Bab 22"Kalaupun aku masih mencintainya, apa dia masih mau untuk dicintai?" Keenan tersenyum pahit seolah memberi gambaran kepada sang ibu jika ia begitu terluka. Menceraikan Alifa, sama artinya dengan melukai dirinya sendiri. Membakar semua barang kepunyaan perempuan itu, sama artinya dengan membakar barang berharganya sendiri.Sampai saat ini, Keenan tidak tahu secara persis, alasan apa yang menyebabkan ibu dan dua kakak perempuannya begitu benci dengan Alifa. Namun yang lebih lucu, mereka memaksa untuk menjodohkannya dengan seorang perempuan yang jauh lebih buruk daripada Alifa, minus kelakuan Alifa yang pernah berselingkuh."Mama nggak akan izinkan kamu untuk rujuk dengan Alifa, walaupun kamu menceraikan Eliana. Lebih baik Mama nggak punya menantu daripada bermenantukan wanita miskin seperti Alifa." Yunita tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Perempuan paruh baya itu malah mengepalkan tangan, sembari menunjuk kepada putra bungsunya ini.Apa jangan-jangan karena selama ini dia mer
Bab 23"Assalamualaikum, Bunda." Aku mencium bunda Ramlah, pemilik panti asuhan itu."Waalaikumsalam, Nak Ifa. Silahkan masuk," ujarnya ramah. Sebelum menuju panti asuhan ini kami memang sudah mengkonfirmasi kesediaan bunda Ramlah untuk kunjungan kami malam ini. Sebenarnya tidak enak juga berkunjung ke tempat orang malam-malam. Tapi benar, Atta tidak memiliki waktu lain selain malam hari"Mohon maaf jika kedatangan kami malam-malam begini, karena saya dari pagi sampai malam bekerja. Jadi tidak ada yang mengantar Alifa untuk bertamu ke panti ini," jelas Atta setelah ia meletakkan barang bawaannya di lantai."Tidak apa-apa, Nak Atta. Kami merasa sangat beruntung dikunjungi oleh orang-orang seperti kalian. Sudah hampir sebulan ini panti tidak mendapatkan kunjungan dari...."Aku memindai sekelilingku. Bangunan ini memang sudah tua dan sepertinya memang perlu renovasi. Heran, kenapa ada panti asuhan di tengah kota yang kondisinya memprihatinkan seperti ini?"Ada berapa anak di panti ini,
Bab 24Perdebatan antara dokter Aris dan Atta selalu membuatku takut. Dari awal kakak beradik itu selalu saja beda persepsi. Bahkan penerimaanku sebagai ibu susu Gibran pun penuh drama. Atta yang percaya penuh kepadanya, sementara dokter Aariz yang penuh kehati-hatian, meski akhirnya aku lolos sebagai ibu susu Gibran, karena ASI yang kumiliki berkualitas baik.Tetap saja mereka sering kali silang pendapat.Kamar ini letaknya tidak begitu jauh dari area ruang tamu, dan tentu saja aku bisa mendengar pembicaraan kedua kakak beradik itu. Mereka tengah membahasku. "Apa yang harus kulakukan?" keluhku seraya menatap anak susuanku yang terlelap damai di tempat tidurnya. Wajah polos tanpa dosa itu nampak tersenyum di dalam tidur, entah sedang memimpikan apa."Maaf, karena kehadiran Mama dalam keluarga ini sudah membuat papa kamu dan Om Atta sering bertengkar," bisikku seraya meremas ujung jilbab yang kukenakan. Aku sudah tak tahan lagi. Memutuskan untuk bangkit, keluar dari kamar, dan akhi
Bab 25"Ya, kalau mereka mau. Kalau nggak, gimana? Kita nggak mungkin memaksakan mas kamu dengan perempuan itu, walaupun terus terang Mama sangat menyukainya.""Aku juga menyukainya, Ma." Atta menimpali dengan santainya."Jangan rebutan dengan kakakmu, Atta! Ingat janjimu. Kalau kamu memang menginginkan perempuan itu, ya jangan disodorkan sama kakakmu!" omel Wardah. Dia menoyor jidat anak bungsunya itu seolah meluapkan perasaan. Ada kekhawatiran di dalam dirinya, takut jika kedua anak laki-lakinya rebutan perempuan."Aku menyukainya sebatas seorang adik kepada kakaknya, Ma. Jangan khawatir. Aku nggak ada perasaan aneh-aneh sama Mbak Alifa. Kalau perhatian memang iya, karena aku kasihan dengan nasibnya. Kupikir Mas Aariz itu pria yang tepat untuk Alifa, lagi pula kita nggak bisa mengharapkan Mbak Winda balik lagi, kan?" beber pria itu. Sedikit meringis lantaran jari telunjuk ibunya cukup kuat menghantam jidatnya."Tentu saja, Atta.""Ngapain juga mereka harus balikan? Mama juga nggak m
Bab 26Bibirku tertarik melengkungkan sebuah senyuman, membalas senyum dokter Aariz yang terkesan ditahan-tahan itu. Entah apa yang menyebabkan ia tersenyum seperti ini. "Bener, Dok! Suasananya sangat mendukung. Rasanya hati ini damai berada disini. Kami menyukai tempat ini.""Dulu saya sering mengunjungi tempat ini, hanya belakangan ini tak pernah lagi, karena sangat sibuk dengan pekerjaan. Kalau kalian merasa senang, kita bisa sering mengunjungi tempat ini, tentu menyesuaikan dengan hari libur saya, itu pun jika tidak ada pasien dadakan ya. Sebagai seorang dokter, saya nggak bisa menolak pasien yang datang dan minta ditangani, apalagi jika mereka adalah pasien yang kondisinya tidak bisa ditangani oleh dokter Amel atau dokter Halimah," papar pria itu."Karena Dokter Aariz yang paling senior di RSIA Hermina," celetuk Naira."Kalau senior sih, saya merasa nggak ya. Tapi benar, jam terbang saya lebih tinggi dibandingkan dua dokter itu. Pihak RSIA Hermina merekrut mereka saat baru saja
Bab 27"Astagfirullah... Kenapa Mbak?" Suara teriakanku yang cukup keras rupanya membuat seorang pemancing kaget dan berlari mendekatiku. Dia melihat ibu jari kakiku yang berdarah, dan ada pecahan beling kaca di dekat kakiku."Waduh, Mbak. Ada beling kaca rupanya. Pantesan." Pria itu nampak kebingungan. Namun akhirnya mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan ia balutkan di ibu jari kakiku."Ini untuk pertolongan pertama saja, Mbak. Sebaiknya nanti diobati, karena saya lihat lukanya cukup lebar. Darahnya banyak tadi," ucap pemuda itu."Iya. Terima kasih banyak ya. Mas udah nolong saya, jadinya sapu tangan masnya....""Itu cuma sapu tangan, Mbak. Nggak apa-apa, Nanti kalau sudah diobati, sapu tangannya buang aja, nggak usah dikembalikan ke saya.""Wah, jadi nggak enak sama Mas," ucapku sembari menatap ibu jari kakiku."Nggak papa, Mbak. Rumah mbaknya di mana? Biar saya antar pulang. Kayaknya kalau jalan kaki agak susah ini, takutnya nanti darahnya terus mengalir dan jarinya kebu
Bab 28Ah, ribet.Apa mereka pikir gampang banget untuk menjadi menantu keluarga El Fata? Dulu aku menikah dengan mas Keenan dan akhirnya harus tersingkir karena aku berasal dari keluarga miskin.Bahkan mereka menyingkirkanku dengan cara yang sangat menyakitkan, melukai harga diri dan kehormatanku. Keluarga mas Keenan yang tidak sekaya keluarga El Fata saja menolakku, apa kabar dengan keluarga El Fata? Jika hari ini mereka baik, mungkin karena mereka butuh air susuku untuk anggota baru keluarga mereka yang terpisah dari ibunya. Tapi kalau untuk menjadi menantu? Hahaha... Tunggu dulu!Langit tetaplah langit. Tak ada yang bisa berubah. Cinderella hanya ada di dalam cerita dongeng pengantar tidur anak-anak. Dokter Aariz sudah menjanjikan jika masa menyusui berakhir, maka aku akan bekerja di salah satu perusahaan milik mereka. Bagiku itu adalah hal yang bagus, bahkan mereka berjanji akan membantu supaya ijazahku kembali terbit untuk menggantikan ijazah yang sudah dibakar oleh mas Keen
Bab 29"Kok aku sih? Kan ada Ina? Kalau aku juga yang ngurusin Sherina, buat apa ada Ina? Kita sudah bayar dia, kan? Jangan aneh-aneh deh!" Jangankan meraih putrinya, memandang saja pun tidak. Eliana malah berjalan mendekati meja makan. Perutnya sudah lapar minta diisi.Matanya berbinar melihat sepiring nasi goreng yang ada di atas meja makan. Menu sarapan yang sebenarnya merupakan jatah Keenan. Namun secepat kilat, Yunita mengambil nasi goreng itu, lalu meletakkan di samping piringnya."Kamu ini apa-apaan sih?! Bukannya menggendong Sherina, tapi malah mau makan. Nggak bisa! Ini jatah sarapan Keenan. Kalau mau makan, bikin saja sarapan sendiri. Tapi sebelumnya urus dulu anak kamu itu. Masa suami udah mau berangkat kerja masih harus mengurus anak?!" Yunita langsung mengomel. Gemes ia dengan tingkah menantunya yang sok manja dan ngebos. Yunita hanya meminta Eliana untuk menggendong Sherina sebentar, tapi tanggapan Eliana terkesan seolah-olah jika dia membebankan urusan anak kepada Eli
Bab 182"Kamu sudah nikah, Ta? Kenapa nggak kasih kabar sama aku sih?" rajuk perempuan itu. Dia melirik balita mungil yang tengah duduk di dekat Atta. Dita nampak asyik memainkan puzzle, walaupun tak karuan bentuk bangun yang sedang dia ciptakan.Atta dan Sheila duduk berhadapan, di batasi meja pendek. Mereka duduk lesehan di lantai. Saung yang mereka tempati memang agak jauh jaraknya dari saung lain yang ada di kebun ini, sehingga pembicaraan mereka tak mudah didengar oleh orang lain."Apa penting aku ngasih kabar sama kamu tentang apapun yang terjadi di dalam hidupku? Kenapa kamu begitu percaya diri? Apa kamu merasa sepenting itu dalam hidupku?" Pria itu berkata dengan nada meninggi.Pertemuan yang tak diduga ini membuatnya muak. Sheila, perempuan yang pernah mewarnai masa lalunya, cerita manis dan pahit sekaligus. Berawal manis dan berakhir dengan sangat pahit. Hinaan Sheila yang mengikis habis harga dirinya juga yang membuat Atta sampai saat ini tidak pernah mencoba untuk menjalin
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan