LOGINJelas sekali di mata mereka, ini bukan pertanyaan karena mereka tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya tadi malam, melainkan sebuah agenda konfirmasi untuk menguji kejujuran.
Vemilla mengerjap, dia terkesiap hebat mendengar pekikan sang mama, bola mata yang tenang itu tergambar rasa takut, mendalam, hatinya teriris oleh tatapan mengerikan itu. "Ma ..., ada apa? Illa gak tahu apa-apa, bahkan Illa tadi malam terluka, dan kalian sama sekali gak nanya kenapa aku pulang dalam keadaan terluka seperti tadi malam?" Sabrina terpicu oleh ucapan putrinya, akan tetapi dia selalu menyangkal dan denial terhadap apa yang dia sadari, ambisinya masih bertahan pada perkembangan bisnis, tak peduli dengan perasaan putri yang dia lahirkan sendiri. Demikianpun dengan Johan, pria ini seperti tak bernyali, dia terdiam tak berkutik sama sekali mendengar istrinya mengomentari dan memarahi putri semata wayang di keluarga yang dia pimpin. Sabrina mendelik, malas, dia duduk di atas sofa depan Vemilla. "Itu karena kamu salah! Mama gak mau ngurusin urusan yang kamu perbuat, selesaikan aja sendiri." Ketus Sabrina. Dia bangkit dari sofa, berjalan ke depan putrinya yang berdebar, bola mata gadis itu berkaca-kaca. "Gara-gara kamu, kakak kamu semalam i—" Bahkan semesta merestui Vemilla, Sabrina tidak diizinkan untuk memberitahu apa yang terjadi semalam, Radzian datang tepat waktu sebelum sang mama memberitahu kebenaran semalam. "Urusan semalam itu pure karena aku, gak ada sangkut pautnya dengan Illa," potong Radzian menjelang dari pintu utama rumah tersebut. Mereka terkejut. Telunjuk Sabrina yang hendak diarahkan pada putrinya segera dialihkan ke arah suara itu berasal, termasuk Johan, Vemilla sendiri segera bangkit sari posisi duduknya. Raut malas penuh tekanan tadi meleleh dari wajahnya, tergantikan dengan senyuman lega yang tak pernah dia tunjukkan pada siapapun, kecuali kakak kandungnya. Sabrina mengerutkan wajah. Dia berhembus kasar hingga berkacak pinggang kemudiannya. "Ian! Kenapa kamu selalu membela anak perempuan gak guna ini! Dia selalu membuat ulah dan pacaran gak jelas sama cowok aneh itu!" gertak Sabrina menajamkan sorot matanya pada putra kesayangannya. Alasannya sebenarnya tidak jauh berbeda, Sabrina dan Johan menjadikan anak-anak mereka aset untuk meraih kekayaan lebih tinggi lagi, Radzian sangat disayangi karena dia seorang pria yang kemungkinan besar mampu memimpin perusahaan. Radzian membenci sikap orangtuanya yang selalu pilih kasih terhadap adiknya. Dia berjalan mendekati sang mama. "Karena Vemilla adalah adik kandungku, jika kematianku bisa menyelamatkannya, aku akan melakukannya!" celetuk Radzian bermata tajam. Degh!! Siapa yang tidak terkejut dengan ucapan Radzian, lelaki ini mendadak membawa kematian dalam obrolan itu, Sabrina dan Johan tercengang, mereka mematung beberapa waktu sampai pertukaran pandangan itu dianggap kaku dan lambat. Johan datang dari belakang, menjelang ke sisi sang istri. "Jangan semarangan kalau bicara! Ini mamamu, jangan terlalu keras," tegurnya pada putra sulung keluarga Gustavara. Tipis-tipis Radzian tersengih, menggeleng kepala tak habis pikir. "Jangan terlalu keras?" katanya mengerutkan alis-alisnya. Menghela napas sampai bibir ditekan dan mata dipejamkan selama beberapa saat. "Kalian sadar? Yang kalian lakukan pada Illa jauh lebih keras, bahkan cenderung sa-ngat kejam!" gertak Radzian. "Aku heran sama kalian, kenapa mama dan papa memperlakukan Vemilla seperti anak tiri, padahal dia dilahirkan dari rahim yang sama sepertiku 'kan? Ma?" cecar Radzian, muak dengan perlakuan buruk ke-dua orangtuanya. Tidak hanya hari ini, Radzian telah menyaksikan aksi pilih kasih ini dari sejak Vemilla dilahirkan, selalu diabaikan dan dianggap tidak penting dalam keluarga, dituntut harus melakukan ini dan itu demi nama baik keluarga. Sedangkan rumah yang disebut keluarga itu sudah layak disebut neraka dunia, ada apa dengan perempuan? Wanita pun bisa berkembang jika diberi kesempatan, tetapi Sabrina dan Johan menganut pandangan kuno. Jalan seorang wanita selalu terbatas dan tidak ada kesempatan untuk berkembang, memimpin perusahaan atau meraup kekayaan, orangtua keluarga Gustavara adalah contoh buruk bahwa sistem patriarki itu sangat mengerikan. "Aku akan bawa Illa keluar, dia butuh waktu, setelah kejadian semalam, Illa butuh waktu istirahat," ajak Radzian menyeret adiknya keluar dari rumah. Mendorong gadis kecil itu keluar dari pintu. "Temui temen Kakak, di sana ada Davian, naik aja ke mobilnya, ya," titah Radzian pada Vemilla. Tampak bingung nan lugu, Vemilla mengangguk dan tidak mempertanyakan mengapa dia diseret keluar dari rumah dan memintanya menemui seseorang yang tidak pernah dia temui, tetapi sudah sering dia dengar di telinganya. Vemilla berayun lambat keluar dari gerbang rumahnya yang megah, pasalnya Davian memarkirkan mobil di luar gerbang rumah milik sahabatnya, tepat di sisi kiri, sedangkan Radzian sendiri masih berada di dalam rumah. Pria berparas rupawan itu kembali menghadap pada ke-dua orangtuanya. "Vemilla itu manusia, dia bukan boneka, dia punya hati, punya rasa sakit dan keinginan, dia dilahirkan karena kalian," tegas Radzian dengan tatapan tajam nan dalam. "Mama gak pernah menginginkan melahirkan anak perempuan, anak perempuan itu menyusahkan, manja dan gak bisa memberikan balasan apapun pada kami selaku orangtuanya," cetus Sabrina tanpa melihat siapakah dirinya. Radzian tercengang tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, jika Sabrina bukan mamanya, entah apa yang akan dilakukan Radzian pada wanita di depannya. Pria bertubuh tinggi itu menghela napas sepanjang mungkin, dia sisir kasar rambutnya sampai menyapu wajah dengan kasat dan tajam. "Begitupun dengan Vemilla! Gadis kecil itu gak pernah mau dilahirkan di keluarga yang memandang rendah dirinya!" gertak Radzian tak merasa segan bicara kasar terhadap orangtuanya. Perdebatan semakin memanas, lelaki ini tidak mampu meredam emosi lagi, wajahnya memerah pun rahangnya perlahan mengeras, tertanam jelas di setiap partikel wajah Radzian. "Sebelum aku mati, aku gak akan mengizinkan siapapun menyakiti adikku, termasuk mama dan papa." Radzian berlalu pergi dari rumah usai dia puas berdebat dengan ke-dua orangtuanya sendiri. Kata-kata terakhir yang terlontar dari mulut Radzian berhasil menoreh pedih di hati Sabrina, wanita itu berkaca-kaca tak percaya jika putra kesayangannya justru lebih menyayangi Vemilla. Tak ada balasan dari mereka, kecuali rona kecewa yang semakin tajam terlihat di raut mereka, bahkan Johan pun hanya mampu menghela napasnya yang panjang. Ian itu keras kepala sama seperti Sabrina, aku gak bisa berbuat apa-apa. Batin Johan berdeham. Di luar rumah, Vemilla masih celingukan di ambang gerbang menjulang tinggi rumahnya, dia sisir seluruh area di depan—mencari keberadaan mobil milik sahabat sang kakak. Ballerina cantik nan menawan itu berjalan gontai ke tengah jalan, bergerak ke kanan secara perlahan, rambut yang terurai tertiup angin—menerjang beberapa helainya hingga beterbangan dengan indah. "Mobil Porche Panamera warna hitam? Di mana itu?" keluh Vemilla mengapit bibir. Sementara Davian sendiri sedang menunggu di sisi berlawanan dari arah yang ditempuh Vemilla, dia bersandar pada mobil pribadinya sambil melipat dua tangan di depan dengan wajah mengantuk pun tertunduk dalam. Sekilas pria tampan bermata warna amber itu memalingkan wajahnya ke arah dimana Vemilla berada, sigap Davian menyadari jika gadis bertubuh ramping nan menawan itu adalah adik kesayangan sahabatnya. Lelaki itu berjalan meninggalkan mobil—mengayun ke sisi berlawanan dari posisi sebelumnya. "Vemilla!" panggil Davian dengan suara deep voice yang menggoda. Next ....Ini adalah impian besar gadis ballerina itu, dia selalu berharap memiliki tempat tenang yang ditanami berbagai macam bunga yang indah, dan bunga Lilac bukan satu-satunya.Namun ia adalah simbol pertemuan utama antara Davian dan Vemilla, sejak Davian menghadiahkan Vemilla buket bunfa Lilac, gadis itu menjadi penuh semangat, ada energi baru yang selalu menjadi kekuatannya.Dan hari ini, kekuatan itu telah lengkap bersama rumahnya, bukan hanya aroma atau sebuah benda pengikat.Vemilla berangsur menaiki tangga berbunga itu, menuju bangunan dikelilingi kaca, berdinding transparan dan rangka besi hitam, ia adalah rumah kaca yang paling indah di mata gadis ini."Masuk, Sayang, aku mau telepon Petra dulu," ucapnya usai membukakan pintu kaca dengan menekan tombol di depannya.Vemilla mengangguk dan memasuki bangunan itu, sementara Davian melipir ke sudut bangunan, di sana dia menelepon Petra. "Halo, Petra, apa semuanya udah siap?" tanyanya pada se
Vemilla pun Sabrina terkesiap di atas sofa, bahkan istri dari lelaki itu sampai menaikkan kaki dengan detak jantung berdebar, wajahnya memerah, tersipu. "Kak ...?" panggil kecil gadis itu.Malu-malu dia menundukkan wajah dan senyum yang terbit di wajahnya ikut tersembunyi. Davian beranjak dari ambang pintu. Seraya tersenyum dia berangsur berjalan menghadap Vemilla. "Jadi ..., bagaimana hari ini, Sayang?"Berlutut bak seorang pangeran, pria bertubuh jangkung itu meletakkan buket bunga lilac ke sisi tubuh istrinya, berlanjut dia menggenggam erat tangan Vemilla, dia usap punggung tangan lembut sang istri.Lama-lama, Davian menerjunkan sebuah kecupan manis di punggung tangan istrinya. "Apa sekarang udah lebih baik?" tanyanya sekali lagi.Vemilla hanyut oleh perhatian kecil nan manis dari suaminya, dia memerah, tersipu. "Hm, aku udah lebih baik dari satu bulan lalu," bantah gadis itu.Meski malu, Vemilla mendekat dan memeluk leher su
Pintu terbuka saat Davian menyelesaikan aktivitasnya tadi, dia segera berangsur turun dari ranjang dan berbalik, memandangi seorang dokter wanita yang bertanggung-jawab dengan kondisi istrinya beberapa bulan terakhir ini.Dokter wanita berjubah putih itu masuk, membawa tablet medis di tangannya."Pagi, Pak Davian," sapanya tenang. "Saya ingin menyampaikan perkembangan kondisi Ibu Vemilla.Davian segera mendekat, suaranya berat. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Apakah ada perubahan baik?"Dokter menatap Vemilla sejenak, lalu menjelaskan, "Kondisi vitalnya stabil. Fungsi pernapasan sudah baik tanpa bantuan ventilator, dan respon sarafnya mulai menunjukkan perbaikan. Meski masih koma, ini pertanda positif.""Berarti ..., dia bisa sadar?" suara Davian tercekat."Secara medis, kami melihat ada kemungkinan besar Ibu Vemilla segera siuman. Aktivitas otak yang kami rekam melalui EEG meningkat signifikan. Itu artinya kesadarannya perlahan k
Vemilla dinyatakan koma dengan cedera punggung ringan, gadis kecil itu harus terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit yang dingin, berlayar dalam alam sabar yang bingung.Sepanjang waktu, Davian menjaga dan merawat sang istri dengan telaten, berganti dengan Sabrina dan Johan juga Tyana dan Josef, mereka berbagi tugas untuk menjaga putri kesayangan mereka untuk tetap hidup.Sesekali air mata membanjiri pipi ketika mereka menyeka tubuh Vemilla dengan handuk hangat. "Illa Sayangnya Mama ..., cepat bangun, ya, Sayang, Mama, Papa ..., suami kamu, Mama Tyana, dan Papa Josef juga di sini, Nak," rintih perih Sabrina.Handuk hangat itu bergetar di pipi Vemilla. Tubuh gadis itu hangat, namun napasnya dibantu oleh alat yang terpasang di mulut dan hidungnya."Maafkan Mama, Sayang Mama udah banyak membuat kesalahan, Mama janji akan menebus semuanya," sambung Sabrina dengan tangisan yang lebih getir.Tiga lainnya berdiri dengan tangis dan getar tubuh yang berusaha mereka tahan. Ini adalah
Rencana yang dipertimbangkan Vemilla akhirnya tertunaikan. Gadis bertubuh kecil itu melayang ke bawah, raganya yang lemah terlempar jauh dari balkon lantai tiga kediamannya.Vemilla berlayar sambil menatap langit hitam bertabur beberapa bintang. "Apakah aku akan bertemu Kak Ian?" Lirih suara itu tenggelam oleh kepulan angin.Dan ....Byuur ...!Tubuh Vemilla membanting ke air kolam dan berakhir perlahan tenggelam seiring tubuh gadia itu memberat. Keseimbangan tubuhnya tidak terkendali, ia melayang setengah sadar ke tepian kolam.Tubuhnya berat. Air itu layaknya sebuah batu, mengalir dan aliran napas terasa berat seolah tercekik. Rasa sakit mulai menjalar dari punggung ke area depan tubuhnya, menyeruak ke dinding hati."K-kak ...."Bugh!Kepala gadis itu membentur tepian kolam. Warna merah bercampur dengan air, membenam di antara kepala dan tubuh gadis itu."G-gak! I-ini bukan bagian dari rencana! Aarght
Selama bukan kematian, aku akan tetap setia menjadi pendamping Pak Davian. Silakan nikmati akibat dari semua yang telah kamu lakukan, Devianza. Batin Petra berucap sambil berjalan keluar dari ruangan itu.Pintu besi yang dilapisi oleh dinging tertutup, dan sebagian dinding dalam ruangan terbuka, transparan masih terjegal oleh bangunan kaca tebal—di dalam sana bukan hal biasa, Devianza membulat, hebat."Aaarght ...!" Jeritan Devianza meraung-raung.Wanita itu terdiam, getir. Bergetar di sudut ruangan. Tubuhnya kian menggigil tatkala mata kuning menyala dari makhluk berbulu lebat di dalam sana, Devianza menempelkan tubuh ke dinding."Aaarght ..., tolong ...! Petra! Petra! Petra ...."Sayang sekali. Dinding itu telah membunuh semua jeritan dan permintaan tolong dsri Devianza. Bahkan, lelaki itu telah berlalu menjauh, meninggalkan lorong yang menyembunyikan keberadaan ruangan tersebut."Giovanni bed*bah! Dia benar-benar mencari masalah!" geram Petra usai dia memantau cctv tersembunyi yang







