Share

Bab 3

Author: Richie
"Aku ... aku tanda tangan."

Dengan susah payah, aku memaksakan kata-kata itu keluar dari mulutku. Demi tetap hidup, aku harus berkompromi dengannya. Begitu aku mengiyakan, ekspresi Damar pun mulai melunak.

Dia menuangkan segelas air hangat, menyuapkan obat ke mulutku, bahkan menyiapkan sebutir permen dengan "penuh perhatian". Aku tidak peduli pada belas kasihan palsunya.

Begitu obat kutelan dan tubuhku mulai sedikit membaik, aku langsung bergegas ke lantai yang penuh pecahan kaca. Kesedihan yang kutahan sejak tadi akhirnya tumpah.

Dengan tangan gemetar, aku memunguti potongan-potongan foto yang sudah hancur berkeping-keping. Lalu dengan hati-hati, kuambil kantong kecil dari koper dan memasukkannya ke dalam sana.

Ibuku meninggal saat aku masih kecil. Penyebabnya karena penyakit jantung bawaan yang kambuh lagi. Waktu itu ayahku baru saja memulai usaha dari nol. Dia tidak punya cukup uang untuk menyembuhkan ibu. Sampai akhir hayatnya, ayah selalu merasa sangat bersalah pada ibu.

Kemudian, saat rumah sakit mendiagnosaku mewarisi penyakit yang sama, ayah pun mulai bekerja siang dan malam tanpa henti. Semua itu agar aku bisa memiliki tubuh yang sehat. Sebagai bentuk penebusan, sekaligus kompensasi.

Sayangnya, hidup tak pernah sejalan dengan harapan. Karena beban kerja yang terlalu berat, ayah pun akhirnya tumbang. Sebelum wafat, dia memercayakan perusahaannya kepada tangan kanannya di dalam manajemen. Dia meminta orang itu untuk menjagaku dengan imbalan berupa saham dan kekuasaan penuh atas perusahaan.

Orang itu adalah Damar. Beginilah cara dia menjagaku.

Melihat aku dilanda kesedihan, dia masih saja melontarkan sindiran tanpa rasa bersalah. "Cuma foto-foto saja, apa perlu sampai segitunya?"

Aku menyimpan potongan foto itu dengan hati-hati, lalu menatapnya lagi tanpa ekspresi. "Semasa hidup, ibuku nggak suka berfoto. Ayah sibuk bekerja. Itu satu-satunya foto kami bertiga bersama."

Wajah Damar mendadak terdiam dan bibirnya menegang. "Kamu nggak bilang."

Pandangan dinginku menyapu dirinya. Aku tidak ingin berdebat lagi. Namun tampaknya, dia tidak tahan melihat sikapku yang datar. Dia tiba-tiba menarikku dari lantai dan menyeretku ke tempat tidur di kamar.

Melihat aku menundukkan kepala tanpa lagi memandangnya, Damar tampaknya mulai sadar bahwa tindakannya barusan memang keterlaluan. Dia mengulurkan tangan hendak menyentuh pipiku, mungkin berniat menghiburku. Namun baru saja tangannya terangkat, sudah kutepis keras.

Wajahnya langsung menggelap. Dia pun tidak lagi mencoba membujuk. Dalam pikirannya, mungkin aku hanya sedang bersikap manja.

Dia kembali menyodorkan surat pemindahan aset beserta pulpen ke hadapanku. "Tanda tangan. Nanti aku ajak kamu perbaiki foto itu."

Kali ini, aku tidak lagi berdebat dengannya. Aku hanya mengambil pulpen dengan diam dan menuliskan namaku di kontrak itu dengan tenang. Sikapnya yang memberikan hukuman dulu, lalu memberi penghargaan ini ... benar-benar menjijikkan.

Padahal kalau dia berbicara baik-baik sejak awal, aku pasti tetap akan menandatanganinya. Lagi pula, aset-asetku sudah kupindahkan ke luar negeri sejak awal. Yang dia dapatkan hanyalah kontrak kosong.

Aku hanya tidak menyangka Damar sampai menggunakan cara seekstrem ini. Apa dia tidak tahu, bahwa kontrak yang ditandatangani di bawah tekanan atau paksaan dapat dianggap tidak sah secara hukum?

Ketika dia menyinggung soal pernikahan, aku baru sadar akan maksud sebenarnya. Mata penuh perhitungan itu begitu jelas, tapi mulutnya masih saja bicara dengan nada seolah-olah penuh cinta.

"Besok kita menikah. Gimana kalau hari ini kita langsung urus surat nikahnya? Dengan begitu, kamu resmi jadi istriku."

Aku menatap matanya, langsung menyingkap maksud busuk di balik ucapannya. "Supaya setelah sah menikah, semua tindakanmu bisa disebut masalah keluarga, begitu?"

"Kamu masih marah ya?" Damar mengerutkan kening. Dia memang tidak pernah suka saat aku membantahnya.

"Aku cuma kesal karena kamu nggak sepemikiran denganku. Lagi pula, setelah menikah uangku akan jadi uangmu juga. Kenapa cuma tanda tangan saja kamu bersikap seolah nyawamu yang diambil? Kalau kamu memikirkanku sedikit saja, kamu nggak akan menjual saham itu diam-diam!"

"Sebagai pasangan suami istri, kita seharusnya satu kesatuan. Kamu malah sembunyi-sembunyi, seolah-olah mau menelan harta sendiri. Jadi wajar dong kalau aku kasih kamu sedikit hukuman."

Aku ingin membantahnya, tapi Damar justru memaksakan diri membelai rambutku dengan lembut, lalu memegangi wajahku dan menatapku dalam-dalam seakan-akan tulus. "Aku 'kan nggak benar-benar membiarkan kamu mati. Jadi ini salahmu."

Mendengar kalimat itu, semangatku langsung hilang. Aku terbaring lemas di tempat tidur, bahkan untuk bertengkar pun rasanya tidak ada tenaga. Kenapa dulu aku tidak pernah menyadari bahwa dia bisa sebegitu tak tahu malu?

Dulu, saat kami baru kenal, dia sangat baik padaku. Dia selalu menemaniku bolak-balik ke rumah sakit, keluar rumah membelikan obat saat hujan deras, dan bahkan saat dia sibuk sekalipun, dia pasti akan datang setelah kutelepon.

Ditambah lagi ayahku sangat menghargainya, membuatku memiliki rasa percaya dan simpati sejak awal. Namun setelah semua tentang perselingkuhannya terbongkar, rasanya aku langsung tersadar sepenuhnya.

Sikap Damar yang semakin kasar padaku ternyata bermula sejak aku mulai terus-menerus mengalah. Tujuannya sejak awal pun sudah jelas ingin mengincar semuanya dariku. Melihatku diam dan tak bersuara, Damar akhirnya tampak mulai jengkel.

"Kalau kamu nggak mau ngurus surat nikah sekarang, ya sudah. Tetap di sini sampai hari pernikahan nanti, baru boleh keluar."

Aku tidak langsung paham maksud ucapannya. Sampai akhirnya dia keluar dari kamar dan pintu dikunci dari luar. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke pintu.

Gagang pintu berguncang hebat saat kutarik dengan kuat. Perasaan panik dan gelisah menyesaki dadaku.

"Damar! Kamu takut aku laporin kamu, makanya kamu ngurung aku, ya?! Aku nggak akan melaporkan kamu, tolong buka pintunya! Lepaskan aku keluar!"

Penerbanganku akan segera terlewatkan kalau aku terus terkurung di sini. Aku tidak mau membuang waktu lebih lama lagi, apalagi berpura-pura manis terhadap pria sepicik dia.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 19

    Lamaran yang mendadak dan tanpa ancang-ancang ini membuatku tertegun seketika. Detik demi detik berlalu, entah sudah berapa lama waktu berjalan. Yang kuingat hanyalah diriku berdiri seperti patung di tempat, menatap wajah William yang waswas.Tampak jelas dia menggigit bibir, seolah telah mengambil keputusan besar. Meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.Akhirnya, di bawah tatapannya yang dipenuhi harap dan ketegangan, aku perlahan mengangguk dan memaksakan diri berkata, "Iya."Jawaban sederhana ini terasa seperti menguras seluruh tenaga dalam tubuhku. Setelah menerima lamarannya, hatiku perlahan tenang dan mulai memikirkan kehidupan kami di masa depan.Selama ini, setelah melewati begitu banyak hal, aku mulai memahami banyak hal dalam hidup. Aku tahu, selama aku bisa menjadi kuat dan mandiri, aku tidak perlu lagi takut pada luka yang mungkin dibawa oleh cinta.Kurasa, meskipun aku akan hidup bersamanya se

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 18

    Begitu salah satu dari mereka mencoba meraba dadaku dengan tangannya yang mesum, aku tanpa ragu langsung mengeluarkan alat kejut listrik dan menghantamkannya ke arah orang itu! Lalu, saat yang lain belum sempat bereaksi, aku langsung menyerang keempat orang sisanya satu per satu!Tak lama kemudian, suara rintihan memenuhi seluruh gang. Kelima orang itu tergeletak di tanah, tubuh mereka kejang-kejang. Aku tidak berpikir panjang dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon polisi.Siapa pun yang berani menjebakku, biar polisi saja yang cari tahu.Sementara itu, di sisi William ....Dia membuka ponsel dan melihat kotak pesan dari orang yang diberi nama panggilan "Sayang". Begitu membaca bahwa aku akan menjemputnya, dia langsung girang bukan main dan memamerkan pesan itu pada teman-temannya."Lihat nggak? Istriku mau jemput aku! Gimana? Iri 'kan, dasar jomblo!"Teman dekat yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya. "Pamer cinta bisa kena kutuk, tahu nggak! Cuma kamu doang yang punya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 17

    Waktu berlalu begitu cepat. Baru beberapa hari kemudian aku tahu tentang gosip-gosip di internet. Namun, aku sama sekali tidak merasa pusing karenanya. Hal seperti itu bisa dibersihkan dengan klarifikasi selama ada uang.Berita di internet itu penuh dengan yang benar dan yang palsu, siapa juga yang akan terus-menerus peduli pada urusan kecil yang tidak penting?Rencana Damar untuk menekanku lewat opini publik jelas gagal total. Namun, tindakannya justru memicu ledakan emosi dari Sinta.Sinta bersandar di ranjang rumah sakit sambil menatap layar ponselnya, isi hatinya penuh kebencian yang mendidih. Akhirnya, dia tidak sanggup lagi menahan diri. Ponselnya pun dilempar ke atas ranjang dan dia menggertakkan gigi sambil mengumpat penuh dendam."Ayu! Kamu sudah bunuh anakku, sekarang kamu mau rebut priaku juga? Aku benci kamu!"Seorang perawat yang baru masuk untuk mengganti perbannya, sempat mendengar teriakan itu dan melirik dengan jijik.Awalnya dia hampir percaya dengan drama wanita ini.

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 16

    "Kamu cuma ngomong gitu karena marah, 'kan? Kamu yang biasanya lembut, mana mungkin bisa bilang hal seperti itu ...."Damar menatapku hampir seperti memohon. Ini pertama kalinya dia menampakkan ekspresi seperti itu di hadapanku. Mirip seperti ekspresi William waktu menunjukkan lukisan-lukisan lamaku dengan penuh rasa sedih dan bertanya dengan polos apakah aku benar-benar punya tunangan.Namun waktu William melakukannya, ekspresi itu terlihat sangat menyenangkan. Sedangkan saat Damar melakukannya ... hanya membuatku merasa sangat jijik.Mungkin memang begitulah bedanya antara cinta dan tidak cinta. Jadi, aku pun menepis tangannya tanpa ragu."Sejak kamu mengancam nyawaku demi memaksaku menandatangani surat saham, saat itu juga, semua perasaan antara kita sudah selesai."Bibir Damar bergerak sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Apa pun yang dia katakan sekarang, terdengar sia-sia. Dia tidak pernah menyangka, wanita yang dulu begitu mencintainya ... bisa pergi sejauh ini darinya.Bahka

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 15

    Tatapanku langsung tertuju pada Damar dengan penuh keterkejutan. Bahkan dokter yang tadi pun tampak sangat kesal. Dia langsung menepis tangan Damar yang masih mencengkeram kerah jasnya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jangan omong kosong seperti itu."Setelah berkata demikian, dia pun segera berbalik dan kembali masuk ke ruang operasi. Tadi dia keluar hanya untuk menyampaikan kabar saja.Lalu, kulihat Damar mulai mengentak-entakkan tangannya ke pintu ruang operasi dengan penuh kepanikan. "Selamatkan anaknya! Kalian dengar nggak?! Selamatkan anaknya!"Melihat kelakuan seperti itu, aku tak bisa menahan keterkejutanku dan bertanya, "Kamu ini setidaknya lulusan S2, masa hal dasar begini saja nggak tahu? Mau kamu bilang apa pun ... menurut hukum, yang harus diselamatkan duluan adalah ibunya."Tubuh Damar langsung menegang. Namun, kemudian dia berbalik menatapku dengan ekspresi sok romantis dan berkata, "Kamu sendiri bilang kamu nggak suka Sinta, bukan? Kalau kita cuma pertahankan anaknya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 14

    Sinta tergeletak di tanah, wajahnya dipenuhi rasa takut sambil menjerit kesakitan. Aku bisa melihat dengan jelas, darah perlahan mengalir dari antara kedua kakinya. Aku panik dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans.Orang-orang di sekitar pun langsung memberi jalan.Hal ini berkaitan dengan nyawa. Sekalipun ada dendam sebesar apa pun, aku bukan orang yang akan membiarkan seseorang mati di depan mataku. Terlebih lagi, ada begitu banyak pasang mata yang menyaksikan.Saat Sinta akhirnya dibawa masuk ke mobil ambulans, aku meminta William untuk pergi menerima penghargaannya dulu.Setelah berulang kali kudorong dengan tegas, akhirnya dia mengalah dan tidak ikut naik ke ambulans bersamaku. Kejadian ini terjadi di hari yang seharusnya jadi hari bahagianya. Aku merasa sangat bersalah.William yang bisa membaca pikiranku, menenangkanku sambil berkata, "Ini bukan salahmu. Dia sendiri yang cari masalah. Tenang saja, tunggu aku. Setelah selesai, aku akan menyusulmu."Aku mengangguk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status