Share

Bab 6. Hal Penting

Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.

“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.

“Bukan.”

Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.

“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.

“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.

“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan baru pulang dari Jepang.

“Dia mengajak untuk joint agro bisnis dengan teman-teman yang lain. Yang kemarin ngumpul bareng itu hlo,” jelas Sassy.

“Kamu kan enggak ngerti bisnis beginian,” kata Nouval.

“Ya belajar dong. Kan pada dasarnya aku ngerti bisnis. Cuma kurang paham seluk beluk agro industri.” Sassy mencoba menjelaskan pada suaminya.

“Ngumpulin modal dong?” kejar Nouval. Dia selalu berhati-hati soal pengumpulan modal bersama. Sebagai seorang pengacara, dia sangat mengerti resiko yang akan dihadapi orang-orang yang mengumpulkan modal tanpa kejelasan.

“Ya iyalah. Itulah yang kemarin lama kami bicarakan. Dan tadi pagi, semua sudah setuju untuk bersama membuka usaha agrobisnis,” tambah Sassy lagi.

“Jadi kamu udah menyetujui?” Nouval mengangkat kepalanya. Tak biasanya Sassy membuat keputusan sebelum berdiskusi dengannya. Terutama untuk urusan yang tidak sederhana seperti membentuk usaha ini.

“Iya.” Sassy sedikit terkejut ketika menyadari bahwa Nouval tidak dimintainya pendapat sebelum membuat keputusan.

Kepala Nouval sedikit miring dan memandangnya dengan ekor mata. Lirikan sangat tajam yang khas, tanda Nouval tak suka. Setelah menghela napas, Nouval kembali bertanya. “Kamu sudah transfer?”

“Jumlahnya besar, Jadi aku harus bicarakan dengan bagian keuangan dulu.” Sassy menunduk, menyadari kesalahannya.

“Berarti kamu mau alihkan  modal usaha yang sedang bagus itu, ke hal yang kamu belum pelajari resikonya?” Pertanyaan Nouval makin tajam.

“Irene sudah mempelajarinya. Resikonya kecil. Dan modal besar itu adalah untuk pembelian lahan usaha, bu---”

“Kau belum mempelajari resikonya?” Nouval memotong ucapan istrinya. Sekarang dia meletakkan sendok dan serius menghadapi Sassy.

Sassy mengangguk, mengakui. “Akan kupelajari lagi, sebelum mengirimkan uang,” katanya kemudian.

“Bagus!” Nouval kembali melanjutkan makannya yang terhenti. Dia tahu Sassy sudah menyadari kekeliruannya.

“Aku ada sidang pagi.” Nouval berdiri setelah kopinya habis. Istrinya mengikuti dan mengantar hingga pintu garasi. Melambai saat mobilnya keluar dari pagar.

Siang hari, telepon dari Sassy masuk. Nouval sedang makan siang dengan koleganya di café tak jauh dari gedung pengadilan.

“Ya, Sayang,” sahut Nouval lembut.

Teman-teman kerjanya tersenyum dan mengetahui bahwa itu pasti dari istri Nouval. Mereka sudah biasa mendengar kemesraan pria itu setiap bertelepon dengan Sassy. Mereka memberinya gelar si Bucin. Karena terlalu cinta dan penurut pada istri.

“Kau benar,” ujar Sassy dari seberang.

“Benar apanya?” Nouval masih belum mengerti arah pembicaraan Sassy.

“Investasi yang ditawarkan Irene!” jawab Sassy cepat.

Noval langsung tanggap. “Apa dia punya masalah investasi di tempat lain?”

“Bagaimana kau tahu?” tanya istrinya heran.

“Aku seorang pengacara. Hal yang seperti ini biasa berakhir dengan kasus hukum,” jawab Nouval.

“Untung kau mengingatkanku untuk mempelajari lagi resikonya. Jadi tadi, kupelajari semua hal, termasuk kegiatannya selama di Jepang.”

Nouval mendengarkan istrinya bercerita. Bahwa sebelumnya temannya itu juga sudah pernah wan prestasi dalam investasi dengan teman-teman kerjanya di Jepang. Itu juga sebab dia dipecat dan akhirnya pulang ke indonesia. Dia harus membayar ganti rugi sejumlah besar uang pada para investor di sana.

Nouval hanya bisa menghela napas. “Apa teman-temanmu, sudah ada yang transfer uang ke dia?” tanya Nouval lagi.

“Ya. Lidya sudah mentransfer 50 juta dan dalam bentuk giro 50 juta lagi,” jawab Sassy.

“Apa kau sudah beri tahukan pemeriksaanmu pada Lidya?” Nouval menjadi serius sekarang. Istrinya dan teman-temannya mengalami penipuan dengan skema investasi tidak jelas.

“Setelah aku memperlajarinya dan curinga, langsung kuhubungi Lidya yang kemarin sangat tertarik. Dia terkejut. Sebab, baru setengah jam sebelumnya, dia ketemuan lagi dengan Irene, untuk memberikan giro, setelah mentransfer  uang.”

“Apa lagi tindakannya?” tanya Nouval.

“Dia pergi ke bank untuk membatalkan gironya. Katanya dia akan bicara lebih jelas lagi dengan Irene, baru giro itu bisa dicairkan.”

“Ku sudah peringatkan teman-temanmu yang lain?”

“Ya. Tapi mereka justru merasa aku yang tidak ingin memberi kesempatan pada Irene untuk berubah dan membantunya membangun usaha, agar bisa membayar hutang-hutangnya di Jepang!”

Nouval bisa mendengar nada suara Sassy yang jengkel. Istrinya mungkin sedang kesal pada teman-temannya.

“Kalau mereka enggak mau diingatkan, ya sudah. Tinggalkan saja. Resiko kan mereka tanggung sendiri,” hiburnya.

“Terima kasih ya, Sayang … udah mengingatkanku untuk berada di jalur yang benar.”

Suara lembut Sassy yang mengakui kekeliruannya, membuat hati Nouval berbunga-bunga. Itulah yang dia sukai dari Sassy pada awal mereka bertemu. Sassy tidak alergi mengakui kesalahan jika memang dia salah. Tidak seperti umumnya wanita yang memegang prinsip ‘Wanita Tidak Pernah Salah’.

“Oke. Aku ada meeting lagi dengan client setelah ini.”

Nouval melihat rekan-rekannya sudah berdiri dan selesai dengan makan siang serta obrolan mereka.

“Oke. Love You!” sebuah kecupan dari balik telepon, mengakhiri percakapan mereka.

***

Sore hari, pesan mama masuk. “Besok mama akan ke kampung dan melamar Seruni.”

Nouval terkejut. Dia lupa soal Seruni, seharian ini. “Hadduh ….” Tangannya memukul dahi sambil mengerutkan wajah.

“Kenapa, Pak?” Rita sekretarisnya bertanya.

“Ah … bukan apa-apa. Aku hanya lupa sesuatu. Untung tadi mama sudah mengingatkan.” Nouval tersenyum canggung.

 “Oh, saya kira ada pekerjaan yang salah,” tambah Rita.

Nouval menggeleng. Diambilnya ponsel dan mengirim pesan pada istrinya. “Nanti pulang jam berapa?”

“Jam tujuh.” Balasan masuk lima menit kemudian.

“Jangan makan di luar. Aku yang beli makanan nanti malam,” Nouval mengirim pesan berikutnya.

“Oke. Aku kepingin barbekyu,” balas Sassy.

“Akan kusiapkan!”

Noval melirik jam di pergelangan tangan. Sementara pekerjaannya hari itu sudah selesai. Jadi, dia segera mematikan laptop dan bersiap untuk berbelanja, membeli pesanan istrinya.

Pukul enam, Nouval sudah sampai rumah. Dia langsung mandi dan berganti pakaian. Kemudian mulai mempersiapkan semua bahan dan menyimpannya di kulkas. Setengah tujuh, arang sudah mulai dibakar, agar siap tepat waktu saat Sassy pulang.

Nouval mengirim pesan lagi. “Aku sudah siapkan semua. Langsung pulang ya ….”

Hingga lima belas menit, belum ada balasan dari istrinya. Dengan dahi mengerut, ditelponnya Sassy. “Kau sudah di mana?”

“Masih rapat,” sahut Sassy dengan suara kecil.

“Bukannya kita mau barbekyu malam ini?”

“Aku pulang jam tujuh. Tunggu saja,” balas Sassy, langsung mematikan telepon.

Nouval menggaruk-garuk kepala. Memang Sassy tadi sore bilang pulang jam tujuh. Dia yang salah memahami.

Jam delapan lewat baru istrinya sampai di rumah. Wajahnya terlihat sangat letih. Dia langsung duduk menghempas di sofa.

“Capek?” tanya Nouval sambil membawakan segelas jus yang sudah tidak fresh lagi, sebab sudah disiapkan sejak petang.

“Yah … ada sedikit perubahan dalam pembuatan iklan. Jadi kami harus merombak banyak hal dan mengerjakan ulang hampir semuanya!” kata Sassy kesal setelah minumannya habis.

“Pasti lapar. Biar kuambilkan barbekyunya.” Nouval berdiri dari duduk.

“Gak usah. Karena rapat melewati jam makan, maka client membelikan makan malam untuk kami semua.” Mata Sassy dipenuhi rasa bersalah.

Nouval tertawa kecil. “Untungnya aku tidak tahan melihat semua itu di kulkas, jadi langsung memanggangnya saat bara sudah menyala bagus. Aku juga sudah makan tadi.”

“Syukurlah.” Sassy tersenyum lega.

***

 “Aku mau mengatakan sesuatu,” bisik Nouval sambil memeluk istrinya di tempat tidur.

“Apakah sangat penting? Aku ngantuk banget,” sahut Sassy dengan mata terpejam.

“Penting!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status