Share

Bab 5. Seruni

Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!”

Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.

“Terserah mama saja,” katanya menyerah.

Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.

Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.

“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.

Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis secantik ini, apa lagi tinggal di kampung, kenapa belum menikah?” batin Nouval.

“Apa dia cacat?” tanya Nouval penasaran.

“Tentu saja tidak!” sergah mama cepat. “Kenapa kau bisa berpikir dia cacat?”

“Dia cantik dan manis. Usia mencukupi, sudah bekerja, lalu kenapa tidak menikah juga? Orang kampung bukannya biasa menikah muda?” Nouval menjelaskan pertanyaan di kepalanya.

“Oh, waktu itu, dua tahun yang lalu, harusnya dia sudah menikah. Hanya saja, memang belum berjodoh. Calon suaminya justru meninggal kecelakaan saat kembali dari luar negeri untuk menikahinya.” Mama tampak prihatin.

“Dia gadis yang baik. Calon suaminya itu juga dijodohkan oleh keluarga, TKI di Jepang. Setelah rencana menikah itu gagal, Seruni memilih menutup diri dan bekerja di toko bunga milik temannya saja.

“Dia gadis baik dan dari keluarga baik-baik. Percayalah. Mama sudah selidiki,” bujuk mamanya.

Nouval menatap wanita tua yang melahirkannya dengan susah payah, lalu tersenyum. Mata yang penuh harapan itu. Tak ingin dia hapus sinar harapan itu dari sana. Dia mengangguk. “Mama aturlah tapi bisakah jika tidak membuat pesta besar? Nouval juga harus menjaga hati Sassy.”

“Iyah, bagus. Mama senang sekali mendengarnya.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan lega.

Sekarang Nouval harus mencari kesempatan yang bagus untuk menyampaikan berita ini pada istrinya. Pria itu sedikit kesulitan juga untuk mengutarakan, karena memahami bahwa urusan pernikahan kedua itu, pasti akan melukai hati Sassy.

“Sayang, aku pulang ….”

Suara Nouval mengambang di udara. Tak ada Sassy yang biasa menjawab kata-katanya. Nouval naik ke kamar untuk melihat apakah Sassy ada di kamar. Namun, memang tak ada seorang pun di rumah. Meski sedikit kecewa, Nouval tetap santai. Diambilnya ponsel dan mengirim pesan.

“Kenapa belum pulang?” tanyanya. Lalu ponsel ditinggal begitu saja di meja. Dia pergi mandi untuk menyegarkan diri. Setelah itu membaca balasan pesan dari istrinya.

“Ada kawan kuliah yang kembali dari Jepang. Jadi aku mendadak pergi keluar untuk makan malam bersama beberapa kawan lain.”

Di bawah pesan itu ada foto Sassy bersama lima orang teman wanitanya di sebuah resto. Nouval tersenyum tipis. Dia mengenal semua teman kuliah Sassy yang ada di foto itu.

Sebuah pesan lain masuk belakangan. “Pesan aja dari resto untuk makan malam.”

Nouval membalas. “Iya. Bersenang-senanglah.”

Meski rumah itu terasa lebih sunyi tapi bagi Nouval itu bukan hal yang perlu dibesarkan. Sassy juga perlu diberi ruang dan waktu untuk dirinya sendiri. Bertemu teman lama ataupun memanjakan diri di salon kecantikan sesekali.

Nouval turun ke dapur. Tak ada makanan apapun di meja, karena mereka memang jarang makan di rumah. Sarapan pagi seadanya dan lanjut makan siang di kantor. Makan malam juga kadang seadanya, atau sesekali Nouval membawa pulang makanan yang dipesan di resto, untuk berganti menu.

Setelah memeriksa rak kabinet, Nouval menemukan mie instan favoritnya. Ada telur, sosis dan tomat. Itu sudah cukup untuknya. Sembari bersenandung dia masak. Tak butuh waktu lama untuk bisa menikmati makan malam hangat yang lezat sambil menonton televisi yang dia sendiri tak terlalu memperhatikan acaranya.

“Apa kau sudah makan?” pesan Sassy baru terbaca saat Nouval kembali ke kamar.

“Ya. Apa kau sudah selesai?” balasnya.

“Sebentar lagi ya. Mau kubawakan snack?” balas istrinya lagi.

“Boleh,” balas Nouval lagi. Dia sudah duduk di meja kerjanya. Berniat memeriksa beberapa pekerjaan sambil menunggu istrinya pulang.

Pukul sebelas malam, suara mobil Sassy terdengar masuk ke halaman, lalu garasi. Nouval sedang serius dengan pekerjaannya. Dia tak berniat turun ke lantai bawah untuk menyambut istrinya yang pulang malam.

“Sayang … aku pulang,” panggil Sassy dari ruang tengah.

“Aku di atas!” teriak Nouval.

“Apa kau masih kerja jam segini?” Tak lama kemudian Sassy menyusul naik. DI tangannya ada cemilan yang dia janjikan sebelumnya. Makanan kecil itu diletakkan di meja kerja Nouval.

“Jam segini masih kerja?” ulang Sassy sembari mencium pipi suaminya yang sedang serius.

“Yah … awalnya sih cuma mau menunggumu kembali. Tapi kok ya keterusan ngerjain ini, biar kerjaan besok berkurang.” Nouval kembali memperhatikan pekerjaannya.

“Aku mau mandi.” Sassy melangkah ke kamar mereka.

“Ya, istirahat saja kalau lelah. Biar kuselesaikan ini sedikit lagi,” angguk Nouval sambil terus mengetik.

***

“Kau belum selesai juga?”

Aroma sabun Sassy lebih dulu menyapu hidung Nouval, sebelum bayangan istrinya muncul di pintu ruang kerja.

“Tanggung nih,” jawab pria itu tanpa mengalihkan perhatian dari laptop.

Sassy memeluk Nouval dari belakang. Memperhatikan apa yang sedang dikerjakan suaminya.

“Apa kabar teman-temanmu?” tanya Nouval sekenanya. Dia tahu Sassy ingin bercerita, tapi mengharapkan Nouval yang memulainya.

Maka mulailah istrinya itu bicara dengan gembira. Menceritakan tentang teman-temannya yang sudah sukses, tentang pencapaian mereka, hobby mereka dan lain-lain. Nouval menimpalinya sesekali sambil terus bekerja. Sassy menyuapkan kue yang dibawanya, saat melihat Nouval bahkan tidak sempat melirik kue yang diletakkannya sejak tadi.

“Hebat sekali teman-temanmu. Sukses semua,” puji Nouval.

“Hu-um,” Sassy mengangguk senang. Meskipun sibuk, suaminya masih tetap perhatian pada teman-temannya. Sassy menguap. Diliriknya jam di dinding.

“Udah hampir jam dua belas. Aku gak kuat lagi, ngantuk.”

“Hem, tidurlah duluan,” Nouval masih merasa tanggung untuk berhenti. Sassy memberinya ciuman selamat malam dan pergi ke kamar.

Sepeninggal Sassy, jari jemari Nouval justru berhenti mengetik. Matanya melihat laptop dengan tatapan kosong. Dia kehilangan momen untuk menyampaikan berita siang tadi pada istrinya.

Sambil meremas rambut dan memejamkan mata, disandarkannya punggung ke sandaran kursi. Pikirannya berkecamuk. “Apakah menikah lagi adalah jalan terbaik untuk bisa punya anak?”

“Bisakah sebuah pernikahan berjalan tanpa didasari oleh cinta?” batinnya terus bergolak.

Akhirnya laptop dimatikan, dan dia kembali bersandar sambil membuka ponsel. Mencari-cari info tentang pernikahan pilogami. Kepalanya menjadi makin panas dan hatinya menciut kala mendapatkan kenyataan bahwa banyak pernikahan poligami yang akhirnya menghancurkan rumah tangga pertama. Nouval merasa tak sanggup jika harus melukai Sassy. Dia sangat mencintai istrinya itu. Rumah tangga mereka harmonis dan bahagia selama ini. Kecuali ketiadaan anak yang membuat orang tuanya tidak bahagia.

Nouval terngiang kata-kata papanya. “Jika kalian memutuskan untuk tidak punya anak, lalu untuk siapa pencapaian yang kalian capai seumur hidup? Warisan harta benda itu untuk siapa? Saat tua seperti kami, siapa yang akan membantu mengurus hidup kalian nanti?”

“Mama dan papa ada benarnya,” lirih Nouval.

Dia kembali ingat apa yang siang tadi dikatakan mama sebelum pulang. “Nak, kebahagiaan memiliki keturunan itu sangat berbeda dengan kebahagiaan memiliki pasangan. Mama tak pandai menjelaskannya. Jadi biar kau rasakan sendiri, nanti.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status