Share

6. Mall Tunjungan

Setelah aku menunggu selama dua hari dari hasil interview, akhirnya muncul notif di emailku yang isinya bahwa aku diterima kerja. Rasa syukur aku panjatkan atas ridho-Nya hingga aku cepat mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai minat dan bakat.

"Terima kasih, Ya Robb," ucapku kala membaca email masuk dari PT. Somplak tbk.

Aku sangat bahagia, akhirnya bisa menabung untung memulai hidup baru bersama kedua anakku kelak. 'Tunggu bunda, Sayang. Suatu saat nanti kita pasti akan berkumpul,' batinku berbicara sambil tangan ini memegang foto kedua bocah kecil itu.

Sebuah foto yang sempat aku ambil dari album tanpa sepengetahuan Mas Jasen. Hanya foto itu harta yang paling berharga bagiku saat ini. Karena foto itulah semangatku masih berkobar mempertahankan rasa ini.

"Aku harus mempersiapkan diri untuk memulai eaok hari," lirihku sambil membuka almari baju.

Kulihat tumpukan baku usang yang sudah tidak layak pakai, hatiku merasa tercubit pedih. Selama ini aku tidak memperhatikan penampilan hingga satu stel pakaian kerja pun aku tidak punya. Sepertinya aku harus berbelanja baju kerja, kuraih dompetku dan mulai menghitung uang tunai yang masih tersisa.

"Heemm, sepertinya masih cukup jika uang ini aku belikan pakaian kerja sebanyak tiga stel. Mungkin ini saja dulu yang aku pakai hingga gajian bulan depan," gumamku lirih.

"Atau aku hubungi si Irene untuk menemaniku berbelanja, iya lebih baik aku minta antar si Irene saja." lalu kuambil gawaiku untuk menghubungi gadis itu, sambungan pun terhubung. Irene mengangkat teleponku.

"Hallo, Ann. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Irene dari seberang.

"Bisakah kamu antar aku untuk membeli baju kerja hari ini, Irene?" tanyaku.

"Bisa, sepulang aku kerja nanti kujemput kamu, Ann. Siapkan dirimu lepas mahgrib yaa!" balas Irene dari seberang.

"Siap, Ndan."

Panggilan pun diakhiri oleh Irene tanpa pamit terlebih dahulu, mungkin gadis itu sangat sibuk karena hari ini adalah akhir bulan. Pasti itu anak sedang menghitung absensi para karyawan untuk menentukan gajinya. Kerjaan yang sangat rumit.

Sore hari tiba, aku gegas menyiapkan diri untuk menyambut datangnya sahabatku. Setelah melaksanakan kewajiban terhadap Robb-ku, aku pun ke luar dari flat menunggu kedatangan Irene di teras. Sebuah mobil sedan merah metalic memasuki pelataran flat Kemuning tempat tinggalku. Seorang gadis nan cantik dan modis yang berbalut rok sepanjang lutut dangan blouse sabrina keluar dari mobil itu. Senyumnya merekah kala melihatku sudah menunggu.

"Hai, Ann! Sudah lama menunggukah?" tanya Irene.

"Tidak, aku baru saja duduk belum ada lima menit. Berangkat sekarang?" tanyaku.

"Tidak, tinggu lebaran kucing ya, Ann! Iisshh iya sekarang, Nyonya!!" jawab Irene dengan nada kesal.

Aku hanya tertawa tertahan melihat wajah Irene yang sedikit kesal. Rasanya sudah lama aku tidak melihat kekesalam dari seorang Irene. Gadis itu masih saja seperti dulu suka merajuk dan manja bila bersamaku.

"Kamu yang pegang kemudi ya, Ann! Aku pengin merem sejenak selama perjalanan," ujar Irene yang terlihat lelah di wajah cantiknya.

"Apakah aku masih bisa bawa mobil ya, Irene? Nanti jika nabrak bagaimana?" tanyaku sedikit khawatir.

"Tidak apa, mati pun aku juga belum siap. Hihihi. Sudahlah bawa saja, pasti kamu bisa!" kata Irene menyakinkan kemampuanku dalam berkendara.

Akhirnya kami masuk dalam posisi masing-masing, aku yang duduk di belakang kemudi mulai bergetar. Degup jantung mulai tidak beraturan, sudah lama aku tidak pegang kemudi ada sekitar lima sampai tujuh tahun fakum. Dengan perlahan kujalankan mobil milik Irene. Satu meter, lima ratue meter sudah mobil aku jalankan dengan pelan. Akhirnya melewati kiloan meter dan sampai pada mall tempat tujuanku berbelanja.

Kulihat Irene terlelap dalam tidurnya, seakan dia tidak merasakan keanehan dalam aku kemudikan mobilnya. Terbukti gadis itu sangat lelap tidurnya, perlahan kutepuk pipinya agar Irene segera terbangun.

"Irene, hai! Bangunlah, kita sudah sampai," kataku dengan nada rendah.

Irene mengeliat pelan, tubuhnya yang lentur meliuk hingga terdengar seperti tulang patah. Selalu seperti itu bila bangun tidur, kegiatan yang rutin dilakukan Irene untuk melemaskan tulang belulangnya.

"Sudah sampai, Ya. Ternyata halus juga cara kemudimu, Ann. Masih sama seperti beberapa tahun lalu hingga membuatku sangat nyaman tetbuai dalam mimpi," cicit Irene.

Aku hanya tersenyum malu mendapati ucapan Irene. Bagiku mobil adalah kendaraan utama, tetapi sejak menikah dengan Mas Jasen aku tidak pernah pegang kemudi. Bahkan mobilku terpaksa kujual untuk menutup hutang lelaki itu akibat usahanya yang bangkrut.

Tiga tahun kami berjuang membangun kembali sebuah usaha yang lagi rame yaitu usaha kuliner. Dengam telaten aku membuat menu baru setiap minggunya hingga resto kami berkembang pesat. Hanya butuh empat tahun kami sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota di Jawa Timur.

Entah sejak kapan sikap Mas Jasen berubah kasar, yang pasti kelahiran Amel tidak mampu merubah sikap kasar tersebut. Ah, sudahlah semua tinggal kenangan. Kini statusku sudah berubah menjadi janda. Status yang masih dalam lingkup agama.

"Hai, jangan melamun saja. Jadi tidak beli baju kerjanya?" tanya Irene yang berhasil membuyarkan lamunanku.

"Eeh, jadilah. Ayo kita masuk!" ajakku.

Kami pun keluar dari mobil yang sudah kuparkir rapi. Dengan langkah pasti, kumasuki sebuah mall yang sudah lama tidak aku datangi. Sebuah mall terbesar di Kota Surabaya yang terletak pada jantung kota itu sangat ramai pengunjung. Sebuah mall hingga ada tiga cabang dalam satu lokasi merupakan pusat hiburan para pemuda Surabaya. Semua lengkap terjual di mall tersebut, mulai dari fasion, bioskop, gym hingga makanan siap saji pun juga ada.

Netraku melongo seakan bola mata ini ingin terlempar keluar melihat maju pesat mall itu. Hingga Irene menepuk lenganku halus membuatku seketika menutup mulut yang terbuka lebar.

"Makanya jadi istri itu kangan nurut sama leki seperti itu. Jadi ngilerkan lihat majunya mall Tunjungan ini!" ejek Irene.

"Apaan sih, orang temannya jujur kok malah diejek. Dasar teman tidak tahu diri!" sungutku kesal.

Seketika pandanganku berpaling dari Irene, tetapi malah bersirobok dengan netra cokelat terang milik seorang pria dengan wanita yang memeluk lengan kekarnya. Hati ini terasa tergores pisau tajam berulang-ulang.

### SA ###

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Winda Wid
ga masuk akal ga dapat apa apa dari hasil keringat sendiri .. ada yg salah min...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status