"Annasta binti Lukman, pada hari ini kuceraikan kamu dan kuharamkan kakimu masuk rumah ini!" tegas Jasen suamiku.
Jdeer!
Bagai palu godam menghentak dadaku kala terdengar ucapan Jasen tepat di depanku. Lelaki yang baru pulang dari kantor itu langsung berucap lantang di depan pintu kamar pribadi kami. Air mataku langsung mengalir tanpa aku inginkan. Napas terasa sesak seakan asupan udara di sekitarku sisa sedikit. Dengam derai air mata, aku mencoba bertanya pada lelaki itu.
"Apa salah aku, Mas?" tanyaku dengan nada lirih dan bergetar.
"Kamu tidak salah, hanya aku yang inginkan berganti istri. Bagiku barang yang kamu punya sudah usang, tidak layak untuk dipajang saat bertemu dengan relasi." Seperti itu ucapan kasar lelakiku yang dulu sangat lembut dalam memperlakukan diri ini.
Entah angin apa hingga lelakiku berubah sedemikian rupa, apa dia melupakan perjuangan masa lalu saat inginkan diriku mendampingi hidupnya yang suram. Rasa bahagia yang sudah aku reguk selama tujuh tahun usia pernikahan kini hanya tinggal kenangan.
Perlahan kulangkahkan kaki ini masuki kamar putri cantikku, Amel masih tertidur lelap. Beruntung gadis kecil itu tidak mendengar apa yang dikatakan ayahnya. Namun ada pria kecil yang berdiri sembunyi dibalik pilar penyangga atap di lantai dua. Aku melempar senyum pada pria itu tanpa berniat mendekat.
Setelah puas memandang wajah teduh Amel, kembali aku melangkah keluar dari sana. Telingaku mendengar suara perempuan lain yang sedang tertawa manja, kutajamkan pendengaranku. Ternyata mereka ada di ruang tamu, gegas kuhampiri mereka.
"Ouh rupanya sedang ada tamu, mengapa tidak bilang ke aku lho, Mas Jasen?" kataku dengan nada biasa menyembunyikan rasa sakit.
"Tidak perlu, Mbak. Ini saya hanya sebentar, tadi ada yang tertinggal di tuang kerja Mas ...." ucap wanita itu yang membungkam mulutnya di akhir kata Mas.
Hatiku terasa nyeri kala mendengar ada wanita yang memanggil mas pada Jasen. Meski hanya sepintas dan belum selesai tetapi aku tahu kemana arah kata selanjutnya.
"Maaf, Mbak, saya pamit undur diri. Mari, Mbak dan Mas Jasen. Selamat malam," pamit wanita itu.
"Tunggu, biar mas antar kamu pulang!" kata suamiku datar dan dingin tanpa sedikitpun melihatku.
Sakit, nyeri dan sesak itu yang aku rasa kala melihat dengan mata kepala sendiri suamiku memilih mengantar wanita lain dengan merangkul pundak wanita tersebut. Cantik, itu kata pertama yang keluar dari bibirku kala melihat sosok wanita tersebut. Jujur aku sama sekali tidal mengenal sosok tersebut, siapa nama dan perkerjaan dalam perusahaan suamiku.
"Jangan dipandangi saja, Bu. Sudah biasa bapak dengan wanita itu jika sore pulang kemari hanya sekedar minum dan makan," kata simbok yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.
"Apa mereka sangat sering pulang bersama, Mbok?" tanyaku.
"Hampir tiap hari, Bu. Saat Ibu merawat bunga di taman belakang, wanita itu sering datang jumpai bapak bahkan mereka kadang sempat bercumbu di sofa hitam depan televisi dan tidak peduli jika Den Yoga melintas." Cerita Mbok Darmi secara gamblang.
Aku tercekat, mulutku membuka membentuk huruf O. Langsung ku bungkam mulutku sendiri karena malu dengan simbok.
"Apa salah dan kurangku, Mbok?" tanyaku dengan nada pilu.
"Ibu wanita yang baik, pasti akan mendapat yang baik pula. Jangan gegabah mengambil sikap, Bu!" Saran Mbok Darmi.
Aku sempat down melihat dan mendengar semua informasi dari Mbok Darmi. Aku yang selama ini begitu percaya pada suamiku dan menurut kini merasa tertampar. Sikapku yang seperti ini malah disalahgunakan oleh lelaki itu. Sungguh malang nasibku.
Tujuh tahun silam seorang pria muda datang menghampiri meja kerjaku, hanya bertegur sapa. Lama kelamaan dia mendekat dan kita saling berkenalan. Rupanya lelaki itu adalah anak pemilik perusahaan di mana aku kerja, PT. Adi Buana Perkasa (ABP)."Annasta," ucapku saat berkenalan.
"Jasen," balasnya.
"Maaf, saya sedang bekerja datanglah kala istirahat!" pintaku.
Lelaki itu tidak mau menyerah meski sering mendapat penolakan dariku. Semua teman sudah memberi peringatan padaku saat terjadi pendekatan pria muda tersebut. Mereka seakan tidak setuju jika aku menjalin hubungan serius dengan Jasen. Bukan karena sosok yang berdiri di belakang pria muda melainkan karena pria tersebutlah yang membuat teman sejawat merasa bimbang.
"Jangan kamu melangkah ke arah serius, Annasta!" decih Imanuel saat itu.
"Ah, pasti si Nuel cemburu, Ta. Gak apa lanjut saja, mumpung dapat yang tajir melintir tuh!" timpal Tiwi."Bukan karena tajirnya, Wi. Tetapi lebih mengarah pada perilakunya yang berbeda dan berbanding terbalik dengan Mr. Buds. Apa kamu tahu, Tiwi?" balas Imanuel yang dipanggil Nuel oleh yang lain.
Kini Annasta paham apa yang pernah dikatakan oleh Imanuel saat itu, tetapi nasi sudah menjadi bubur dia harus kuat demi dua buah hatinya Amel dan Yoga.
"Bunda ... Bunda ...." teriak Yoga yang memanggil diriku.
Aku pun segera bergegas keluar dari kamar dan mencari keberadaan Yoga. Ternyata putraku itu sedang menuntun Amel untuk dibawanya tidur siang.
"Hai, Sayang! Sudah mau berangkat tidur?" tanyaku pada Yoga sambil mensejajarkan tubuhku.
"Iya, Nda. Adik sudah ngantuk terus abang juga lagi ada pekerjaan rumah dari sekolah makanya abang panggil-panggil Bunda," jelas Amel dengan logat anak balita.
"Memangnya adik mau di keloni Abang?" tanyaku.
Tampak Amel memandang abangnya, sedikit rasa ragu tersirat di wajah lucunya. Lalu Yoga menganggukkan kepala agar Amel bicara jujur mengenai inginnya.
"Ada apa, Sayang. Ayo jujur sama Bunda!" ucapku selembut mungkin agar gadis kecilku merasa nyaman.
"Amel ingin tidur siang dengan Bunda, boleh?"
### SA ###
"Mas, apa sebaiknya saya di luar saja?" tanya seorang wanita pada suamiku. "Tidak perlu, tetap duduk di sini. Biar aku yang memanggil wanita jalang itu!" Kudengar jawaban kasar suamiku.Lalu derap langkah tergesa menghampiriku yang sedang membuatkan dua gelas jus mangga pesanan wanita itu tadi saat aku mempersilahkan keduanya masuk. "Mana pesanan jus mangga kami sudah kehausan, dasar wanita lembek!" ucap kasar suamiku. Lelehan air mata keluar tanpa aku pinta, hanya demi wanita itu lelakiku kini bersikap kasar. Aku tidak mengerti dimana letak kesalahanku hingga harus menelan pil pahit kehidupan rumah tanggaku. Aku harus kuat, ini tekatku. "Saayyyaang, jus mangga datang," suara lelakiku memanggil wanita itu. Kini hatiku hancur bak kaca pecah, suara sang ayah membangunkan putra sulungku. Pria kecil berjalan menuruni tangga sambil tersenyum menatapku. "Bunda, apakah masih ada jus mangga itu? Yoga juga inginkan minuman seperti yang ayah teriakan. Apakah ayah yang membuat untuk Bunda?
Sudut mataku menangkap ada bayangan yang berdiri di balik pintu kamar. Sepertinya sosok jagoanku berdiri di sana menyaksikan semua perbuatan sang ayah. Terlihat beberapa kali tangan kecilnya mengusap kedua mata indah nan jernih. Hatiku kembali bagai tersayat. Kini Jasen keluar bersama Rowena yang terlihat bahagia diatas lukaku. Aku sudah tidak memedulikan kehadiran wanita itu lagi, kini tanganku kembali melanjutkan aktivitas berbenah barang bawaanku. Namun seketika gerakanku berhenti kala mendengar sebuah sapaan lembut dari bidadari kecilku."Bunda... Bunda hendak kemana, kok ada koper besar? Tunggu Amel berbenah ya Bund, jika Bunda ke rumah kakek Amel ikut!" pinta gadis kecil itu. Belum sempat bibirku berucap, Amel berlari menjauh keluar dari kamar pribadiku. Aku masih meneruskan berbenah yang kurang sedikit. Setetlah semua selesai kini aku harus membersihkan tubuh dari keringat yang sedari tadi mengalir deras.Sepuluh menit sudah cukup bagiku untuk membersihkan tubuhku, lalu kebua
Segala daya aku upayakan agar aku mampu meninggalkan rumah yang sudah aku tinggali selama ini. Kuedarkan kedua mata menatap untuk terakhir kali semua isi rumah yang tentunya pasti akan kurindu. Netraku berhenti pada sebuah foto keluarga di mana masih lengkap ada mama dan papa Jasen. Kini foto itu tinggal kenangan. "Mengapa wanita kumal itu masih di rumah, Mas?" tanya Rowena yang kudengar merengek manja. "Tenang saja, Sayang. Mungkin wanita itu masih ingin memuaskan matanya dengan kenangan selama dioa disini, biarkan untuk sebentar dia mengingat kenangan itu. Setelahnya akan Mas hapus semuanya," balas Jasen. "Benar ya, Mas. Aku ingin hanya ada aku di hari-harimu, bukan wanita kumal itu," kata Rowena sambil menunjuk ke arahku. Kini kakiku melangkah dengan mantap menuju pintu keluar, masih kudengar isak tangis Yoga. Hanya Amel yang masih tersenyum kala aku melangkah sambil menarik koper. Di pintu keluar sudah ada Bi Minah yabg setia menantiku."Mbok, aku titip anak-anak ya. Jaga dan
Di sinilah aku sekarang, sebuah hunian baru yang sangat jauh dari kata mewah. Sebuah bangunan yang disebut kontrakan rumah minimalis dengan ukuran 5x6 membuat dadaku sedikit sesak. Namun aku harus bersyukur masih bisa mendapatkan flat ini, semua informasi aku dapatkan dari Irene--teman kerjaku dulu. "Bagaimana Annasta, sudah sampaikah kamu pada flat itu?" tanya Irene dalam panggilan telepon."Sudah, Irene. Ini aku sedang berbenah, kapan kamu akan berkunjung ke tempatku?" tanyaku. "Sepulang kerja sore ini, Say. Kamu mau dibawakan apa?" tanya Irene dari seberang. "Bagaimana jika bakso Pak Yudi? Sekali jalan 'kan?" pintaku. "Siap, Ndan, laksanakan! Sudah dulu ya, Annasta. Nanti aku kabari jika sudah berangkat ketempatmu!" ujar Irene. Sambungan terputus secara sepihak dari Irene, Annasta hanya mampu tersenyum masam menanggapi sikap sahabatnya itu yang belum berubah. Datang tanpa diundang pulang pun seperti menghilang tanpa jejak. Isshh jaelangkung donk. Baru beberapa menit Annasta d
Setelah aku menunggu selama dua hari dari hasil interview, akhirnya muncul notif di emailku yang isinya bahwa aku diterima kerja. Rasa syukur aku panjatkan atas ridho-Nya hingga aku cepat mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai minat dan bakat. "Terima kasih, Ya Robb," ucapku kala membaca email masuk dari PT. Somplak tbk. Aku sangat bahagia, akhirnya bisa menabung untung memulai hidup baru bersama kedua anakku kelak. 'Tunggu bunda, Sayang. Suatu saat nanti kita pasti akan berkumpul,' batinku berbicara sambil tangan ini memegang foto kedua bocah kecil itu. Sebuah foto yang sempat aku ambil dari album tanpa sepengetahuan Mas Jasen. Hanya foto itu harta yang paling berharga bagiku saat ini. Karena foto itulah semangatku masih berkobar mempertahankan rasa ini. "Aku harus mempersiapkan diri untuk memulai eaok hari," lirihku sambil membuka almari baju. Kulihat tumpukan baku usang yang sudah tidak layak pakai, hatiku merasa tercubit pedih. Selama ini aku tidak memperhatikan penampilan
Tampak Jasen berjalan tegap melewatiku tanpa menyapa, sedangkan Rowena semakin mengeratkan pegangan tanganya pada lengan mantan suamiku. Sungguh pemandangan yang menyakitkan. Aku tidak peduli lagi, segera aku melangkah mengejar Irene yang sudah masuk ke salah satu toko pakaian kerja. "Huft, akhirnya aku bisa menyusulmu, Irene!" kataku saat sudah ada di dekat Irene. "Memangnya kamu dari tadi kemana lho, Annasta?" tanya Irene dengan nada kesal."Heheh, maaf tadi aku melihat si Jasen dengan perempuan rubah itu. Jadi sedikit termangu hingga tertinggal olehmu," balasku "Dasar, sudah lupakan si kodok dan rubah itu. Lihat masa depan saja, Annasta!" kata Irene yang mulai jengah dengan sikapku yang terkadang masih tidak rela. "Sulit, masih terasa sakit." Aku mulai merasa sesak dan ingin menangis."Maafkan aku, Ann. Bukan maksudku marah padamu, aku hanya ingin kamu lupa saja!" pinta Irene. "Iya aku tahu, beri aku waktu. Nanti pasti bisa melupakan jika sudah sibuk dengan pekerjaan, bersabar
Gadis kecilku masih terlihat bimbang, netranya menatap lembut pada sang pria kecil. Lalu terlihat anggukan kepala dari si abang, baru gadis kecil itu melangkah mendekat kepadaku. Tangan mungilnya meraih jemariku lalu dibawa dalam pelukannya. Bayang embun sudah mulai menggenang diujung mata bulat si gadis kecil.Aku berjongkok mensejajarkan dengan tubuh gadis itu, begitu sejajar tangan mungilnya meraih leherku dan mendekap erat seakan tidak ingin terlepas. Terdengar lirih isak tangisnya di telinga kananku tempat sandaran kepalanya.Aku mencoba bertahan untuk tidak menangis, tetapi apa daya hati seakan teritis sembilu. Ku usap lembut pungung kecil itu, terlihat si abang mengusap lelehan air mata yang mengalir di sudut matanya. Aku sangat terharu."Bunda, sampai kapan harus seperti ini? Amel sudah tidak tahan," lirih gadis kecilku."Maafkan bunda, Sayang! Tunggu dua atau tiga tahun lagi, bunda sedang mengupayakan untuk kehidupan kalian. Tunggu dan sabar jalani semua dengan iklas!" ucapku
"Apakah kalian tidak ingin berkata jujur pada bunda, Sayang?" tanyaku."Maafkan Yoga. Janji adalah hutang, pantang bagi Yoga untuk ingkar!" ucap Yoga dengan tegas."Baiklah, sekarang habiskan makan kalian segera agar tidak ada yang terluka. Biar nanti kami antar kalian pulang!" kata Irene."Kami bisa pulang sendiri Bunda dan Bibi. Bukankah Yoga sudah berucap?" tegas lelaki kecil itu.Aku dan Irene hanya mengangguk, lalu mereka berdua pamit dengan mencium punggung tanganku. Kuselipkan ponsel jadul miliku pada saku Amel dan juga selembar uang kertas berwarna merah, tidak lupa aku bisikan sesutu di telinga kecilnya."Simpan ini baik-baik, Sayang. Jika suatu saat Adik perlu, gunakan dengan bijak!" bisikku lirih di telinganya.Amel hanya mengangguk perlahan lalu bibir mungilnya tersenyum menatap kami berdua. Aku meraih tubuh kecil itu dan kubawa dalam dekapan, "Jangan lupakan bunda, Sayang!""Amel akan selalu ingat peristiwa ini. Janji Bunda akan selalu Amel ingat dan tunggu," kata Amel."