Share

Bab 4

Author: Richie
Suara dari luar perlahan menghilang, bahkan tidak ada satu respons dingin pun yang kudengar darinya.

Waktu terus berlalu. Saat aku hampir putus asa, pintu kamar akhirnya terbuka dengan suara berderit yang pelan. Namun yang berdiri di hadapanku bukanlah Damar, melainkan Sinta dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca.

Di tangannya, ada koperku yang sudah dirapikan, serta ponselku yang tadi sempat jatuh ke lantai. Sinta menyerahkan kedua benda itu ke tanganku. "Aku kira kamu cuma main tarik ulur, ternyata kamu memang benar-benar mau pergi."

Yang tak kusangka adalah di saat seperti ini, aku malah merasa sedikit berterima kasih terhadap wanita yang pernah kuanggap sebagai pesaing. Kalau bukan karena dia, mungkin aku akan dikurung di kamar ini sampai hari pernikahan.

Pandangan mataku menyapu ruang tamu, kosong. Tidak ada bayangan Damar di mana pun. Hanya ada makanan hangat di atas meja. Sepertinya dia menyuruh Sinta datang untuk mengantarkan makan siangku.

Melihat itu, aku menghela napas lega. Dengan koper dan ponsel di tangan, aku segera melangkah ke arah pintu.

Saat melewati Sinta, aku berhenti sejenak dan berkata pelan, "Terima kasih."

Sinta tertawa kecil dengan nada mengejek. "Terima kasih buat apa? Aku justru senang kamu pergi. Kamu tahu nggak? Aku hamil."

Aku tertegun sejenak. Sinta mengeluarkan ponsel, membuka foto hasil pemeriksaan kehamilan, lalu menyodorkannya ke hadapanku.

"Ini anak Damar. Aku nggak mau anakku lahir dalam keadaan harus sembunyi-sembunyi. Kalau bukan karena kamu, aku pasti sudah menikah dengannya sejak dulu. Makanya waktu itu aku kirim pesan."

"Awalnya aku nggak nyangka kamu bakal cepat sadar. Tapi ternyata, kamu cinta banget sama Damar, ya."

Senyumnya terlihat manis saat menceritakan masa lalunya, tidak ada lagi nada cemburu seperti di pesan sebelumnya, bahkan sekarang terdengar ada sedikit rasa iba dalam suaranya.

Aku menoleh ke arah perutnya yang mulai membesar. Namun, aku tidak berkata apa-apa lagi. Tak ada penjelasan maupun emosi.

Mungkin dalam pikirannya, aku mencintai Damar sampai rela mengorbankan diri demi "merelakan" dia menikah dengan wanita lain. Padahal, kalau sejak awal aku tahu Damar masih memiliki cinta pertama, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini.

Bagaimanapun, sebelum meninggal ayahku hanya memintanya untuk menjagaku, bukan menikah denganku. Memikirkan hal itu, aku merasa perlu meluruskan sesuatu padanya.

"Demi saham yang kupegang, Damar sendiri yang menyembunyikan hubungannya denganmu dan perlahan-lahan menjebakku. Jadi aku nggak pernah merusak hubungan kalian. Kamu salah orang."

Sinta hanya melambaikan tangan sambil tersenyum bangga dan kalimat balasannya pun tak ada hubungannya dengan yang kubicarakan. "Kamu sudah mengembalikan uang pembelian saham itu ke Damar, tapi masih bilang nggak suka dia?"

"Sebagai sesama perempuan, aku tahu kamu masih cinta sama dia. Tapi nggak apa-apa, lusa aku dan Damar akan menikah juga. Aku sudah nggak akan menyalahkanmu karena telah merebutnya dari hidupku."

Aku tidak ingin mendengar ocehannya yang penuh kebanggaan dan manipulasi. Oleh karena itu, aku melangkah pergi dan hendak keluar dari rumah itu.

Namun, baru saja melangkah, tanganku ditarik olehnya dan tubuhku dipaksa berhenti. Perasaan berterima kasih yang sempat tumbuh tadi langsung sirna tanpa bekas.

"Lepaskan aku!" Aku menatapnya dingin. Kalau saja dia bukan wanita hamil, mungkin sudah kutepis kasar dari tadi. Namun, Sinta bertindak seakan tidak melihat reaksiku. Dia malah menyodorkan sebuah kartu ke tanganku.

"Kamu pergi ke luar negeri tanpa uang sepeser pun, aku benar-benar khawatir dengan keselamatanmu. Ada 40 juta di dalam kartu ini. Ambil saja dan jangan pernah kembali lagi, mengerti?"

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri. Namun, ketika aku melihat ekspresi puas dan angkuhnya seolah sedang berbuat amal ....

Plak!

Tanpa bisa ditahan lagi, tanganku terangkat dan mendarat dengan keras di pipinya. Sinta menjerit kaget. Baru saja hendak membalas dengan makian, dari ujung mataku, aku melihat Damar bergegas datang menghampiri.

Sinta pun langsung memegangi pipinya, lalu berpura-pura terjatuh ke lantai sambil mengerang kesakitan. "Damar ... perutku sakit ... ah! Sakit sekali!"

Aku mengernyit, tidak mengerti apa maksud Sinta membuat drama seperti itu sampai tiba-tiba sebuah dorongan keras menghantamku!

Tenaganya begitu besar dan karena aku masih menarik koper, tubuhku langsung terjatuh ke belakang dan membentur pinggangku. Rasa sakit yang tajam membuat wajahku seketika pucat.

Damar melangkah cepat melewatiku, lalu membungkuk dan langsung menggendong Sinta pergi. Sampai detik terakhir pun, dia bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahku.

Dalam sekelebat pandangan dari samping, yang kulihat hanya wajahnya yang penuh dengan kepanikan dan kegelisahan. Dari situ, aku akhirnya mengerti, Damar ternyata memang sudah tahu bahwa Sinta sedang hamil.

Namun semua itu ... sudah tak ada hubungannya lagi denganku.

Dengan bersusah payah, aku bangkit sambil memegangi pinggangku yang terasa nyeri dan membengkak, lalu perlahan turun ke lantai bawah. Aku menghentikan taksi pertama yang lewat dan langsung naik.

Meskipun aku sudah bergerak secepat mungkin, tetap saja aku terlambat karena luka di pinggang.

Aku hanya bisa mengubah jadwal penerbanganku. Akan tetapi, aku tidak merasa putus asa.

Setelah mengoleskan salep untuk memar di bagian pinggang, aku menjadwal ulang penerbangan ke yang paling cepat berikutnya dan bermalam seadanya di bandara.

Sekalian, aku ubah dokumen perjalanan jangka pendekku menjadi izin tinggal jangka panjang. Untuk sementara waktu, aku tidak berencana kembali.

Keesokan paginya.

Di detik terakhir saat kakiku menapaki tangga pesawat, aku menerima sebuah panggilan telepon.

"Halo, ini Bu Ayu, ya?"

"Ya, saya sendiri."

"Begini, donor jantung yang selama ini Anda cocokkan sudah ditemukan. Bisakah Anda segera datang ke Negara Malawi untuk pemeriksaan lebih lanjut?"

Aku menatap nomor asing di layar ponsel dengan bingung. "Saya nggak pernah mendaftar di rumah sakit mana pun di luar negeri."

"Bapak Hendra ... apakah Anda mengenalnya?"

Langkahku terhenti. "Itu ayah saya."

"Pak Hendra yang meminta kami mencarikan donor untuk Anda. Hanya saja karena kondisi Anda cukup khusus, kami baru bisa menemukan kecocokan sekarang."

Aku terpaku, lalu perlahan memutus sambungan telepon sambil menahan gejolak perasaan yang menghantam dada. Pada detik terakhir itu ....

Aku pun melangkah naik ke pesawat dan meninggalkan semuanya.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 19

    Lamaran yang mendadak dan tanpa ancang-ancang ini membuatku tertegun seketika. Detik demi detik berlalu, entah sudah berapa lama waktu berjalan. Yang kuingat hanyalah diriku berdiri seperti patung di tempat, menatap wajah William yang waswas.Tampak jelas dia menggigit bibir, seolah telah mengambil keputusan besar. Meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.Akhirnya, di bawah tatapannya yang dipenuhi harap dan ketegangan, aku perlahan mengangguk dan memaksakan diri berkata, "Iya."Jawaban sederhana ini terasa seperti menguras seluruh tenaga dalam tubuhku. Setelah menerima lamarannya, hatiku perlahan tenang dan mulai memikirkan kehidupan kami di masa depan.Selama ini, setelah melewati begitu banyak hal, aku mulai memahami banyak hal dalam hidup. Aku tahu, selama aku bisa menjadi kuat dan mandiri, aku tidak perlu lagi takut pada luka yang mungkin dibawa oleh cinta.Kurasa, meskipun aku akan hidup bersamanya se

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 18

    Begitu salah satu dari mereka mencoba meraba dadaku dengan tangannya yang mesum, aku tanpa ragu langsung mengeluarkan alat kejut listrik dan menghantamkannya ke arah orang itu! Lalu, saat yang lain belum sempat bereaksi, aku langsung menyerang keempat orang sisanya satu per satu!Tak lama kemudian, suara rintihan memenuhi seluruh gang. Kelima orang itu tergeletak di tanah, tubuh mereka kejang-kejang. Aku tidak berpikir panjang dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon polisi.Siapa pun yang berani menjebakku, biar polisi saja yang cari tahu.Sementara itu, di sisi William ....Dia membuka ponsel dan melihat kotak pesan dari orang yang diberi nama panggilan "Sayang". Begitu membaca bahwa aku akan menjemputnya, dia langsung girang bukan main dan memamerkan pesan itu pada teman-temannya."Lihat nggak? Istriku mau jemput aku! Gimana? Iri 'kan, dasar jomblo!"Teman dekat yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya. "Pamer cinta bisa kena kutuk, tahu nggak! Cuma kamu doang yang punya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 17

    Waktu berlalu begitu cepat. Baru beberapa hari kemudian aku tahu tentang gosip-gosip di internet. Namun, aku sama sekali tidak merasa pusing karenanya. Hal seperti itu bisa dibersihkan dengan klarifikasi selama ada uang.Berita di internet itu penuh dengan yang benar dan yang palsu, siapa juga yang akan terus-menerus peduli pada urusan kecil yang tidak penting?Rencana Damar untuk menekanku lewat opini publik jelas gagal total. Namun, tindakannya justru memicu ledakan emosi dari Sinta.Sinta bersandar di ranjang rumah sakit sambil menatap layar ponselnya, isi hatinya penuh kebencian yang mendidih. Akhirnya, dia tidak sanggup lagi menahan diri. Ponselnya pun dilempar ke atas ranjang dan dia menggertakkan gigi sambil mengumpat penuh dendam."Ayu! Kamu sudah bunuh anakku, sekarang kamu mau rebut priaku juga? Aku benci kamu!"Seorang perawat yang baru masuk untuk mengganti perbannya, sempat mendengar teriakan itu dan melirik dengan jijik.Awalnya dia hampir percaya dengan drama wanita ini.

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 16

    "Kamu cuma ngomong gitu karena marah, 'kan? Kamu yang biasanya lembut, mana mungkin bisa bilang hal seperti itu ...."Damar menatapku hampir seperti memohon. Ini pertama kalinya dia menampakkan ekspresi seperti itu di hadapanku. Mirip seperti ekspresi William waktu menunjukkan lukisan-lukisan lamaku dengan penuh rasa sedih dan bertanya dengan polos apakah aku benar-benar punya tunangan.Namun waktu William melakukannya, ekspresi itu terlihat sangat menyenangkan. Sedangkan saat Damar melakukannya ... hanya membuatku merasa sangat jijik.Mungkin memang begitulah bedanya antara cinta dan tidak cinta. Jadi, aku pun menepis tangannya tanpa ragu."Sejak kamu mengancam nyawaku demi memaksaku menandatangani surat saham, saat itu juga, semua perasaan antara kita sudah selesai."Bibir Damar bergerak sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Apa pun yang dia katakan sekarang, terdengar sia-sia. Dia tidak pernah menyangka, wanita yang dulu begitu mencintainya ... bisa pergi sejauh ini darinya.Bahka

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 15

    Tatapanku langsung tertuju pada Damar dengan penuh keterkejutan. Bahkan dokter yang tadi pun tampak sangat kesal. Dia langsung menepis tangan Damar yang masih mencengkeram kerah jasnya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jangan omong kosong seperti itu."Setelah berkata demikian, dia pun segera berbalik dan kembali masuk ke ruang operasi. Tadi dia keluar hanya untuk menyampaikan kabar saja.Lalu, kulihat Damar mulai mengentak-entakkan tangannya ke pintu ruang operasi dengan penuh kepanikan. "Selamatkan anaknya! Kalian dengar nggak?! Selamatkan anaknya!"Melihat kelakuan seperti itu, aku tak bisa menahan keterkejutanku dan bertanya, "Kamu ini setidaknya lulusan S2, masa hal dasar begini saja nggak tahu? Mau kamu bilang apa pun ... menurut hukum, yang harus diselamatkan duluan adalah ibunya."Tubuh Damar langsung menegang. Namun, kemudian dia berbalik menatapku dengan ekspresi sok romantis dan berkata, "Kamu sendiri bilang kamu nggak suka Sinta, bukan? Kalau kita cuma pertahankan anaknya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 14

    Sinta tergeletak di tanah, wajahnya dipenuhi rasa takut sambil menjerit kesakitan. Aku bisa melihat dengan jelas, darah perlahan mengalir dari antara kedua kakinya. Aku panik dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans.Orang-orang di sekitar pun langsung memberi jalan.Hal ini berkaitan dengan nyawa. Sekalipun ada dendam sebesar apa pun, aku bukan orang yang akan membiarkan seseorang mati di depan mataku. Terlebih lagi, ada begitu banyak pasang mata yang menyaksikan.Saat Sinta akhirnya dibawa masuk ke mobil ambulans, aku meminta William untuk pergi menerima penghargaannya dulu.Setelah berulang kali kudorong dengan tegas, akhirnya dia mengalah dan tidak ikut naik ke ambulans bersamaku. Kejadian ini terjadi di hari yang seharusnya jadi hari bahagianya. Aku merasa sangat bersalah.William yang bisa membaca pikiranku, menenangkanku sambil berkata, "Ini bukan salahmu. Dia sendiri yang cari masalah. Tenang saja, tunggu aku. Setelah selesai, aku akan menyusulmu."Aku mengangguk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status