya kamu tidak bisa tidur bukan hanya karena masalah villa ini saja,” mas Aziel memancing. “Apa kamu masih memikirkan tentang Radit dan Laura?” tebaknya kemudian.Aku tersenyum kecut. “Untuk dua pengkhianat itu aku sudah tak terlalu memikirkannya, Mas. Namun, sekarang aku justru sedang memikirkan apa yang akan aku katakan pada ayahku tentang perpisahanku dengan Mas Radit yang tiba-tiba seperti ini,” terangku merasakan delima.“Kau hanya tinggal mengatakan faktanya saja pada Pak Dedi, kan? Apa yang membuatmu takut, Amara?” ujar mas Aziel.“Yang jadi masalah di sini ayah tak pernah percaya padaku, Mas. Beliau lebih percaya pada setiap ucapan dari Mbak Laura,” ungkapku.“Jika itu adalah masalahnya, aku ada dipihakmu. Mau bagaimana Laura akan memutar balikkan fakta, kesaksianku akan membuat Pak Dedi tahu kalau putri pertama yang beliau banggakan tidak sebaik yang dikira selama ini,” tegas Mas Aziel meyakinkanku.“Terima kasih, Mas. Kalau tidak ada kamu, entahlah.... aku benar-benar merasa seorang diri walaupun aku sebenarnya masih memiliki keluarga.” Entah kenapa perasaanku menjadi sentimentil saat ini.“Tak perlu berterima kasih. Bukankah kita sama-sama keluarga? Jadi tak ada yang perlu kamu cemaskan.” Mas Aziel menatapku dalam. “Dan yang pasti, jangan pernah menganggap kamu sendirian, Amara. Kamu masih memiliki aku, tolong ingat akan hal itu,” ucap mas Aziel tulus.“Sejak ibu meninggal aku semakin merasa sendirian. Aku tahu posisiku hanya sebagai anak kedua dari istri kedua dari Bramawijaya. Karena itu sejak kecil aku tak pernah berharap lebih dari ayahku sendiri.” Aku tersenyum kecut mengingat masa-masa pahit selama aku menjadi bagian dari keluarga Bramawijaya.Tetapi beberapa saat kemudian aku tersadar, tak seharusnya aku menceritakan penderitaanku pada Mas Aziel. Menepis kegundahan hatiku dengan tersenyum, aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana dengan Mas Aziel. Mas belum pernah menceritakan tentang masa kecilmu selama ini?” tanyaku sedikit penasaran.“Aku? Tidak ada yang istimewa dariku. Seperti yang kamu dan keluarga Bramawijaya tahu jika aku hanya seorang anak yatim piatu yang hanya tinggal dengan Pamanku saja,” jawab Mas Aziel datar. “Aku terbiasa hidup hanya dengan mengandalkan kaki dan tanganku sendiri. Dengan keterbatasan ekonomi yang mungkin membuat Laura merasa enggan hidup bersamaku. Jadi jujur saja, sejak dulu aku sudah siap apabila suatu saat Laura yang sudah terbiasa hidup berkecukupan harus hidup serba keterbatasan denganku.” Tutur mas Aziel seraya tersenyum getir.Aku menatap mas Aziel dengan tatapan penuh simpatik. Begitu dalam luka yang mbak Laura torehkan pada mas Aziel. Ucapan mas Aziel membuatku berpikir jika kesetiaan mas Aziel dikhianati oleh istrinya sendiri karena harta. Sekarang aku tahu apa alasan yang membuat mas Aziel terlihat tegar sejak tahu pengkhianatan istrinya sendiri di belakangnya selama ini. Ternyata sejak mengawali pernikahan dengan mbak Laura, mas Aziel sudah tahu sifat asli mbak Laura yang tak pernah bisa hidup susah.“Jika aku boleh bicara. Di mataku mas Aziel adalah sosok suami yang sempurna. Hanya saja Mbak Laura tak pernah bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Kita lihat saja, sampai kapan kedua pasangan pengkhianat itu akan bertahan dengan hubungan mereka Mas?” ujarku merasa geram.Mas Aziel mengulas senyum diagonalnya yang nyaris tak kentara lalu berkata. “Kamu dan Laura masih memiliki darah yang sama, tetapi aku melihat tak ada sedikit pun kemiripan di antara kalian, terutama dari sifat kalian berdua yang begitu berbeda,” mas Aziel berpendapat.“Terima kasih, Mas. Aku anggap itu sebagai pujian untukku. Semoga saja aku tak menjadi wanita yang serakah dan bisa selalu menjaga martabatku sebagai seorang wanita sekaligus istri yang baik,” harapku.Mas Aziel mengangguk, pandangan kami sempat bertemu selama beberapa saat, seolah dunia berputar begitu lambat. Ruangan yang sunyi dan dingin seakan menambah suasana di antara kami, membuat aku merasakan gugup dan canggung dengan tiba-tiba. Astaga, kenapa akhir-akhir ini selalu merasa seperti ini bila bersama dengan mas Aziel? Apa ada yang salah dengan diriku?Tak mau semakin terperangkap dengan perasaan aneh yang melingkupiku, aku lebih memilih cepat-cepat pergi.“Sepertinya aku sudah mengantuk, terima kasih karena Mas sudah menemaniku mengobrol malam ini.” Aku bangkit dari tempat duduk dan hendak kembali ke kamarku, namun sial karena terlalu terburu-buru, langkahku justru tersandung oleh kakiku sendiri hingga membuatku oleng dan...“Aahh!!” pekikku spontan.Aku baru tersadar kalau tubuhku ternyata jatuh tepat di pelukan mas Aziel tepat pada waktunya.“Kamu tidak apa-apa, Amara?” Pertanyaan mas Aziel seketika menyadarkanku dari kenyataan setelah beberapa saat tatapan kami bertemu dalam posisi yang sangat membuat canggung.“Ah ya, Mas. Maaf, aku begitu sangat ceroboh.” Aku salah tingkah saat itu juga dengan membuang muka. “Terima kasih, Mas. Aku akan kembali ke kamar.” Sambungku lalu berjalan cepat menuju ke arah kamar.‘Astaga, cerobohnya aku bisa sampai terjatuh seperti tadi!?’ aku terus memaki diri sendiri dengan jantung yang tak bisa berdebar dengan kencang. Setelah sampai di dalam kamar, aku menyadarkan tubuhku sejenak di pintu kamar untuk merilekskan diri setelah kejadian memalukan di luar dugaan seperti tadi. Setelah aku merasa lebih baik kemudian aku melangkah ke wastafel kamar mandi dan membasuh wajahku di sana. Cipratan air begitu terasa sejuk di wajahku dan dapat mendinginkan otakku yang terasa tegang. Aku tatap pantulan diriku dalam cermin lalu menepuk sedikit pipiku. Rasanya lebih baik dari sebelumnya.“Sadarlah Amara,
Seorang pria gagah berparas rupawan dengan wajah blasterannya yang menonjol tampak masuk ke sebuah mobil mewah di sebuah tempat parkir, di mana seseorang telah menunggu di sana.“Selamat siang, Tuan muda.” Pria bersetelan jas rapi di dalam mobil itu menyapa dengan sikap formalnya pada pria bernama Aziel Gibran yang baru saja masuk ke dalam mobil.“Kau mendapatkan semua laporan yang aku minta darimu, Faeza?” Aziel bertanya memastikan.“Seperti yang Anda minta, saya sudah menyiapkannya untuk Anda semua di sini.” Pria bernama Faeza itu memberikan sebuah dokumen pada Aziel. Aziel pun langsung memeriksanya.Setelah beberapa saat membaca isi dalam dokumen yang dibawa Faeza ekspresi wajahnya berubah. Wajah tampan khas blasterannya tampak lebih serius saat membaca beberapa lembar isi dokumen yang ada di tangannya.“Sky Group akan mendirikan anak perusahaan di Jakarta?” Aziel bertanya.“Benar, Tuan. Seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu pada Anda, jika Tuan besar Cruz akan mend
Sudah beberapa hari sejak mas Radit menjatuhkan talaknya padaku. Kini aku kembali ke rutinitasku sebagai pemilik sebuah butik setelah aku mendapatkan rumah kontrakkan baru. Walaupun tidak terlalu besar, namun usaha butik ini cukup untuk memenuhi kebutuhanku untuk ke depannya nanti. Usaha yang sudah aku geluti bahkan sebelum aku menikah, kini berkembang pesat sedikit demi sedikit. Siang itu aku yang tengah sibuk mengerjakan laporan bulanan di ruanganku, tiba-tiba mendengar suara ketukan dari luar ruangan.“Permisi, Bu.” Sebuah suara dari salah seorang karyawanku terdengar.“Ya, masuk. Ada apa?”“Ibu Amara, maaf ada yang mencari ibu di luar,” lapor gadis manis berusia belia bernama Caca yang merupakan karyawanku sendiri.“Siapa?” tanyaku penasaran.“Seorang pria, Bu. Beliau mengaku bernama Aziel Gibran.”Deg!Aku cukup terkejut mendengarnya. Mas Aziel? Dia sampai mencariku ke sini? Ada apa? Mengingat mas Aziel membuatku teringat kalau sejak pertemuan kami yang terakhir aku belum sempat
Dua bulan kemudianHari berlalu begitu saja, setelah aku keluar dari rumah yang aku tinggali bersama mas Radit dan menempati rumah kontrakkan baru, hari-hariku disibukkan dengan pekerjaanku di butik dan sidang perceraianku dengan mas Radit yang cukup cepat. Sejak pertemuan terakhir kami di rumah waktu itu bersama dengan orang tuaku, aku tak pernah melihat mas Radit lagi. Pria pengkhianat itu seperti sengaja menghilang. Bahkan dalam persidangan selalu diwakilkan oleh pengacaranya. Apakah dia terlalu takut untuk bertemu denganku secara langsung atau ada alasan lain? aku tak ingin tahu dan tak ingin peduli. Sama halnya dengan mbak Laura. Aku tak pernah melihat batang hidungnya lagi setelah hari itu. Sedangkan mas Aziel, kami hanya sesekali saling memberikan kabar lewat chat ataupun telepon. Itu pun hanya untuk membahas tentang sidang perceraian kami berdua dengan pasangan masing-masing. Setelah talak tiga itu diucapkan untukku maka hanya menghitung hari aku selesai menjalani masa iddahku
Mas Aziel mengulas senyuman, dia menatapku dalam. Jujur tatapannya kini membuatku menjadi malu dan juga salah tingkah dalam waktu bersamaan. Setelah itu mas Aziel meraih cincin di tanganku, kemudian memasangkannya di jari kelingkingku dengan penuh perasaan. Entah kebetulan atau bukan, aku sendiri tak mengerti bagaimana bisa cincin itu pas di jari kelingkingku.“Bukan cincin yang mewah tapi semoga kamu suka, Amara,” tuturnya lembut. Ucapannya begitu tulus aku dengar. “Maaf mengejutkanmu dengan cara seperti ini,” sambungnya setelah cincin itu sudah terpasang di jari manisku.“Kenapa Mas Aziel memperlakukanku berlebihan? Untuk sesaat aku merasa seperti menjadi wanita yang paling bahagia di dunia karena dilamar dengan cara seperti ini,” ungkapku jujur. “Terima kasih, Mas. Dulu saat Mas Radit melamarku tak ada yang spesial di antara kami. Tentu ini tidak akan aku lupakan seumur hidupku nanti.” Ucapku seraya tersenyum tulus.“Karena di mataku, kamu memang wanita yang spesial, Amara,” jawab m
Setelah mengucapkan kalimat kemarahan itu Radit beranjak dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi dalam keadaan telanjang. Sedangkan Laura hanya bisa terpaku dan membisu menatapnya.Raditya merasa kesal dan marah saat Laura memojokkannya dengan pertanyaan yang memang dia hindari sejak awal. Namun, tak dipungkiri semua yang dikatakan Laura adalah benar. Raditya merasa marah sekaligus cemburu saat melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya itu tengah berduaan dengan pria bernama Aziel Gibran. Bahkan Aziel baru saja melamar Amara yang belum selesai menjalani masa iddahnya!Marah dan emosi, itu jelas. Radit berpikir bagaimana bisa Amara melupakan dengan mudah dirinya dan lebih memilih pria miskin bernama Aziel Gibran? Kenapa harus pria itu? Di antara jutaan pria di dunia, Amara justru memilih Aziel, suami dari kekasih gelapnya sendiri. Apa itu adalah sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan Amara sejak awal karena rasa sakit hati m
“Hufh, benar-benar hari yang melelahkan.” Aku menghela nafas sembari melonggarkan otot-otot tubuhku yang terasa kaku.Sepanjang hari itu aku disibukkan dengan pekerjaanku sebagai pemilik butik yang sudah empat tahun aku geluti. Setelah beberapa jam dilewati dengan kesibukan, akhirnya ada waktu juga untuk melepas lelah dan menyadarkan tubuhku di kursi sofa minimalis yang biasa aku gunakan untuk beristirahat di ruang kerja milikku.Mataku memejam dengan pikiran yang kembali menerawang, mengingat kembali kejadian semalam di mana mas Aziel mengatakan niatnya untuk melamarku secara resmi seolah seperti sepasang kekasih yang sesungguhnya. Sungguh aku tak menyangka mas Aziel akan melamarku secara resmi dan penuh kejutan seperti itu. Jika keadaannya berbeda, mungkin aku akan merasa sangat bahagia karena dilamar dengan begitu romantis dan penuh kejutan seperti semalam. Sampai saat ini aku tak tahu apa alasannya mas Aziel bersikap seistimewa itu padaku? Hingga membuatku berpikir mungkinkah dulu
“Amara, bangun Amara.” Sebuah suara terdengar sayup. Perlahan aku mulai membuka mata, sosok yang ada di hadapanku masih terlihat samar. Aku mengerjapkan mata dan mencoba memperjelas penglihatanku kembali.“Mas Aziel?!” Aku tersentak saat ternyata sosok itu adalah mas Aziel. Aku benar-benar terkejut sekaligus merasa bingung melihat pria yang merupakan kakak iparku kini sudah ada di hadapanku sekarang.“Syukurlah kau sudah sadar.” Ucap mas Aziel dengan raut wajah cemas.Pandanganku beredar melihat sekeliling, dan aku baru menyadari kalau saat ini aku sudah ada di dalam mobilku sendiri. Bagaimana bisa?!“Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana bisa kamu ada di sini, Mas?” tanyaku penasaran masih merasa syok dengan apa yang baru saja terjadi padaku.“Kamu pingsan saat seseorang hendak mencelakaimu. Namun, secara kebetulan aku datang ke sini dan menggagalkan niat jahatnya,” terang mas Aziel.“Seseorang? Siapa, Mas?” selidikku.“Entahlah, aku tak tahu. Sayangnya dia berhasil kabur saat a