Share

Bab 2

Author: Richie
Ekspresiku agak terkejut. Dia benar-benar mengira aku sedang cemburu. Cemburu karena kejadian barusan?

Mungkin saja. Dengan sikapku yang dulu selalu rendah hati dan berusaha menyenangkan dirinya, siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira bahwa aku sangat mencintai Damar. Namun kenyataannya, siapa pun yang menjadi pacarku, aku pasti akan memperlakukannya dengan baik.

Bahkan mengenai perkara diriku yang menjual saham, Sinta yang hanya berperan sebagai penonton selama ini pun mulai merasa gelisah.

"Bu Ayu, kalau kamu memang keberatan dengan kehadiranku, aku bisa mengundurkan diri dari perusahaan dan nggak akan muncul lagi di hadapan Damar. Apa itu cukup untuk membuatmu puas? Jangan biarkan rasa benci dan cemburu membutakan akal sehatmu!"

Mendengar hal itu, aku benar-benar bingung. Kalau yang bilang aku cemburu itu Damar, aku mungkin masih bisa menerimanya. Namun, kenapa Sinta yang berkata seperti itu?

Bukankah sebelumnya aku sudah memberitahunya bahwa pengantin di pernikahan nanti sudah diganti menjadi dia? Bahkan ukuran gaun pengantin pun sudah diubah agar sesuai dengan postur tubuhnya. Dia tahu semua ini.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Damar tiba-tiba merebut ponselku dan menekankannya tepat di depan wajahku. Dengan suara dingin yang belum pernah kudengar sebelumnya, dia memerintahku, "Hapus kontak agen properti itu dari ponselmu. Kalau kamu melakukannya, aku masih bisa memaafkanmu. Kalau nggak, pernikahan kita batal."

Aku mengulurkan tangan dan mengambil kembali ponselku, lalu memandangnya dengan tatapan rumit. Lihatlah apa yang dikatakannya ini. Memangnya kalau aku hapus nomornya sekarang, aku tidak akan bisa menambahkannya lagi nanti?

Namun karena kondisi fisikku, aku tidak boleh marah. Demi meredam situasi, aku menahan rasa tidak nyaman di dada dan melakukan semua yang dia minta di hadapannya. Melihat aku begitu patuh, Damar akhirnya menghela napas lega. Nada bicaranya pun sedikit melunak.

"Ayu, jangan berpikir macam-macam. Kamu harus tahu, kalau aku nggak mencintaimu, mana mungkin aku mau menikahimu? Perkataanmu hari ini ... benar-benar menyakiti hatiku."

Setelah mengucapkan perkataan itu, Damar terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Aku akan tinggal bersama Sinta di luar untuk sementara waktu. Kamu tinggal di sini dan pikirkan baik-baik sikapmu. Jangan ulangi hal seperti ini lagi."

Sinta mengikuti langkahnya ke luar. Sebelum pergi, dia sempat menoleh dengan tatapan meremehkan sambil berkata, "Syukurlah kamu masih tahu diri."

Pintu menutup dengan bunyi berderit yang panjang, meninggalkan aku sendiri berdiri di tempat. Aku menghela napas.

Sejak kepergian ayah, sebenarnya aku sudah harus sadar bahwa di dunia ini, satu-satunya yang bisa kuandalkan hanyalah diriku sendiri.

Setelah beristirahat semalam, aku kembali menghubungi agen penjualan.

Saham yang kumiliki bukan jumlah kecil. Bukan hanya para pemegang saham dalam perusahaan yang memperhatikannya, bahkan pihak luar yang tidak punya saham pun mengincarnya. Jadi, belum beberapa hari, sudah ada yang menawar dengan harga dua kali lipat dari nilai pasaran.

Sebenarnya, kalau aku bersedia menunggu, harganya mungkin bisa naik lagi. Namun, aku tidak mau lagi menunggu. Aku sudah muak melihat mereka berselingkuh terang-terangan di depan mataku.

Jadi, begitu dana hasil penjualan saham masuk, aku langsung membayar jasa agen dan segera mengurus dokumen untuk pergi ke luar negeri. Dalam seminggu masa tunggu pembuatan dokumen, aku berangsur-angsur memindahkan semua aset ke luar negeri.

Seperti yang dikatakannya hari itu, Damar benar-benar tidak menghubungiku lagi, konon demi "memberiku pelajaran".

Hingga hari keberangkatanku tiba.

Aku sudah selesai mengemas koper. Saat hendak memasukkan bingkai foto keluarga ke dalam koper, tiba-tiba pintu rumah dibuka paksa dengan tendangan keras! Damar menerobos masuk dalam keadaan marah besar dan langsung melontarkan tuduhan tanpa jeda.

"Ayu! Kamu benar-benar hebat, ya! Hanya karena aku nggak menghubungimu selama beberapa hari, kamu langsung main ngambek begini?!"

"Kamu tahu nggak, betapa memalukannya aku selama seminggu ini pontang-panting cari uang, sampai harus merendah ke sana ke mari? Aku sempat mengira para pemegang saham bersekongkol menjual saham perusahaan untuk menjatuhkanku!"

"Nggak kusangka ternyata kamu pelakunya!"

Bahkan aku pun sempat terkejut sejenak. Namun kemudian aku berpikir, masuk akal juga. Kalau Damar masih ingin terus menjadi direktur utama, maka dia harus membeli saham milikku. Kalau saham itu jatuh ke tangan orang lain, perusahaan ini tidak akan lagi berada di bawah kendalinya.

Berhubung aku juga akan berangkat hari ini, aku tidak ingin memperkeruh suasana.

Jadi, aku berusaha menenangkan situasi dan berbicara dengan damai, "Uang dan barangnya sudah jelas, kamu mendapatkan perusahaan secara sah dan aku pun nggak rugi. Bukankah dengan begini, kita sama-sama senang?"

"Lagi pula, uang ini akan kupakai untuk berobat."

Penyakitku sebenarnya bisa disembuhkan total. Hanya saja, aku selalu mengira bahwa perusahaanku sedang kesulitan dan Damar sudah terlalu banyak berkorban untukku. Karena itu, aku tidak pernah tega memintanya mengeluarkan uang sebanyak itu demi pengobatanku.

Namun tak kusangka, Damar sudah menganggap semua hartaku sebagai miliknya sendiri sedari dulu. Bahkan orang asing pun tahu bahwa penderita penyakit jantung tidak boleh terpancing emosi. Akan tetapi Damar, demi mencapai tujuannya, dia sama sekali tidak peduli dengan kesehatanku.

Dia merampas bingkai foto keluarga dari tanganku.

"Kamu malah mengingatkanku, Ayu."

Brak!

Damar membanting bingkai foto itu ke lantai dengan wajah dingin, lalu mencoba menarik keluar fotonya.

Aku terbelalak. Itu satu-satunya fotoku bersama kedua orang tuaku!

Mengabaikan aliran darah yang menyerbu ke kepalaku, aku langsung memeluk lengannya dan berusaha menghentikan tindakannya sambil berteriak panik, "Damar! Kamu sudah gila?"

Namun, dia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya, dia mengeluarkan dokumen perjanjian pemindahan aset dan sebuah pulpen hitam, lalu menyodorkannya ke wajahku sambil memerintah, "Tanda tangan."

Melihat aku hanya diam membisu, dia mencibir dingin, "Sepertinya kalau nggak diberi pelajaran, kamu nggak akan nurut."

Bukan aku tidak mau bicara, tetapi tenggorokanku terasa tercekik, bahkan bernapas pun terasa sulit. Sementara itu, demi melampiaskan kemarahannya, dia malah merobek-robek satu-satunya kenangan berhargaku dengan dalih "memberi pelajaran".

Aku tidak sempat larut dalam kesedihan. Aku hanya bisa terjatuh berlutut di kakinya dengan tubuh yang semakin lemah dan pikiranku mulai kabur.

Naluri bertahan hidup membuatku akhirnya membuka mulut memohon, "Obat ... berikan aku obat ...."

Sebagai gantinya, dia menyelipkan pulpen ke tanganku.

Yang terakhir kudengar hanyalah suaranya yang dingin, "Tanda tangan dulu, baru aku kasih obat."
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 19

    Lamaran yang mendadak dan tanpa ancang-ancang ini membuatku tertegun seketika. Detik demi detik berlalu, entah sudah berapa lama waktu berjalan. Yang kuingat hanyalah diriku berdiri seperti patung di tempat, menatap wajah William yang waswas.Tampak jelas dia menggigit bibir, seolah telah mengambil keputusan besar. Meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.Akhirnya, di bawah tatapannya yang dipenuhi harap dan ketegangan, aku perlahan mengangguk dan memaksakan diri berkata, "Iya."Jawaban sederhana ini terasa seperti menguras seluruh tenaga dalam tubuhku. Setelah menerima lamarannya, hatiku perlahan tenang dan mulai memikirkan kehidupan kami di masa depan.Selama ini, setelah melewati begitu banyak hal, aku mulai memahami banyak hal dalam hidup. Aku tahu, selama aku bisa menjadi kuat dan mandiri, aku tidak perlu lagi takut pada luka yang mungkin dibawa oleh cinta.Kurasa, meskipun aku akan hidup bersamanya se

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 18

    Begitu salah satu dari mereka mencoba meraba dadaku dengan tangannya yang mesum, aku tanpa ragu langsung mengeluarkan alat kejut listrik dan menghantamkannya ke arah orang itu! Lalu, saat yang lain belum sempat bereaksi, aku langsung menyerang keempat orang sisanya satu per satu!Tak lama kemudian, suara rintihan memenuhi seluruh gang. Kelima orang itu tergeletak di tanah, tubuh mereka kejang-kejang. Aku tidak berpikir panjang dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon polisi.Siapa pun yang berani menjebakku, biar polisi saja yang cari tahu.Sementara itu, di sisi William ....Dia membuka ponsel dan melihat kotak pesan dari orang yang diberi nama panggilan "Sayang". Begitu membaca bahwa aku akan menjemputnya, dia langsung girang bukan main dan memamerkan pesan itu pada teman-temannya."Lihat nggak? Istriku mau jemput aku! Gimana? Iri 'kan, dasar jomblo!"Teman dekat yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya. "Pamer cinta bisa kena kutuk, tahu nggak! Cuma kamu doang yang punya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 17

    Waktu berlalu begitu cepat. Baru beberapa hari kemudian aku tahu tentang gosip-gosip di internet. Namun, aku sama sekali tidak merasa pusing karenanya. Hal seperti itu bisa dibersihkan dengan klarifikasi selama ada uang.Berita di internet itu penuh dengan yang benar dan yang palsu, siapa juga yang akan terus-menerus peduli pada urusan kecil yang tidak penting?Rencana Damar untuk menekanku lewat opini publik jelas gagal total. Namun, tindakannya justru memicu ledakan emosi dari Sinta.Sinta bersandar di ranjang rumah sakit sambil menatap layar ponselnya, isi hatinya penuh kebencian yang mendidih. Akhirnya, dia tidak sanggup lagi menahan diri. Ponselnya pun dilempar ke atas ranjang dan dia menggertakkan gigi sambil mengumpat penuh dendam."Ayu! Kamu sudah bunuh anakku, sekarang kamu mau rebut priaku juga? Aku benci kamu!"Seorang perawat yang baru masuk untuk mengganti perbannya, sempat mendengar teriakan itu dan melirik dengan jijik.Awalnya dia hampir percaya dengan drama wanita ini.

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 16

    "Kamu cuma ngomong gitu karena marah, 'kan? Kamu yang biasanya lembut, mana mungkin bisa bilang hal seperti itu ...."Damar menatapku hampir seperti memohon. Ini pertama kalinya dia menampakkan ekspresi seperti itu di hadapanku. Mirip seperti ekspresi William waktu menunjukkan lukisan-lukisan lamaku dengan penuh rasa sedih dan bertanya dengan polos apakah aku benar-benar punya tunangan.Namun waktu William melakukannya, ekspresi itu terlihat sangat menyenangkan. Sedangkan saat Damar melakukannya ... hanya membuatku merasa sangat jijik.Mungkin memang begitulah bedanya antara cinta dan tidak cinta. Jadi, aku pun menepis tangannya tanpa ragu."Sejak kamu mengancam nyawaku demi memaksaku menandatangani surat saham, saat itu juga, semua perasaan antara kita sudah selesai."Bibir Damar bergerak sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Apa pun yang dia katakan sekarang, terdengar sia-sia. Dia tidak pernah menyangka, wanita yang dulu begitu mencintainya ... bisa pergi sejauh ini darinya.Bahka

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 15

    Tatapanku langsung tertuju pada Damar dengan penuh keterkejutan. Bahkan dokter yang tadi pun tampak sangat kesal. Dia langsung menepis tangan Damar yang masih mencengkeram kerah jasnya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jangan omong kosong seperti itu."Setelah berkata demikian, dia pun segera berbalik dan kembali masuk ke ruang operasi. Tadi dia keluar hanya untuk menyampaikan kabar saja.Lalu, kulihat Damar mulai mengentak-entakkan tangannya ke pintu ruang operasi dengan penuh kepanikan. "Selamatkan anaknya! Kalian dengar nggak?! Selamatkan anaknya!"Melihat kelakuan seperti itu, aku tak bisa menahan keterkejutanku dan bertanya, "Kamu ini setidaknya lulusan S2, masa hal dasar begini saja nggak tahu? Mau kamu bilang apa pun ... menurut hukum, yang harus diselamatkan duluan adalah ibunya."Tubuh Damar langsung menegang. Namun, kemudian dia berbalik menatapku dengan ekspresi sok romantis dan berkata, "Kamu sendiri bilang kamu nggak suka Sinta, bukan? Kalau kita cuma pertahankan anaknya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 14

    Sinta tergeletak di tanah, wajahnya dipenuhi rasa takut sambil menjerit kesakitan. Aku bisa melihat dengan jelas, darah perlahan mengalir dari antara kedua kakinya. Aku panik dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans.Orang-orang di sekitar pun langsung memberi jalan.Hal ini berkaitan dengan nyawa. Sekalipun ada dendam sebesar apa pun, aku bukan orang yang akan membiarkan seseorang mati di depan mataku. Terlebih lagi, ada begitu banyak pasang mata yang menyaksikan.Saat Sinta akhirnya dibawa masuk ke mobil ambulans, aku meminta William untuk pergi menerima penghargaannya dulu.Setelah berulang kali kudorong dengan tegas, akhirnya dia mengalah dan tidak ikut naik ke ambulans bersamaku. Kejadian ini terjadi di hari yang seharusnya jadi hari bahagianya. Aku merasa sangat bersalah.William yang bisa membaca pikiranku, menenangkanku sambil berkata, "Ini bukan salahmu. Dia sendiri yang cari masalah. Tenang saja, tunggu aku. Setelah selesai, aku akan menyusulmu."Aku mengangguk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status