Bab 3
Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah membuangku. Tidak mungkin aku meminta bantuan kepadanya. Dia sudah memberi syarat jika ingin kembali ke pelukannya, harus mau mengakui sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Bukankah itu artinya dia tidak akan pernah menganggap anak ini sebagai anaknya? Dia akan menganggap bahwa anak ini adalah bukti perselingkuhanku. "Saya sudah tidak punya keluarga, Mbak." "Kalau begitu baiklah. Nanti untuk pendaftaran, akan ada petugas yang datang ke ruangan ini untuk membantu," ujarnya. "Tanpa registrasi dan penanggung jawab, kami tidak bisa memberikan tindakan lebih lanjut," tambahnya. Wanita muda itu kini sudah selesai memasangkan infus untukku. "Terima kasih, Mbak. Wanita muda itu mengangguk dan segera berlalu. Aku menghela nafas, lalu meraba tas kecil yang tergeletak di sisi bantalku dengan satu tangan yang tidak terpasang selang infus. Sepuluh menit kemudian, petugas yang berasal dari bagian administrasi pun muncul dengan membawa sebuah buku besar dan ponsel. "Maaf Bu, rumah sakit ini tidak memberikan pelayanan untuk pasien BPJS. Apakah Ibu mau mendaftar sebagai pasien umum saja?" ujarnya sopan. Perempuan itu menatapku dengan sorot mata kasihan. Mungkin iba dengan wajahku yang terlihat kusut dan bingung. Aku urung memberikan kartu BPJS itu kepadanya. Ya Tuhan! Aku melupakan fakta jika rumah sakit milik dokter Aariz merupakan rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS, sehingga kartu BPJS tidak akan diterima di sini Apa yang harus aku lakukan? Mendaftar sebagai pasien umum tentu biayanya sangat besar. Aku tidak tahu tindakan apa yang akan dijalani untuk menghentikan pendarahan ini. Namun, mengingat kehidupan kecil yang harus aku perjuangkan, tanpa sadar aku pun mengangguk. Pindah ke rumah sakit milik pemerintah juga tidak mungkin. Urusan administrasi yang ribet dan lambatnya penanganan bagi pasien BPJS membuatku berpikir ulang. "Iya Mbak, saya akan mendaftar sebagai pasien umum saja." "Baiklah, Bu." Perempuan itu segera melakukan tugasnya Dia meminta kartu pengenal yang untungnya sudah bisa kuurus kembali atas bantuan dari bidan di puskesmas. Setelah semuanya selesai, petugas bagian administrasi itu pergi. Di saat yang hampir bersamaan dua orang petugas laki-laki datang dan membawaku keluar menuju ruangan untuk USG. "Kita periksa dulu ya, Bu." Suara dokter Aariz masih saja tetap lembut dan ramah seperti biasa. Dia menempelkan alat ke perutku dan menatap layar. "Wah, letak plasentanya udah menutup jalan lahir dengan sempurna, Bu. Pantas saja Ibu mengalami pendarahan." "Jadi gimana itu solusinya Dok?" "Tidak apa-apa. Hanya saja ibu tidak bisa melahirkan secara normal. Kami akan melakukan persiapan untuk tindakan operasi.... "Operasi? Harus, Dok?" Duniaku terasa runtuh seketika. Seandainya mas Keenan masih berada di sisiku, tentu ini bukan masalah. Tapi nyatanya aku hanya sendirian. Rumah sakit ini tidak menerima pasien BPJS. Aku terdaftar sebagai pasien umum yang berarti biaya harus aku tanggung sendirian. Biaya operasi caesar di rumah sakit ini paling sedikit 15 juta, itu pun belum termasuk jika ada tindakan atau obat-obatan tambahan di luar paket. "Tidak ada jalan lain, Bu. Maaf. Jika kehamilan Ibu terus dibiarkan, maka pendarahan akan semakin sering dan itu akan mengancam nyawa ibu dan bayi. Lagi pula, umur kehamilan Ibu sudah cukup. 36 minggu. jadi lebih baik kita akhiri kehamilan ibu sekarang juga." "Langsung operasi, Dok?" Aku bertanya seperti orang bodoh saking bingungnya. Otakku masih berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang dalam tempo yang cepat. Uang tabunganku jelas tidak cukup untuk membayar biaya persalinan dengan tindakan mahal seperti SC. "Iya, Bu. Kami akan segera menyiapkannya," ujar asisten pribadi dokter Aariz yang bernama Reva itu. Akhirnya aku pun pasrah. Aku kembali ke ruangan IGD dan harus puasa. *** Proses persalinanku berjalan dengan lancar. Mendengar suara tangis bayi membuatku tak kuasa menahan rasa haru. Dua titik bening menetes begitu saja, yang di seka dengan lembut oleh seorang perawat yang bertugas di dekatku. "Selamat ya, Bu. Anak ibu laki-laki." Senyum bahagia terus-terusan terkembang di bibirku. Akhirnya setelah penantian yang panjang, aku berhasil menjadi seorang ibu. Rasanya segala derita yang selama ini kuderita terbayar sudah. Aku sudah membayangkan akan mendekap erat putraku meski dengan kondisi yang seadanya. Aku berjanji akan lebih keras lagi bekerja agar kami berdua bisa hidup dengan layak. Biarkan saja mas Keenan tidak tahu keberadaan putranya. Bahkan kalau pun ia tahu, belum tentu juga ia mau menerima anak ini. Bukankah aku dianggapnya sudah selingkuh? Bukankah ia menganggap tubuh ini sudah hina dan kotor? Tidak menutup kemungkinan jika ia menganggap anak ini sebagai anak selingkuhanku. "Kenapa kamu nggak cerita sama Ibu jika kamu sedang hamil?" omel perempuan baik hati itu. Akhirnya ibu Sabrina muncul di ruang perawatanku siang ini. "Maaf Bu, aku sengaja menyembunyikannya karena aku takut ibu akan memberhentikanku, sementara aku sedang sangat butuh uang. Aku nggak punya siapa-siapa, Bu," ujarku. "Tapi kenapa kamu nggak membagi bebanmu kepada ibu?" "Karena aku masih sanggup menanggung semuanya sendiri, Bu. Ibu sudah cukup baik memberiku tumpangan dan pekerjaan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku nggak ingin merepotkan Ibu...." "Tapi bagaimana dengan biayanya?" Perempuan paruh baya itu menatap sekeliling ruangan. Ini adalah ruangan kelas standar di rumah sakit ini. Tapi meski ini adalah ruangan kelas standar, yang merupakan ruangan paling murah jika dibandingkan dengan ruangan VIP dan VVIP, tetapi fasilitasnya cukup lengkap. Di samping ranjang dan lemari pasien, ada juga sofa dan televisi LCD. Ruangan ini pun ber-ac. Ruangan ini dilengkapi dengan kamar mandi dengan kloset duduk. Tak cuma itu, semua keperluan mandi sudah disediakan. Di atas lemari kecil samping ranjang pasien ada sekeranjang air mineral dan tisu. Ah, ruangan perawatan ini mirip kamar hotel saja, padahal ini adalah kamar perawatan kelas termurah yang ada di rumah sakit ini. Tidak salah jika rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina milik dokter Aariz ini adalah rumah sakit terbaik di kota ini. Seharusnya memang aku tidak masuk ke rumah sakit ini dan memilih rumah sakit pemerintah saja yang menerima layanan BPJS. Tapi pikiranku tadi pagi benar-benar kalut. Aku ingin mendapatkan pelayanan kesehatan secepat mungkin dan hanya rumah sakit ini yang paling dekat dengan toko tempat tinggalku. Lagi pula, ini adalah naluri seorang ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Aku tidak mau kandunganku terlambat ditangani dan akhirnya terjadi apa-apa dengan bayiku. Keesokan harinya aku sudah diperbolehkan untuk duduk. Setelah selesai sarapan, seorang perawat datang, lalu menyuntikkan obat melalui selang infus. Kondisiku sudah jauh lebih baik. Rasa nyeri pasca operasi yang kurasakan pun sudah jauh berkurang. "Maaf Bu, kami harap Ibu bisa ikhlas dan sabar." Wanita bernama Ariana yang merupakan dokter anak di rumah sakit ini memberi isyarat kepada seorang perawat yang tengah menggendong seorang bayi. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menanggulangi infeksi yang diderita oleh si Adek, tapi ternyata Allah berkehendak lain. Dengan sangat menyesal, kami tidak bisa menyelamatkannya." Dokter Ariana menangkupkan tangan di dadanya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat sedih. "Apa?!" Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seperti di cekik. Aku menatap nanar pada sesosok bayi yang masih berada di gendongan perawat itu. "Jadi bayi saya....."Bab 199Tak ada rasa cemburu, apalagi sakit hati. Semua rasa itu begitu tawar. Alifah sudah sepenuhnya berdamai. Dia hanya ingin melanjutkan hidup dengan baik, menerima takdirnya sebagai istri dari Aariz El Fata, yang sudah memilihnya, meski di awal dia bukanlah pilihan. Setiap rumah tangga memiliki cobaan masing-masing. Seperti dia yang pernah dicintai oleh Keenan dan diratukan di awal-awal pernikahan mereka meski keluarga Kenan tidak menyukainya, tapi toh akhirnya mereka bercerai juga. Kekuatan cinta tidak lantas bersinergi dengan kekuatan takdir. Dia sudah mencoba bertahan dan berjuang, tapi ternyata dia akhirnya diusir dan diceraikan.Alifa memang tidak bisa melupakan semuanya, tapi setidaknya dia bisa mengelola rasa yang ada di dalam dirinya. Trauma memang masih ada. Namun semua itu akhirnya teratasi dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh suaminya yang sekarang, pria yang ia harapkan menjadi tempatnya merenda takdir di hari-hari selanjutnya sampai mereka menua dan kelak menutup m
Bab 198"Anak-anak ini memang sudah menikah, tapi saya bermaksud untuk melamar Sulis secara resmi kepada kamu. Ini memang terlambat dan nggak sesuai dengan aturan, tapi anak-anak ini...." Perempuan setengah baya itu menghela nafas. Andai tahu dari awal jika sebenarnya Wulan yang dimaksud oleh Sulis itu adalah sahabat masa kecilnya, tentu Wardah akan melakukan persiapan lebih detail.Wardah merasa sangat malu kepada sahabatnya. Dia memang hilang kontak dengan Wulan selama puluhan tahun, jadi tidak tahu jika Wulan memiliki seorang anak angkat. Sepanjang yang ia ketahui, Wulan memang tidak punya anak, karena ia divonis mandul. Ingin rasanya ia menjitak kepala Atta, atau menjewer telinga putra bungsunya ini. Namun sekali lagi, semuanya percuma. Nggak ada gunanya. Mereka sudah terlanjur menikah, dan mungkin sudah melewati malam pertama. Terlihat dari raut wajah Sulis yang sedikit pucat dan cara jalannya yang tidak normal."Iya, saya juga tidak tahu. Sulis baru menelpon pagi hari setelah m
Bab 197Dengan sekali gerakan, Atta menggendong Sulis menuju pembaringan. Beruntung rupanya ranjang di kamar itu berukuran king. Meski kamar ini ukurannya tidak terlalu besar, namun fasilitasnya cukup baik. Kamar ini pun cukup bersih, dan yang lebih menarik ternyata lagi-lagi salah satu bidang dinding dihiasi oleh wallpaper bermotif keroppi. Ada juga hiasan boneka gantungan kunci dan pernak-pernik dengan motif keroppi. Mungkin istrinya ini memang menyukai tokoh karakter kartun tersebut.Atta sama sekali tidak menyangka jika pusaka miliknya malah mengeras, mengeras dengan sangat sempurna layaknya pria normal pada umumnya. Padahal tujuannya pertama kali menyentuh Sulis adalah ingin melimpahi perempuan yang sudah mau menerima dirinya apa adanya ini dengan kasih sayang. Atta tidak tahu seperti apa bentuk perasaannya saat ini. Mereka baru dua kali bertemu dan sisanya hanya berhubungan lewat telepon seluler.Namun setiap kali bertemu dengan perempuan itu, setiap kali dia menghubungi Sulis
Bab 196"Kamu yakin?" Lirih sekali suara perempuan itu. Namun ia tetap mengangguk."Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Sulis. Apa kamu yakin bisa menerima kekuranganku ini? Bagaimana jika seandainya kekuranganku ini menjadi sesuatu yang permanen? Kita tidak bisa menjamin, kan? Bisa saja analisa kamu itu salah.""Aku yakin, Mas. Aku yakin sekali. Kamu pria yang istimewa. Sesuatu yang kamu anggap sebagai kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang tak bisa sembarang orang miliki. Percayalah. Kalau aku tidak memandangmu sebagai pria yang istimewa, tentu tidak akan ku tawarkan hal ini. Eh, aku seperti wanita murahan ya?""Aku nggak pernah menganggapmu seperti itu." Pria itu menarik tangan Sulis, lalu mengecup ujung jarinya setelah ia selesai menyematkan cincin di jari manis perempuan itu. Kini mereka sudah resmi bertunangan.Namun pertunangan ini hanya berlangsung beberapa jam, karena malam ini juga mereka sepakat memutuskan untuk menikah siri.Waktu menunjukkan pukul 10.
Bab 195"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tetapi saya sudah punya calon istri." Pria itu menjawab setelah ia berhasil menguasai dirinya. Atta tidak menyukai Shireen, apalagi Sheila. Pantang baginya kembali ataupun menjadi suami dari saudara kembar wanita yang pernah menyakiti hatinya.Atta tidak mau lagi terlibat secara pribadi dengan orang-orang toxic yang hanya ingin mereguk keuntungan untuk kepentingannya sendiri. Shireen memang terlihat lebih baik dari Sheila, tetapi baik saja tidak cukup bagi Atta. Dia hanya tak mau berurusan secara pribadi dengan keluarga Surya, apalagi dua anak tirinya."Sudah punya calon istri? Kenapa Mas Atta nggak pernah spek up ke publik? kenapa hanya Anindita yang diperkenalkan?' gugat pria itu. Dia gusar bercampur malu. Tadi dengan penuh percaya diri dia menawarkan Shireen, karena mengira Shireen sudah berhasil mendekati Atta.Surya lah yang meminta Shireen untuk menghadiri rapat waktu itu, padahal dia sebenarnya tidak sedang sibuk ataupun berhalangan.
Bab 194Menikah?Seketika pria itu membeku. Tawaran Sulis seolah mengunci pikirannya. Sangat tidak masuk akal seorang dokter kejiwaan menawari menikah kepada pasiennya.Seorang dokter tentu ingin agar pasiennya cepat sembuh, tetapi tidak begitu juga caranya. Apakah Sulis tak lebih dari tipe-tipe perempuan yang mengejar-ngejarnya selama ini? Apakah Sulis sengaja ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkannya dengan alasan terapi?Ini masih merupakan teka teki. Tapi yang jelas, Atta sudah mantap menolaknya. Dia ke tempat praktek dokter Sulis bukan untuk menikah, tetapi berobat."Ini hanya sekedar penawaran ya, Mas. Saya juga nggak maksa dan saya minta maaf, karena saya lancang. Akan tetapi jika memang ini bisa membawa kebaikan bagi Mas Atta, saya nggak masalah kok. Tapi kalau memang Mas Atta punya kekasih dan siap untuk dinikahi, lebih baik Mas Atta menikahi kekasih Mas ketimbang saya yang baru dikenal hari ini." Tutur kata Sulis begitu lunak. Alih-alih merasa tersinggung, perempuan