Share

Lipstik

Hari masih pagi aku tidak ingin dirusak oleh prasangka-prasangka. Meski feelingku sebagai istri mengatakan itu bukanlah hadiah untukku, karena jelas sekali kalau lipstik itu bekas pakai.

Aku memaksa tersenyum demi mencairkan suasana. Mas Restu yang tadi nampak begitu gugup seketika ikut tersenyum, ada perasaan lega di wajahnya.

"Oh terima kasih ya, Mas. Mungkin perasaanku saja melihat lipstiknya seperti bekas pakai," sindirku masih dengan tersenyum.

"Mu-mungkin, Mbaknya terlalu bersemangat pas nunjukin hasil warnanya sampai di garis-garisin gitu ditangannya," terang Mas Restu sembari mempraktekan dengan tangannya, dan malah terdengar mengada-ngada.

"Oh mungkin juga, Mas," jawabku.

"Kamu suka gak warna lipstiknya?" tanya Mas Restu.

"Eum ... Suka kok, Mas."

Tidak lama kemudian terdengar ponsel Mas Restu berdering. Mas Restu yang hendak memakai baju yang sudah kusiapkan di atas ranjang pun, menghentikan kegiatannya dan melihat ke arah ponsel yang tergeletak di atas nakas.

"Siapa, Mas?" tanyaku penasaran, karena melihat Mas Restu yang seperti tengah ragu untuk menerima telponnya.

"Em ... Te-teman kantor, Mas angkat telpon dulu ya!" ucap Mas Restu sembari melangkah, menjauh.

Aku hanya mengangguk, meski dalam hati juga penasaran siapa sebenarnya yang menelpon kenapa Mas Restu tidak bicara di sini saja?

***

"Lam, mungkin hari ini, Mas lembur. Jadi, kamu tidak perlu tungguin, Mas," ujar Mas Restu saat kami tengah sarapan bersama.

"Kok lembur lagi, Mas baru juga pulang dari luar kota? Emang, Mas gak kangen sama aku juga anak-anak?" protesku sengaja.

"Bukan begitu, 'kan Mas kerja juga buat kalian," jawab Mas Restu.

"Iya deh, Mas aku percaya kok. Kalau Mas sedang berjuang buat kita, bukan buat orang lain," sindirku lalu tersenyum.

Mas Restu yang tengah makan tiba-tiba tersedak mendemgar ucapanku.

"Mas, kenapa? Pelan-pelan makannya, kayak ada yang nungguin aja," selorohku sembari menyerahkan segelas air minum.

Mas Restu masih terbatuk-batuk sampai-sampai wajahnya memerah. Lalu, segera minum air pemberianku.

"Mas gak apa-apa, kan?" tanyaku lagi setelah batuknya mereda.

"Gak apa-apa, kayaknya tadi Mas tadi cuma terlalu bersemangat aja makannya," jawab Mas Restu yang terdengar tak masuk akal.

"Ya udah kalau gitu, Mas berangkat dulu ya!" pamitnya seraya bangkit dari tempat duduk.

Aku pun ikut berdiri dan menyambut tangannya. Lalu, menciumnya dengan takzim.

"Nizam, nanti berangkat sama Mama ya! Papa pergi dulu. Ghazi jagain Mama ya!" ujar Mas Restu pada Nizam dan Ghazi yang tengah asyik makan.

"Siap, Pa!" Bocah lelaki yang baru duduk di bangku TK itu menjawab dengan semangat. Sementara Ghazi asyik dengan makanannya. Umurnya baru dua tahun setengah, jadi belum terlalu mengerti, kalau lagi mau saja ia akan bersemangat jika Mas Restu pamit berpergian.

Mendengar jawaban, Nizam Mas Restu tersenyum. Lalu, kedua bocah tersebut menyambut tangan papanya dan menciumnya.

"Mas berangkat ya!" Mas Restu pun kembali pamit, sebelum ia benar-benar pergi.

Aku mengangguk. "Hati-hati, Mas jangan lupa jaga hati, jaga mata!" ucapku sembari melempar senyum bercanda.

Namun, ternyata sukses membuat Mas Restu nampak salah tingkah.

"Kayak ABG aja, mesti diingatin jaga hati jaga mata segala," kilah Mas Restu dengan tersenyum kikuk.

Aku tertawa. "Siapa tau berguna, Mas. Saat lagi lihat yang kinclong di luar sana," ucapku masih dengan nada candaan.

Mas Restu nampak tersenyum, meski sebenarnya ia tidak bisa menutupi rasa salah tingkah saat mendengar ucapanku tersebut. Entah apa yang sedang ia tutupi, hingga wajahnya terlihat panik begitu.

***

Setelah Mas Restu berangkat, aku pun segera berkemas untuk segera mengantar Nizam ke sekolah, dan ke tempat kerja. Sementara Ghazi kutinggal bersama Bi Atun.

"Ma, bekal Papa tinggal," ucap Nizam sembari menunjuk pada sebuah kotak bekal warna telur asin tersebut.

"Ah iya, nanti Mama anterin aja kalau gitu."

Aku dan Nizam pun segera berangkat, dan mengeluarkan mobil dari car port. Pak Budi yang bertugas sebagai penjaga keamanan gegas membuka pintu gerbang. Lalu, perlahan mobil yang ku kendarai mulai meluncur membelah jalan.

Tujuan utamaku adalah mengantar Nizam terlebih dahulu, baru akan mengantar bekal makan siang Mas Restu yang tertinggal, setelahnya berangkat ke kantor.

Usai mengantar Nizam, aku segera kembali menekan pedal gas melanjutkan menuju tempat Mas Resru bekerja, beruntung satu arah jadi aku tak perlu repot untuk putar balik.

Begitu sampai, aku segera turun dan di sambut security yang jaga.

"Mau ketemu, Bapak ya, Bu?" tanya Pak Bagas yang memang sudah mengenalku sebagai istrinya Mas Restu.

"Iya, mau nganter bekalnya Mas Restu ketinggalan," terangku sembari melempar senyum.

"Oh begitu," jawab Pak Bagas sambil manggut-manggut.

"Ya sudah kalau begitu, saya masuk dulu ya, Pak!"

"Oh iya, mari, Bu silahkan!"

Aku pun gegas melangkah menuju ruangan Mas Restu. Mas Restu pasti kaget, karena jarang-jarang aku datang kemari apa lagi jam segini.

Tiba di depan pintu ruang kerjanya, aku hendak mengucap salam. Namun, terhenti saat tanpa sengaja aku mendengar suara seseorang tengah bicara.

"Jadi kapan, Mas akan jujur sama istrinya, Mas soal ...." Kalimat itu terjeda.

"Kenapa kamu taroh lipstik di koper, Mas?" Itu suara Mas Restu, entah siapa lawan bicaranya.

Bersambung ...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mungkinkah Restu mendua
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
feeling istri sangat kuat,bahwa ada gejala selingkuh pada suaminya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status