Sungguh Vemilla kehilangan arah, Radzian adalah anak panah yang selalu mengarahkan segalanya pada hal-hal yang ingin dia lakukan, menemukan apa yang mau dia suka atau apa yang dia inginkan.
Ditanya seperti itu secara mendadak, membuat Vemilla kehilangan kendali. "Latihan ballet, istirahat sebentar dan latihan lagi. Hidup ini harus terus berjalan, 'kan? Ditambah ..., kalau aku diem di rumah, mama pasti nyari dan—" Ah benar, Davian paham maksud dari ungkapan gadis ini, Sabrina tidak akan membiarkan putrinya hidup tenang. "Ikut denganku hari ini," potong Davian. Mulut yang masih terbuka hendak melanjutkan ucapannya itu seketika tertahan, sendok dan bubur putih mengudara di depan mulut. Vemilla terkejut, hebat. "Hah? ikut? Ke mana?" tanya Vemilla mengerutkan wajah. "Selesaikan sarapanmu, mandi, siap-siap dan kita harus segera berangkat." Bukannya menjawab, Davian malah mengeluarkan kata-kata perintah lain.Mengapa debar dada Davian bergetar cepat. Saliva yang tertelan seperti lautan yang mengalir tanpa henti, Davian terpana oleh penampilan gadis kecil ini. Nyaris Davian terkecoh oleh hal itu, kemudian pria yang sempat termangu dalam diam selama beberapa detik itu lekas menggelengkan kepala. Davian berjalan ke pintu mobil di sisi kendali kemudi, dia membukakan pintu mobil. "Cepet masuk. Kamu kelamaan, kita harus segera berangkat, saya ada meeting penting dengan tim," perintah Davian memalingkan perhatian dari Vemilla. Tak pernah mendapatkan jawaban pasti, Vemilla merasa kesal dengan sahabat kakaknya ini, meskipun begitu, Vemilla tetap menurut, dia turun dari rumahnya. Melaju masuk ke mobil Davian. "Maaf," katanya seraya melintas. "Hm," jawabnya nyaris bergumam. Tuk. Pintu mobil tertutup. Davian berlari ke kursi kemudi, dia memutuskan memulangkan sopir yang diperintah Petra, dan memilih mengendarai mobil itu sendiri. Mbak Narti keluar dari rumah saat mobil Davian telah melaju meni
Sungguh Vemilla kehilangan arah, Radzian adalah anak panah yang selalu mengarahkan segalanya pada hal-hal yang ingin dia lakukan, menemukan apa yang mau dia suka atau apa yang dia inginkan. Ditanya seperti itu secara mendadak, membuat Vemilla kehilangan kendali. "Latihan ballet, istirahat sebentar dan latihan lagi. Hidup ini harus terus berjalan, 'kan? Ditambah ..., kalau aku diem di rumah, mama pasti nyari dan—" Ah benar, Davian paham maksud dari ungkapan gadis ini, Sabrina tidak akan membiarkan putrinya hidup tenang. "Ikut denganku hari ini," potong Davian. Mulut yang masih terbuka hendak melanjutkan ucapannya itu seketika tertahan, sendok dan bubur putih mengudara di depan mulut. Vemilla terkejut, hebat. "Hah? ikut? Ke mana?" tanya Vemilla mengerutkan wajah. "Selesaikan sarapanmu, mandi, siap-siap dan kita harus segera berangkat." Bukannya menjawab, Davian malah mengeluarkan kata-kata perintah lain.
Tangan Vemilla melayang-layang di udara, mencoba meraih sesuatu, air mata mengalir di sela-sela rengek tangis gadis itu, suaranya parau dan temaram. Napas yang berhembus pun terdengar berat, Davian turun ke sisi Vemilla, mendudukkan dirinya di pesisir ranjang, meraih dua tangan Vemilla, dia genggam erat tangan gadis itu sampai Vemilla terlihat tenang. "Illa ..., lepaskan, jangan menahannya, Ian harus pergi, tugasnya di bumi ini telah selesai," ucap Davian dengan tatapan intens, "Sekarang giliranmu berjalan tanpanya, temukan lelaki yang pas untuk menemani hidupmu," sambung Davian. Dielus lembut punggung tangan Vemilla, dia tidurkan di atas pangkuan kaki yang dinaikkan satu ke atas ranjang. "Tenangkan dirimu, tenggelamlah pada pemikiran yang jauh lebih tenang, temukan orang yang akan menemanimu, dia kiriman dari Tuhan," tandas Davian. Ini adalah ungkapan hatinya pula. Davian seolah berjalan di lorong kelam yang sama seperti Vemilla, menyusuri ja
Vemilla terdiam, menahan tangisan itu jauh dalam dada, dia terisak-isak menunggu Davian melanjutkan ocehannya, jelas di mata pria itu, jika dia masih belum selesai. "I-an ...," katanya dengan suara bergetar, "Sahabat terbaikku dari masa SMA, kita bersahabat kurang lebih tiga belas tahun, dan kami gak pernah putus hubungan." Davian melempar pandangan, deru pedih dalam hatinya bersenandung, pria itu menghela napas untuk mendorong rintik air agar tidak terjatuh di hadapan gadis itu. "Selama itu pula aku selalu bergantung padanya, aku punya orangtua, aku punya pasangan, tapi hidupku sangat sepi, dan Ian adalah salah satu warna yang aku syukuri." Wajah tampan pria itu masih terhenti di samping kiri. Udara dihirup secara sengaja, dan butiran pedih masih tertahan di tenggorokan, lanjut lelaki itu menyeka air mata yang terjatuh di ujung mata dengan punggung tangannya. "Ini di luar kendali kita, kita hanya manusia, skenario kehidupan kita ada
Papa, 00.12 Davian, kamu di mana? Mama sama papa ada di depan apartemen kamu? Belum pulang? Kamu gak kangen sama orangtua kamu? Jangan kerja mulu, Sayang, cepet pulang, ya, Mama sama papa nunggu kamu di lobi apartemen. Getar ponsel jelas didengar Davian, ponsel itu tidak kehabisan daya atau dalam mode silent, hanya saja pria ini yang sedang melamun. Memerhatikan jalan, dari pohon-pohon, langit hitam dengan satu bintang dari dalam taksi yang sedang berjalan, napas pun dihembuskan kasar nan berat. Sopir taksi memerhatikan dari kaca yang ada di atasnya, melihat bagaimana kusut dan rapuhnya pria itu, bersandar dengan tatapan kosong tak bergairah. "Maaf, Tuan, ponsel Anda sepertinya ada yang menelepon," tegur sopir taksi. Barulah Davian mengedipkan mata, satu tetes air mata mengalir, dia mengekanya dengan cepat seraya menghirup udara yang berkeliaran di sekitarnya. Papa? Batinnya berseru tanpa sadar jika pesa
Kata-kata terakhir Radzian terus menghantui Davian, dia tak ingin melewatkan satu detik pun tentang adik sahabatnya, ini adalah wasiat yang telah dia setujui. Tanggungjawabnya besar. Davian menghela napas sebelum mendengar jawaban dari asisten rumah tangga yang menemani gadis itu di rumah. "Masih tidur, Tuan, tapi tadi sempet mengigau, manggil nama Tuan Ian sambil nangis, terus lanjut tidur lagi." Sungguh pedih mendengar hal itu, Davian tahu dengan baik jika hubungan Radzian dengan adiknya memang cukup harmonis, mereka menggantungkan diri mereka terhadap satu sama lain. Saling berpegangan dan berpangku tangan, jelas Vemilla mengalami fase sulit yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terbiasa tanpa Radzian di hidupnya. Davian mengiba, hatinya mendesir, perih. "Oke, pantau terus, kalau ada apa-apa, kabari saya, mulai hari ini Vemilla menjadi tanggungjawab saya, jika orangtuanya menyiksanya lagi pun kab
Serak suara di balik panggilan telepon terdengar napasnya berhembus. "Baik, Pak, segera saya cari tahu tentangnya." Panggilan telepon berakhir begitu saja, Davian hanya memberi perintah lalu mematikan panggilan telepon dengan cepat. Pria itu membalikkan tubuh dan memasati paras cantik Vemilla, dia amati secara mendalam gadis itu. "Ian ...," seru Davian bernapas berat. "Apa yang salah dengan adikmu, dia terlihat manis dan penurut, dia baik dan selalu mengalah, kenapa orangtua kalian begitu membenci gadis ini?" sambungnya mempertanyakan hal yang sama. Meskipun dia telah mendengar banyak alasan dari Radzian mengenai sikap pilih kasih orangtua mereka, jelas Davian ingin mendengar alasan pasti mengapa gadis ini dibedakan. Langkah demi langkah terurai ke depan, mendekati Vemilla yang terlelap dengan luka-luka lebam di wajahnya, kulit selembut itu harus bertarung dengan ganasnya tamparan Sabrina. "Say
Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu. Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah buku
Hampir saja Davian melupakan suatu hal, di rumah ini bukan hanya Vemilla, melainkan ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Radzian untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Dengan wajah sedikit mengeras, lelaki itu menjawab, "Masuk," katanya. Pintu setengah tertutup itu terbuka lebar, membawa seorang wanita paruh baya—43 tahun, masuk ke kamar bernuansa putih dan merah muda tersebut, wanita berpakaian seadanya itu membawa semangkuk besar air hangat dengan kain putih berbulu halus. "Saya mau mengompres luka Nona," ucapnya menundukkan wajah. Davian menghela napas beberapa saat, seraya menyisir rambut ke belakang, pria ini berlalu keluar dari ruang kamar Vemilla, tanpa meninggalkan pesan apapun. Berjalan menuruni tangga. Di anak tangga yang entah ke berapa, ponsel yang sejak tadi terbenam di saku celana mulai bergetar, menggelitik tubuhnya hingga merasa geli. Davian menghentikan langkah, merogoh ponsel dan mendekatkan ke telinga. "Halo," sapanya singkat, bahkan dia tidak melihat s