Aku terpaku pada kata pelakor yang terucap dari bibir Amel, sebuah kata yang menjadi momok bagiku. Bibirku bungkam, tetapi pikiranku melayang pada masa enam bulan yang lalu. Iya kini aku sudah bekerja selama enam bulan masa yang sangat cepat."Mbak!" panggil Gendis sambil menoel lenganku."Jangan perdulikan pertanyaan Amel, gadis itu memang agak selebor mulutnya," lanjut Gendis sambil melotot ka Amel, gadis itu hanya nyengir di depanku."Hehe, maaf Ibu Ann. Jujur aku jadi ikut trauma dengan kisah, Ibu!" kata Amel dengan menangkupkan tangannya di dada.Aku pun mengulas senyum tipis, meski hati ini terasa perih tetapi Amel tidak ada salah. Ku usap kepala gadis itu, dan kubisikkan kata maaf."Ibu Ann tidak salah," jawabnya."Kamu gadis baik, pasti mendapatkan jodoh yang baik pula," kataku memberi dia semangat."Jangan terpaku pada kisahku, Sayang. Kamu harus maju dan raih bahagia itu, sekarang, nanti hingga akhir hayat," lanjutku memberi Amel semangat dalam menjemput mimpinya bersama pan
Hanya satu kata yang kuucapkan saat melihat wajah Amelia, cantik. Anak perempuan kecil itu terlihat cantik dan segar. Aroma minyak kayu putih masih menguar dari tubuhnya. Anak itu masih memandangku dan Irene bergantian lalu senyumnya mulai mengembang saat kami keluar dari mobil."Nenek, ada tamu," teriak Amel memanggil neneknya.Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah megah tersebut dengan penampilan elegan dan masih ada sisa kecantikan."Mari, mari!" ajak wanita tersebut."Mau minum apa, tante sekalian?" ucap Amel.Hatiku terasa sakit, baru beberapa minggu berpisah, anak itu memanggilku dengan tante. Sakit, anak di depan mata tetapi tangan susah terulur untuk mendekapnya."Apa saja boleh adik cantik!" ucap Irene."Mah ...." suaraku tercekat menatap punggung kecil itu berlalu masuk ke dalam."Maafkan, mama Ann. Bukan maksud mama memperlihatkan semua padamu. Amelia bak seorang robot bila ada rubah betina itu, tetapi bila si rubah pergi maka keceriannya kembali hadir. Mama juga mera
Hari semakin berganti, dan hari yang aku tunggu telah tiba. Saat di mana aku mulai mendesain angan Amelia kecil dalam kamar pribadi di rumah neneknya. Kuawali hari dengan basmallah dan senyum indah terukir jelas di wajahku yang mulai beranjak senja.Sengaja aku bangun lebih pagi untuk membuat bekal yang akan kubawa ke rumah Mama Zakia. Aku berharap Amelku sudah ada disana saat aku datang mulai mendesain kamarnya. Aku pun ijin terlebih dahulu pada Irene untuk datang terlambat karena harus pergi ke rumah Mama Zakia untuk merancang sebuah desain baru."Hallo, Ire!" sapaku dalam sambungan telepon dengan Irene."Iya, Ann, ada yang bisa saya bantu untukmu hari ini?" tanya Irene dari seberang sana."Aku ijin tidak masuk ya, sengaja ini aku lakukan untuk memulai desain kamarAmelia. Bagaimana?" tanyaku."Iya silahkan, bujkankah ini juga kerja meski di luar ruangan, Ann?" tanya balik Irene."Iya, baiklah terima kasih!" balasku lalu sambungan terputus dari pihak Irene.Setelah sambungan terputu
"Ada apa, Cint?" tanyaku.Cintya hanya diam, netranya menyapu setiap ruang yang kami tempati. Perempuan itu seperti mencari seseorang yang mungkin ada di sekitarnya."Tadi saya merasakan ada seseorang yang ikut datang bersama Kak Ann, jadi saya mencarinya," jawab Cintya."Tetapi aku datang sendiri, lho. Bagaimana bisa kamu merasa saya bersama dengan yang lain?" tanyaku lagi."Entahlah, Kak. Mungkin hanya perasaanku saja, ayo masuk lebih dalam!" ajaknya.Aku pun mengikuti langkah Cintya melihat semua ruang yang ada dalam rumah itu. Rumah yang cukup besar berlantai satu dengan kamar depan berjumlah empat dan dua kamar belakang menghadap taman."Tamannya indah, pasti hasil karya mama Kia, benar 'kan Cintya?" tanyaku."Apakah hasil taman seperti ini selalu karya Mama, Kak Ann?" tanya Cintya yang seakan dia protes."Menurutku hanya mama yang bisa mengatur tanaman hidup seperti ini, Cint!" balasku."Ini hasil karya Yoga, dibantu oleh Amel, Kak." Cintya menjelaskan semua tata letak bunga dan
Tanganku bergerak bebas melukiskan sebuah keindahan pantai saat sore hari. Dalam lukisan tersebut terlihat bocah kecil berlarian mengejar matahari. "Indah, sangat indah. Amel suka, Nek!" Terdengar suara gadis kecilku yang memuji hasil desainku. Segera aku berpaling menghadapnya, gadis itu berdiri terdiam menatap ke arahku dan Cintya bergantian."Nenek bilang hanya Tante Cintya yang melukis buatku, mengapa sekarang ada Bunda Ann?" Sebuah tanya Amel yang ditujukan pada Zakia, neneknya."Ini kejutan untuk Amelia. Bukankah Amel sangat rindu pada Bunda Ann?" balas mama mertuaku dulu."Bukankah Nenek mengerti bagaimana jika Amel merindukan bunda? Apakah Nenek ijinkan jika Amel merinduinya?" Gadis itu terus bertanya pada Nenekbya tanpa melihat lagi ke arahku.Dalam setiap pertanyaannya selalu mengandung kesedihan juga kepedihan hati. Gadis sekecil itu sudah bisa memilah sebuah kata indah agar aku tidak terluka."Nenek, bolehkan jika Amel memeluk Bunda Ann? Tidak adakah yang akan melihat?"
Amelia hanya diam saat jariku mengoleskan saleb, bibirnya tampak bergetar tanpa suara. Air matanya sudah tidak mengalir lagi seperti saat memelukku. Gadis kecil yang sudah mulai terbiasa."Terima kasih, Bunda!" ucapnya.Lalu kaki kecil Amel berjalan melihat semua hasil desain yang aku buat. Amelia tersenyum lalu tubuhnya berputar bagai memperagakan sebuah tarian."Indah, ini indah, Nek. Apakah Amel boleh datang ke sini saat rindu?" tanyanya dengan senyum yang mengembang."Boleh, Sayang.""Tunggu adik bayi lahir, saat dia dirumah sakit pasti akan banyak waktuku untuk bercerita di sini. Berikan aku sebuah kunci, Nenek?" pinta Amel sambil menadahkan tangan kecilnya."Adik kecil?" tanyaku heran.Seketika tangan mungil itu menutup mulutnya lalu menampar perlahan. Setelahnya dia berlari kecil mengitari semua ruang kamarnya. Seperti mengabsen setiap barang kegemarannya."Teddy, kau juga ada!" pekiknya saat melihat boneka teddy beard."Oh, hai aku punya kamar mandi sendiri!" teriaknya saat me
"Sepertinya sangat rahasia, Mom. Apakh tante juga tidak boleh tahu dengan apa yang kalian bicarakan?" tanya Cintya."Tidak boleh, Tante. Ini hanya urusan antara anak dan ibu, tidak lebih. Andaikata lebih pasti akan Amel beri tahu pada kalian," kata Amel yang sudah tahu batasan urusan."Wah anak kecil sudah tahu batasan sebuah urusan, bagaimana nanti jika sudh dewasa?" tanya Cintya sambil pendangannya tertuju padaku."Mungkin Amel akan lebih waspada lagi, Tante." Gadis itu menggeliat mulai tidak nyaman berada di gendonganku.Aku pun akhirnya menurunkan gadis kecil itu dengan perlahan, lalu gadis tersebut kembali memandangi setiap sisi tembok yang sudah berhiaskan berbagai model kartun kesukaannya."Bagaimana cara melukis semua ini dalam waktu sekejab, Bunda?" tanya Amel sambil memandang wajahku."Semua itu adalah hasil kerja dari tangan Tante Cintya, Sayang. Bunda hanya mengikuti apa yang sudah ada dalam desain Tante kamu. Tidak lebih," jelasku pada Amelia lalu terlihat kepalanya menga
Hari terus berjalan, tanpa terasa aku sudah semakin jauh dengan kedua anakku. Bahkan Mama Zakia kini sudah tidak aktif lagi nomernya membuat aku menjadi hilang kontak dengan kedua anakku. Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku bekerja di dunia desain interior dan eksterior. Bahkan sekarang perusahaan tempat aku bekerja sudah merambah ke luar kota hingga luar pulau. Omset yang di peroleh Irene hampir menyamai perusahaan induk yang dipimpin oleh ayahnya.Sampai suatu ketika Ayah Irene pun datang ke ruanganku hanya sekedar melihat cara kerja kami yang membuat perusahaan meroket."Apa kabar, Ann?" sapa Pak Burhan, ayah Irene."Alhamdulillah sehat, Pak!" balasku."Kerja yang bagus. Saya sangat luas dengan kepemimpinan kamu selama satu tahun terakhir ini, Ann. Kamu butuh semangat agar lebih maju lagi, tunggu hadiah dari perusahaan atas kinerja kamu!" kata Pak Burhan."Terima kasih, Pak. Mobil kemarin sudah cukup bagi saya, sekali lagi terima kasih!" kataku dengan nada rendah.Aku tidak