Share

Kita Sama-sama Berusaha

*Kita Sama-sama Berusaha

Mbak Dita membaur dengan kerabat, dan keluarga besar Eyang yang masih berkumpul di ruang tamu. Meski asik ngobrol dengan mereka, aku lihat beberapa kali dia mencuri pandang ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku, menemui teman kantornya. Kulirik Mas Elman, dia sama sekali tidak menoleh ke arah Mbak Dita, padahal Mbak Dita ada di seberang kami. Mas Elman lebih memilih fokus pada obrolannya sendiri. Entah karena ada aku, atau memang Mas Elman tak lagi tertarik pada wanita cantik itu. 

Hingga menjelang malam, Mbak Dita masih betah di rumah ini, dia bahkan ikut acara tahlilan hingga selesai. Aku jadi mikir, sebesar itu cintanya Mbak Dita pada Mas Elman. Dia rela berlama-lama di sini, padahal dari tadi keluarga besar eyang bersikap kurang bersahabat padanya. 

"El, aku pulang dulu ya? Sudah malam, acaranya juga sudah selesai," pamit Mbak Dita pada Mas Elman, setelah semua tamu-tamu pulang. Sepertinya Mbak Dita sengaja pulang terakhir. Mencari kesempatan lagi mungkin. 

Heran, padahal aku di samping Mas Elman. Pantasnya dia pamitan padaku lebih dulu, meski hanya sekedar basa-basi sebagai bentuk penghormatan sebagai sesama wanita. Ini malah pamitan pada suaminya, terlihat sekali ambisi Mbak Dita yang ingin menggeser posisiku, dengan tidak menganggap keberadaanku. Mungkin kalau nggak ada aku, dia sudah minta diantar pulang. 

"Iya, Ta. Atas nama keluarga aku minta maaf atas semua kesalahan eyang sama kamu," balas Mas Elman formal sekali. 

"Aku sudah maafin, kok El. Nira, aku pulang ya?" Mbak Dita beralih kepadaku. 

"Iya, Mbak. Terimakasih sudah datang," jawabku basa-basi. 

Setelah berjabat tangan dan cipika cipiki, Mbak Dita meninggalkan rumah ini. Ada perasaan lega, melihat wanita itu pergi. Semoga saja dia tidak kembali lagi ke sini, aku sungguh tidak ingin dia menjadi duri dalam rumah tanggaku.

Kupandangi punggung Mbak Dita hingga menghilang di balik pintu mobilnya. Cantik, supel, kaya dan cerdas, paket sempurna menurutku. Jangankan laki-laki, aku yang perempuan saja terpesona dengan Mbak Dita. Itulah yang membuat aku inscure untuk memperjuangkan hati Mas Elman, rasanya tak sanggup harus bersaing dengan wanita secantik dia. 

* * * * * * * * * *

"Itu baju-bajumu mau dibawa ke mana?" tanya Mas Elman, ketika melihatku mengeluarkan pakaian dari lemari. 

Aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Mas Elman, lebih baik mulai sekarang aku mempersiapkan diri ditinggal laki-laki pendiam ini, daripada aku terus mengharap dia membalas perasaanku, tapi kenyataannya hatinya milik Mbak Dita. 

"Mau aku pindah ke lemarinya Zila, Mas. Mulai malam ini aku tidur di kamar Zila." Mas Elman terdengar menghela nafas. Dia menatapku nanar. 

"Kenapa harus pindah kamar?" tanyanya lembut, kali ini matanya menatapku dalam-dalam, membuatku hanya tertunduk tanpa berani membalas tatapannya 

"Mmm .... " Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya, selama ini aku dan Mas Elman jarang bicara, selain membahas Zila dan kalau ada eyang saja. "Kan, Eyang sudah nggak ada, Mas. Jadi kita nggak perlu lagi tidur sekamar, hanya untuk menyenangkan Eyang," ucapku hati-hati. Meski sudah setahun menjadi istrinya, tidak serta merta membuatku nyaman bicara dengan Mas Elman. 

Terdengar Mas Elman menghela nafas lagi. "Kamu boleh tidur di kamar Zila, tapi baju-bajumu biar tetap di sini." Aku menatap manik hitam milik Mas Elman, mencari jawaban

"Tapi, Mas ---"

"Aku mengijinkan kamu tidur di kamar Zila, hanya sementara. Sampai dia terbiasa tidur sendiri," ucap Mas Elman tegas tak mau dibantah, seperti yang sudah-sudah. 

Selama ini Zila tidur bersama eyang. Beliau bilang, "biar Zila tidak ketakutan saat terbangun tengah malam, lalu mencari kamu. Bagaimanapun, juga kalian butuh waktu berdua, agar bisa lebih dekat. Soal Zila, biar Eyang yang urus."

"Kenapa begitu? Bukankah selama ini ---"

"Kita ini suami istri, Ra. Masa tidurnya beda kamar?" Mas Elman bicara sambil memegang kedua bahuku, matanya menatapku dalam-dalam. 

Ini aku yang GR, atau memang Mas Elman sudah mulai berubah? Bukankah selama ini kami tidur sekamar? Tapi apa kami pantas disebut suami istri kalau nyatanya aktivitas kami di ranjang hanya tidur? Benar-benar tidur tanpa ada aktivitas lain, layaknya suami istri. 

Aku hanya diam, menunggu Mas Elman melanjutkan ucapannya, seraya menetralisir detak jantung yang tiba-tiba berdetak tak beraturan. Aku dan Mas Elman berdiri berhadapan, jarak kami hanya beberapa senti saja, itu yang menjadi penyebabnya. 

"Aku harap, kamu tidak berfikir untuk meninggalkanku," lanjutnya kemudian. 

Aku menarik nafas dalam-dalam, dan mengembuskannya pelan-pelan, mengumpulkan keberanian mengungkapkan isi hati. 

"Mbak Dita?" Entah mengapa aku justru menyebut nama gadis itu. 

"Dita? Kamu cemburu dengan Dita?" Mas Elman terkekeh, tangannya terulur mengacak rambutku. Membuat jantungku makin tak karu-karuan. 

"Eng---enggak, tapi --- " Rasa gugup makin mengusai hati. 

"Jangan kamu pikir, aku tidak tahu tatapan tidak sukamu pada Dita. Bibir kamu boleh menyangkal, tapi matamu tak bisa berbohong, Ra."

"Bukankah kalian pernah ---"

"Dengar, Ra! Dita hanya masa lalu, kamu istriku, masa depanku." Mas Elman semakin mendekatkan wajahnya, hingga aku bisa merasakan embusan nafasnya membelai wajahku. 

Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku sendiri tak bisa mendefinisikannya. Nano-nano. Sejak menikah kami tak pernah sedekat ini. Bahkan dimalam pertama kami, aku tidur di kamar Zila, karena gadis kecil itu terus merengek minta tidur sama bunda. Hingga malam berikutnya eyang memutuskan tidur di kamar Zila, memberi kesempatan aku dan Mas Elman berdua. Sayangnya kesempatan itu disia-siakan Mas Elman. 

"Aku minta maaf, karena belum bisa menjadikan kamu istri sepenuhnya. Aku mohon, bantu aku." Kali ini tatapan Mas Elman penuh harap, tatapan yang sama saat dia memintaku menjadi istrinya dulu. 

"Bantu apa, Mas?" tanyaku takut-takut. 

"Bantu aku men ---"

"Bunda! Bunda!" Suara Zila menginterupsi ucapan Mas Elman. Akhirnya aku bisa bernafas lega, terbebas dari situasi yang menegangkan ini. Meski sebenarnya berharap, Mas Elman sedikit lebih "berani". Sebagai wanita dewasa aku juga punya hasrat. 

Kamar Zila berada di samping kamar Mas Elman, jadi suara tangis Zila bisa terdengar dengan jelas dari kamar ini, apalagi pintunya terbuka lebar. 

"Zila bangun, Mas. Aku ke sana dulu ya?" Mas Elman mengangguk pelan. Tapi sebelum aku mencapai pintu, tangan ini ditariknya. 

"Kita sama-sama berusaha, Ra. Meski eyang sudah tidak ada," ucapnya pelan, membuatku bingung mencerna maksud ucapan "usaha".

Aku pergi setelah Mas Elman melepaskan tanganku. Setelah Zila kembali tidur, entah mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Adegan di kamar Mas Elman tadi terus membayang. 

Pura-pura tidur, itu yang kulakukan. Saat kurasakan selimut tiba-tiba menutup tubuhku hingga batas dada. 

Bersambung .... 

Mohon bantuan subscribe, dan bintang limanya, Say. Terimakasih... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status