Share

Menyadarkan Mertua Pelit
Menyadarkan Mertua Pelit
Penulis: HERI_NAYALBIL

Bab 1

Penulis: HERI_NAYALBIL
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-01 23:26:05

"Ini uang untukmu, seminggu cukup?" tanya suamiku Hendra. Kubuka lembaran merah, hanya selembar untuk seminggu?

"Seratus ribu, Mas?" tanyaku balik setelah membuka lipatan kertas berwarna merah itu. Wajahnya yang sengaja ia tundukkan kini menyorot pandangan ke arahku.

"Iya, itu 100.000 rupiah sekalian token listrik 50.000 ya, Dek. Tolong ikhlaskan!" Ia memohon dengan menggenggam tangan ini.

Aku tersenyum tipis, kemudian pergi membeli token listrik. Suara bunyi alarm yang telah berdering sejak maghrib tadi, akhirnya hening saat aku pulang dan menekan nomor pembelian token.

Dari uang yang ia berikan selama seminggu ini, tersisa 47.000 rupiah. Entahlah cukup atau tidak uang segini, aku harus memikirkan cara sendiri agar cukup dan kebutuhan dapur terpenuhi.

Mas Hendra pun merebahkan tubuhnya, ia menceritakan perihal pekerjaannya.

"Aku ingin cerita, Dek. Boleh?" tanyanya. Namun, rasa kesal masih ada di dalam dada atas pemberian nafkah yang menurutku tidak akan cukup untuk bertahan hingga seminggu.

Aku mengangguk, tanpa suara hanya memberikan kode bahwa aku akan mendengarkan curhatannya.

"Tadi Ibu ke tempat kerja, Dek." Aku terkejut mendengarnya. Selama ini, aku istrinya tak berani ke sana.

"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran. Apa ini ada kaitannya dengan uang jatah belanjaku yang tiba-tiba berkurang? Biasanya Mas Hendra memberikan uang gaji mingguannya 500.000 rupiah. Ini tidak ada separuhnya, dipotong token listrik pula.

"Kasih, Dek. Ia minta beli ponsel, ngerengek pada Ibu. Kalau tidak dibelikan ponsel, ia ingin bunuh diri," sahut Mas Hendra. Astaga, aku pikir, suamiku sudah selingkuh, sampai-sampai ia memotong jatah mingguanku dengan setega itu.

"Lalu kamu berikan uang pada Ibu? 400.000 mana cukup untuk beli handphone?" tanyaku lagi.

"Katanya kredit, Dek. Ada yang mau kreditin handphone," jawabnya.

"Seminggu 400.000 nyicilnya? Handphone iPhone?" sindirku sambil mengangkat bibir ini.

"Nyicil seminggu paling seratus, Dek. Sisanya untuk Ibu. Tadi dia maksa, aku malu di pabrik banyak orang," celetuknya membuatku geram.

Aku tarik selimut, lalu tidur, tak peduli dengan uang yang Mas Hendra berikan. Entahlah mau kuapakan tuh uang.

***

Pagi-pagi sekali, Mas Hendra sudah bergegas berangkat ke pabrik. Aku tidak ingin terlalu menyalahkan Mas Hendra. Semoga ke depannya ia bisa adil dan bertindak tegas.

Saat ini, yang aku pikirkan hanyalah uang 47.000 itu aku harus apakan agar cukup untuk makan seminggu. Mas Hendra pun harus rela mengalah demi ibunya. Ia bersepeda ke pabrik tempat ia bekerja.

Aku ambil ponsel yang berada di atas meja. Ada keraguan untuk mencari kontak yang sudah lama tidak aku hubungi, dengan mundur maju aku pun menekan tombol panggilan. Semoga ia masih menganggapku sebagai seorang anak.

"Halo, Pah. Kangen nggak sama Irma?" tanyaku ragu-ragu, tapi ini terpaksa aku lakukan.

"Ada apa, Nak? Kamu kesulitan bersama Hendra?" tanya papa. Aku terdiam, malu mengeluhkan kesulitanku terhadapnya.

"I-iya, Pah. Ada masalah sedikit, Papa mau bantu?" tanyaku malu-malu.

"Papa sudah transfer dari tadi malam, Papa tahu kamu kesulitan, Nak. Penjaga counter yang kamu isi token yang mengadukan hal ini pada Papa."

"Maaf, ngerepotin Papa. Aku janji ini yang terakhir kalinya." Rasanya janji ini sudah kesekian kalinya. Setiap kali kesulitan meskipun tiga bulan sekali, pasti aku minta bantuannya.

"Nak, pulanglah! Kamu jangan pura-pura susah lagi di depan mertuamu, Papa merestui kalian!" seru papa. Namun, aku tidak ingin membongkar rahasia ini, sebelum Mas Hendra sungguh-sungguh bersikap adil terhadapku, dan sebelum mengetahui sifat asli mertua dan adik iparku.

Tiba-tiba ibu datang tanpa mengetuk pintu rumahku.

"Irma, kamu nelepon siapa?" tanyanya. Aku matikan ponselnya agar ia tak mengetahui bibit asliku.

"Telepon teman, pinjam uang," cetusku di hadapan mertua.

"Apa? Jangan menyulitkan Hendra, kasihan dia kalau kamu utang kan yang bayar anak saya," celetuknya membuatku mengelus dada.

Rupanya ia tak menyadari bahwa gara-gara memberikan sejumlah uang untuk membelikan anak bungsunya ponsel, Mas Hendra harus rela memberikanku nafkah hanya 47.000 seminggu.

_______

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 19

    Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 18

    POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 17

    POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 16

    Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 15

    "Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 14

    POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status