Share

Merasa Kehilangan

#Part_03

 

 

Raya sungguh berbahagia. Cita-citanya melanjutkan pendidikan di tempat impian akan segera tercapai. Rayi dan ndoro putri Anjani telah berhasil meyakinkan ibunya.

 

"Nduk, nanti di sana jangan nakal ya. Bawa diri baik-baik. Belajar yang rajin. Jangan bikin malu Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati berlinang air mata menasehati putri bungsunya. Diusap lembut kepala Raya dengan penuh kasih sayang.

 

"Iya, Mbok. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh." Raya memeluk erat simboknya. Mereka seakan tak ingin berpisah.

 

Mbok Yati memiliki tiga buah hati. Dua laki-laki dan satu perempuan. Ayah Raya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Kehadiran Raya merupakan rizki terindah yang tak ternilai. Ia menjadi pelipur lara dalam kesedihan. Sejak saat itu semua kebutuhan mbok Yati dan ketiga anaknya menjadi tanggung jawab keluarga Rayi.

 

Rayi dan Raya berpamitan. Mereka diantar pak Kusno ke terminal. Sepanjang perjalanan Raya hanya bisa menangis hingga tertidur di bahu kekar tuan muda. Untuk kesekian kali dada Rayi berdebar. Kian lama semakin kencang membuatnya tampak salah tingkah. 

 

Nafas Rayi mulai sesak mendengar lenguhan Raya. Gadis kecil yang dulu--teman bermain bersama--kini sudah beranjak remaja. Berparas cantik dengan bibir tipis merah merona. Tak bosan-bosan tuan muda itu memandanginya. 

 

Setelah hampir satu jam menyusuri jalanan beraspal, Pak Kusno--sopir pribadi keluarga Rayi akhirnya menepi. Ia segera turun dan mengambil barang-barang tuannya. Ia sangat terkejut melihat Raya tertidur di bahu tuan muda. Segera ia menjulurkan tangan mencoba membangunkan Raya.

 

"Raya, bangun. Kita sudah sampai." Pak Kusno masih terus menggoncang tubuh Raya. Ia takut Rayi murka.

 

"Jangan, Pak. Gak apa-apa." Rayi tersenyum. Ia pun menyandarkan punggungnya.

 

Pak Kusno mematung mendengar jawaban tuan muda. Sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam-garam, dia merasa ada sesuatu yang tak biasa dengan putra Anjani. Tetiba lelaki tua itu tersenyum geli, mengingat masa mudanya.

 

Semilir angin membuai Raya, hawa sejuk yang tercipta membuat gadis itu semakin merapatkan tubuh. Tanpa sadar ia mengendus-endus dan mengeratkan pelukan di lengan tuan muda. Ia sangat menikmati wangi Citrus dari parfum yang dipakai Rayi. Gadis cantik itu menggosok-gosokkan wajah hingga hidung bangirnya memerah dan sesekali terlihat tersenyum.

 

Rayi semakin tak karuan. Entah apa yang ada dipikirannya. Mata, hidung, bibir dan wajah nan ayu Raya telah memabukkan dirinya. Jarak mereka sangat dekat hingga membuat pria dewasa itu sangat sesak.

 

Merasa mobil sudah tidak bergerak, Raya mengerjap. Perlahan ia bangun dan memindai sekitar. Ia terkejut tangannya memeluk erat lengan Rayi, seketika ia menggeser duduknya. Ia tertunduk malu tak berani menunjukkan wajah.

 

"Maaf, Den, saya tidak sengaja. Saya ketiduran. Maaf, maaf." Raya menakup kedua tangan di depan dada. Ia terlihat sangat menyesal.

 

"Udah, nggak apa-apa." Jawab Rayi datar, menutupi kegugupannya. Sesaat bersama membuat pria itu sangat bahagia.

 

Di belakang Raya, Rayi berpesan pada pak Kusno untuk tidak memberitahu kejadian itu pada siapapun. Termasuk juga pada Mbok Yati, ibu Raya. Pelayan setianya itu mengangguk, mematuhi perintah majikannya.

 

Raya terus menunduk, mengikuti langkah Rayi. Ada rasa sesal dan takut. Mengetahui hal itu tuan muda tersenyum geli. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke pesantren dengan menaiki angkutan umum.

 

Azan Zuhur berkumandang ketika mereka tiba di pelataran pesantren. Teman-teman Rayi segera menghampiri saat melihat kedatanganya. Ia begitu dihormati. Dari tempatnya berdiri, Raya diam-diam memperhatikan. Terlihat salah satu dari mereka membawakan barang-barang bawaan Rayi dan meletakkan di atas meja penitipan.

 

Raya masih berdiri terpaku, dipandangi lingkungan masjid dan sekitar. Begitu luas, rapi, asri, dan juga sangat bersih. Banyak santri yang berlalu lalang ke masjid membuatnya tak sabar menjadi santriwati dan diakui sebagai keluarga besar.

 

Rayi segera menghampiri Raya. Ia menunjukkan tempat khusus jemaah wanita. Setelah berjemaah, Rayi menunggu di meja penitipan. Rambut yang basah membuatnya semakin tampan paripurna. Mata elangnya tak berkedip melihat Raya menuruni anak tangga. Dengan sedikit sapuan bedak dan pelembap bibir, Raya terlihat begitu memesona. "Duh, Gusti." Ucap Rayi lirih.

 

"Den, jangan lihat saya seperti itu." pinta Raya menyadari putra Anjani menatap lekat. Rayi pun tampak salah tingkah.

 

"Udah siap? Ayo sekarang ke bagian pendaftaran." Rayi mengalihkan pembicaraan.

 

Tempat pendaftaran santri putra dan putri berbeda. Mereka harus berjalan kurang lebih lima ratus meter untuk mencapainya. Raya tertatih-tertatih mengikuti langkah tuan muda yang berjalan sangat cepat. Berulangkali ia meminta berhenti untuk beristirahat sejenak.

 

"Aden sebaiknya jalan duluan sajalah. Tunggu saya di sana." Raya memberanikan diri menyampaikan isi hatinya.

 

"Gitu aja udah capek. Di sini harus serba cepat Raya. Makan, mandi, jalan juga harus cepat. Kalau perlu lari." Rayi menggurui gadis kecil di belakangnya.

 

"Terserah, Aden aja." Raya masih dengan nafas terengah.

 

"Asem tenan bocah iki, " gumam Rayi.

 

"Aden, ngomong apa?" tanya Raya. Dia merasa Rayi mengatakan sesuatu tentangnya.

 

"Gak, ada." Rayi mengelak.

 

Mereka pun berdebat. Rayi mengaku kalah dan bersedia mengikuti jejak kaki kecil Raya. 

 

"Untung aja kamu cantik." ledek Rayi.

 

"Apa, Den? Memang aku cantik." Raya menjulurkan ujung lidahnya, membalas ledekan Rayi.

 

"Gusti ... Gusti ... Gusti. Kuatkan iman."' ucap Rayi lirih. Ia terpaku. Raya tampak semakin menggemaskan dengan tingkahnya. Tanpa sadar gadis kecil itu telah berlalu mendahuluinya.

 

"Raya, tunggu!" Rayi bergegas mengejar.

 

Mereka saling berkejaran. Bukan hal baru karena sejak dulu mereka memang tidak pernah akur. Entah dirinya atau Raya yang memulai selalu saja ada keributan di rumah.

 

"Dasar gemblung." Rayi memukul pelan kepala Raya. Ia menggerutu karena gadis itu telah mengerjainya.

 

"Salah sendiri kenapa berhenti." Raya membeli diri. "O ya, Den, kalau nanti saya diterima, Aden jagain simbokku, ya. Pasti simbok kesepian gak ada yang gangguin."

 

"Iya. Dasar aneh." jawab Rayi sambil mempercepat langkah.

 

Waktu penerimaan santri dan santriwati baru selesai. Selama dua Minggu ke depan, Raya dan teman-temannya akan melaksanakan tes penyaringan. Ia sangat beruntung didampingi Rayi, banyak teman-teman alumni yang menawarinya bantuan.

 

Rayi mengajak Raya ke salah satu kediaman temannya yang menjadi pengasuh pondok putri. Selama masa test, Rayi sangat telaten mendampingi gadis cantik itu belajar. Semua hal yang ia ketahui, diajarkan padanya.

 

Dari menit ke menit, Rayi merasa ada sesuatu yang berbeda sangat kuat saat berdekatan dengan Raya. Dia merasa bahagia dan sangat berbunga. Wajah polos nan ayu, tingkah dan polah yang lucu serta menggemaskan membuat Rayi gelisah dan terjaga setiap malam. Ada getaran-getaran halus saat mereka tidak sengaja bersentuhan.

 

Setiap hari Rayi menunggu Raya di depan gerbang. Melihat Raya keluar dengan senyuman, Rayi semakin mabuk kepayang. Ia telah jatuh cinta dengan Raya putri pembantunya yang setia. Usia mereka terpaut jauh. Namun, Rayi tak memedulikannya.

 

Hari pengumuman telah tiba. Seluruh calon santri baik putra maupun putri menunggu di aula terbuka. Mereka semua berharap cemas, tak terkecuali Raya.

 

Dag Dig dug jantung gadis itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia sangat takut mengecewakan Rayi dan keluarga. Ia hanya bisa berdoa berharap semua sesuai dengan hasil kerja kerasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status