Share

Senyum Anjani

#Part_07

 

 

Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.

 

Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih. 

 

Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stabil. Mereka akhirnya dapat tersenyum lega, ibu Rayi telah melewati masa kritis. Perlahan jari lentiknya bergerak-gerak dan menyebut nama putra tercinta. "Rayi ... Rayi."

 

Mendengar ucapan Anjani, dokter dan perawat berucap syukur. Mereka sangat bahagia kerja kerasnya membuahkan hasil. Seketika dokter itu meminta salah seorang perawat menghubungi keluarga pasien. "Sus, panggil keluarganya segera. Mereka pasti sangat bahagia mengetahui hal ini."

 

"Baik, Dok." segera perawat itu keluar ruangan dan memanggil keluarga pasien. "Keluarga ibu Anjani ... keluarga ibu Anjani!"

 

 

Suara perawat menggema di depan pintu. Ia memindai sekitar mencari-cari keberadaan tuan muda.

 

"Iya, saya. Saya putranya, Sus." Rayi berjalan cepat mendekati perawat. Antara perasaan senang dan sedih bercampur mendengar penuturan perawat itu. Rayi sudah tak sabar ingin menemui Anjani yang baru siuman . Setelah mengenakan pakaian khusus, Rayi pun dipersilakan masuk.

 

"Bu e ..." Rayi menangis tersedu sambil memeluk erat ibunya. Rasa takut akan kehilangan perlahan memudar. Ia berulang kami meminta maaf telah menyakiti hati wanita yang telah melahirkannya. Diraihnya tangan yang terpasang selang infus itu dan mencium takzim. Bahunya tampak bergucang disertai isak tangis.

 

"Jangan nangis, Le. Bu e gak apa-apa. Cuma lemes aja." Ndoro mengusap kepala putra kesayangan. Air matanya luruh menyaksikan Rayi menangis tersedu. Mereka saling berpelukan erat. Dokter dan perawat yang menyaksikan menjadi terharu melihat hal itu. Mereka pun izin meninggalkan ruangan untuk proses pemindahan pasien ke ruang rawat inap.  

 

"Terima kasih banyak, Dok, Sus." Rayi mengantarkan sampai depan pintu. Ia kemudian memanggil Mbok Yati dan Pak Kusno. Mereka berhak merasakan kebahagiaan yang sama. Berkat doa mereka juga, Anjani cepat pulih. Tak henti Rayi mengucapkan banyak terima kasih pada kedua pelayan yang sangat setia. Begitu juga dengan Anjani.

 

"Mbok Yati, pak Kusno maturnuwun sudah menemani Rayi." ucap Ndoro Anjani. Suaranya masih terdengar lirih.

 

"Mbok, pak, kalian boleh pulang. Biar saya yang jaga Bu e di sini." Pinta Rayi pada para pelayannya setelah menyeka air mata. Ia tahu keduanya sudah sangat lelah.

 

"Saya mau tetap di sini, Den. Mau nemani Ndoro Anjani." Mbok Yati memaksa tinggal. Rayi dan Anjani tampak saling lempar pandang kemudian mengiakan.

 

"Kalau gitu, Pak Kusno yang jaga rumah, ya. Besok, pagi-pagi ke sini jemput mbok Yati." Pinta Rayi. 

 

"Siap, Den. Kalau gitu saya pamit sekarang. Lampu rumah juga belum dinyalakan," ucap pak Kusno. Ia pun berlalu meninggalkan majikan dan tuannya.

 

Malam itu juga Ndoro Anjani dipindah ke ruangan VIP. Rayi sengaja memesan supaya ibunya bisa tenang saat  beristirahat. Mbok Yati dan Rayi berjaga di sofa. Mereka kemudian berbincang hangat selayaknya ibu dan anak.

 

"Syukur alhamdulillah Ndoro Anjani sembuh. Tadi saya sangat khawatir. Selama ini ndoro nggak pernah sakit gitu. Amit-amit, jangan sampai kejadian lagi. Ampun ya Allah." Mbok Yati mengangkat kedua tangan memohon. Melihat hal itu Rayi tersenyum, Mbok Yati tampak seperti anak kecil.

 

"Oya, Den ... kira-kira lebaran ini, Raya boleh pulang nggak, ya? Saya sudah kangen." tanya mbok Yati sembari mengurut-urut kedua kakinya.

 

 

Rayi tampak salah tingkah. Rindunya juga sangat dalam. Namun, ia tak bisa mengutarakan pada siapapun sebelum Raya membuka hati untuknya. Ia ingin mendengar pengakuan gadis itu. Selama penantian keberadaan Mbok Yati sedikit mampu mengurangi beban hati yang terpendam. 

 

"Tentu saja boleh, Mbok. 'Kan sudah libur. Tergantung Raya juga, mau pulang apa nggak. Kalau nggak pulang pun temannya banyak." Rayi mencoba menjelaskan tradisi di pesantrennya. 

 

"Tolong nanti suruh pulang aja, ya, Den." Mbok Yati menarik selimut. Rayi membantu merapikan membuat pelayannya itu salah tingkah. Tak berapa lama ia pun terlelap. 

 

 

Malam semakin larut, tetapi Rayi masih terjaga. Ia bertanggung jawab mengawasi dua wanita hebat itu. Dipandanginya Mbok Yati yang sudah terbuai di pangkuan malam. Wajah yang mulai mengeriput, rambut yang memutih menjadi saksi betapa ia bekerja keras menghidupi buah hatinya. 

 

 

Rayi segera meraih selimut mbok Yati yang terjatuh dan memasangkan kembali. Pesan dari sang pujaan selalu terngiang di telinga. Dengan tatapan lekat, ia memohon supaya tuan muda selalu menjaga ibunya tercinta. 

 

Malam kian larut. Namun, Rayi masih belum dapat memejamkan mata. Ia pun memutuskan keluar kamar. Menatap langit gelap luas tanpa batas, mengagumi keindahan yang Allah berikan. Tak ada seorang pun berlalu lalang. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang terdengar nyaring bersahutan. 

 

Suka, duka, dan lara semua telah Rayi alami. Banyak harapan dan juga impian yang ingin diwujudkan. Semua takkan terjadi tanpa doa dan dukungan semua orang yang sangat menyayanginya. Tak henti ia berucap syukur.

 

Tiba-tiba saja angan Rayi menerawang. Tak lama lagi Ramadan akan segera tiba, seluruh santri dan santriwati akan pulang. Ia berharap Raya akan berpikir sama. Hal indah seketika memenuhi benak tuan muda. Ia menarik sudut bibirnya, membayangkan wajah cantik dan polah menggemaskan Raya yang selalu menggoda. Dadanya mendadak berdegup kencang, ia sudah tak sabar ingin segera berjumpa.

 

Beberapa jam menjelang fajar angin berembus semakin kencang, terasa sangat dingin menusuk ke dalam tulang. Rayi menggigil, ia pun segera masuk ke kamar. Tak lupa ia mengatur suhu ruangan supaya tetap nyaman. Sebelum tidur seperti biasa tuan muda itu melaksanakan salat malam. Setelahnya ia menjatuhkan diri di kursi di sisi Anjani. Ia tak mau kejadian buruk kembali menimpa wanita yang telah melahirkannya.

 

Sayup-sayup terdengar gema tilawah,  mengalun merdu menenangkan jiwa. Tak lama Anjani pun mengerjap. Kesadarannya sudah benar-benar pulih. Perlahan ia duduk, lalu menyandarkan tubuh yang masih lemah. Dengan buku-buku jari, ia merapikan rambut yang panjang tergerai kemudian menggulungnya. Matanya memindai ke seluruh ruangan.

 

Tak lama Mbok Yati pun terbangun. Ia segera bangkit mendapati majikannya yang sudah lebih dulu terbangun. Ibu Raya itu pun segera menghampiri kemudian bertanya apakah Anjani membutuhkan sesuatu.

 

"Nggak usah, Mbok. Saya bisa sendiri." Anjani perlahan turun dari ranjang rumah sakit. Mbok Yati segera menyiapkan sandal kemudian mengiringi langkah Anjani. Beberapa saat berlalu, tampak sang majikan telah keluar dengan wajah lebih segar. Ia pun gantian menuju toilet untuk persiapan salat Subuh.

 

Merasa ada gerakan di ranjang, Rayi pun terbangun. Ia segera mendekati Anjani khawatir terjadi sesuatu padanya.

 

"Bu e mau apa? Mau minum?" tanya Rayi cemas. Ia merapikan selimut menutupi kedua kaki jenjang Anjani. "Bu e mau salat? Rayi panggilin Mbok Yati, ya?"

 

Anjani tersenyum. Ia bahagia Rayi sangat memperhatikannya. Dengan lembut mengatakan ia baik-baik saja dan bisa mengerjakan sendiri. Ia pun meminta putranya itu ke musalla. "Udah, kamu salat dulu sana. Nanti ketinggalan jemaah."

 

Rayi pun segera menghampiri Mbok Yati yang baru saja keluar dari toilet. Ia meminta supaya menjaga ibu tercinta. Setelah berpamitan Rayi pun bergegas keluar kamar. 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status