Hubungan dua tahun setengah dihancurkan Devianza Mahesa Kaneza karena perselingkuhan, cinta yang menggebu dan abadi itu perlahan lenyap, kebencian dan amarah bertarung satu sama lain, Davian adalah pria setia yang selalu mencintai wanitanya dengan tulus.
Namun, dia selalu aktif, tampil garang dan tentunya tegas, emosi perselingkuhan tidak ada pengecualian, beberapa waktu lalu—Davian mendapatkan kabar dari sekretaris pribadinya mengenai fakta perselingkuhan yang dilakukan kekasih tercinta. "Nona Devianza diketahui telah tinggal bersama seorang lelaki yang juga merupakan pimpinan agensi model di luar negeri, yakni di Singapura, mereka sudah beberapa kali tertangkap kamera tengah bermesraan, bahkan mereka hidup bagai suami-istri di sebuah apartemen di Singapura. Ini alasan Nona Devianza selalu pergi ke sana sebulan atau bahkan dua bulan sekali." Si*lan! Pertarungan yang epik, kala Davian sibuk dengan urusan bisnis dan persiapan pertunangan yang akan menjadi surprise di beberapa bulan yang akan datang, sang kekasih malah berc*nta dengan lelaki lain di luar negeri. Davian dalam termenung terkekeh, miris, hatinya seolah diiris, dicabik-cabik hingga tidak ada yang tersisa selain rasa sakit, pedih dan perih yang nyata. Tubuh kekar nan tinggi itu dia hempas ke atas sofa. Rasa kantuk kembali mengerubungi diri Davian, nahasnya percintaan tak lagi dipedulikan lelaki itu, marah dan kecewa tentu masih tersimpan dengan rapi, tapi apakah hal itu akan berguna? Davian enggan membunuh produktivitasnya karena masalah pribadi. Drrrt .... Panggilan telepon ke ponsel Radzian menghentikan kegundahan Davian, lelaki itu bangkit lemas, dia intip layar ponsel sahabatnya, mendapati nama kontak adik kesayangan dari sang sahabat melambung di sana, turun-naik menunggu respon. "Ian! Adik kecintaanmu telepon!" teriak Davian seraya melempar tubuhnya kembali pada sofa. Sembari menjulurkan kaki memanjang ke depan, Davian menggeliat, menarik dua tangan ke atas untuk meregangkan otot-otot kekarnya yang terasa kaku, sepanjang malam mereka tertidur di bawah meja tanpa alas, hanya karpet bulu berwarna putih yang menjadi penyanggah antara lantai dingin dan punggungnya. "Angkat, Dav, aku belum beres," sahut Radzian dari balik kamar mandi tamu. Davian bergerak malas, sebenarnya pria tampan ini sudah tak lagi mengantuk, hanya saja energi dalam tubuh seolah lenyap sebagiannya, tidak ada semangat untuk melakukan banyak hal. "Lagi ngapain, sih, tuh, bocah," gerutu Davian terpaksa kembali bangkit. Tangan panjang nan kekar itu menjelang ke atas ponsel bergetar milik Radzian, tanpa segan atau canggung, pria itu mengangkat panggilan telepon yang sejak tadi tidak berhenti. "Halo," sapanya santai. Wajah rupawan itu dia sapu dengan tangan kanan, bergerak memutar dari kiri ke kanan melalui jalur atas. "Kakakmu lagi di kamar mandi," sambungnya. "Ini ... siapa, ya?" tanya Vemilla dari balik panggilan telepon dengan suara lembut dan hangat. Hatinya mendesir, seolah ada gejolak yang menggeliat di hati Davian, ia mencelus pada ketenangan dan rasa nyaman yang sulit diterjemahkan. Davian termangu mendengar suara lembut menenangkan itu. Lantas, dia menggelengkan kepala, berusaha menepis perasaan-perasaan tak karuan yang tiba-tiba saja menerjang dirinya. "Saya Davian, teman Ian," jawab Davian setelah beberapa waktu dia termenung. "Oh ..., Kak Davian, Kak Ian di mana? Semalam dia janji mau pergi pagi ini, mama sama papa juga nanyain terus dari tadi," sahut Vemilla di seberang panggilan telepon sana. Energinya menjulang, entah datang dari manakah itu, semangat membubung, Davian bergerak dari sofa, membawa ponsel Radzian mengunjungi dapur. "Masih di kamar mandi, bilang aja, kalau Ian sama saya, aman kok, gak ada masalah apa-apa, semalam cuman min*m-min*m di apartemen," jelas Davian. Tangan lain meraih gelas beling dari dalam lemari di atas, turun ke meja dan menuangkan air dari dalam teko kaca. "Kalian mau pergi ke ice skate?" Mendadak Davian menyambungkan obrolan dengan gadis yang tidak pernah dia temui sebelumnya. "Hah ...? Kak Ian gak bilang apa-apa, semalam cuman bilang mau ngajak ke suatu tempat," timpal Vemilla terkesiap hebat. Seketika, ingatan malam tadi menjelang ke pikirannya, Davian mengerutkan wajah seraya meneguk segelas air suhu ruang yang baru saja dia tuangkan ke dalam gelas. "Adikku sangat penurut, dia banyak ketakutan dan kadang selalu berkata iya sebelum dia menentukan pilihannya, harinya gak ada yang bahagia, kecuali ice skate, tapi orangtua kami gak pernah mengizinkannya untuk berbahagia dengan hobinya." Seperti itulah obrolan malam tadi, Radzian bicara dengan suara serak dan tatapan terkatung-katung. Davian teringat akan hal itu, dengan mudah dia memahami situasinya, jelas sekali gadis ini tidak diberitahu, intinya Radzian ingin membawa adiknya berbahagia tanpa pengawasan orangtuanya. "Oke, tunggu aja, kakakmu akan segera pulang." Panggilan telepon berakhir setelah jawaban 'iya' menggema di telinga Davian, seketika masanya dirampas oleh situasi ini, permasalahan percintaannya terabaikan akan hal ini. Davian menjadi sangat penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarga ini, mengapa dua anak yang dilahirkan dari rahim ibu yang sama mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda. "Radzian yang kulihat dia begitu diperhatikan orangtuanya, pendidikan, karir dan berbagai macam hal-nya, lantas kenapa adiknya gak bisa mendapatkan kebebasan itu, ada apa ini?" gerutu Davian di hadapan meja keramik, tangannya meremas sikut meja. Suara gemericik air perlahan mereda, dengan wajah mengeras lelaki itu menoleh ke lorong dimana kamar mandi tamu berada, menyaksikan sahabatnya baru menyembul keluar dari lorong tersebut. Radzian dengan jeans dan kaos putih polos mengayun langkahnya ke dapur, mengunjungi Davian berekspresi serius di sana, sekilas raut tampan itu tak enak untuk dipandang. "Ada apa? Mukamu tegang banget, ada masalah?" tanya Radzian dengan entengnya berjalan ke belakang Davian untuk mengambil gelas baru dari dalam lemari di atas. "Ya! Aku cuman bingung, kenapa kalian diperlakukan berbeda? Apa yang salah dan perbedaan apa yang membuat orangtuamu membedakan perlakuan dengan kalian?" jawab Davian bertahan di posisinya. Mungkin ini adalah pertanyaan yang selalu menggeluti diri Radzian, sampai pria ini muak dan lelah demi mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Tak pernah terbayang oleh pikirannya, alasan apa yang dikembangkan orangtuanya atas perlakuan pilih kasih yang mereka lakukan terhadapnya juga sang adik. Radzian tersengih, sinis, usai dia meneguk air putih dari gelasnya. "Yang aku tangkap, mama dan papa anggap kalau hanya anak cowok yang bisa mengembangkan bisnis mereka, dan anak cewek dianggap gak berguna, karena langkahnya terbatas kecuali menikah dengan orang kaya." Sh*t! Hati Radzian spontan mengutuk dasar pemikiran kuno dan tak bernilai itu. Kepala dia gelengkan sampai napas berhembus kasar, energinya menyerupai letupan gunung berapi. "Lalu, kenapa mereka melahirkan seorang putri jika emang yang mereka inginkan hanya anak laki-laki," tukas Davian bertatapan tajam. Radzian mencebik sambil mengedikkan bahu. "Entahlah, katanya Vemilla adalah wajah untuk mempromosikan bisnis mereka, makanya mereka selalu menuntut Illa menjadi ballerina agar dikenal banyak orang." Davian yang mendengar hal tersebut mencelus, dia mengembuskan napasnya dengan kasar. "Pemikiran aneh, di era modern seperti ini masih menganut patriarki kuno? Ck!" *** Di balik perbincangan dua lelaki bersahabat baik di apartemen pusat kota, ada Vemilla yang menunggu kedatangan sang kakak dengan getir, sekujur tubuhnya bergetar tak karuan. Dikelilingi ke-dua orangtuanya yang sejak tadi menatapnya dengan tatapan intimidasi. Mereka sama sekali tidak bertanya atas luka yang didapatkan Vemilla, fokus mereka masih tertuju pada Radzian. "Semalam apa yang kalian bicarakan?" Tiba-tiba saja sang mama bertanya demikian. Sorot mata mengintimidasi itu menguliti Vemilla yang terduduk di sofa ruang tengah di hadapan Sabrina, kerut di alis wanita itu membuat nyali Vemilla menciut. Glekk! Saliva dia teguk dengan susah payah, meremas gaun di sekitar lutut. "Hanya menjawab pertanyaan Kak Ian." Dengan polos gadis ini menjawab. Sabrina mendelik, membuang wajah ke samping dimana suaminya berada. "Iya! Ian nanya apa dan kamu jawab apa, Vemilla!!" Nada bicaranya mendadak meninggi. Next ....Kata-kata terakhir Radzian terus menghantui Davian, dia tak ingin melewatkan satu detik pun tentang adik sahabatnya, ini adalah wasiat yang telah dia setujui. Tanggungjawabnya besar. Davian menghela napas sebelum mendengar jawaban dari asisten rumah tangga yang menemani gadis itu di rumah. "Masih tidur, Tuan, tapi tadi sempet mengigau, manggil nama Tuan Ian sambil nangis, terus lanjut tidur lagi." Sungguh pedih mendengar hal itu, Davian tahu dengan baik jika hubungan Radzian dengan adiknya memang cukup harmonis, mereka menggantungkan diri mereka terhadap satu sama lain. Saling berpegangan dan berpangku tangan, jelas Vemilla mengalami fase sulit yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terbiasa tanpa Radzian di hidupnya. Davian mengiba, hatinya mendesir, perih. "Oke, pantau terus, kalau ada apa-apa, kabari saya, mulai hari ini Vemilla menjadi tanggungjawab saya, jika orangtuanya menyiksanya lagi pun kab
Serak suara di balik panggilan telepon terdengar napasnya berhembus. "Baik, Pak, segera saya cari tahu tentangnya." Panggilan telepon berakhir begitu saja, Davian hanya memberi perintah lalu mematikan panggilan telepon dengan cepat. Pria itu membalikkan tubuh dan memasati paras cantik Vemilla, dia amati secara mendalam gadis itu. "Ian ...," seru Davian bernapas berat. "Apa yang salah dengan adikmu, dia terlihat manis dan penurut, dia baik dan selalu mengalah, kenapa orangtua kalian begitu membenci gadis ini?" sambungnya mempertanyakan hal yang sama. Meskipun dia telah mendengar banyak alasan dari Radzian mengenai sikap pilih kasih orangtua mereka, jelas Davian ingin mendengar alasan pasti mengapa gadis ini dibedakan. Langkah demi langkah terurai ke depan, mendekati Vemilla yang terlelap dengan luka-luka lebam di wajahnya, kulit selembut itu harus bertarung dengan ganasnya tamparan Sabrina. "Say
Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu. Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah buku
Hampir saja Davian melupakan suatu hal, di rumah ini bukan hanya Vemilla, melainkan ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Radzian untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Dengan wajah sedikit mengeras, lelaki itu menjawab, "Masuk," katanya. Pintu setengah tertutup itu terbuka lebar, membawa seorang wanita paruh baya—43 tahun, masuk ke kamar bernuansa putih dan merah muda tersebut, wanita berpakaian seadanya itu membawa semangkuk besar air hangat dengan kain putih berbulu halus. "Saya mau mengompres luka Nona," ucapnya menundukkan wajah. Davian menghela napas beberapa saat, seraya menyisir rambut ke belakang, pria ini berlalu keluar dari ruang kamar Vemilla, tanpa meninggalkan pesan apapun. Berjalan menuruni tangga. Di anak tangga yang entah ke berapa, ponsel yang sejak tadi terbenam di saku celana mulai bergetar, menggelitik tubuhnya hingga merasa geli. Davian menghentikan langkah, merogoh ponsel dan mendekatkan ke telinga. "Halo," sapanya singkat, bahkan dia tidak melihat s
Sifat keras kepala yang dimiliki Sabrina tidak pernah bisa diredam, Johan selalu kewalahan menghadapinya, wanita paruh baya itu histeris, menjerit tanpa ampun sambil menjambak rambutnya sendiri juga berputar tanpa arah. "Argh ...! Diam Johan! Kita kehilangan putra kita karena dia! Sejak awal! Anak itu emang pembawa sial!" berang Sabrina gemetaran karena tangisannya berada di fase paling puncak. Johan ikut frustasi, dia pun bersedih pula, kehilangan putranya membuat dirinya kehilangan setengah jiwanya, tetapi dia tak bisa menyalahkan putrinya atas hal yang belum dia ketahui kebenarannya. Dia tertunduk dan menghela napas panjang. "Aku bilang cukup, SABRINA!" Pecah sudah teriakan Johan. Kepedihan mengikis air mata di ujung mata, Johan menatap Sabrina dengan gemetar tatapannya. "Kita kehilangan putra kita, dan kamu mau bunuh putri kita juga! Vemilla putri keluarga Gustavara! Hilangkan ambisi dan dendam kamu! Vemilla gak salah!" Sudah lama Johan ingin mengutarakan pikirannya, sejak la
Serak embusan napas dari balik panggilan telepon mulai terdengar menjawab, "Iya, Pak Johan, apa yang bisa instansi kami bantu?" Johan menuruni tangga kecil depan rumah, mengedar ke tengah pekarangan dengan tangan kiri dia benamkan ke saku. "Cari tahu soal kecelakaan putra keluarga Gustavara, dan di mana keberadaan Vemilla saat kecelakaan itu terjadi," pinta Johan pada seseorang di balik panggilan telepon sana. "Tentu, beri kami waktu tiga hari untuk menyelidiki masalah ini." "Oke, saya tunggu kabar selanjutnya." Benarkah keluarga Gustavara begitu mengintimidasi posisi Vemilla? Baik Johan ataupun Sabrina, mereka memiliki pandangan sebelah mata terhadap putri mereka. Vemilla dilahirkan hanya karena keterlanjuran, selebihnya adalah buah tanggungjawab dan memanfaatkan gadis itu untuk keberlangsungan bisnis mereka. Johan keras. Tapi dia masih memiliki hati nurani, dia terkadang merasa jika sikapnya terhadap Vemilla memanglah salah. "Aku keras, Sabrina jauh lebih keras, layaknya Radzi
Pintu harapan melebar di bola mata Vemilla, demikianpun dengan Davian, butiran air berkaca-kaca di matanya, harapan yang ingin dia dengar dari tim dokter yang menangani sahabat terbaiknya. Kerut wajah mereka mengikis perasaan dokter yang menangani Radzian kian menipis, ragu-ragu dia bersuara. "Kami sudah berusaha dengan keras, tetapi ..., keadaan pasien sudah sangat kritis, kehilangan banyak darah dan waktunya tidak sempat, mohon maaf, pasien mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 15.43." Tidak ada senyuman di wajah semua orang, lebih-lebih dari dokter wanita itu, dia merasa gagal menjadi seorang dokter, perasaannya campur aduk, tertunduk hingga air mata memberatkan matanya. Vemilla mematung, berita itu seperti dentum petir yang pecah tepat di telinganya, dia mendorong tubuh lemahnya ke belakang. "K-kak I-Ian ...?! GAK! Gak mungkin, Dokter pasti bohong! Enggak mau! Kak Ian harus hidup!" pekik Vemilla menggelengkan kepala dengan frustasi. Dia mengendur dan terjatuh di kursi tung
Kulit kepala mulai terasa perih dan memanas, seperti halnya air mata yang mendadak meleleh tanpa perintah, pria itu masih meyakinkan dirinya atas keselamatan sang sahabat. Berjalan tertatih-tatih di tengah kekacauan, mengabaikan banyak bangkai mobil dan kendaraan lain yang hancur, Davian mendengar jeritan melengking menyerukan nama Radzian. "KAK IAN, BANGUN ...!" Jeritan itu diringi isak tangis memilukan. Jelas suara serak itu milik Vemilla, suara itu terngiang-ngiang, mendorong Davian untuk berlari secepatnya, melintasi banyak bangkai mobil juga para manusia yang berlalu lalang karena kesibukan masing-masing. Radzian! Di mana? Tangisan adiknya terdengar jelas, tapi kenapa aku gak bisa menemukan mereka. Batin Davian dengan raut mengeras Frustasi lelaki itu berkeliling di tengah jalan, menangis dalam kekhawatiran yang menggerogoti diri, Davian membenamkan jari-jarinya di antara jutaan helai rambutnya. "Sh*t!" decaknya meninju angin, "Radzian ...!" Akhirnya Davian memekik. Menyer
Jari kelingking mengacung itu terlihat biasa saja, tapi hati Vemilla berkata lain, ia seperti desir angin yang mengatakan bahwa akan datang kemalangan yang tak diundang. Vemilla mengangkat jari kelingking, ragu-ragu dia menautkan jarinya dengan milik sang kakak, senyum tipis yang menggetir membingungkan gadis itu sendiri. "Kakak pergi dulu, ya, bye adik Kak Ian yang paling cantik ..., kamu harus bahagia dan selalu tersenyum, ya ..., kakak mencintaimu." Ungkapan pamitan itu membawa semilir angin kegetiran mendatangi Vemilla secara berkesinambungan. Vemilla berjalan mengikuti kakaknya, Radzian naik ke atas motor H*rley-nya, mengenakan helm dan menyalakan mesin, di sana Vemilla seperti patung bernyawa yang merasakan suatu hal. "Kak Ian ..., kenapa Kak Ian gak minta orang untuk utus orang untuk mengurus persoalan ini?" Vemilla berusaha menahan kakaknya. Ditanggapi dengan tawa ringan oleh Radzian. "Ini hadiah untuk orang-orang tercinta, jadi harus kakak yang ambil sendiri, tenang aja