Part 5
POV Felicia
Namaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit. Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.
Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.
Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.
Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kenapa, aku selalu senang memperhatikan wajahnya dari jauh. Bukan tanpa sebab tentunya, Papa memilih dia menjadi kasir karena lelaki itusangat jujur dan sopan. Tak dipungkiri, ayahku menyukai kepribadian Mas Hanan yang seperti itu.
Seringkali sepulang bekerja aku mampir ke toko dengan alasan ingin belajar bisnis, padahal aslinya hanya ingin bersama Mas Hanan. Dari kebersamaan kami setiap hari itu, aku akhirnya tahu, kalau dia sedang membiayai adik semata wayangnya di sebuah pondok pesantren penghafal kitab suci agama mereka.
Papa dan Mama tidak pernah curiga sama sekali dengan perasaanku yang kian hari bertambah besar dalam hatiku. Itu karena kami berbeda agama dan aku masih taat dengan kegiatan beribadah. Mereka pikir, aku tidak akan pernah menyukai lelaki yang berbeda keyakinan, apalagi ditambah Mas Hanan berasal dari keluarga miskin.
Suatu ketika, Mas Hanan membawa serta adiknya saat bekerja. Kala itu aku tidak berangkat karena diberi libur sebelum tugas ke luar kota.
“Maaf, Koh, ibu saya tidak di rumah. Dia ingin ikut saya kesini, dia sudah besar, tidak akan merepotkan atau mengganggu saya,” ucap Mas Hanan sambil memperkenalkan gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Syifa itu.
Senyum Sifa sangat manis, tingkah lakunya juga sangat sopan. Ia membantu kakakknya yang sering kerepotan. Sesekali mereka terdengar bergurau. Ah, kenapa aku suka sekaliu memperhatikan mereka. Saat makan siang, entah kenapa aku tertarik mengajak Sifa keluar untuk makan bersama. Mas Hanan awalnya seperti tidak mengizinkan, karena menganggap aku adalah majikan yang harus disegani, tetapi aku memaksa.
Dari kebersamaan dengan Sifa, aku tahu kalau Mas Hanan belum memiliki pacar. Rasanya sangat senang saat mendengar hal itu. Aku mulai menggunakan Sifa sebagai alat agar bisa dekat dengan kakaknya. Hingga singkat cerita, aku dan Mas Hanan, kami menjalin hubungan tanpa status. Dekat, tetapi tidak ada ikatan pacaran. Namun begitu, terkadang Mas Hanan agak menjaga jarak denganku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku tidak tahu.
Aku dan Mas Hanan hanya bersama setiap sekali dalam sepekan. Itu pun karena aku yang berani bermain ke rumahnya. Ibu Mas Hanan tidak berpikir macam-macam tentang kami. Beliau tidak akan mengira jika kami pacaran, itu karena perbedaan keyakinan dan status sosial kami. Mas Hanan memperlakukanku dengan sangat baik.
Mereka memiliki toko kecil di depan rumah yang menjual sembako. Jika Syifa
Sore itu, selesai bekerja, ia memintaku untuk menunggu di depan Masjid. Lelaki yang berwajah tampan itu menatapku lama saat keluar. Sisa-sisa air yang masih menempel, menambah kharisma pada wajahnya.
“Felic, kau mau datang ternyata,” ucapnya.
“Kenapa kau berpikir seperti itu, Mas?” Aku balik bertanya.
“Kita berbincang di sana!” Mas Hanan menunjuk satu kursi yang letaknya ada di pojok kantin masjid. Kami duduk berhadapan.
Selama dekat dengan Mas Hanan, kami tidak pernah bersentuhan. Itu jelas membuatku penasaran, karena bagiku dan teman-teman, berciuman adalah hal yang wajar saat dua orang menjalin hubungan pacaran.
“Kenapa mengajak aku ketemu di luar? Kenapa tidak pas aku main ke rumah kamu saja, Mas?” tanyaku.
Awalnya begitu aneh ketika harus memanggilnya dengan panggilan Mas. Karena dia hanya seorang pekerja di toko kami. Aku mengikuti karyawan perempuan lain yang memanggil begitu.
“Felic, maaf, sepertinya kamu harus menjauhiku. Mama dan papa kamu, mereka sudah tahu kalau kamu suka bermain ke rumah dan membantu ibuku. Aku diinterogasi oleh mereka. Aku sangat butuh bekerja di keluarga kalian, aku tidak mau membuat masalah.”
Wajahku langsung murung mendengar ia berucap demikian.
“Kita memang sudah dekat. Akan tetapi, dilihat dari manapun, kita memiliki banyak sekali perbedaan, Felic. Tidak mungkin bisa bersatu. Dan aku, aku hanya ingin menjalin hubungan dengan wanita yang ingin ku nikahi. Sementara kamu, kamu tidak mungkin bisa menikah denganku.” Tanpa basa-basi, Mas Hanan langsung mengatakan yang sebenarnya.
“Aku akan berpindah keyakinan, agar kita tidak berbeda,” ucapku tegas.
Mas Hanan menatap tidak percaya. “Jangan berpindah keyakinan hanya karena kamu ingin menikah denganku, Felic!”
“Aku ingin memeluk Islam, bukan karena mau menikah denganmu. Aku tertarik pada Islam, karena melihat kebiasaan yang kamu dan keluargamu lakukan.”
“Tapi, Felic ....”
“Aku punya banyak tabungan, kita akan memulai hidup baru dan hidup bersama. Dalam suka dan duka. Jadi, jangan khawatir tentang pekerjaan kamu. Masalah ini, biar aku yang menyampaikan pada Mama dan Papa.”
Mas Hanan diam tak berkutik.
“Aku pulang. Kita bisa bicara lain waktu.”
Setelah berucap demikian, aku gegas meninggalkan Mas Hanan. Sampai rumah, keluarga sudah berkumpul untuk menginterogasi.
Kak Ferry dan adikku Dion nampak tidak ramah.
“Aku akan memeluk Islam. Bukan karena Hanan, tetapi aku mulai tertarik karena, karena aku nyaman. Entah nantinya akan menikah dengan dia atau tidak, tetapi keputusanku untuk berpindah keyakinan sudah bulat. Kalian tetap keluargaku sampai kapanpun. Aku tidak akan memaksa mama, papa, Kak Ferry dan Dion untuk mengikutiku.”
Plak!
Sebuah tamparan mengenai salah satu pipiku. Papa menatap dengan penuh amarah.
Aku langsung berlari ke kamar dan mengemasi seluruh pakaian. Otak sudah berpikir apa yang akan terjadi jika masih berada dalam satu rumah bersama mereka.
Singkat cerita, aku mengontrak di salah satu rumah yang dekat dengan masjid. Di sana aku belajar banyak tentang Islam dan juga masih bekerja di perusahaan. Keluarga tak satupun mencari. Oleh karena kesibukan itulah, aku dan Mas Hanan tidak pernah bertemu.
Setelah menjadi seorang muslim, hati ini justru tidak terlalu terobsesi menjadi istri Mas Hanan. Jika memang kami berjodoh, akan jalan untuk dipertemukan. Berbulan-bulan lamanya tidak bertemu, sampai suatu hari, pria itu mencariku ke perusahaan dan memberi tahu, jika ia telah dipecat dari toko.
“Keluargamu mengira kalau kita langsung menikah. Mereka baru percaya setelah menyuruh orang mengintai rumahku. Dan mungkin saja, ada yang selalu mengikutimu setiap hari. Meski kita tidak menikah, aku tetap dipecat karena dianggap sudah membuatmu tersesat.”
Mas Hanan lalu bercerita kalau sekarang dia sudah menjadi pengangguran dan hanya membantu ibunya berjualan di toko kecil.
Satu minggu kemudian, Mas Hanan melamarku untuk menikah dengannya. Dan dua minggu kemudian, kami sudah resmi menjadi suami istri. Sungguh pernikahan yang di luar khayalan masa kecil. Hanya dihadiri oleh keluarga terdekat Mas Hanan dan beberapa teman dekatku di kantor. Meski begitu, aku merasa bahagia, karena memiliki seorang imam yang taat beragama.
Kami menjalani hari dengan penuh kebahagiaan. Mas Hanan sosok suami yang tidak membuatku repot. Ia melakukan semua pekerjaan rumah tangga di rumah baru yang ku beli dengan uang tabungan. Ibu Mas Hanan dan Sifa sering datang untuk membantu.
Sampai mempunyai anak pertama, aku masih bekerja di perusahaan. Mas Hanan yang mengasuh Nazmi di rumah karena dia tidak ingin anak kami diasuh oleh pembantu. Usia satu tahun, Nazmi mengalami panas tinggi dan tidak tertolong. Setelah itu aku hamil dan memilih keluar dari perusahaan, lalu membuka butik baju muslim karena kebetulan juga, aku sudah berhijab.
Part 33Sejujurnya hati Felicia membara ketika mobil berjalan masuk di komplek perumahan elit. Kini ia bisa melihat dengan jelas kebohongan yang disembunyikan Hanan selama ini. Setega itu menggunakan uang mereka untuk membahagiakan istri kedua.“Kamu lelaki penyayang ya, Pah, membelikan rumah yang bagus di komplek yang elit,” sindir Felicia.“Aku membeli ini agar tidak kejauhan pulangnya,” jawab Hanan asal.“Benarkah? Jadi kamu tidak membelikan rumah ini untuk gundik kamu?”“Feli, mulai sekarang biasakan memanggil adik madumu dengan namanya. Bukankah kamu sudah setuju dengan pernikahanku? Kenapa masih memanggil dia serendah itu?”“Jadi kamu tidak terima aku memanggil dia seperti itu? Kamu sakit hati? Wah, hati kamu sudah lebih banyak buat dia ternyata ya? Pantas saja lupa sama Abizar dan juga ibu kamu. Malang sekali nasibku. Sudah tidak mendapatkan nafkah batin tapi masih harus mengurusi ibu kamu.” Hati Felicia terasa nyeri menyadari Hanan seperti tidak tertarik pada tubuhnya lagi.“B
Part 32Felicia langsung mengantar Abizar ke sekolah tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Setelahnya ia langsung ke butik. Hatinya masih malas Hanan menunggu rumah seorang diri karena ternyata pembantu dan sopir Felicia disuruh berlibur.Ia bangun dan mendapati rumah yang sangat sepi. Tak ada makanan, tidak ada Felicia yang menyambut hangat seperti jauh sebelum ia bertemu Safira. Dalam keadaan kesepian dan bingung, pria itu memilih membuka ponsel dan mengecek barangkali ada pesan penting. Tangannya berhenti pada pesan yang dikirim dari Safira.Aku tidak tahu apa yang akan Mas putuskan dengan hubungan kita. Aku sudah lelah, sangat lelah. Jika memang Mas mau menceraikan aku dan memilih Mbak Feli, aku ikhlas, Mas. Dari awal aku memang hanya istri simpanan yang meminjam dari Mbak Feli. Sekarang waktunya aku mengembalikan Mas pada pemiliknya.Hanan langsung menelpon Safira. Terdengar suara dari seberang sedang menangis.“Aku tidak akan meninggalkan kamu. Percayalah padaku, Fira! Hanya saja, a
Part 31“Feli, mama papa kamu bicara apa tadi?” tanya Hanan setelah mertuanya pergi dan dia berani masuk ruangan.“Menanyakan tentang kabarku selama tidak bertemu mereka. Memintaku untuk membawa Abizar ke rumah mereka. Dimana tadi Abizar aku cari pas Mama Papa pengen ketemu kok gak ada?”“Dia pergi keluar sama Si Mbak. Apa kamu sudah menyuruh dia untuk menjauhiku, Feli?”“Selain kamu tidak setia, kamu sudah berubah, Hanan. Kamu penuh curiga dan tukang fitnah. Bukankah kamu sendiri yang menciptakan jarak dengan anakmu? Kamu masih ingin terus menyalahkanku, Hanan?” Felicia menatap Hanan tanpa kedip.“Maaf aku salah.”“Kamu mau menginap di sini atau kembali ke rumah istri kamu?” tanya Felicia sambil berlalu ke kamar mandi.“Ini masih rumahku, ‘kan? Kenapa bertanya seperti itu?”Felicia keluar dengan wajah basah. “Aku tidak tahu, apa kamu masih menganggap ini rumahmu, aku istrimu dan Abizar anakmu atau tidak.”“Feli, kamu sudah bertemu dengan orang tuamu, apa mereka memaafkan kesalahanmu
Part 30Pagi telah menjelang.Hanan tetap berada di toko, Felicia kembali ke rumahnya dan Safira masih meratapi nasib di atas tempat tidur. Widiyanti terus memaksa agar putrinya bangkit dari keterpurukan serta bertindak segera untuk segera menghancurkan toko milik Felicia. Akan tetapi, Safira belum mau beranjak.“Kamu mau terus menangis sampai kapan? Kamu sudah mengorbankan banyak hal demi mendapatkan Hanan. Kamu mau terus seperti itu atau kamu akan menghancurkan toko Felicia agar dia merasakan penderitaan juga?”“Biarkan aku berpikir dulu, Ibu. Ibu pikir ini mudah? Aku mencintai Mas Hanan bukan karena harta, tetapi karena aku mencintai dia, Ibu. Kalau aku bertindak gegabah, Mas Hanan bisa meninggalkanku.” Safira yang kesal berteriak.“Bunda, aku bagaimana? Berangkat sekolah atau tidak, Bunda?” Nayma yang sudah mandi bertanya bingung.Safira tambah stres, sejenak menyesali keputusan Hanan yang memindahkan sekolah Nayma. Untuk berangkat kesana perlu diantar, tidak seperti di sekolah se
Part 29Felicia memilih b menginap di hotel sendirian. Ia juga mematikan ponsel setelah sebelumnya memberi kabar pada Abizar agar tidak cemas menunggu telepon darinya. Masuk ke kamar, Felicia segera menggelar sajadah dan berdzikir sambil menangis.“Ya Allah, aku sudah terlanjur mencintaiMu, maka jangan jadikan ujian ini untuk melemahkan imanku,” kta Felicia lirih dalam sujud.Lama ia mengadukan keadaan hati pada Sang Pemilik Hidup, hingga tak sadar waktu sholat sudah silih berganti. Selepas Isya Felicia bangun dan teringat kalau ia belum memberi kabar pada Veronica. Tadinya hanya pamit untuk membeli keperluan pribadi, tetapi akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hotel.“Biar sajalah besok saja,” kata Felicia mengabaikan perasaan. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.Felicia terpaksa meminum obat tidur agar tidak terbebani dengan banyak pikiran. Tubuhnya lelah perlu istirahat, tetapi tanpa sebuah obat, mustahil dapat memejamkan mata.Veronica yang tidak bisa tidur karena memikirkan
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba