"Mas, apa sebaiknya saya di luar saja?" tanya seorang wanita pada suamiku.
"Tidak perlu, tetap duduk di sini. Biar aku yang memanggil wanita jalang itu!" Kudengar jawaban kasar suamiku.
Lalu derap langkah tergesa menghampiriku yang sedang membuatkan dua gelas jus mangga pesanan wanita itu tadi saat aku mempersilahkan keduanya masuk.
"Mana pesanan jus mangga kami sudah kehausan, dasar wanita lembek!" ucap kasar suamiku.
Lelehan air mata keluar tanpa aku pinta, hanya demi wanita itu lelakiku kini bersikap kasar. Aku tidak mengerti dimana letak kesalahanku hingga harus menelan pil pahit kehidupan rumah tanggaku. Aku harus kuat, ini tekatku.
"Saayyyaang, jus mangga datang," suara lelakiku memanggil wanita itu.
Kini hatiku hancur bak kaca pecah, suara sang ayah membangunkan putra sulungku. Pria kecil berjalan menuruni tangga sambil tersenyum menatapku.
"Bunda, apakah masih ada jus mangga itu? Yoga juga inginkan minuman seperti yang ayah teriakan. Apakah ayah yang membuat untuk Bunda? Sekarang mana jus itu, Bunda?" ujar anak sulungku.
Aku hanya mematung menatap wajah tampan pria kecil itu, rasanya tidak tega untuk menolak inginnya tetapi saat itu sudah tidak ada persediaan mangga lagi. Semua sudah dibuat oleh Jasen ayahnya.
"Maafkan bunda, Sayang. Mangga yang kita beli kemarin sudah habis untuk menjamu relasi kerja ayah," kataku pada Yoga.
Pria kecil itu berjalan ke ruang tamu dan mendapati sosok wanita tersebut, tetapi langkahnya terhenti di balik tirai penghubung ruang tamu dan ruang keluarga. Tubuhnya bergetar, kedua tangannya mengepal sempurna. Entah apa yang dilihatnya hingga pria kecil tersebut menahan emosinya. Dia berbalik badan dan berjalan melewatiku tanpa mengucap sepatah kata.
"Yoga, ada apa, Le? Yoga!" Aku mencoba bertanya tetapi wajah putraku tidak merespon sama sekali.
Dingin dan datar, Yoga berjalan kembali masuk dalam kamar pribadinya. Samar terdengar sebuah benda jatuh, gegas aku dekati kamar anak lelakiku. Ku ketuk berulang kali tetapi tidak ada jawaban. Keheningan tercipta dalam kamar tersebut. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar pribadi putri kecilku.
Gadis kecilku masih terlelap dalam tidurnya, hatiku teriris pilu bila mengingat kata talak dari suamiku. Sanggupkah kaki ini melangkah keluar dari rumah yang selama ini menaungiku. Akhirnya setelah puas memandang wajah putriku, aku melangkah keluar kembali menuju kamarku.
"Kapan kamu keluar dari rumah ini? Ingat jangan bawa kedua anakku, cukup tubuh dan pakaian saja serta harta yang hanya kamu miliki sendiri. Paham!" kata Jasen saat itu.
Aku tidak mampu berkata, hanya anggukan kepala yang dapat kulakukan sebagai ganti suaraku. Sungguh perubahan yang sangat drastis dari suamiku. Air mata terus mengalir tiada henti sambil memasukan beberapa pakaian yang aku miliki.
"Ambil kartu ini sebagai kopensasi kedua anakku dan jangan pernah menengok kebelakang lagi!" kata Jasen lalu dia melangkah keluar kamar karena mendengar panggilan sayang dari wanitanya.
Jasen segera menuruni tangga untuk menemui kembali wanita itu yang sempat aku dengar dipanggilnya dengam nama Rowena. Karena penasaran ku ikuti langkah suamiku dari belakang, rasa ingin tahuku begitu besar. Apa yang akan mereka lakukan jika aku juga ada diantara keduanya.
"Ada apa, Rowena?" tanya lembut Jasen.
"Aku merasa lelah, ingin segera merebahkan badan. Tulang belulangku terasa kaku, Mas," ucap Rowena terdengar manja ditelingaku sambil mendekap lengan Jasen.
Hatiku semakin ngilu, perih tetapi tidak berdarah. Kehadiranku di sana hanya dianggap patung, tidak ada artinya. Dengan langkah cepat aku kembali masuk dalam kamar untuk melanjutkan berkemas semua barang yang akan aku bawa. Derai air mata terus keluar tanpa henti, bibirku hanya terkatup rapat tidak ingin bersuara.
Semua barangku telah siap, ada satu koper besar berisi gamis lamaku dan tas punggung yang berisi beberapa perhiasan yang aku beli dengan uangku sendiri. Sedangkan pakaian kurang bahanku masih tersimpan rapi dalam almari baju khusus pembelian suamiku.
Aku yang dulu selalu berpakaian tertutup, sekarang kembali mengenakan gamis itu. Ada rasa nyaman yang hilang selama lima tahun terakhir. Jasen memintaku untuk menanggalkan gamis dan hijabku berganti dengan pakaian kurang bahan yang menonjolkan keindahan seorang wanita.Terdengar langkah kaki mendekat tetapi tidak hanya sepasang, langkah kaki yang terdengar ada hentakan setiap langkahnya membuatku menunggu langkah siapa itu.
"Mas, aku inginkan kamar ini sebagai tempatku istirahat siang ini. Suruh wanita kumal itu keluar segera!"
Pyar!
Seketika kotak perhiasanku jatuh hingga mengakibatkan semua isinya terburai keluar kala mendengar kalimat yang terlontar dari Rowena. Kilau emas putih dan kuning juga berlian membuat mata gadis itu membulat sempurna. Bibirnya membuka sangat nyata jika dia terkejut.
"Mas ...." rengek Rowena yang masih bergelayut di lengan Jasen.
Dengan halus Jasen melepas tangan Rowena lalu berjalan mendekatiku, matanya menatap tajam pada semua perhiasan yang berserakan di pangkuanku. Jemari kekarnya meraih salah satu kalung yang bermata berlian Swarovski pemberian mendiang ibu mertua.
"Ini! Bukankah kalung ini hadiah dua tahun pernikahan kamu dari Mamaku? Untuk apa kamu bawa, aku juga memiliki hak atas kalung itu," kata Jasen.
"Ambil saja mana yang Mas suka, sisanya akan saya berikan pada Amel. Dia juga berhak atas hadiah dari Oma-nya," jawabku tegas.
"Ambillah, pilih mana yang kamu suka, Rowena!" kata Jasen lembut.
Rowena segera maju, jemari lentiknya menyingkirkan barangku dengan sedikit jijik lalu mengambil beberapa perhiasan yang terlihat indah dan glamor. Bibirku tersenyum sinis, 'Dasar wanita rubah.'
Sudut mataku menangkap ada bayangan yang berdiri di balik pintu kamar. Sepertinya sosok jagoanku berdiri di sana menyaksikan semua perbuatan sang ayah. Terlihat beberapa kali tangan kecilnya mengusap kedua mata indah nan jernih. Hatiku kembali bagai tersayat.
###SA###"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba