Cinta.Bukan karena hal itu, Davian bergelut dengan penilaiannya sendiri. Takut jika rasa itu sama seperti dia dengan mantan kekasihnya, cinta hanya rasa pengecoh, bukan murni karena sebuah rasa.Davian tak ingin jika hubungan ini memburuk dan janjinya pada mendiang sahabatnya akan ternoda karena ketidakdewasaan dan keras hatinya, ini menjadi pertimbangan besar, meski hati Davian perlahan luluh."Woah ..., so sweet ...."Priiit ....Betapa hebohnya ke-tiga sahabat Davian, bahkan mereka bersiulan, berulang dan saling balas membalas dengan siulan itu, ini keluar dari konteks acara yang terkesan glamor bak kerajaan.Namun, tidak ada yang berani menegur mereka. Tidak dengan Theliza. Gadis itu tercengang melihat tiga lelaki gagah berwajah tampan itu bisa bersikap clingy dan bebas di acara cukup mewah ini."Mereka ini emang spesial," bisik Theliza sambil tersenyum, kemudian kepalanya menggeleng.Fokusnya kembali ke ta
"Suaminya." Dua sahabat Davian di belakang Theliza, menyambar.Seketika Theliza tertegun, seolah bahunya menegang, pun dengan sekujur tubuhnya, secepat mungkin, dia membalikkan tubuh dengan netra terbuka lebar.Melihat Theliza terdiam keheranan, tiga lelaki di depannya malah keasyikan tertawa. "Heh! Jangan melamun, kesambet nanti." Zay mengibaskan tangan di depan Theliza.Namun, gadis ballerina ini sama sekali tidak bereaksi, matanya yang membulat tetap diam, seperti Vemilla yang membungkam di depan suaminya."Apa?" seru Vemilla menatap Davian dengan saksama.Senyum smirk kembali ditunjukkan Davian. "Adik sahabatku sendiri," celetuknya.Dalam sekejap, gadis yang baru saja menyandang gelar juara itu terperangah, dua tangan yang mengepal seketika meleleh, tekanan udara yang mengerubungi, seolah luruh dalam sekejap.Vemilla membelalak, tak percaya, napasnya terbuang patah-patah. "H-hah ...?" Gadis ini berseru dengan raut bingung."Kak Da-Davian ...?" katanya seolah dia berhasil mengesamp
Sejujurnya gadis ini sepanjang usai kejadian tadi siang, tidak pernah tenang, ci*man yang dilakukan Davian terus terngiang-ngiang di ingatannya.Bagai arus yang berulang menurut siklusnya, gadis ini terdiam bingung mendapatkan pertanyaan semacam itu, ingin bicara, tetapi tidak mungkin.Dalam bisu, Vemilla tersipu, hawa panas mulai menguap di tubuhnya. "Eum ..., i-itu ...," seru ragu-ragu Vemilla.Satu suapan terakhir tiramisu cake mendarat sempurna, dan meleleh di mulut, aroma kopi yang lembut melebur bersama rasa manis yang tak begitu kuat, ringan, pas untuk komposisinya.Sendok bekasnya diturunkan ke atas piring putih, dijegal oleh senyum, manis. "Tadi siang, mantan kekasihnya datang, sempat ada pertengkaran hebat antara Kak Davian dengan mantannya."Pelan-pelan Vemilla mulai menjelaskan apa yang terjadi tadi, meski tetap menahan diri dan menyembunyikan hal yang menurutnya tidak perlu diketahui oleh siapapun, termasuk sahabatnya.
Tidak menarik?Tidak begitu manis?Dalam kata lain, jika Davian sedang mengatakan jika Devianza tak berhasil membangunkan ga irah yang mengungkung lelaki itu, dalam diam Devianza menggeram sambil meremas angin.Kepal tangannya membulat, tajam, lantas dia mendengkus saat rahangnya tampak mengeras. "Davian ...." Wanita itu menggeram sampai debur napas terdengar memburu."Gak usah berpura-pura, ka-mu ..., hanya ..." gertak Devianza dengan gigi-giginya yang bersinggungan."Hanya gak tertarik," potongnya mengakibatkan Devianza semakin terguncang. "Harusnya kamu sadar, kenapa aku gak pernah menyentuhmu, terlebih saat aku tahu, kalau tubuhmu sudah disentuh laki-laki lain, cih," dengkus Davian mendelik—memalingkan wajah ke arah lain.Seraya menegakkan postur tubuh, lelaki itu tersenyum smirk. "Aku gak akan sudi menyenyuh wanita yang sudah berg*mul dengan laki-laki lain, men-ji-ji-kan!" tekannya.Demi apapun. Hati Devianza tersayat, rasa perihnya benar-benar menusuk jantung, sesak dan pedih te
Sialnya, Vemilla sempat setuju dengan pendapat itu, dalam beberapa hal respon yang Davian berikan padanya, kemungkinan dalam penjagaan ketat itu bisa saja terjadi, kemudian dia menempatkan dirinya sebagai orang yang bukan bagian dalam hidup Davian.Gadis itu diam-diam tersenyum sambil menenteng piring dan gelas minumannya. "Bisa iya, bisa juga enggak," katanya.Theliza selesai mengambil hidangan malam pesta dan segelas minuman serupa dengan apa yang dipilih oleh Vemilla."Kenapa kamu berpikir begitu?" Theliza bertanya-tanya.Bukankah, Davian begitu memerhatikan istrinya, sudah tentu semua hal itu bukan hanya berdasarkan rasa tanggungjawab atas janji yang dia ucapkan pada mendiang Radzian.Dua gadis itu beranjak dari meja hidangan, berjalan je standing meja dan menyantap dessert itu di sana, satu suapan blackforest mendadat sempurna, lumer di lidah, rasa manis, sedikit pahit dan aksen rasa gurih menyatu dengan nikmat."Kak Davian
Tahun yang mengesankan dalam hidup Vemilla, gadis Ballerina itu mengernyitkan, kebingungan, alis kiri terangkat saat kepalanya miring sebagian kecil ke arah berlawanan.Selama beberapa detik, bola mata Vemilla sempat hanyut pada pikirannya, menduga-duga maksud dari sang suami. "Maksudnya ...? Kak Davian tahu sesuatu tentang tahun itu?" Polosnya gadis itu malah balik bertanya.Tidak mencurigai bahwa pria itu ada di depan matanya. Vemilla menambahkan apa yang belum tuntas dia ucapkan. "Apa Kak ian ngasih tahu semuanya?"Ya Tuhan ..., pantas aja kakaknya begitu protektif, ternyata gadis ini memang polos, dia terlalu positif memandang segala hal.Inilah kenapa dia bisa jatuh ke tangan Giovanni, hanya bermodalkan kasihan, padahal hatinya gak pernah untuknya.Aku penasaran, laki-laki seperti apa yang bisa membuatnya jatuh hati, jika hari itu terjadi, mungkin aku harus rela melepaskannya.Batin Davian terus bersua disisipi senyum kecil