Share

Menyadarkan Mertua Pelit
Menyadarkan Mertua Pelit
Author: HERI_NAYALBIL

Bab 1

"Ini uang untukmu, seminggu cukup?" tanya suamiku Hendra. Kubuka lembaran merah, hanya selembar untuk seminggu?

"Seratus ribu, Mas?" tanyaku balik setelah membuka lipatan kertas berwarna merah itu. Wajahnya yang sengaja ia tundukkan kini menyorot pandangan ke arahku.

"Iya, itu 100.000 rupiah sekalian token listrik 50.000 ya, Dek. Tolong ikhlaskan!" Ia memohon dengan menggenggam tangan ini.

Aku tersenyum tipis, kemudian pergi membeli token listrik. Suara bunyi alarm yang telah berdering sejak maghrib tadi, akhirnya hening saat aku pulang dan menekan nomor pembelian token.

Dari uang yang ia berikan selama seminggu ini, tersisa 47.000 rupiah. Entahlah cukup atau tidak uang segini, aku harus memikirkan cara sendiri agar cukup dan kebutuhan dapur terpenuhi.

Mas Hendra pun merebahkan tubuhnya, ia menceritakan perihal pekerjaannya.

"Aku ingin cerita, Dek. Boleh?" tanyanya. Namun, rasa kesal masih ada di dalam dada atas pemberian nafkah yang menurutku tidak akan cukup untuk bertahan hingga seminggu.

Aku mengangguk, tanpa suara hanya memberikan kode bahwa aku akan mendengarkan curhatannya.

"Tadi Ibu ke tempat kerja, Dek." Aku terkejut mendengarnya. Selama ini, aku istrinya tak berani ke sana.

"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran. Apa ini ada kaitannya dengan uang jatah belanjaku yang tiba-tiba berkurang? Biasanya Mas Hendra memberikan uang gaji mingguannya 500.000 rupiah. Ini tidak ada separuhnya, dipotong token listrik pula.

"Kasih, Dek. Ia minta beli ponsel, ngerengek pada Ibu. Kalau tidak dibelikan ponsel, ia ingin bunuh diri," sahut Mas Hendra. Astaga, aku pikir, suamiku sudah selingkuh, sampai-sampai ia memotong jatah mingguanku dengan setega itu.

"Lalu kamu berikan uang pada Ibu? 400.000 mana cukup untuk beli handphone?" tanyaku lagi.

"Katanya kredit, Dek. Ada yang mau kreditin handphone," jawabnya.

"Seminggu 400.000 nyicilnya? Handphone iPhone?" sindirku sambil mengangkat bibir ini.

"Nyicil seminggu paling seratus, Dek. Sisanya untuk Ibu. Tadi dia maksa, aku malu di pabrik banyak orang," celetuknya membuatku geram.

Aku tarik selimut, lalu tidur, tak peduli dengan uang yang Mas Hendra berikan. Entahlah mau kuapakan tuh uang.

***

Pagi-pagi sekali, Mas Hendra sudah bergegas berangkat ke pabrik. Aku tidak ingin terlalu menyalahkan Mas Hendra. Semoga ke depannya ia bisa adil dan bertindak tegas.

Saat ini, yang aku pikirkan hanyalah uang 47.000 itu aku harus apakan agar cukup untuk makan seminggu. Mas Hendra pun harus rela mengalah demi ibunya. Ia bersepeda ke pabrik tempat ia bekerja.

Aku ambil ponsel yang berada di atas meja. Ada keraguan untuk mencari kontak yang sudah lama tidak aku hubungi, dengan mundur maju aku pun menekan tombol panggilan. Semoga ia masih menganggapku sebagai seorang anak.

"Halo, Pah. Kangen nggak sama Irma?" tanyaku ragu-ragu, tapi ini terpaksa aku lakukan.

"Ada apa, Nak? Kamu kesulitan bersama Hendra?" tanya papa. Aku terdiam, malu mengeluhkan kesulitanku terhadapnya.

"I-iya, Pah. Ada masalah sedikit, Papa mau bantu?" tanyaku malu-malu.

"Papa sudah transfer dari tadi malam, Papa tahu kamu kesulitan, Nak. Penjaga counter yang kamu isi token yang mengadukan hal ini pada Papa."

"Maaf, ngerepotin Papa. Aku janji ini yang terakhir kalinya." Rasanya janji ini sudah kesekian kalinya. Setiap kali kesulitan meskipun tiga bulan sekali, pasti aku minta bantuannya.

"Nak, pulanglah! Kamu jangan pura-pura susah lagi di depan mertuamu, Papa merestui kalian!" seru papa. Namun, aku tidak ingin membongkar rahasia ini, sebelum Mas Hendra sungguh-sungguh bersikap adil terhadapku, dan sebelum mengetahui sifat asli mertua dan adik iparku.

Tiba-tiba ibu datang tanpa mengetuk pintu rumahku.

"Irma, kamu nelepon siapa?" tanyanya. Aku matikan ponselnya agar ia tak mengetahui bibit asliku.

"Telepon teman, pinjam uang," cetusku di hadapan mertua.

"Apa? Jangan menyulitkan Hendra, kasihan dia kalau kamu utang kan yang bayar anak saya," celetuknya membuatku mengelus dada.

Rupanya ia tak menyadari bahwa gara-gara memberikan sejumlah uang untuk membelikan anak bungsunya ponsel, Mas Hendra harus rela memberikanku nafkah hanya 47.000 seminggu.

_______

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status