"Arnaf mau ajak Kirana jalan-jalan Umi," ucap Gus Arnaf di suatu pagi.
"Mumpung Arnaf lagi santai. Tahu sendiri jadwal Arnaf gimana?" "Oh ya sudah. Hati-hati. Mau kemana?" "Kemana aja lah, Umi. Penting jalan-jalan." Umi Saroh tak banyak pertanyaan lagi. Beliau hanya melanjutkan makan pun yang lain. Sementara aku? Pikiranku penuh dengan pertanyaan akan tujuan Gus Arnaf mengajakku jalan. Aku merasa ada yang aneh. "Jangan pakai baju yang mencolok. Gak usah dandan juga. Gak akan ada yang ngelirik kamu!" ucapnya ketus saat aku sedang memilih gamis yang akan kupakai. "Nggih, Gus." Aku tak mengatakan apapun dan memilih mengambil gamis warna salem dan kerudung yang senada. "Ganti!" Baru juga keluar dari kamar mandi, Gus Arnaf sudah menyuruhku ganti baju. "Ganti yang lain. Cepat!" Aku pun mengganti dengan gamis warna navy. Hasilnya aku masih disuruh ganti lagi. Sedikit kesal, aku mengambil gamis hitam dan kerudung hitam. Biarlah seperti sedang upacara pemakaman saja. Gus Arnaf terlihat menaikkan satu alisnya melihat penampilan terakhirku. Dia tampak berpikir lalu menyuruhku cepat keluar. "Ayok cepat." Aku pun bergegas keluar mengikuti Gus Arnaf. Kami pamit pada Umi dan yang lain. Alina dan Ning Ulya sejak aku keluar getol sekali menggoda. "Cieee mau dua-duaan. Ati-ati yang ketiga setan, loh Ki," goda Alina. "Jangan ngebut Mas. Kasihan Mbak Kiran. Ntar keponakanku gak jadi-jadi." Aku hanya tersenyum saja mendengar godaan mereka sementara Gus Arnaf tampak tidak suka. "Cepat masuk!" desisnya. Dia bahkan sedikit mendorongku ke kursi depan. Hampir saja aku terjatuh. Gus Arnaf seakan tak peduli dan segera memutar dan menuju ke kursi pengemudi. Dia menyalakan mesin mobil dan tak berselang lama mobil pun melaju membelah jalanan. Sepanjang jalan, tak ada obrolan apapun diantara kami. Bahkan suara musik pun tak ada. Aku pun memilih menatap ke luar jendela samping. Hampir lima belas menit mobil berjalan. Dan ketika melewati deretan ruko-ruko, mobil yang dikendarai Gus Arnaf mulai berjalan pelan. Aku sedikit mengerutkan kening saat mobil benar-benar berhenti. Lebih kaget karena kaca sebelah kiriku diketuk seseorang. "Mas!" Kaca jendela diturunkan oleh Gus Arnaf. "Maaf, nunggu lama ya?" "Gak sih! Cuma setengah jam." "Hehehe. Maaf, habis kudu bikin alasan dulu." Gus Arnaf lalu melirikku dengan tatapan tajam. "Pindah belakang, sana!" Tak perlu diperintah dua kali, aku segera membuka pintu samping. Saat sudah turun, Ning Salma terlihat tersenyum mengejekku. Dia bahkan dengan sedikit kasar mendorongku, saat mau masuk ke jok depan. Aku hanya menghela napas. Menyadari jadi tumbal mereka. "Ngapain kamu diam? Cepat masuk!" Mau tak mau aku pun segera masuk dan duduk di jok belakang. Mobil pun melaju dengan pelan membelah jalan lagi. "Kamu ke sini sama siapa?" "Indah." "Anaknya dimana?" "Kencan lah. Emang kita aja yang boleh kencan? Dia juga pengen." Gus Arnaf terlihat tertawa. "Dasar." Dua sejoli yang sedang kasmaran mengobrol banyak hal. Sesekali mereka tertawa-tawa. Aku benar-benar merasa jijik melihat pemandangan di depanku. "Kita mau ke mana Mas?" "Terserah kamu." "Gelora Dewa aja ya? Jangan yang rame-rame. Takut ada yang lihat. Aku gak mau nama baikku dan kamu tercoreng. Setidaknya sebelum tuh anak, Mas cerein." "Oke. Dan kamu yang sabar ya? Nanti kami juga bercerai kok." "Kapan?" rengek Ning Salma. Bahkan tangannya terlihat melingkar di lengan Gus Arnaf. "Sesegera mungkin. Kamu yang sabar ya?" "Ck! Lagian apa sih yang dilihat Umi dari bocah ingusan itu. Cantik kagak, berprestasi juga kagak." Ning Salma terlihat menoleh ke arahku. Menatapku dengan pandangan sinis. "Gak tahu. Aku aja bingung. Padahal aku udah nyodorin kamu loh. Tapi Umi menolak mentah-mentah." "Iya ih, sebel aku kalau ingat itu." "Sabar. Aku lagi bikin rencana kok. Kamu sabar ya?" Ning Salma tampak memberengut tapi kemudian dia tersenyum manis sekali. Aku yang melihat rasanya ingin muntah. Selama perjalanan aku memilih melihat pemandangan lewat samping jendela. Malas aku melihat dua setan berwujud manusia di depan sana. Satu jam kemudian, kami sampai di tempat wisata bernama Gelora Dewa. Aku tidak paham ini wisata apa. Tapi mungkin isinya semacam spot foto-foto. Cuma tempatnya sepi. Kurang laris kali ya? Kurang digemari. Aku terlalu sibuk mengamati lewat kaca samping sehingga tidak langsung turun. "Turun!" Gus Arnaf membentakku saat aku tak juga turun dari mobil. "Malah ngelamun! Turun." Aku segera turun. Begitu kakiku menginjak tanah, aku hanya bisa berdiri diam dan bingung mau kemana. "Hei! Kamu ngapain diem di situ? Jalan di belakang kita." Ning Salma menatapku dengan senyum sinisnya. Dia lalu tanpa ragu melingkarkan kedua tangannya di lengan Gus Arnaf. Aku hanya bisa melongo. Meski desas-desus mereka pacaran sangat santer di pondok. Aku hanya tak mengira gaya pacaran keduanya sampai level begitu. Aku jadi tak yakin keduanya adalah santri, anak kyai bahkan penghapal Quran. "Ma. Tolong." Gus Arnaf terlihat menatap ke sekeliling dengan wajah cemas. Ning Salma berdecak lalu melepaskan gelayutan manjanya. "Ayok jalan." Ning Salma dan Gus Arnaf berjalan duluan. Aku hanya diam menatap punggung keduanya. Namun, Gus Arnaf berbalik dan ketika melihatku hanya berdiri diam, dia mengeluarkan bentakannya lagi. "Jangan diam saja! Jalan! Ikuti kita." Terpaksa aku mengikuti keduanya. Berjalan dari satu spot ke spot yang lain. Kedua sejoli tampak bahagia. Beberapa kali keduanya berfoto berdekatan. Aku sering kali merasa mual rasanya melihat betapa centilnya Ning Salma dan betapa senangnya Gus Arnaf melihat tingkah centil sang pacar. 'Mungkin sudah pacarannya tahap membahayakan. Hehehe. Muka aja pada sok kalem kalau di pondok. Kelakuan setan semua. Ya Allah. Astaghfirullah. Kenapa Engkau jodohkan aku dengan seseorang seperti ini ya Allah? Kenapa tidak Engkau jodohkan saja aku dengan Kang Amar? Dia lelaki baik yang insya Allah bisa membimbingku ke jalan kebaikan. Atau ... aku yang tidak terlalu baik. Makanya Engkau jodohkan dengan lelaki macam Gus Arnaf?' jerit batinku. Aku berjalan dengan sibuk memikirkan Kang Amar dan Gus Arnaf tanpa sadar jalan yang sedang kupijak seperti apa? Depanku ada apa. "Ki, kamu----" Bruk. Aku menabrak sesuatu. Sontak aku kaget dan mendongak. Keningku bertubrukan dengan dagu seseorang. "Ck! Jalanmu pakai mata apa pakai dengkul sih? Jalan itu natap lurus bukannya nunduk!" bentak Gus Arnaf. Aku kaget dan refleks mundur tiga langkah. Sayang aku salah menapakkan kaki dan malah mengenai permukaan tidak rata. Aku oleng dan hampir jatuh. Beruntung dua tangan kekar menarikku hingga aku kembali menubruk Gus Arnaf. "Ck! Ceroboh. Jalan yang benar!" dengus Gus Arnaf. Dia melepaskan kedua tangannya dan berjalan duluan. Aku hanya bisa menghela napas. Lalu saat aku akan berjalan lagi, kulihat sorot tidak suka di mata Ning Salma. Dia berbalik dan mengikuti langkah Gus Arnaf. Seperti tadi, Ning Salma ingin menggelayut manja dengan memegang lengan Gus Arnaf tapi Gus Arnaf menyingkirkan tangannya. "Jangan gini, Ma. Nanti ada apa-apa, aku gak mau. Kita belum halal. Sabar," bisik Gus Arnaf. Ning Salma terlihat manyun. Gus Arnaf mencoba memberi pengertian hingga dia berbalik. "Hei, kamu bodoh apa gimana? Jalan!" Aku kembali menghela napas. Lalu dengan enggan mengikuti gerak langkah keduanya. Dalam hati aku benar-benar meratapi diri. Sudah dinikahkan dengan alasan perjodohan. Kini aku benar-benar dijadikan tumbal oleh keduanya. 'Benar kata kamu Lina, diantara dua laki-laki dan perempuan, yang ketiga setan. Setannya berwujud wanita cantik! Tapi hatinya iblis.'"Kamu mau beli apa?""Daster palingan Mas.""Buat Alina sama Ulya juga?""Iya, buat Umi juga.""Oke."Dasarnya aku wanita, ya aku seperti wanita kebanyakan. Kalab kalau sudah perihal belanja. Beruntung suamiku tidak masalah, bahkan dengan ikut antusias membantuku memilihkan model daster untuk aku, dan tiga wanita terkasihnya yang lain. Bahkan, tak lupa kami membeli daster-daster lucu untuk Keisya. Setelah semua urusan di Unnes maupun di Undip selesai, Gus Arnaf tak langsung membawaku pulang. Aku langsung dibawanya menuju ke Jogja. Rupanya dia benar-benar memanfaatkan ijin cutinya dengan baik. Kami berencana di sini selama satu hari satu malam. Besok baru pulang ke rumah."Kamu sayang banget sama Keisya." Gus Arnaf mengomentariku yang tengah asik memilih daster untuk anak-anak."Keisya gemesin tahu gak sih, Mas. Pokoknya tiap liat baju anak cewek, aku selalu ingatnya Keisya.""Alina bisa cemburu kamu duain dia loh.""Dih. Bilang aja Mas Arnaf yang cemburu.""Gak kok. Aku malah seneng l
Aku sedang membelai pria yang berubah manja kalau kami hanya berdua seperti ini. Gus Arnaf suka sekali menaruh kepalanya di pangkuanku sambil rebahan. Saat aku sedang membelai kepalanya, aku menemukan bekas luka di area kepala sebelah kanan. "Mas." "Hem." "Aku kok baru sadar ini, di kepalamu ada bekas luka, mana cukup besar lagi." "Oh itu bekas kecelakaan." "Njenengan pernah kecelakaan?" "Waktu mau KKN. Aku sama tiga teman yang satu tempat sama aku, berencana mengunjungi tempat KKN dulu. Ceritanya biar kita tahu tempatnya dimana, lokasinya kayak apa, masyarakatnya gimana gitu. Nah, kita akhirnya memutuskan naik mobil. Aku yang jadi sopir. Tapi ... baru juga setengah jalan, kami terlibat kecelakaan. Mobil kita disalip tapi yang nyalip kaget karena dari arah berlawanan ada truk. Banting setir deh, ke kiri. Nah, waktu itu aku yang lagi nyetir langsung kena hantam dari mobil yang nabrak kita. Aku gak sempat menghindar karena kejadiannya cepet banget." "Innalilahi, semua tema
Urusan Kost selesai dan Mas Arnaf sudah membayar DP-nya, kami pun memutuskan kembali ke hotel. Sampai sana, kami langsung membersihkan diri. Aku langsung rebahan, rasanya lelah sekali. Gus Arnaf juga ikutan rebahan. Tapi, sudah kubilang kan? Napsu suamiku memang terlalu besar. Bukannya membiarkan aku beristirahat malah mengajakku bekerja sangat keras. Sejak tadi tangan dan bibirnya sudah nakal menjelajahi bagian tubuhku. "Njenengan ya, emang gak bisa lihat aku santai." "Gak bisa. Ingat tujuan kita ke sini, ngurusin urusan kuliah kamu dan bulan madu. Karena semua urusan sudah beres saatnya kita bulan madu," ucapnya sambil melucuti kain yang menempel pada tubuhku. "Dasar mesum," ucapku sambil menarik hidungnya yang mancung. Aku sangat menyukai hidung mancung suamiku. Aku berharap kalau punya anak, semua anakku meniru hidung Gus Arnaf yang bak papan luncur beda denganku yang tergolong mungil meski bukan kategori pesek juga. "Mesum sama istri sendiri itu bagus tahu." "Awas saja mes
Rasanya sudah lama sekali aku tak merasakan rasanya disayangi oleh seorang lelaki. Sejak kecil, aku sudah kehilangan sosok ayahku. Sehingga mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian dari lelaki yang kini bergelar suamiku rasanya menyenangkan sekali. Selama ini aku pikir dia hanya lelaki ketus, dingin dan galak. Ternyata ada banyak sisi yang tidak kuketahui tentang dirinya. Di balik sikap cueknya, ternyata Gus Arnaf adalah lelaki yang perhatian dan penyayang. Tanpa terasa waktu terus berlalu. Sudah tiga bulan aku menjadi istrinya. Selama dua bulan terakhir, hubungan kami yang baik mengantarkan hal-hal yang baik pula untukku. Aku juga sudah selesai ujian hafizoh. Dan mau tak mau aku harus berterima kasih pada suamiku, berkat dia yang meluangkan waktunya yang super sibuk untuk membantu, aku jadi mudah menyelesaikan hapalan. Masalah kuliah juga sudah beres.Setelah melakukan berbagai proses panjang, kini aku resmi diterima di Unnes untuk jurusan pendidikan IPA. Bulan Agustus mulai
Sejak tadi aku benar-benar harus berusaha menahan diri untuk tidak bersuara apalagi mendesah. Sejak malam pertama tiga hari yang lalu, Gus Arnaf tidak pernah mau melepasku. Dia seperti lelaki yang begitu lapar, mengajakku bercinta terus setiap ada waktu luang. Terhitung di hari minggu ini, sudah tiga kali dia menyentuhku sedari semalam dan kini malah sengaja memojokkanku di sofa setelah aku pulang dari pengajian sore di pondok. Aku mengerang, sejak tadi Gus Arnaf sedang memainkan dadaku. Aku sudah mencoba menjauhkan wajahnya, tetapi dia tidak mau lepas. "Mas, berhenti," ucapku sambil menjauhkan wajahnya dari dadaku. "Gak mau. Kamu gak lihat aku lagi kehausan." "Ya minum, Mas. Aku ambilin air." "Aku gak mau air, kopi atau apa pun. Pokoknya ini lagi jadi favoritku," ucapnya dan kembali bermain di atas dadaku dengan mulut, lidah bahkan tangannya. "Apa njenengan gak puas? Hari libur bukannya aku santai, njenengan malah ginian aku terus loh. Gak tahu apa, kalau itunya aku sa
Sebuah pelukan datang dari arah belakangku. Sedikit kaget namun tak mencoba melepasnya. "Baru pulang Gus?""Mas."Aku tersenyum mendengar nada merajuk dalam suaranya. "Kamu udah makan?" tanyanya. "Udah. Mas?""Udah. Sama Ari dan Mala. Keisya juga. Dia malah nanyain kamu mulu."Aku tersenyum. Rupanya dia sedang berusaha jujur padaku. Keheningan melanda kami berdua. Posisi kami pun masih sama tiduran dengan dia memelukku dari belakang. Jujur aku tak berani berbalik, karena jika hal itu kulakukan maka kami akan saling bertatapan dan aku malu. Lama kami terdiam, sesekali kudengar suara helaan napas dari Gus Arnaf. Entah kenapa, dari suara helaan napasnya dia seperti sedang tersiksa. "Mas, njenengan kenapa?" Aku tak tahan untuk bertanya. "Gak papa. Udah tidur lagi."Aku pun tidak bertanya lagi. Tapi makin lama, helaan napas Gus Arnaf makin terdengar. Dia seperti sedang tersiksa akan sesuatu."Mas." Aku sedikit memiringkan badan namun Gus Arnaf mencegahku berbalik. "Jangan berbalik,