Share

5. Jadi Tumbal

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2025-05-07 11:55:08

"Arnaf mau ajak Kirana jalan-jalan Umi," ucap Gus Arnaf di suatu pagi.

"Mumpung Arnaf lagi santai. Tahu sendiri jadwal Arnaf gimana?"

"Oh ya sudah. Hati-hati. Mau kemana?"

"Kemana aja lah, Umi. Penting jalan-jalan."

Umi Saroh tak banyak pertanyaan lagi. Beliau hanya melanjutkan makan pun yang lain. Sementara aku? Pikiranku penuh dengan pertanyaan akan tujuan Gus Arnaf mengajakku jalan. Aku merasa ada yang aneh.

"Jangan pakai baju yang mencolok. Gak usah dandan juga. Gak akan ada yang ngelirik kamu!" ucapnya ketus saat aku sedang memilih gamis yang akan kupakai.

"Nggih, Gus."

Aku tak mengatakan apapun dan memilih mengambil gamis warna salem dan kerudung yang senada.

"Ganti!" Baru juga keluar dari kamar mandi, Gus Arnaf sudah menyuruhku ganti baju.

"Ganti yang lain. Cepat!"

Aku pun mengganti dengan gamis warna navy. Hasilnya aku masih disuruh ganti lagi. Sedikit kesal, aku mengambil gamis hitam dan kerudung hitam. Biarlah seperti sedang upacara pemakaman saja.

Gus Arnaf terlihat menaikkan satu alisnya melihat penampilan terakhirku. Dia tampak berpikir lalu menyuruhku cepat keluar.

"Ayok cepat."

Aku pun bergegas keluar mengikuti Gus Arnaf. Kami pamit pada Umi dan yang lain. Alina dan Ning Ulya sejak aku keluar getol sekali menggoda.

"Cieee  mau dua-duaan. Ati-ati yang ketiga setan, loh Ki," goda Alina.

"Jangan ngebut Mas. Kasihan Mbak Kiran. Ntar keponakanku gak jadi-jadi."

Aku hanya tersenyum saja mendengar godaan mereka sementara Gus Arnaf tampak tidak suka.

"Cepat masuk!" desisnya. Dia bahkan sedikit mendorongku ke kursi depan. 

Hampir saja aku terjatuh. Gus Arnaf seakan tak peduli dan segera memutar dan menuju ke kursi pengemudi. Dia menyalakan mesin mobil dan tak berselang lama mobil pun melaju membelah jalanan.

Sepanjang jalan, tak ada obrolan apapun diantara kami. Bahkan suara musik pun tak ada. Aku pun memilih menatap ke luar jendela samping. Hampir lima belas menit mobil berjalan. Dan ketika melewati deretan ruko-ruko, mobil yang dikendarai Gus Arnaf mulai berjalan pelan. Aku sedikit mengerutkan kening saat mobil benar-benar berhenti. 

Lebih kaget karena kaca sebelah kiriku diketuk seseorang.

"Mas!"

Kaca jendela diturunkan oleh Gus Arnaf.

"Maaf, nunggu lama ya?"

"Gak sih! Cuma setengah jam."

"Hehehe. Maaf, habis kudu bikin alasan dulu."

Gus Arnaf lalu melirikku dengan tatapan tajam. 

"Pindah belakang, sana!"

Tak perlu diperintah dua kali, aku segera membuka pintu samping. Saat sudah turun, Ning Salma terlihat tersenyum mengejekku. Dia bahkan dengan sedikit kasar mendorongku, saat mau masuk ke jok depan. Aku hanya menghela napas. Menyadari jadi tumbal mereka.

"Ngapain kamu diam? Cepat masuk!"

Mau tak mau aku pun segera masuk dan duduk di jok belakang. Mobil pun melaju dengan pelan membelah jalan lagi.

"Kamu ke sini sama siapa?"

"Indah."

"Anaknya dimana?"

"Kencan lah. Emang kita aja yang boleh kencan? Dia juga pengen."

Gus Arnaf terlihat tertawa. "Dasar."

Dua sejoli yang sedang kasmaran mengobrol banyak hal. Sesekali mereka tertawa-tawa. Aku benar-benar merasa jijik melihat pemandangan di depanku.

"Kita mau ke mana Mas?"

"Terserah kamu."

"Gelora Dewa aja ya? Jangan yang rame-rame. Takut ada yang lihat. Aku gak mau nama baikku dan kamu tercoreng. Setidaknya sebelum tuh anak, Mas cerein."

"Oke. Dan kamu yang sabar ya? Nanti kami juga bercerai kok."

"Kapan?" rengek Ning Salma. Bahkan tangannya terlihat melingkar di lengan Gus Arnaf.

"Sesegera mungkin. Kamu yang sabar ya?"

"Ck! Lagian apa sih yang dilihat Umi dari bocah ingusan itu. Cantik kagak, berprestasi juga kagak." Ning Salma terlihat menoleh ke arahku. Menatapku dengan pandangan sinis.

"Gak tahu. Aku aja bingung. Padahal aku udah nyodorin kamu loh. Tapi Umi menolak mentah-mentah."

"Iya ih, sebel aku kalau ingat itu."

"Sabar. Aku lagi bikin rencana kok. Kamu sabar ya?"

Ning Salma tampak memberengut tapi kemudian dia tersenyum manis sekali. Aku yang melihat rasanya ingin muntah. 

Selama perjalanan aku memilih melihat pemandangan lewat samping jendela. Malas aku melihat dua setan berwujud manusia di depan sana.

Satu jam kemudian, kami sampai di tempat wisata bernama Gelora Dewa. Aku tidak paham ini wisata apa. Tapi mungkin isinya semacam spot foto-foto. Cuma tempatnya sepi. Kurang laris kali ya? Kurang digemari. Aku terlalu sibuk mengamati lewat kaca samping sehingga tidak langsung turun.

"Turun!" Gus Arnaf membentakku saat aku tak juga turun dari mobil.

"Malah ngelamun! Turun."

Aku segera turun. Begitu kakiku menginjak tanah, aku hanya bisa berdiri diam dan bingung mau kemana.

"Hei! Kamu ngapain diem di situ? Jalan di belakang kita."

Ning Salma menatapku dengan senyum sinisnya. Dia lalu tanpa ragu melingkarkan kedua tangannya di lengan Gus Arnaf. Aku hanya bisa melongo. Meski desas-desus mereka pacaran sangat santer di pondok. Aku hanya tak mengira gaya pacaran keduanya sampai level begitu. Aku jadi tak yakin keduanya adalah santri, anak kyai bahkan penghapal Quran.

"Ma. Tolong." Gus Arnaf terlihat menatap ke sekeliling dengan wajah cemas.

Ning Salma berdecak lalu melepaskan gelayutan manjanya.

"Ayok jalan."

Ning Salma dan Gus Arnaf berjalan duluan. Aku hanya diam menatap punggung keduanya. Namun, Gus Arnaf berbalik dan ketika melihatku hanya berdiri diam, dia mengeluarkan bentakannya lagi.

"Jangan diam saja! Jalan! Ikuti kita."

Terpaksa aku mengikuti keduanya. Berjalan dari satu spot ke spot yang lain. 

Kedua sejoli tampak bahagia. Beberapa kali keduanya berfoto berdekatan. Aku sering kali merasa mual rasanya melihat betapa centilnya Ning Salma dan betapa senangnya Gus Arnaf melihat tingkah centil sang pacar.

'Mungkin sudah pacarannya tahap membahayakan. Hehehe. Muka aja pada sok kalem kalau di pondok. Kelakuan setan semua. Ya Allah. Astaghfirullah. Kenapa Engkau jodohkan aku dengan seseorang seperti ini ya Allah? Kenapa tidak Engkau jodohkan saja aku dengan Kang Amar? Dia lelaki baik yang insya Allah bisa membimbingku ke jalan kebaikan. Atau ... aku yang tidak terlalu baik. Makanya Engkau jodohkan dengan lelaki macam Gus Arnaf?' jerit batinku. 

Aku berjalan dengan sibuk memikirkan Kang Amar dan Gus Arnaf tanpa sadar jalan yang sedang kupijak seperti apa? Depanku ada apa.

"Ki, kamu----"

Bruk. Aku menabrak sesuatu. Sontak aku kaget dan mendongak. Keningku bertubrukan dengan dagu seseorang.

"Ck! Jalanmu pakai mata apa pakai dengkul sih? Jalan itu natap lurus bukannya nunduk!" bentak Gus Arnaf.

Aku kaget dan refleks mundur tiga langkah. Sayang aku salah menapakkan kaki dan malah mengenai permukaan tidak rata. Aku oleng dan hampir jatuh. Beruntung dua tangan kekar menarikku hingga aku kembali menubruk Gus Arnaf.

"Ck! Ceroboh. Jalan yang benar!" dengus Gus Arnaf. Dia melepaskan kedua tangannya dan berjalan duluan. 

Aku hanya bisa menghela napas. Lalu saat aku akan berjalan lagi, kulihat sorot tidak suka di mata Ning Salma. Dia berbalik dan mengikuti langkah Gus Arnaf. Seperti tadi, Ning Salma ingin menggelayut manja dengan memegang lengan Gus Arnaf tapi Gus Arnaf menyingkirkan tangannya.

"Jangan gini, Ma. Nanti ada apa-apa, aku gak mau. Kita belum halal. Sabar," bisik Gus Arnaf.

Ning Salma terlihat manyun. Gus Arnaf mencoba memberi pengertian hingga dia berbalik. 

"Hei, kamu bodoh apa gimana? Jalan!"

Aku kembali menghela napas. Lalu dengan enggan mengikuti gerak langkah keduanya. Dalam hati aku benar-benar meratapi diri. Sudah dinikahkan dengan alasan perjodohan. Kini aku benar-benar dijadikan tumbal oleh keduanya. 

'Benar kata kamu Lina, diantara dua laki-laki dan perempuan, yang ketiga setan. Setannya berwujud wanita cantik! Tapi hatinya iblis.'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   19. Pesan Provokasi

    Satu minggu ini hubunganku dan Gus Arnaf kembali renggang. Aku sebetulnya sudah bisa memaafkan Gus Arnaf. Setelah kupikir-pikir, mungkin aku juga yang salah. Kalau tidur kayak orang mati, tentu saja aku tak merasakan apa yang terjadi pada tubuhku.Belum lagi pas dia cumbu rayu, sikapku kurang tegas dan tidak menolak. Tentu saja Gus Arnaf jadi kebablasan. Lagian dia cowok. Cowok kan begitu. Katanya cinta sama si A tapi bisa bercinta dengan cewek B.Dan hal yang paling membuatku sadar karena dia suamiku. Dia berhak atas diriku. Dalam islam, istri itu punya kewajiban melayani suami. Kalau tidak mau ya kena dosa. Nah, aku sudah jelas berdosa di sini.Tapi tidak mungkin aku mengatakan kalau dia boleh menyentuhku kan? Gila kalau aku sampai bilang begitu.Gus Arnaf sendiri lebih banyak diam setelah pertengkaran kami waktu itu. Dia tidak lagi bersikap dingin atau berbicara ketus. Tapi sikap perhatiannya tetap sama. Segala kebutuhanku tetap dia perhatikan. Sama seperti aku yang selalu memperha

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   18. Rasa Jijik

    Aku menatap penampakkan diri di cermin yang ada di kamar mandi. Ada rasa kesal begitu mengetahui sebuah kebenaran yang baru kuketahui dikarenakan minimnya pengalamanku."Pantas saja, waktu aku mau ngolesin Autan dia bilang, katanya itu obat nyamuk oles gak bagus," dengusku."Gak bagus buat dia, bisa keracunan kalau aku nekat pake. Aih, ternyata ini ulahnya. Dasar Drakula berkedok sok gak suka. Ish, kenapa aku gak pakai Autan aja sih! Biar dia wassalam sekalian. Aku jadi janda. Tapi ... kalau dia mati, dikira aku yang ngeracunin dong. Agh!" Aku mengacak-acak rambut basahku. Aku benar-benar kesal menyadari Gus Arnaf sudah bermain curang denganku. Apanya yang gak cinta. Bilang gak cinta tapi buktinya tiap malam, badanku dia gerayangin sampai bikin tanda dimana-mana. Ah, kesel banget rasanya pas aku sudah tahu nyamuk mana yang bikin tanda merah di area leher dan sekitarnya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak kerasa dan malah tetap tidur kayak kebo. Padahal aku sedang dicabuli sama monster

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   17. Ancaman

    Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi aku mendapat chat berisi ancaman dari nomer asing. Sejujurnya aku sudah mempunyai dugaan siapa dalangnya tapi aku berusaha tak menggubrisnya. Fokusku kini hanyalah menjalani hidup, fokus hapalan dan masuk ke universitas. Sementara untuk masalah pernikahanku, aku memilih bersikap seperti air yang mengalir saja. Tidak mau terlalu berharap.Kutatap kembali ponselku lalu segera menghapus pesan-pesan ancaman yang masuk.“Ini orang apa gak ada kerjaan? Gangguin orang aja. Main ancem-ancem segala. Kelihatan banget butuh validasi. Heran, kenapa Gus Arnaf bisa keblinger sama cewek modelan gini. Tampang aja sok alim, kelakuan kayak memedi."Aku menaruh ponselku di atas meja lalu kembali fokus ke hapalanku. Sayangnya, baru juga dapat satu ayat, pintu kamarku terbuka dan tampaklah Gus Arnaf yang baru pulang."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku mengernyitkan dahi, lalu segera mengambil ponsel untuk memastikan hari ini adalah hari selasa. Ter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   16. Keluarga Cemara

    "Kamu nyari apa?" tanya Gus Arnaf saat aku sibuk mencari minyak kayu putih di tas gendong kecil milikku."Nyari minyak kayu putih," ucapku tanpa melihatnya. Soalnya aku sibuk mencari minyak kayu putih.Aku senang karena berhasil menemukannya. Segera saja aku duduk di sisi ranjang. Tanpa membuka mukena atasan, aku langsung mengolesi leherku dengan minyak kayu putih."Kamu sakit?""Gak.""Kenapa ngolesin minyak kayu putih? Kamu masuk angin? AC-nya kegedean kah?"Gus Arnaf duduk di sampingku. Dia meraba dahiku dengan punggung tangannya."Gak panas, kok.""Aku gak panas, Gus. Cuma digigit nyamuk.""Nyamuk? Mana ada? Ruangan ini tertutup. Kamar ber-AC juga, ya gak bakalan ada nyamuk lah," ucapnya kebingungan.Aku menatap Gus Arnaf dengan wajah cemberut. Lalu dengan tergesa aku membuka mukena atasan. Sedikit menyingkirkan rambut yang mengenai leherku lalu menunjukkan banyaknya noda merah di leherku."Nih! Tuh lihat. Aku digigit Gus. Banyak banget ini. Mana gede banget bekas gigitannya. Nyam

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   15. Digigit Nyamuk?

    Awalnya terasa canggung saat berjumpa dengan rekan kerja plus keluarga dari rekan Gus Arnaf. Tapi lama kelamaan aku bisa beradaptasi.Meski kuakui, para istri, maupun dokter wanita di tempat kerja Gus Arnaf ada yang berpenampilan ala sosialita, tapi bersyukur aku bisa membaur. Yah, aku selalu ingat pesan Mamah, kalau dimana pun kita berada, langit harus dijunjung, pembawaan diri jangan sampai luntur tapi tidak boleh tidak beradab. Dan itu selalu kubawa ke mana pun aku pergi seperti saat ini."Mbak Kiran usia berapa ya?" tanya dokter spesialis kandungan bernama Mala. Katanya dia termasuk seniornya Gus Arnaf. Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya berusia empat tahun. Cewek. Dan si bocil kini sedang berada di pangkuanku."Delapan belas, Dokter.""Mbak Mala. Jangan panggil dokter. Orang lagi santai juga." Senyum persahabatan dari Dokter Mala membuatku merasa nyaman."Iya Mbak." Aku pun ikut tersenyum."Mmm, masih muda banget ya. Tapi gak papa deh, penting Arnafnya suka."Aku hany

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   14. Ambigu

    Beberapa hari ini aku merasa ada yang aneh dengan sikap Gus Arnaf. Dulu dia yang seringnya cuek padaku, terlihat lebih memperhatikan kehadiranku.Dia selalu pamit kalau akan berangkat bekerja. Gus Arnaf bekerja di RSUD saat siang. Sementara di sore hari, dia bekerja di salah satu rumah sakit swasta cukup ternama di kota kami. Sabtu minggu dia membantu di klinik temannya. Jadwalnya memang sepadat itu. Makanya untuk urusan pondok, dia cenderung bergerak di balik layar, tidak terjun langsung.Sesekali dia akan pulang larut karena kesibukannya. Anehnya, kini, kalau pulang larut, dia selalu chat aku. Bahkan bisa sehari sampai lima kali dia mengirimi chat hanya untuk bertanya hal-hal receh.Bukan hanya itu saja, beberapa kali kulihat dia membawakan jajanan untukku setiap pulang kerja, bahkan pernah dia membelikan aku beberapa stel gamis. Membuat Alina uring-uringan karena dia tidak dibelikan. Alina baru semringah saat sang kakak membelikan dia gamis juga. Tapi, ternyata dia juga membelikan

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   13. Sedikit Mencair

    "Kamu kenapa dorong aku? Sakit tahu gak?" teriak Gus Arnaf.Aku tak mempedulikan perkataannya malah sibuk mengamati keadaanku. Aku menghembuskan napas, merasa lega karena bajuku masih nempel dan artinya, semalam tidak terjadi apa-apa.Lalu kutatap Gus Arnaf yang mencoba bangun. "Gus Arnaf ngapain peluk-peluk aku segala sih? Tidur tinggal tidur aja," ucapku ketus."Ya mana kutahu, aku kan biasa peluk guling. Mana kutahu itu kamu.""Ck. Dasar lelaki. Selalu saja nyari kesempatan. Bilangnya gak suka gak napsu. Pantes banyak di luaran sana ngakunya sayang anak sayang istri tapi selingkuh juga. Poligami juga. Dasar!" gerutuku sambil turun dari ranjang dan memilih menuju ke arah kamar mandi.Tapi langkahku terhenti karena suara gedoran di depan pintu kamar. Disertai teriakan Alina yang bertanya aku sudah bangun apa belum."Udah, Lin. Makasih udah dibangunin.""Oke!" teriak Alina dari arah pintu.Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, buang air kecil dan tentu saja berwudhu

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   12. Merawat Suami

    "Umi istirahat aja. Biar Kirana yang nungguin, Guse," ucapku pada Umi Saroh.Umi Saroh tampak menghela napas. "Kamu pasti juga capek.""Gak papa Umi. Meski aku capek, besok kan aku nganggur gak ada kesibukan. Beda sama Umi yang harus sehat karena banyak tugas."Umi Saroh tersenyum. Dia menatap ke arah sang putra. Lalu membelai rambutnya dengan lembut.“Dulu dia manut sekali anaknya. Selalu bikin bangga. Tapi, nambah umur makin gak bisa umi kendalikan,” ucap beliau dengan tatapan sendu.“Gak tahu kenapa dia banyak berubah. Kadang umi mikir, apa umi salah didik dia ya?”“Perubahan kan bukan cuma faktor didikan, Umi. Mungkin banyak hal yang bikin Guse berubah. Bisa saja selama kuliah, Guse banyak dapat tekanan, atau hal-hal lain yang buat dia berubah.”“Bisa jadi. Umi juga baru tahu, kalau kuliah kedokteran itu, senioritas tinggi. Itu loh dari berita yang dr. Aulia sampai bunuh diri, kasus si Lady Lady itu juga. Baru umi tahu, kalau kuliah di dunia kedokteran begitu. Pantas, rata-rata ya

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   11. Gak Diajak

    Sarapan pagi berlangsung dalam keheningan. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya suara denting sendok yang bertarung dengan piring. "Umi selesai. Hari ini umi ada acara, di Purwokerto. Dan Ulya, kamu jadi balik ke Al Hikam hari ini?""Jadi Umi. Mulai besok, Ulya udah kuliah lagi.""Ya sudah. Bareng umi ya berangkatnya?""Iya Umi."Lalu Umi Saroh menatapku dan Alina."Mau ikut?""Ikut Umi. Mau ngelihat Gus Aslan yang katanya ganteng banget. Hihihi.""Dasar. Ayuk siap-siap.""Baik!" teriak Alina.Umi sama sekali tak mengajak putranya. Jangankan mengajak, menegur atau mengatakan satu patah kata pun tidak. Sepertinya beliau memang masih marah. Beliau berdiri. Kami pun ikut berdiri kecuali Gus Arnaf.Masing-masing berjalan menuju ke kamar termasuk aku. Tak kupedulikan sosok Gus Arnaf dan memilih menuju ke kamar untuk mengganti baju. Aku memilih salah satu gamis kesukaanku yang tentu saja pemberian Kang Ammar. Setelah itu aku juga menyiapkan gamis cadangan plus kerudungnya. Soaln

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status