Share

Pendarahan

Author: Jannah Zein
last update Huling Na-update: 2025-01-02 18:27:19

Bab 2

"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa...."

"Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara.

"Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula.

"Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri.

"Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seorang pengusaha, jadi ia masih mampu membiayai empat rumah tangga sekaligus. Mama, mbak Rossa, mbak Yuna, dan rumah tangga kami.

Arrrghhh...

Pria itu langsung histeris saat melihat sang ibunda tiba-tiba menyambar sebuah pisau yang terletak di atas lemari pajangan. Dia langsung menangkap tangan sang ibu yang bermaksud mengiris pergelangan tangannya sendiri.

"Apa yang Mama lakukan? Jangan bodoh, Ma!"

"Lebih baik Mama mati sekarang daripada Mama mati pelan-pelan lantaran tersiksa karena melihat kamu yang begitu bodoh beristrikan seorang pelacur!" Perempuan tua itu balas berteriak. Namun kulihat dia begitu pasrah saat mas Keenan mengambil pisau itu dari tangannya.

"Talak Alifa sekarang juga. Cepat!" teriak mbak Rosa dan mbak Yuna bersamaan, lalu kedua perempuan itu menarik tubuh ibunya setelah sang ibu terbebas dari pisau yang membahayakannya barusan.

Aku tahu, mas Keenan bisa mengabaikan apapun dan memilih tidak percaya dengan barang bukti yang disodorkan oleh kedua kakak perempuannya dan Eliana, tapi tidak dengan ibunya.

Kelemahan mas Keenan adalah ibunya, dan pria itu adalah lelaki satu-satunya di dalam keluarga inti mereka.

Anak lelaki adalah milik ibunya selamanya. Itu yang selalu ditanamkan oleh ibunya kepada mas Keenan, sehingga pria itupun tunduk dengan kemauan mereka.

Akhirnya talak itu pun jatuh.

Namun tidak cukup sampai di situ.

Ibu mertuaku tidak membiarkan aku hidup enak setelah bercerai dari mas Keenan. Dia memaksa mas Keenan untuk mengambil semua fasilitas yang telah diberikan kepadaku.

Pria itu menjadi gelap mata. Dia sangat emosi, frustasi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia malah memilih membakar semua barang-barang yang pernah kumiliki, termasuk barang-barang yang sangat penting, ijazah, kartu tanda pengenal, dan semua benda penting dan berharga yang kumiliki.

Aku keluar dari rumah mas Keenan hanya dengan pakaian yang melekat di badan.

Tersaruk-saruk melangkah, lalu berhenti di sebuah masjid, menunaikan shalat zuhur dan menangis di dalam doaku. Aku terus menangis sampai kurasakan dan menyadari jika sudah tak ada lagi yang perlu ditangisi.

Buat apa?

Saat ini mereka pasti tengah merayakan kemenangan karena berhasil memisahkan kami.

Tanganku seketika mengepal ke depan.

Akhirnya aku bangkit, melepaskan mukena dan segera keluar dari masjid, melanjutkan perjalananku menuju pasar terdekat.

Aku harus segera melanjutkan hidup.

Satu-satunya keahlian yang mungkin bisa membantuku bertahan hidup hanyalah berjualan. Aku mendekati sebuah toko perlengkapan bayi yang terlihat sepi, lalu mencoba berbicara dengan pemiliknya.

"Kamu lihat sendiri, toko ini sepi, Nak. Apa kamu mau jika nantinya pendapatan kamu dihitung hanya berdasarkan komisi? Terus terang Ibu tidak sanggup untuk menggajimu, karena omset penjualan belakangan ini sangat sedikit," ucap perempuan paruh baya itu.

Perempuan bernama Sabrina itu menatapku sembari mengerutkan kening. Mungkin dia merasa iba dan ingin menolong, tapi melihat kondisi tokonya yang sepi membuatnya harus berpikir ulang.

"Tidak apa-apa, Bu. Sebagai percobaan, saya minta waktu seminggu untuk berjualan dan membantu ibu di sini. Gratis kok, Bu. Ibu hanya cukup bayar komisi dari setiap barang yang terjual. Cuma itu saja. Paling-paling nanti Ibu menyediakan saya segelas teh dan sepotong kue untuk makan saya," bujukku.

Tuntutan perut yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi membuat cara berbicaraku lebih mirip seorang pengemis.

"Kalau cuma sekedar makan dan minum, Ibu nggak akan keberatan. Baiklah, Alifa. Kamu boleh ikut kerja bantu ibu berjualan mulai hari ini."

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.

Sepertinya memang sudah jalannya. Baru tiga hari aku mulai berjualan, tetapi pembeli sudah berdatangan, bahkan aku berhasil menjual ratusan barang setiap harinya. Itu yang membuatku akhirnya diterima sebagai karyawan tetap dan mendapatkan gaji mingguan, di samping uang komisi dari setiap barang yang terjual.

***

Suara berisik yang berada di dekatku membuatku kembali membuka mata.

Aku tidak tahu entah berapa menit aku melamun, tapi yang jelas hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sekitaran bangunan itu sudah dinyalakan, memaksaku untuk segera bangkit dan keluar dari area rumah sakit.

Aku berjalan pelan sembari menahan rasa pusing. Untungnya toko tempatku mengais rezeki dan juga tempat tinggalku itu cukup dekat dengan rumah sakit, sehingga aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki.

Mungkin lantaran kasihan, ibu Sabrina membiarkanku menempati sebuah ruangan kosong yang berada di belakang tokonya. Ruangan yang semula berfungsi sebagai gudang itu akhirnya disulap menjadi tempat tinggalku.

Tidak apa-apa, yang penting ada tempat bernaung. Aku juga bersyukur karena masih bisa makan meski seadanya.

"Ayo semangat, Sayang. Kamu bantu Mama jualan ya, biar dapat komisi yang banyak. Biar Mama bisa beli susu hamil...." Aku mengusap perutku berkali-kali saat perutku kembali bergejolak pagi ini.

Rasanya ingin istirahat saja, tapi tidak mungkin.

Aku butuh uang yang banyak untuk persiapan kelahiran anakku nanti. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan nasibku?

Aku hanya sendirian di dunia ini. Tidak punya orang tua bahkan sanak keluarga pun juga sudah tidak peduli padaku semenjak orang tuaku meninggal. Tidak seorangpun yang bisa kumintai bantuan. Aku bersyukur bertemu dengan ibu Sabrina yang mau mempekerjakanku dan memberikan tumpangan tempat tinggal.

"Wajahmu pucat sekali. Kamu kenapa, Nak?" tegurnya saat kami makan siang. Rupanya ia baru menyadari perubahan di wajahku karena sejak tadi aku sibuk melayani pembeli yang nyaris tiada henti berdatangan.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah, karena banyak sekali pembeli yang datang," kilahku.

"Tapi kamu terlihat sedang menahan sakit. Bagaimana kalau kamu istirahat saja? Biar Ibu yang handle pembeli sore ini," tawar ibu Sabrina.

"Nggak usah, Bu. Aku masih kuat kok. Lagi pula nanti malam bisa istirahat puas-puas."

Perempuan itu menggeleng, meski terlihat tak percaya dengan penjelasanku. Namun nyatanya ia membiarkanku terus berjualan sampai waktu tutup toko.

Tidak boleh ada yang tahu kehamilanku, termasuk ibu Sabrina. Aku berusaha menutupi kehamilanku, karena takut wanita itu tidak lagi mau mempekerjakanku lantaran sedang hamil.

Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan biaya persalinanku nanti?

Bahkan sejak hari itu, aku tidak pernah lagi konsultasi kehamilan dengan dokter Aariz. Biaya USG sebesar 250.000 itu cukup mahal untukku, belum termasuk vitamin dan obat-obatan yang nanti harus ditebus. Aku berpikir berulang kali untuk mendatangi rumah sakit itu. Lebih baik uangnya ditabung untuk persiapan biaya persalinan.

Untuk periksa kehamilan, aku mendatangi bidan di puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis.

Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Kehamilanku tidak ada masalah. Aku hanya mengalami mual dan pusing saat trimester pertama. Setelah itu badanku kembali fit, walaupun terkadang aku tidak selalu bisa minum susu hamil lantaran tidak ada uang lebih untuk membelinya. Aku menutupi perutku dengan gamis longgar yang memang selalu menjadi pakaian harianku sehingga perut besarku tidak begitu kentara terlihat.

Sampai akhirnya....

Aku mengalami pendarahan disaat baru saja bangun tidur.

"Darah...?! Banyak sekali." Tubuhku seketika gemetar menyaksikan sprei yang basah oleh cairan merah yang mengalir dari selangkanganku.

Meskipun perutku tidak merasakan sakit, tapi aku tahu, ini adalah tanda bahaya.

Aku bergegas mengambil pembalut dan memasangnya, lalu bersiap-siap menuju rumah sakit.

Tak ada seorangpun yang menolong untuk bersiap-siap. Aku menyeret tas besarku sendirian, dan berjalan keluar dari bagian belakang toko ini.

Rasa cemas, takut dan bingung bercampur menjadi satu. Satu-satunya tempat yang ada di otakku hanyalah rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina yang memang berjarak paling dekat dengan toko ini.

Saking kalutnya, aku bahkan sampai lupa menyadari jika rumah sakit milik dokter Aariz itu tidak memberikan pelayanan kepada pasien BPJS.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 199 (Tamat)

    Bab 199Tak ada rasa cemburu, apalagi sakit hati. Semua rasa itu begitu tawar. Alifah sudah sepenuhnya berdamai. Dia hanya ingin melanjutkan hidup dengan baik, menerima takdirnya sebagai istri dari Aariz El Fata, yang sudah memilihnya, meski di awal dia bukanlah pilihan. Setiap rumah tangga memiliki cobaan masing-masing. Seperti dia yang pernah dicintai oleh Keenan dan diratukan di awal-awal pernikahan mereka meski keluarga Kenan tidak menyukainya, tapi toh akhirnya mereka bercerai juga. Kekuatan cinta tidak lantas bersinergi dengan kekuatan takdir. Dia sudah mencoba bertahan dan berjuang, tapi ternyata dia akhirnya diusir dan diceraikan.Alifa memang tidak bisa melupakan semuanya, tapi setidaknya dia bisa mengelola rasa yang ada di dalam dirinya. Trauma memang masih ada. Namun semua itu akhirnya teratasi dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh suaminya yang sekarang, pria yang ia harapkan menjadi tempatnya merenda takdir di hari-hari selanjutnya sampai mereka menua dan kelak menutup m

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 198

    Bab 198"Anak-anak ini memang sudah menikah, tapi saya bermaksud untuk melamar Sulis secara resmi kepada kamu. Ini memang terlambat dan nggak sesuai dengan aturan, tapi anak-anak ini...." Perempuan setengah baya itu menghela nafas. Andai tahu dari awal jika sebenarnya Wulan yang dimaksud oleh Sulis itu adalah sahabat masa kecilnya, tentu Wardah akan melakukan persiapan lebih detail.Wardah merasa sangat malu kepada sahabatnya. Dia memang hilang kontak dengan Wulan selama puluhan tahun, jadi tidak tahu jika Wulan memiliki seorang anak angkat. Sepanjang yang ia ketahui, Wulan memang tidak punya anak, karena ia divonis mandul. Ingin rasanya ia menjitak kepala Atta, atau menjewer telinga putra bungsunya ini. Namun sekali lagi, semuanya percuma. Nggak ada gunanya. Mereka sudah terlanjur menikah, dan mungkin sudah melewati malam pertama. Terlihat dari raut wajah Sulis yang sedikit pucat dan cara jalannya yang tidak normal."Iya, saya juga tidak tahu. Sulis baru menelpon pagi hari setelah m

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 197

    Bab 197Dengan sekali gerakan, Atta menggendong Sulis menuju pembaringan. Beruntung rupanya ranjang di kamar itu berukuran king. Meski kamar ini ukurannya tidak terlalu besar, namun fasilitasnya cukup baik. Kamar ini pun cukup bersih, dan yang lebih menarik ternyata lagi-lagi salah satu bidang dinding dihiasi oleh wallpaper bermotif keroppi. Ada juga hiasan boneka gantungan kunci dan pernak-pernik dengan motif keroppi. Mungkin istrinya ini memang menyukai tokoh karakter kartun tersebut.Atta sama sekali tidak menyangka jika pusaka miliknya malah mengeras, mengeras dengan sangat sempurna layaknya pria normal pada umumnya. Padahal tujuannya pertama kali menyentuh Sulis adalah ingin melimpahi perempuan yang sudah mau menerima dirinya apa adanya ini dengan kasih sayang. Atta tidak tahu seperti apa bentuk perasaannya saat ini. Mereka baru dua kali bertemu dan sisanya hanya berhubungan lewat telepon seluler.Namun setiap kali bertemu dengan perempuan itu, setiap kali dia menghubungi Sulis

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 196

    Bab 196"Kamu yakin?" Lirih sekali suara perempuan itu. Namun ia tetap mengangguk."Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Sulis. Apa kamu yakin bisa menerima kekuranganku ini? Bagaimana jika seandainya kekuranganku ini menjadi sesuatu yang permanen? Kita tidak bisa menjamin, kan? Bisa saja analisa kamu itu salah.""Aku yakin, Mas. Aku yakin sekali. Kamu pria yang istimewa. Sesuatu yang kamu anggap sebagai kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang tak bisa sembarang orang miliki. Percayalah. Kalau aku tidak memandangmu sebagai pria yang istimewa, tentu tidak akan ku tawarkan hal ini. Eh, aku seperti wanita murahan ya?""Aku nggak pernah menganggapmu seperti itu." Pria itu menarik tangan Sulis, lalu mengecup ujung jarinya setelah ia selesai menyematkan cincin di jari manis perempuan itu. Kini mereka sudah resmi bertunangan.Namun pertunangan ini hanya berlangsung beberapa jam, karena malam ini juga mereka sepakat memutuskan untuk menikah siri.Waktu menunjukkan pukul 10.

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 195

    Bab 195"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tetapi saya sudah punya calon istri." Pria itu menjawab setelah ia berhasil menguasai dirinya. Atta tidak menyukai Shireen, apalagi Sheila. Pantang baginya kembali ataupun menjadi suami dari saudara kembar wanita yang pernah menyakiti hatinya.Atta tidak mau lagi terlibat secara pribadi dengan orang-orang toxic yang hanya ingin mereguk keuntungan untuk kepentingannya sendiri. Shireen memang terlihat lebih baik dari Sheila, tetapi baik saja tidak cukup bagi Atta. Dia hanya tak mau berurusan secara pribadi dengan keluarga Surya, apalagi dua anak tirinya."Sudah punya calon istri? Kenapa Mas Atta nggak pernah spek up ke publik? kenapa hanya Anindita yang diperkenalkan?' gugat pria itu. Dia gusar bercampur malu. Tadi dengan penuh percaya diri dia menawarkan Shireen, karena mengira Shireen sudah berhasil mendekati Atta.Surya lah yang meminta Shireen untuk menghadiri rapat waktu itu, padahal dia sebenarnya tidak sedang sibuk ataupun berhalangan.

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 194

    Bab 194Menikah?Seketika pria itu membeku. Tawaran Sulis seolah mengunci pikirannya. Sangat tidak masuk akal seorang dokter kejiwaan menawari menikah kepada pasiennya.Seorang dokter tentu ingin agar pasiennya cepat sembuh, tetapi tidak begitu juga caranya. Apakah Sulis tak lebih dari tipe-tipe perempuan yang mengejar-ngejarnya selama ini? Apakah Sulis sengaja ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkannya dengan alasan terapi?Ini masih merupakan teka teki. Tapi yang jelas, Atta sudah mantap menolaknya. Dia ke tempat praktek dokter Sulis bukan untuk menikah, tetapi berobat."Ini hanya sekedar penawaran ya, Mas. Saya juga nggak maksa dan saya minta maaf, karena saya lancang. Akan tetapi jika memang ini bisa membawa kebaikan bagi Mas Atta, saya nggak masalah kok. Tapi kalau memang Mas Atta punya kekasih dan siap untuk dinikahi, lebih baik Mas Atta menikahi kekasih Mas ketimbang saya yang baru dikenal hari ini." Tutur kata Sulis begitu lunak. Alih-alih merasa tersinggung, perempuan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status