Beranda / Rumah Tangga / Menyerah / Kita Sama-sama Berusaha

Share

Kita Sama-sama Berusaha

last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-15 20:18:43

*Kita Sama-sama Berusaha

Mbak Dita membaur dengan kerabat, dan keluarga besar Eyang yang masih berkumpul di ruang tamu. Meski asik ngobrol dengan mereka, aku lihat beberapa kali dia mencuri pandang ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku, menemui teman kantornya. Kulirik Mas Elman, dia sama sekali tidak menoleh ke arah Mbak Dita, padahal Mbak Dita ada di seberang kami. Mas Elman lebih memilih fokus pada obrolannya sendiri. Entah karena ada aku, atau memang Mas Elman tak lagi tertarik pada wanita cantik itu. 

Hingga menjelang malam, Mbak Dita masih betah di rumah ini, dia bahkan ikut acara tahlilan hingga selesai. Aku jadi mikir, sebesar itu cintanya Mbak Dita pada Mas Elman. Dia rela berlama-lama di sini, padahal dari tadi keluarga besar eyang bersikap kurang bersahabat padanya. 

"El, aku pulang dulu ya? Sudah malam, acaranya juga sudah selesai," pamit Mbak Dita pada Mas Elman, setelah semua tamu-tamu pulang. Sepertinya Mbak Dita sengaja pulang terakhir. Mencari kesempatan lagi mungkin. 

Heran, padahal aku di samping Mas Elman. Pantasnya dia pamitan padaku lebih dulu, meski hanya sekedar basa-basi sebagai bentuk penghormatan sebagai sesama wanita. Ini malah pamitan pada suaminya, terlihat sekali ambisi Mbak Dita yang ingin menggeser posisiku, dengan tidak menganggap keberadaanku. Mungkin kalau nggak ada aku, dia sudah minta diantar pulang. 

"Iya, Ta. Atas nama keluarga aku minta maaf atas semua kesalahan eyang sama kamu," balas Mas Elman formal sekali. 

"Aku sudah maafin, kok El. Nira, aku pulang ya?" Mbak Dita beralih kepadaku. 

"Iya, Mbak. Terimakasih sudah datang," jawabku basa-basi. 

Setelah berjabat tangan dan cipika cipiki, Mbak Dita meninggalkan rumah ini. Ada perasaan lega, melihat wanita itu pergi. Semoga saja dia tidak kembali lagi ke sini, aku sungguh tidak ingin dia menjadi duri dalam rumah tanggaku.

Kupandangi punggung Mbak Dita hingga menghilang di balik pintu mobilnya. Cantik, supel, kaya dan cerdas, paket sempurna menurutku. Jangankan laki-laki, aku yang perempuan saja terpesona dengan Mbak Dita. Itulah yang membuat aku inscure untuk memperjuangkan hati Mas Elman, rasanya tak sanggup harus bersaing dengan wanita secantik dia. 

* * * * * * * * * *

"Itu baju-bajumu mau dibawa ke mana?" tanya Mas Elman, ketika melihatku mengeluarkan pakaian dari lemari. 

Aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Mas Elman, lebih baik mulai sekarang aku mempersiapkan diri ditinggal laki-laki pendiam ini, daripada aku terus mengharap dia membalas perasaanku, tapi kenyataannya hatinya milik Mbak Dita. 

"Mau aku pindah ke lemarinya Zila, Mas. Mulai malam ini aku tidur di kamar Zila." Mas Elman terdengar menghela nafas. Dia menatapku nanar. 

"Kenapa harus pindah kamar?" tanyanya lembut, kali ini matanya menatapku dalam-dalam, membuatku hanya tertunduk tanpa berani membalas tatapannya 

"Mmm .... " Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya, selama ini aku dan Mas Elman jarang bicara, selain membahas Zila dan kalau ada eyang saja. "Kan, Eyang sudah nggak ada, Mas. Jadi kita nggak perlu lagi tidur sekamar, hanya untuk menyenangkan Eyang," ucapku hati-hati. Meski sudah setahun menjadi istrinya, tidak serta merta membuatku nyaman bicara dengan Mas Elman. 

Terdengar Mas Elman menghela nafas lagi. "Kamu boleh tidur di kamar Zila, tapi baju-bajumu biar tetap di sini." Aku menatap manik hitam milik Mas Elman, mencari jawaban

"Tapi, Mas ---"

"Aku mengijinkan kamu tidur di kamar Zila, hanya sementara. Sampai dia terbiasa tidur sendiri," ucap Mas Elman tegas tak mau dibantah, seperti yang sudah-sudah. 

Selama ini Zila tidur bersama eyang. Beliau bilang, "biar Zila tidak ketakutan saat terbangun tengah malam, lalu mencari kamu. Bagaimanapun, juga kalian butuh waktu berdua, agar bisa lebih dekat. Soal Zila, biar Eyang yang urus."

"Kenapa begitu? Bukankah selama ini ---"

"Kita ini suami istri, Ra. Masa tidurnya beda kamar?" Mas Elman bicara sambil memegang kedua bahuku, matanya menatapku dalam-dalam. 

Ini aku yang GR, atau memang Mas Elman sudah mulai berubah? Bukankah selama ini kami tidur sekamar? Tapi apa kami pantas disebut suami istri kalau nyatanya aktivitas kami di ranjang hanya tidur? Benar-benar tidur tanpa ada aktivitas lain, layaknya suami istri. 

Aku hanya diam, menunggu Mas Elman melanjutkan ucapannya, seraya menetralisir detak jantung yang tiba-tiba berdetak tak beraturan. Aku dan Mas Elman berdiri berhadapan, jarak kami hanya beberapa senti saja, itu yang menjadi penyebabnya. 

"Aku harap, kamu tidak berfikir untuk meninggalkanku," lanjutnya kemudian. 

Aku menarik nafas dalam-dalam, dan mengembuskannya pelan-pelan, mengumpulkan keberanian mengungkapkan isi hati. 

"Mbak Dita?" Entah mengapa aku justru menyebut nama gadis itu. 

"Dita? Kamu cemburu dengan Dita?" Mas Elman terkekeh, tangannya terulur mengacak rambutku. Membuat jantungku makin tak karu-karuan. 

"Eng---enggak, tapi --- " Rasa gugup makin mengusai hati. 

"Jangan kamu pikir, aku tidak tahu tatapan tidak sukamu pada Dita. Bibir kamu boleh menyangkal, tapi matamu tak bisa berbohong, Ra."

"Bukankah kalian pernah ---"

"Dengar, Ra! Dita hanya masa lalu, kamu istriku, masa depanku." Mas Elman semakin mendekatkan wajahnya, hingga aku bisa merasakan embusan nafasnya membelai wajahku. 

Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku sendiri tak bisa mendefinisikannya. Nano-nano. Sejak menikah kami tak pernah sedekat ini. Bahkan dimalam pertama kami, aku tidur di kamar Zila, karena gadis kecil itu terus merengek minta tidur sama bunda. Hingga malam berikutnya eyang memutuskan tidur di kamar Zila, memberi kesempatan aku dan Mas Elman berdua. Sayangnya kesempatan itu disia-siakan Mas Elman. 

"Aku minta maaf, karena belum bisa menjadikan kamu istri sepenuhnya. Aku mohon, bantu aku." Kali ini tatapan Mas Elman penuh harap, tatapan yang sama saat dia memintaku menjadi istrinya dulu. 

"Bantu apa, Mas?" tanyaku takut-takut. 

"Bantu aku men ---"

"Bunda! Bunda!" Suara Zila menginterupsi ucapan Mas Elman. Akhirnya aku bisa bernafas lega, terbebas dari situasi yang menegangkan ini. Meski sebenarnya berharap, Mas Elman sedikit lebih "berani". Sebagai wanita dewasa aku juga punya hasrat. 

Kamar Zila berada di samping kamar Mas Elman, jadi suara tangis Zila bisa terdengar dengan jelas dari kamar ini, apalagi pintunya terbuka lebar. 

"Zila bangun, Mas. Aku ke sana dulu ya?" Mas Elman mengangguk pelan. Tapi sebelum aku mencapai pintu, tangan ini ditariknya. 

"Kita sama-sama berusaha, Ra. Meski eyang sudah tidak ada," ucapnya pelan, membuatku bingung mencerna maksud ucapan "usaha".

Aku pergi setelah Mas Elman melepaskan tanganku. Setelah Zila kembali tidur, entah mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Adegan di kamar Mas Elman tadi terus membayang. 

Pura-pura tidur, itu yang kulakukan. Saat kurasakan selimut tiba-tiba menutup tubuhku hingga batas dada. 

Bersambung .... 

Mohon bantuan subscribe, dan bintang limanya, Say. Terimakasih... 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menyerah   Bab 58

    Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,

  • Menyerah   Bab 57

    Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la

  • Menyerah   Bab 56

    Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b

  • Menyerah   Bab 55

    Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna

  • Menyerah   Bab 54

    Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba

  • Menyerah   Bab 53

    "Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status