Bab 146"Aku yang membuat mereka bercerai, dan aku pula yang harus membuat mereka rujuk. Ini sama sekali tidak lucu, Winda.""Tapi aku menginginkan mereka bisa rujuk," ucapnya berapi-api. Perempuan itu sangat cantik, dengan tubuh semampai, dengan kulit wajah yang begitu glowing. Namun kecantikan tubuhnya tidak lantas membuat hatinya juga cantik. Winda salah langkah. Dia berpikir Aariz tetap mencintai setelah mereka di cerai paksa, dan ia menikah lagi. Tak pernah disangka jika ternyata mantan ibu mertuanya menghadirkan perempuan baru yang bisa mengalihkan dunia Aariz.Kini terpaksa ia mati-matian mengembalikan cintanya. Segala cara harus ia lakukan."Atau kamu ingin jika aku menyingkirkan Alifa dengan cara kasar?!""Apa urusannya denganku? Tapi sekedar mengingatkan, sebaiknya kamu berpikir ulang untuk menyingkirkan Alifa. Status Alifa saat ini cukup kuat. Dia mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari keluarga El Fata, beda jauh saat kamu masih menjadi istrinya dokter Aariz. Kamu
Bab 147"Kamu masih belum nyerah juga buat bujukin saya untuk menengok Eliana, Ina?" tukas pria itu. Kesal juga rasanya, dua perempuan di apartemennya ini kompak, dua-duanya memintanya untuk menjenguk Eliana di rumah sakit."Memangnya apa salahnya? Bapak nggak perlu ngasih uang kok, yang penting datang sebentar. Cuman itu aja. Kita datang bukan buat Bu Eli, tetapi buat kita sendiri. Kita menunjukkan bahwa kita lebih baik dari Bu Eli, bukan menganggap dia nggak punya salah sama kita.""Kalian itu nggak bosan-bosannya," keluh pria itu sembari membantu mendorong troli yang penuh dengan barang belanjaan. Keduanya tengah berada di supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Acara belanja bulanan yang dimanfaatkan Ina untuk kembali membujuk pria itu agar mau menengok Eliana."Kamu mau tahu alasan lain, kenapa saya nggak mau menengok perempuan itu?" dengusnya gemas. "Kamu harus tahu, In. Dia itu semakin diberi hati, malah minta jantung.""Ya, jangan dikasih jantung dong, Pak. Cukup
Bab 148Lily melangkah lunglai keluar dari ruangan direktur rumah sakit ini. Pikirannya berkecamuk hebat. Berkali-kali ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, apalagi saat kakinya melangkah semakin mendekati Keenan dan Ina, yang tengah duduk di salah satu bangku panjang rumah sakit ini.Tangannya memegang sebuah map, pegangan yang sangat erat, demi berusaha menyembunyikan gelisah yang menderanya."Aku minta maaf atas pernyataanku tadi, Om. Ternyata memang terjadi salah paham di sini. Data-data yang aku lihat di laptop itu adalah data yang belum update, jadi yang benar itu adalah data yang ada di ponsel Om. Om bisa lihat sendiri di map ini dan bandingkan, apakah sama rincian biayanya dengan rincian biaya yang dikirimkan oleh pihak rumah sakit ke ponsel Om." Lily menjelaskan dengan suara bergetar.Lily menyodorkan map itu kepada Keenan yang dengan segera dibuka oleh pria itu, lalu Keenan pun membuka ponselnya, berusaha membandingkan angka-angka yang tertera di lembaran kerta
Bab 149 Seharusnya kedatangan Keenan membuat Eliana merasa senang, tapi melihat raut kecewa di wajah pria itu, nyalinya seketika menciut. Dia berharap perhatian Keenan menjadi titik awal bagi mereka, tapi ternyata tidak. Keenan datang cuma untuk memarahinya. Eliana tak habis pikir. Ada apa dengan rumah sakit ini? Kenapa mereka sampai menagih biaya pengobatannya kepada Keenan? Sementara dia tidak pernah membuat pernyataan, apalagi menunjuk Keenan sebagai penanggung jawab. Dia bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Dialah yang bertanggung jawab atas biaya pengobatan dirinya. Sekalipun ada selisih biaya yang harus ia bayar, rumah sakit harusnya memberitahu kepadanya. Sementara ini enggak. Biaya langsung dibebankan kepada Keenan. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun untuk menanyakan hal itu, Eliana tidak kuasa. Dia bukan siapa-siapa sekarang. Dia sempat ingin bertemu dengan direktur rumah sakit ini, tapi menurut asisten pribadinya, dokter Dodi tengah sibuk. Bukan cuma itu. T
Bab 150"Mau apa kamu kemari?" Aku menatap curiga perempuan ini. Penampilan Eliana sungguh sangat berbeda dibandingkan terakhir kali kami bertemu. Sekarang ia nampak lebih kurus dan wajahnya agak pucat. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sampai dia seperti ini. Padahal dulu dia sangat mementingkan penampilan. Gaya hidupnya pun sangat hedon.Aku bahkan dibuat takjub dengan perempuan pilihan mama Yunita ini. Entah apa yang dilihatnya dari Eliana, selain konon berpendidikan tinggi di luar negeri dan anak dari sahabatnya.Sebenarnya aku sangat terkejut tatkala mendapatkan informasi dari security bahwa ada seseorang bernama Eliana meminta bertemu denganku. Oleh karena itulah, aku meminta security untuk membiarkan Eliana masuk, dengan syarat berada dalam pengawasan, karena aku tidak mau perempuan ini mengacau di rumah mertuaku."Aku ingin berbicara sama kamu. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan.""Katakan saja....""Aku menderita tumor payudara dan harus mendapatkan tindakan penga
Bab 151 "Ini hanya naluri seorang istri. Meski pernikahan kita atas dasar perjodohan, tapi aku adalah istrimu. Hera ataupun Winda, mereka semua terobsesi kepadamu dan mereka tidak akan pernah menyerah dengan mudah." Bibir Alifa bergetar saat menyadari kini ia sudah berada dalam pangkuan suaminya, yang sedang menumpukan tangan pada perutnya. Aariz membelai perut yang mulai terlihat menonjol itu. Aariz menghela nafas. Dia memang terbuka soal Hera, tapi tidak demikian soal Winda. Banyak hal yang ia pertimbangkan termasuk dampak psikologis Alifa yang tengah hamil muda. Tidak mungkin ia membuat Alifa cemas yang berlebihan lantaran para perempuan yang tengah mengejar-ngejarnya. Tidak mungkin semua tentang para perempuan yang terobsesi padanya bisa ia ceritakan kepada Alifa. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu soal Winda? Apa Winda mengganggumu?" selidik pria itu. Nada bicaranya amat lembut. "Beberapa hari yang lalu Eliana datang dan mengatakan jika aku harus waspada dengan W
Bab 152Konsentrasi Keenan benar-benar pecah. Dia tak lagi fokus saat pertemuan dengan klien. Beruntung Lolita bisa mengisi kekurangan itu. Dia dengan tangkas melakukan presentasi di hadapan klien, hal yang seharusnya dilakukan oleh Keenan. Perjalanan mereka kini menuju kantor. Keenan diam seribu bahasa. Jika biasanya ia begitu antusias membahas pekerjaan dengan Lolita, tetapi sekarang tidak. Pria itu hanya diam sembari menimang ponselnya.Apa benar Alifa hanyalah obat untuk dokter Aariz yang tengah terpuruk lantaran perpisahan dengan istri pertamanya?Kepala pria itu berdenyut. Tanpa sadar ia memejamkan mata. Dia tahu ini salah, tapi cintanya pada perempuan itu membuatnya harus peduli. Dia memang sudah kalah. Aariz lah pemenang segalanya. Aariz lah yang kini memiliki Alifa. Tapi apa benar Alifa tidak bahagia bersama Aariz? Dia tidak melihat kesan itu saat bertemu dengan Alifa tempo hari. Ataukah itu karena Alifa terlalu pandai menyembunyikan perasaannya?Alifa terlihat ceria da
Bab 153Bintang utama kali ini adalah dokter Agus. Dia dokter bedah yang bertugas untuk membedah paha pasien demi mengeluarkan proyektil yang bersarang di organ itu. Ini sedikit rumit, karena pasien juga tengah hamil.Itulah kenapa dokter Aariz sampai terlibat.Setelah menunggu beberapa saat setelah pasien mendapatkan suntikan anestesi, akhirnya prosedur ini dijalankan. Dokter Agus berhasil mengeluarkan sebuah peluru dari paha pasien. Beruntung tidak ada pendarahan yang berlebihan. Namun keadaan pasien terus dikontrol, karena meskipun letak peluru itu jauh dari rahim, tetap saja tim dokter tidak mau ambil resiko, sehingga dokter Aariz dilibatkan sebagai dokter kandungan.Pria itu menghela nafas lega ketika semuanya selesai dan pasien keluar dari ruang operasi untuk memasuki ruang observasi di IGD.Malam sudah larut tatkala Aariz sampai di rumah. Namun Alifa ternyata masih belum tidur."Sayang, kenapa belum tidur?" Pria itu bergerak mendekati tempat tidur. Dia duduk di samping istriny
Bab 182"Kamu sudah nikah, Ta? Kenapa nggak kasih kabar sama aku sih?" rajuk perempuan itu. Dia melirik balita mungil yang tengah duduk di dekat Atta. Dita nampak asyik memainkan puzzle, walaupun tak karuan bentuk bangun yang sedang dia ciptakan.Atta dan Sheila duduk berhadapan, di batasi meja pendek. Mereka duduk lesehan di lantai. Saung yang mereka tempati memang agak jauh jaraknya dari saung lain yang ada di kebun ini, sehingga pembicaraan mereka tak mudah didengar oleh orang lain."Apa penting aku ngasih kabar sama kamu tentang apapun yang terjadi di dalam hidupku? Kenapa kamu begitu percaya diri? Apa kamu merasa sepenting itu dalam hidupku?" Pria itu berkata dengan nada meninggi.Pertemuan yang tak diduga ini membuatnya muak. Sheila, perempuan yang pernah mewarnai masa lalunya, cerita manis dan pahit sekaligus. Berawal manis dan berakhir dengan sangat pahit. Hinaan Sheila yang mengikis habis harga dirinya juga yang membuat Atta sampai saat ini tidak pernah mencoba untuk menjalin
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan