Share

Bab 6

Author: Nay Azzikra
last update Last Updated: 2024-12-17 15:22:59

Part 6

Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.

Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.

Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.

“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.

Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.

“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka menerima kedatanganmu, jangan pernah membahas agama kita! Jangan pernah berdebat tentang perbedaan ajaran agama, karena keyakinan adalah tentang hati yang tidak boleh dijadikan bahan untuk berdebat. Seandainya ya, seandainya masih ada saudara jauh yang mengajak kamu berdebat masalah ini, maka lebih baik kamu diam, jangan menanggapi. Kamu berpindah keyakinan, itu sudah melukai perasaan mereka, maka jangan pernah membantah apapun yang mereka ucapkan. Cukuplah Islam kamu pilih sebagai pedoman hidup, bukan untuk mencaci,” tambahnya lagi.

Ah, suamiku, dia benar-benar orang yang pandai menjaga perasaan orang lain.

***

Aku mencium gelagat yang aneh dengan perilaku Mas Hanan saat ini. Ah, tidak, bahkan dari beberapa minggu terakhir. Ia sudah jarang pulang dengan alasan yang kadang tidak masuk akal. Terlebih saat ini, ketika Abi sakit, feeling-ku sebagai istri, sangat tidak enak. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.

“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucapku sambil berlalu pergi meninggalkannya di kamar untuk menunggui Abizar.

Kaki melangkah keluar rumah sakit untuk mencari makan. Meski tidak nafsu, perut harus terisi agar jangan sakit. Untuk pertama kalinya setelah menikah, aku tidak peduli apakah Mas Hanan sudah makan, atau belum. Setelah selesai, memilih membayar tanpa membungkus nasi.

Perasaanku masih kesal pada dia. Rasa yang baru kali ini hadir dalam hati setelah beberapa tahun menikah.

“Abizar tadi minta minum, tapi sudah aku beri minum. Dia menanyakanmu, kamu habis makan ya? Apa tidak sekalian membelikan untukku?” tanya Mas Hanan saat aku masuk hanya membawa satu botol air mineral.

“Kamu bisa mencari sendiri. Hanya sekedar mencari makan, masa tidak bisa? Aku saja bisa mengurus anak sakit sendirian,” jawabku ketus sambil duduk di samping ranjang. “Dari tadi keluar cari makan masa tidak dapat. Nggak niat cari makan, makanya lupa,” lanjutku lagi.

“Ah iya, kamu tidur saja di sofa! Aku yang menjaga Abi,” ucap Mas Hanan.

Aku segera bangkit dan bertukar posisi. “Ah iya, dua bulan ini kamu belum memberikan laporan keuangan toko sama aku ya, Mas. Aku tunggu besok.”

“Ah, i-iya, tapi aku tidak bawa buku dan file karena cepat-cepat tadi.”

“Laba tiga bulan ini juga belum masuk ke rekeningku. Kata Harun, toko ramai setiap harinya, seharusnya keuntungan meningkat dari bulan kemarin.”

“I-ya, soalnya buat cadangan beli tanah untuk cabang toko baru.”

“Kita sudah sepakat untuk apapun itu, semua harus masuk dan keluar lewat rekeningku. Dua bulan ini sepertinya tidak menggunakan rekeningku untuk transaksi apapun. Tidak ada laporan email, maupun SMS.” Aku terus memberondong Mas Hanan dengan nada yan tenang meski hati bergemuruh.

“Maaf, Felic, itu karena toko ramai, jadi uang tidak sempat masuk rekening. Besok aku bawa kesini buku laporannya.” Mas Hanan menatapku dengan tatapan yang aku tidak paham, tetapi aku yakin dia menyembunyikan suatu hal.

“Dari awal kita sudah sepakat untuk jujur dalam hal apapun. Terlebih, apa yang menjadi hasil kita bersama saat ini, itu semua berasal dari jerih payahku. Aku bukan berarti menjadikanmu sebagai suami yang takut pada istri, tetapi ini lebih pada kejujuran yang sudah kita sepakati bersama. Toh, untuk uang bulanan ibumu, aku masih memberikan setiap bulan. Sifa, adik kandungmu juga membuka usaha setelah menikah dengan bantuan modal dari aku. Ibu mau berangkat umroh, atau butuh apa, beliau selalu meminta padaku. Jadi, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan dari aku, ‘kan? Kecuali kamu memang punya rahasia selain yang berhubungan dengan keluarga kamu.”

 Mas Hanan duduk terpaku sambil terus memandangku.

“Aku sudah mengamati perubahan kamu beberapa bulan ini. Dan memang ada yang lain dari sikap kamu. Ada yang berubah. Puncaknya adalah saat ini, dimana Abi sakit dan kamu terkesan mengabaikan dia.”

“Ma-maaf, maafkan aku, Felic. Aku salah, aku lebih mementingkan urusan toko daripada Abizar. Lain kali, aku tidak akan seperti itu lagi. Tentang aku yang jarang pulang, aku juga minta maaf. Semua ku lakukan demi usaha kita,” ucap Mas Hanan sambil menunduk.

Aku tidak menanggapi. Memilih berbaring di atas sofa dan menyelimuti tubuh dengan kain yang sudah ku bawa dari rumah. Setelahnya mencoba memejamkan mata meski hati dan pikiran masih terjaga.

Beberapa menit berselang, aku merasa Mas Hanan mendekap tubuhku erat, menicum kening berkali-kali. Setelahnya terdengar pintu berderit, aku membuka mata sedikit dan melihatnya keluar.

Aku akan menyelidiki mengapa dia berubah. Orang ketiga dalam pernikahan berasal dari tiga arah. Keluarga suami yang toxic, teman yang masih mengganggu waktunya, atau ada wanita lain yang hadir dalam hidup kami. Menikah dengannya, aku telah mengorbankan banyak hal, sampai rela hidup sebatang kara. Mengangkat derajatnya dari orang tidak mampu, menjadi pria kaya, juga keluarganya yang sekarang hidup sejahtera. Jika terbukti Mas Hanan berpaling, maka aku tidak akan mengembalikan hidupnya kembali pada posisi semula.

Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian, perubahan sikapnya sudah menjadi catatan selama beberapa bulan, hanya saja belum menemukan momen yang pas untuk mencari tahu.

Tubuh dan pikiran yang lelah nyatanya tidak mampu membuar diri terlelap. Memilih iseng membuka media sosial, hal jarang ku lakukan. Mata memanas ketika melihat keluargaku semua berkumpul dalam acara pernikahan Dion. Foto yang tidak lengkap karena tidak ada diriku di sana, tetapi Mama dan Papa terlihat bahagia. Apa mereka sudah melupakanku?

Sejujurnya aku sering menangis menahan rindu pada mereka. Meski aku memilih jalan yang berbeda, mereka tetaplah keluarga sampai kapan pun.

Hati tak pernah berhenti berdoa agar suatu ketika bisa bersama lagi dengan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 28 B

    “Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 28 A

    Part 28“Halo, adik maduku. Kenalkan, aku Felicia, istri sah Hanan. Pasti kamu sudah sering mendengar namaku ‘kan? Kamu cantik sekali. Selamat ya atas pernikahan kalian. Pelaminannya megah, pestanya mewah. Beruntung sekali kamu mendapatkan seorang pria kaya seperti suamiku.” Felicia beralih pada Safira yang masih berdiri ditopang ibunya. Sambil berbicara, tangannya sibuk merapikan jas Hanan.Tamu yang hadir dan sedang mengantri terpaksa diberhentikan oleh Ustadz Ridho untuk tidak naik ke pelaminan lebih dulu. Ia juga sering mencuri pandang pada Veronica yang terlihat sangat cantik.Sementara Salamah, sesekali melempar tatapan marah pada Veronica. Sadar sesuatu hal kalau Veronica bisa jadi menggoda suaminya karena balas dendam.“Aku mau foto dulu dengan kalian. Untuk kenang-kenangan. Vero, tolong ambilkan gambar pakai ponselku,” kata Felicia pada Veronica. “Ah, adik madu kamu kelelahan ya? Gak papa, aku ambil foto sebentar saja.”Seperti dihipnotis, Safira tidak bisa berkutik dan menga

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 27 B

    Sepulangnya dari menemui Hanan, Abizar tidak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Namun begitu, ia lebih banyak menyendiri dan bersedih.Besok adalah hari resepsi pernikahan Hanan dan Safira. Felicia sudah mempersiapkan hati dan mental untuk hadir kesana. Tidak lupa sebuah kado telah dia bungkus sebagai hadiah pernikahan. Sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia, Hanan, Abizar dan ibu mertuanya telah disobek menjadi dua, dibingkai dengan kaca pecah dan dimasukkan kedalam dus dibungkus kertas serta dihiasi pita.“Abi, besok Mama mau ada perlu dan menginap. Kamu sama Mbak di rumah ya? Sama Om Adi juga. Mama minta maaf sebelumnya ya, Sayang?”“Mama menginap berapa malam?” tanya Abizar.“Hanya semalam saja.”Meski berat hati Abizar mengizinkan.Malam harinya, Felicia menelpon agen penjualan rumah di kota tempat Hanan tinggal. “Berapapun yang penting laku cepat,” katanya.Semua sertifikat rumah dan tanah yang ia miliki bersama Hanan sudah ada di tangan. “Kamu tidak akan menggunakan harta yan

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 27 A

    Part 27“Setidaknya kalau kamu mau menitipkan Abizar, kamu harusnya beritahu aku dulu.”“Bukankah kamu tidak merespon telepon dari aku terus, Hanan?”“Feli, kamu bisa berkirim pesan.”“Apa kehadiran Abizar selama beberapa hari saja akan membuat kamu terganggu? Hanan, jika dihitung-hitung, lebih banyak waktu kamu yang dilewati seorang diri. Aku membawa Abi dan menitipkan sama kamu hanya paling lama dua atau tiga hari. Apa kamu benar-benar tidak suka?” Nada bicara Felicia meninggi.“Papa, Mama, jangan bertengkar! Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama.” Di saat keduanya adu mulut, Abizar keluar sambil menangis. “Papa tidak mau aku tinggal di sini sama Papa?”“Abi.” Hanan mendekati anak semata wayangnya.“Papa tidak suka ya kalau ketemu aku? Kenapa sepertinya tidak mau aku ada di sini?” Dengan wajah sedih Abizar bertanya.“Jagoan Papa tidak boleh bicara seperti itu! Papa senang kok Abi ada di sini, hanya saja Papa sedang sibuk sekali.”“Baiklah, Papa, aku akan ikut Mama

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 26 B

    “Mas, aku boleh gak lihat rumah Mas yang sama Mbak Feli yang rumah di kota ini?” tanya Safira saat sudah di dalam mobil.“Memangnya kenapa?”“Aku pengen tahu saja.”“Rumah itu aku yang membeli. Jadi, kalau kemungkinan terburuknya Felicia tahu tentang hubungan kita, aku akan menjualnya.”Safira tersenyum senang mendengar jawaban dari Hanan.***“Mama kenapa Papa sudah tidak pernah menelpon aku?” tanya Abizar.“Papa sibuk, Sayang. Gak papa, selagi ada Mama di sini.”“Mama, aku rindu memancing sama Papa.” Abizar duduk di sofa dekat jendela, mengamati tumbuhan yang daunnya menari-nari di taman depan kamar sang ibu. Tangannya memeluk lutut.“Mama antar kamu memancing di tempat biasanya ya?” Felicia mendekati Abizar dan duduk di bawa sofa.“Tempatnya sama, tetapi rasanya beda. Aku butuh Papa. Aku ingin sama papa.”Felicia mengepalkan tangan. ‘Meski balas dendam itu dosa, aku tetap akan melakukannya, Hanan. Kamu sudah keterlaluan.’“Abi, dengar! Suatu saat Mama akan cerita, kenapa Papa tidak

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 26 A

    Part 26“Kamu dari mana saja?” tanya Felicia kesal. “Aku harus pulang cepat, kasihan Abizar.”“Cari suami orang,” jawab Veronica asal. “Ayo, Kak berangkat!”“Tugas kamu sudah selesai. Kamu boleh mundur dari kajian itu.”“Belum dong. Aku masih harus berangkat minggu depan. Melihat situasi dan keadaan apakah resepsinya jadi atau batal.”“Resepsinya harus jadi. Aku ingin melihat Hanan bersanding di pelaminan dengan wanita itu.”“Wah, ini rencana Kakak? Mau datang ke resepsi mereka? Aku ikut ya, Kak?”“Kamu ‘kan dapat undangan, kesana sendiri saja!”“Aku akan menjadi pengawal Kak Feli.”Felicia keluar rumah menuju mobil. “Jadi antar aku tidak?”“Jadi dong! Aku mau pulang juga, kangen Mama.”Felicia kembali diam di dalam mobil. Hatinya membara penuh amarah, tetapi ia tidak ingin meluapkan di hadapan Veronica.“Kak, kalau aku pada akhirnya memilih kembali pada keyakinan lama aku, apa aku akan berdosa?” tanya Veronica sambil fokus menyetir.“Menurut Islam ya dosa. Makanya kalau belum mantap,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status