Share

Sedikit Paksaan

"

"Nak, Deff. Ayo masuk dulu. Kita sudah lama tidak berbincang." Tante Mia bersikap begitu ramah terhadap Deff.

"Eh, iya Deff. Kami masih menganggapmu keluarga lho." Putri yang baru datang di dalam juga ikut membujuk.

"Mmm, ngomong-ngomong Nak Deff sekarang kerja apa?" tanya Tante Mia berbasa-basi.

"Tidak ada, saya hanya membantu menjalankan perusahaan keluarga saya. Ya sudah, saya permisi."

Deff segera melengos dari tempat itu. Tante Mia terlihat membuang muka, karena tidak senang diperlakukan seperti itu. Padahal, dulu dia begitu angkuh terhadap Deff. Karena Deff dulu hanyalah penjual gorengan.

Pada sore harinya, Deff kembali ke rumahnya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Bibi segera mendekati, wajah beliau terlihat begitu cemas.

"Nak, Deff."

"Ada apa, Bi?"

"Anu .... Non Delia .... Bibi sudah berusaha bujuk Non Delia. Tapi, tetap aja dia ngga mau makan."

"Apa?" Deff melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah empat.

"Ya sudah, biar Deff yang bujuk dia ya, Bi."

"Iya, maafin Bibi ya Nak Deff."

"Maaf? Bibi lucu sekali. Bibi nggak salah kok, cuman Dafinanya aja yang keras kepala. Hmm, ya sudah. Deff coba bujuk dia dulu ya, Bi."

Usai berkata begitu, Deff segera mempercepat langkahnya menaiki anak tangga. Ia begitu khawatir dengan keadaan istrinya saat ini.

Ceklek! Pintu terbuka. Memperlihatkan seorang wanita yang masih menangis sesenggukan. Wajahnya terlihat sangat pucat. Matanya juga begitu memerah, karena selalu mengeluarkan air.

Deff menghela nafas berat, lalu melangkah mendekati mantan istrinya itu. Delia semakin takut, ia berusaha memundurkan tubuhnya hingga ke dinding ranjang. Dia terkurung di sana, dan langsung dikungkung oleh Deff.

"Aku mau pulang, aku nggak mau berlama-lama di sini." Ia menatap ke arah Deff yang begitu dekat dengannya.

Deff kembali menghela nafas, lalu mengusap pipi Dafina perlahan. "Sayang, ini rumahmu Sayang. Ini akan menjadi kamar kita, jika aku kembali menikahimu."

"Nggak, aku nggak mau rujuk! Nggak!" Dafina menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Hei, hei. Lihat Abang." Deff menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Delia sudah tidak mencintai Abang lagi?" tanyanya.

"Sudah kubilang, jangan sentuh aku. Lagi pula kamu juga nggak pantas dipanggil Abang, karena kamu sudah bukan penjual gorengan lagi kan?" Delia menatapnya nanar.

"Kamu lucu sekali Sayang. Mau aku tukang gorengan, CEO gorengan atau apalah itu. Aku tetap Abangmu, Sayang." 

"Bukan! Aku mau pulang ...." Delia menangis tertahan.

"Delia, menurutlah dengan Abang, ya."

"Nggak mau! Kamu jahat!" Delia memukul-mukul dada Deff dengan keras.

Tap! Deff menahan tangannya. "Delia! Dengarkan Abang!" bentaknya dengan keras. Ia menahan tangan Dafina ke sisi ranjang sembari menatapnya tajam.

Teg!

"Lepas!"

"Nggak, sebelum kamu makan, okeh? Atau, kalau kamu melawan, jangan salahkan aku jika aku melakukan sesuatu," bisik Deff perlahan.

"Me-melakukan sesuatu?" Delia nampak gugup.

Deff melirik ke arah leher serta dada mantan istrinya itu. Deff mendekatinya perlahan hingga wajah mereka hampir terimpit.

"Kau mau aku memakanmu?" tanya Deff mengancam.

"A-apa maksudmu? Jangan pernah bermimpi bisa melakukan itu padaku! Kita sudah resmi bercerai, Deff!"

"Aku bisa saja melakukannya Delia, terlebih saat kondisimu tidak berdaya seperti ini. Gampang sekali aku menerkammu, Sayang." Deff mulai menciumi wajah serta leher mantan istrinya itu. Delia menggeleng dengan keras, tapi sayangnya tenaganya kalah dengan tenaga Deff.

"Masih mau bertahan? Atau menyerah untuk makan?" tanya Deff sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan santapannya.

"Ekhh ...." Delia berusaha menahan geloranya, saat Deff mulai melucuti pakaiannya hingga melorot.

"Deff, stop! Stop! Kita sudah bukan suami istri lagi, Deff! Aakhh." Delia mulai tidak tahan.

"Tidak Sayang, sebelum kau menyerah, okeh?"

"I-iya, aku menyerah. Aku akan makan .... Ekkhh." Delia lekas menyahut, saat mulut Deff mulai menuruni tubuhnya.

Deff tersenyum, lalu menghentikan aksinya. "Jangan membohongiku! Aku mau mandi sebentar, setelah aku selesai, kamu juga harus selesai makan."

Delia mengangguk dengan cepat di saat Deff sudah mulai melepaskannya. Deff segera melepaskan pakaiannya, lalu melempar ke keranjang. Ia seolah sengaja menunjukkan bentuk tubuhnya yang sudah begitu kekar. Tidak seperti dulu.

Delia hanya menunduk sambil memakan makanan itu. Sesekali ia meminum air, karena sangat sulit untuknya meneguk makanan itu. Deff segera bergegas ke kamar mandi, kurang lebih lima menit kemudian ia sudah kembali dengan memakai handuk sebatas lutut.

"Belum selesai?" tanyanya sambil mendekati Delia yang susah payah menghabiskan makanannya.

"Be-belum," sahut Delia yang kini berusaha memasukkan beberapa sendok ke dalam mulutnya dengan cepat.

"Uhk! Uhk!" Ia mulai tersedak.

"Ssssttt, sudah, sudah. Jangan dipaksakan. Pelan-pelan saja," tegur Deff yang tak kuasa melihat Delia kepayahan.

Delia mengangguk.

"Delia, maaf. Maafkan Abang. Abang tadi tidak bermaksud memarahimu. Abang hanya tidak ingin Delia sakit." Deff menatapnya dengan tulus.

Delia masih menunduk menahan sesak di dalam dada. "Pakai bajumu." Ia menatap Deff sekilas.

"Kenapa, Sayang? Bukankah kamu sudah terbiasa melihatnya?" goda Deff semakin mendekat.

"Deff!"

"Iya, iya. Aku pasang." Deff tersenyum lalu melangkah menuju lemari. Ia mencari beberapa pakaian di dalam sana, lalu memakainya.

"Kenapa kamu menculikku?" tanya Delia tiba-tiba.

"Kapan Abang menculikmu? Seingat Abang, Abang hanya menjemput Delia pulang. Karena ini rumah kita, Sayang." Deff kembali mendekatinya, sehingga wajah mereka semakin dekat.

"Ngapain kamu menatapku begitu? Aku nggak suka!" seru Delia menunduk.

"Tapi aku suka, Sayang."

"Apa tujuanmu? Apa kau sengaja ingin menyakitiku, hah!"

Dering handphone Deff berbunyi. Ia segera mundur untuk mengangkatnya. Rupanya itu adalah panggilan dari mantan istrinya Erlan. Mereka memang sengaja kerja sama untuk menghancurkan pernikahan Erlan dengan Delia.

"Bagaimana?"

"Iya, dia aman bersamaku. Aku akan membantumu menuntut mantan suamimu itu." 

"Okeh, baiklah."

Itu adalah percakapan mereka yang sempat terdengar samar di telinga Delia. Namun, ia juga tidak mengerti apa maksudnya. Delia menatap Deff dengan penasaran, namun tetap berpura-pura memalingkan muka. Ia takut Deff kembali mendekat. Dadanya kembali berdegup dengan kencang.

Pada malam harinya. Delia mencoba menghubungi adik sepupunya, Putri. Ia meminta, Putri menjemputnya di sini. Sayangnya, Putri memang sengaja mereject panggilan dari Deff.

Delia mencoba menghubungi Erlan, ia begitu senang saat Erlan menerima panggilannya. Namun, masih tetap hati-hati agar tidak ketahuan.

"Delia kamu di mana?" tanya Erlan di ujung telepon.

"Erlan, tolong jemput aku sekarang juga. Aku akan kirimkan alamatnya nanti. Kita bertemu di dekat taman, okeh?"

"Okeh, okeh. Tunggu aku. Aku akan segera ke sana."

Delia menghela nafas lega. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas keluar. Mengendap-endap turun dari tangga. Agar tidak menimbulkan suara yang berisik dari kakinya.

Sesampainya di halaman, para penjaga rumah itu juga sedang tertidur pulas. Gampang sekali Delia keluar, tanpa harus main kucing-kucingan.

Brakkk!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status