Part 6
Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.
Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.
Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.
“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.
Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.
“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka menerima kedatanganmu, jangan pernah membahas agama kita! Jangan pernah berdebat tentang perbedaan ajaran agama, karena keyakinan adalah tentang hati yang tidak boleh dijadikan bahan untuk berdebat. Seandainya ya, seandainya masih ada saudara jauh yang mengajak kamu berdebat masalah ini, maka lebih baik kamu diam, jangan menanggapi. Kamu berpindah keyakinan, itu sudah melukai perasaan mereka, maka jangan pernah membantah apapun yang mereka ucapkan. Cukuplah Islam kamu pilih sebagai pedoman hidup, bukan untuk mencaci,” tambahnya lagi.
Ah, suamiku, dia benar-benar orang yang pandai menjaga perasaan orang lain.
***
Aku mencium gelagat yang aneh dengan perilaku Mas Hanan saat ini. Ah, tidak, bahkan dari beberapa minggu terakhir. Ia sudah jarang pulang dengan alasan yang kadang tidak masuk akal. Terlebih saat ini, ketika Abi sakit, feeling-ku sebagai istri, sangat tidak enak. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucapku sambil berlalu pergi meninggalkannya di kamar untuk menunggui Abizar.
Kaki melangkah keluar rumah sakit untuk mencari makan. Meski tidak nafsu, perut harus terisi agar jangan sakit. Untuk pertama kalinya setelah menikah, aku tidak peduli apakah Mas Hanan sudah makan, atau belum. Setelah selesai, memilih membayar tanpa membungkus nasi.
Perasaanku masih kesal pada dia. Rasa yang baru kali ini hadir dalam hati setelah beberapa tahun menikah.
“Abizar tadi minta minum, tapi sudah aku beri minum. Dia menanyakanmu, kamu habis makan ya? Apa tidak sekalian membelikan untukku?” tanya Mas Hanan saat aku masuk hanya membawa satu botol air mineral.
“Kamu bisa mencari sendiri. Hanya sekedar mencari makan, masa tidak bisa? Aku saja bisa mengurus anak sakit sendirian,” jawabku ketus sambil duduk di samping ranjang. “Dari tadi keluar cari makan masa tidak dapat. Nggak niat cari makan, makanya lupa,” lanjutku lagi.
“Ah iya, kamu tidur saja di sofa! Aku yang menjaga Abi,” ucap Mas Hanan.
Aku segera bangkit dan bertukar posisi. “Ah iya, dua bulan ini kamu belum memberikan laporan keuangan toko sama aku ya, Mas. Aku tunggu besok.”
“Ah, i-iya, tapi aku tidak bawa buku dan file karena cepat-cepat tadi.”
“Laba tiga bulan ini juga belum masuk ke rekeningku. Kata Harun, toko ramai setiap harinya, seharusnya keuntungan meningkat dari bulan kemarin.”
“I-ya, soalnya buat cadangan beli tanah untuk cabang toko baru.”
“Kita sudah sepakat untuk apapun itu, semua harus masuk dan keluar lewat rekeningku. Dua bulan ini sepertinya tidak menggunakan rekeningku untuk transaksi apapun. Tidak ada laporan email, maupun SMS.” Aku terus memberondong Mas Hanan dengan nada yan tenang meski hati bergemuruh.
“Maaf, Felic, itu karena toko ramai, jadi uang tidak sempat masuk rekening. Besok aku bawa kesini buku laporannya.” Mas Hanan menatapku dengan tatapan yang aku tidak paham, tetapi aku yakin dia menyembunyikan suatu hal.
“Dari awal kita sudah sepakat untuk jujur dalam hal apapun. Terlebih, apa yang menjadi hasil kita bersama saat ini, itu semua berasal dari jerih payahku. Aku bukan berarti menjadikanmu sebagai suami yang takut pada istri, tetapi ini lebih pada kejujuran yang sudah kita sepakati bersama. Toh, untuk uang bulanan ibumu, aku masih memberikan setiap bulan. Sifa, adik kandungmu juga membuka usaha setelah menikah dengan bantuan modal dari aku. Ibu mau berangkat umroh, atau butuh apa, beliau selalu meminta padaku. Jadi, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan dari aku, ‘kan? Kecuali kamu memang punya rahasia selain yang berhubungan dengan keluarga kamu.”
Mas Hanan duduk terpaku sambil terus memandangku.
“Aku sudah mengamati perubahan kamu beberapa bulan ini. Dan memang ada yang lain dari sikap kamu. Ada yang berubah. Puncaknya adalah saat ini, dimana Abi sakit dan kamu terkesan mengabaikan dia.”
“Ma-maaf, maafkan aku, Felic. Aku salah, aku lebih mementingkan urusan toko daripada Abizar. Lain kali, aku tidak akan seperti itu lagi. Tentang aku yang jarang pulang, aku juga minta maaf. Semua ku lakukan demi usaha kita,” ucap Mas Hanan sambil menunduk.
Aku tidak menanggapi. Memilih berbaring di atas sofa dan menyelimuti tubuh dengan kain yang sudah ku bawa dari rumah. Setelahnya mencoba memejamkan mata meski hati dan pikiran masih terjaga.
Beberapa menit berselang, aku merasa Mas Hanan mendekap tubuhku erat, menicum kening berkali-kali. Setelahnya terdengar pintu berderit, aku membuka mata sedikit dan melihatnya keluar.
Aku akan menyelidiki mengapa dia berubah. Orang ketiga dalam pernikahan berasal dari tiga arah. Keluarga suami yang toxic, teman yang masih mengganggu waktunya, atau ada wanita lain yang hadir dalam hidup kami. Menikah dengannya, aku telah mengorbankan banyak hal, sampai rela hidup sebatang kara. Mengangkat derajatnya dari orang tidak mampu, menjadi pria kaya, juga keluarganya yang sekarang hidup sejahtera. Jika terbukti Mas Hanan berpaling, maka aku tidak akan mengembalikan hidupnya kembali pada posisi semula.
Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian, perubahan sikapnya sudah menjadi catatan selama beberapa bulan, hanya saja belum menemukan momen yang pas untuk mencari tahu.
Tubuh dan pikiran yang lelah nyatanya tidak mampu membuar diri terlelap. Memilih iseng membuka media sosial, hal jarang ku lakukan. Mata memanas ketika melihat keluargaku semua berkumpul dalam acara pernikahan Dion. Foto yang tidak lengkap karena tidak ada diriku di sana, tetapi Mama dan Papa terlihat bahagia. Apa mereka sudah melupakanku?
Sejujurnya aku sering menangis menahan rindu pada mereka. Meski aku memilih jalan yang berbeda, mereka tetaplah keluarga sampai kapan pun.
Hati tak pernah berhenti berdoa agar suatu ketika bisa bersama lagi dengan mereka.
Part 33Sejujurnya hati Felicia membara ketika mobil berjalan masuk di komplek perumahan elit. Kini ia bisa melihat dengan jelas kebohongan yang disembunyikan Hanan selama ini. Setega itu menggunakan uang mereka untuk membahagiakan istri kedua.“Kamu lelaki penyayang ya, Pah, membelikan rumah yang bagus di komplek yang elit,” sindir Felicia.“Aku membeli ini agar tidak kejauhan pulangnya,” jawab Hanan asal.“Benarkah? Jadi kamu tidak membelikan rumah ini untuk gundik kamu?”“Feli, mulai sekarang biasakan memanggil adik madumu dengan namanya. Bukankah kamu sudah setuju dengan pernikahanku? Kenapa masih memanggil dia serendah itu?”“Jadi kamu tidak terima aku memanggil dia seperti itu? Kamu sakit hati? Wah, hati kamu sudah lebih banyak buat dia ternyata ya? Pantas saja lupa sama Abizar dan juga ibu kamu. Malang sekali nasibku. Sudah tidak mendapatkan nafkah batin tapi masih harus mengurusi ibu kamu.” Hati Felicia terasa nyeri menyadari Hanan seperti tidak tertarik pada tubuhnya lagi.“B
Part 32Felicia langsung mengantar Abizar ke sekolah tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Setelahnya ia langsung ke butik. Hatinya masih malas Hanan menunggu rumah seorang diri karena ternyata pembantu dan sopir Felicia disuruh berlibur.Ia bangun dan mendapati rumah yang sangat sepi. Tak ada makanan, tidak ada Felicia yang menyambut hangat seperti jauh sebelum ia bertemu Safira. Dalam keadaan kesepian dan bingung, pria itu memilih membuka ponsel dan mengecek barangkali ada pesan penting. Tangannya berhenti pada pesan yang dikirim dari Safira.Aku tidak tahu apa yang akan Mas putuskan dengan hubungan kita. Aku sudah lelah, sangat lelah. Jika memang Mas mau menceraikan aku dan memilih Mbak Feli, aku ikhlas, Mas. Dari awal aku memang hanya istri simpanan yang meminjam dari Mbak Feli. Sekarang waktunya aku mengembalikan Mas pada pemiliknya.Hanan langsung menelpon Safira. Terdengar suara dari seberang sedang menangis.“Aku tidak akan meninggalkan kamu. Percayalah padaku, Fira! Hanya saja, a
Part 31“Feli, mama papa kamu bicara apa tadi?” tanya Hanan setelah mertuanya pergi dan dia berani masuk ruangan.“Menanyakan tentang kabarku selama tidak bertemu mereka. Memintaku untuk membawa Abizar ke rumah mereka. Dimana tadi Abizar aku cari pas Mama Papa pengen ketemu kok gak ada?”“Dia pergi keluar sama Si Mbak. Apa kamu sudah menyuruh dia untuk menjauhiku, Feli?”“Selain kamu tidak setia, kamu sudah berubah, Hanan. Kamu penuh curiga dan tukang fitnah. Bukankah kamu sendiri yang menciptakan jarak dengan anakmu? Kamu masih ingin terus menyalahkanku, Hanan?” Felicia menatap Hanan tanpa kedip.“Maaf aku salah.”“Kamu mau menginap di sini atau kembali ke rumah istri kamu?” tanya Felicia sambil berlalu ke kamar mandi.“Ini masih rumahku, ‘kan? Kenapa bertanya seperti itu?”Felicia keluar dengan wajah basah. “Aku tidak tahu, apa kamu masih menganggap ini rumahmu, aku istrimu dan Abizar anakmu atau tidak.”“Feli, kamu sudah bertemu dengan orang tuamu, apa mereka memaafkan kesalahanmu
Part 30Pagi telah menjelang.Hanan tetap berada di toko, Felicia kembali ke rumahnya dan Safira masih meratapi nasib di atas tempat tidur. Widiyanti terus memaksa agar putrinya bangkit dari keterpurukan serta bertindak segera untuk segera menghancurkan toko milik Felicia. Akan tetapi, Safira belum mau beranjak.“Kamu mau terus menangis sampai kapan? Kamu sudah mengorbankan banyak hal demi mendapatkan Hanan. Kamu mau terus seperti itu atau kamu akan menghancurkan toko Felicia agar dia merasakan penderitaan juga?”“Biarkan aku berpikir dulu, Ibu. Ibu pikir ini mudah? Aku mencintai Mas Hanan bukan karena harta, tetapi karena aku mencintai dia, Ibu. Kalau aku bertindak gegabah, Mas Hanan bisa meninggalkanku.” Safira yang kesal berteriak.“Bunda, aku bagaimana? Berangkat sekolah atau tidak, Bunda?” Nayma yang sudah mandi bertanya bingung.Safira tambah stres, sejenak menyesali keputusan Hanan yang memindahkan sekolah Nayma. Untuk berangkat kesana perlu diantar, tidak seperti di sekolah se
Part 29Felicia memilih b menginap di hotel sendirian. Ia juga mematikan ponsel setelah sebelumnya memberi kabar pada Abizar agar tidak cemas menunggu telepon darinya. Masuk ke kamar, Felicia segera menggelar sajadah dan berdzikir sambil menangis.“Ya Allah, aku sudah terlanjur mencintaiMu, maka jangan jadikan ujian ini untuk melemahkan imanku,” kta Felicia lirih dalam sujud.Lama ia mengadukan keadaan hati pada Sang Pemilik Hidup, hingga tak sadar waktu sholat sudah silih berganti. Selepas Isya Felicia bangun dan teringat kalau ia belum memberi kabar pada Veronica. Tadinya hanya pamit untuk membeli keperluan pribadi, tetapi akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hotel.“Biar sajalah besok saja,” kata Felicia mengabaikan perasaan. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.Felicia terpaksa meminum obat tidur agar tidak terbebani dengan banyak pikiran. Tubuhnya lelah perlu istirahat, tetapi tanpa sebuah obat, mustahil dapat memejamkan mata.Veronica yang tidak bisa tidur karena memikirkan
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba