Share

6. Bukan Suami Pilihan

Author: Bai_Nara
last update Huling Na-update: 2025-05-16 16:03:29

Aku tetap fokus membaca di perpustakaan. Tak kupedulikan beberapa orang yang terus-terusan menatapku. Bahkan banyak dari mereka yang menunjuk-nunjuk atau mengatakan sesuatu dengan keras.

Alina dan Moza yang mendengar gunjingan para santri sesekali melabrak mereka atau mengusir mereka, sementara aku, tetap bersikap tenang.

"Aku heran. Sebetulnya apa sih yang orang-orang dengar tentang kamu? Perasaan dulu mereka gak gini deh? Tapi habis kamu nikah sama kakakku, mereka kayak benci banget," celetuk Alina.

"Iya. Aku aja sampai kaget denger banyak berita buruk tentang kamu loh. Perasaan mereka kan kenal kamu sejak lama. Tiga tahun loh kamu di sini, harusnya kan mereka tahu kamu kayak apa?" Moza juga ikut geregetan.

Tak berapa lama, Tika muncul. Dia mengabarkan ada gosip yang mengatakan kalau aku beberapa kali terlihat pergi dengan cowok yang bukan suamiku. Katanya ada bukti kalau aku sedang ngobrol dengan cowok asing di salah satu tempat wisata.

Aku ingat aku memang sempat didatangi seorang lelaki yang menanyakan arah jalan. Itu pun kami hanya berbicara tak lebih dari lima menit. Itupun kenapa aku sendirian karena lagi-lagi aku jadi tumbal duo sejoli yang lagi kasmaran. Mereka kencan, sementara aku jadi alibi untuk mengecoh Umi dan yang lain.

"Bukannya kamu selalu perginya dengan Mas Arnaf? Kenapa ada foto kamu sama pria lain?"

Aku hanya mengedikkan bahu. Meski para sahabatku mencecar, aku tak mengatakan apapun.

"Aku gak ngerti deh, Ki. Kamu sama Mas Arnaf baik-baik saja, kan?" tanya Alina. 

Dia menatapku dengan sorot khawatir.

"Kami baik. Kamu lihat, kan? Buktinya aku sama Masmu tahu-tahu udah nikah hampir sebulan."

"Iya sih, tapi ...."

"Aku sudah selesai. Pulang yuk!" ajakku. Sengaja aku tak ingin memperpanjang pembahasan tentang aku dan Gus Arnaf.

Alina terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi aku memilih berdiri dan segera menuju ke luar perpus. Ketiga sahabatku mengikutiku.

Sepanjang jalan, banyak orang yang masih melihatku dengan sinis. Aku tak peduli. Karena mau berkata benar pun, mereka tak akan mungkin mendengarkan. Telinga dan hati mereka sudah tertutup dengan kebohongan.

"Ning Alina. Ning Kiran, Moza, Tika. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab kami. Kompak.

Kami berbalik untuk meihat siapa yang memanggil. Dan ternyata yang menyapa kami adalah Ning Salma.

"Halo semua," sapanya ramah. Lalu Ning Salma menatap ke arahku.

"Ning jangan lupa nanti setoran ya? Saya ke sana jam setengah delapan. Oh iya, kata Umi, Ning Alina juga disuruh gabung."

Aku hanya menganggguk. Pun Alina. Ning Salma berlalu dengan tak lupa mengulas senyum manisnya. Begitu Ning Salma tak ada, Alina bersuara.

"Aku tuh gak pernah suka sama dia."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Bukannya dia cantik, baik dan berprestasi? Semua orang aja suka sama dia. Kata para kakang, Ning Salma itu calon istri idaman," imbuhku.

Meski kalau boleh jujur, ternyata Ning Salma adalah sosok yang egois, mudah ngambek dan manja. Boros juga. Entah berapa duit yang dikeluarkan Gus Arnaf setiap dia minta mampir belanja. Mana sukanya nempel-nempel ke Gus Arnaf. Makanya aku tak yakin gaya pacaran mereka masih lurus. Mungkin? Ah bodo amat, ngapain aku peduli. 

Tapi, terkadang aku berpikir mungkin sosok seperti itulah yang disukai cowok. Bukan wanita sederhana gak neko-neko kayak aku. Makanya Gus Arnaf keblinger sama Ning Salma.

"Malah kupikir, kalau gak ada perjodohan ini, Ning Salma bakalan jadi kakak iparmu," lanjutku lagi.

Alina sempat berhenti berjalan. Dia menatapku dengan intens.

"Gak tahu kenapa. Tapi aku gak suka aja sama dia. Feelingku mengatakan dia bukan orang baik. Lalu masalah kamu yang dipilih Umi, aku yakin Umi sudah banyak pertimbangan untuk jodoh putra tunggalnya. Dan aku percaya pada pilihan Umi. Kita gak pernah tahu pertimbangan apa yang jadi dasar orang tua untuk memutuskan. Tapi aku percaya, orang tua yang berharap kebaikan putra-putrinya gak mungkin ambil keputusan dengan sembarangan."

Aku hanya tersenyum. Dalam hati menyetujui pendapat Alina. Hanya saja, Umi lupa, pertimbangan dan keputusan beliau membuat aku yang jadi korban. Juga Kang Ammar. Mengingat nama Kang Ammar, mau tak mau hatiku jadi sedih. Aku begitu merindukan sosoknya.

"Kalau menurutku, dia itu sombong. Meski gak kentara tapi setiap lakunya dan tutur katanya itu memperlihatkan kesombongannya," ucap Moza.

Aku yang awalnya sedikit melamun, kini atensiku tertuju pada ucapan Moza.

"Kalau menurutku dia sok cantik. Padahal kalau urusan cantik, Kiran lebih cantik. Bedanya, Kiran masih asli kulitnya. Belum kenal Skin Care." Kini giliran Tika yang ngomong.

"Betul. Ning Salma sudah kebanyakan Skin Care, wkwkwk. Dempulan," imbuh Moza.

"Dempulan tapi wajah seperti itu yang dicari cowok. Kadang aku suka kesel sendiri," gerutu Tika.

"Ya kamu pakai lah."

"Pakai, tapi yang modal lima puluh ribu dapat empat. Gak ngaruh."

Teman-temanku tertawa. Aku hanya tersenyum saja. Kami terus berjalan sambil mengobrol hingga sampai tikungan kami berhenti.

"Kami duluan," ucapku.

"Hati-hati."

Kami pun akhirnya berpisah. Aku dan Alina menuju ke ndalem sementara kedua sahabatku kembali ke pondok. Selama perjalanan, aku dan Alina sesekali mengobrol. 

Sampai di ndalem terlihat Umi Saroh sedang duduk di teras bersama Ning Ulya. Aku dan Alina menyalami beliau.

"Dari mana?"

"Perpus, Umi."

Umi Saroh tersenyum. Lalu beliau menyuruhku dan Alina duduk. 

"Kiran gimana kabarnya?"

"Kiran baik Umi."

"Syukurlah. Tolong terus bertahan ya? Jangan pernah menyerah. Jadilah diri Kiran sendiri. Jangan terpengaruh ucapan orang lain. Apalagi ucapan yang bermaksud menjatuhkan kamu."

Aku terdiam. Entah kenapa, aku selalu punya pikiran kalau ada alasan Umi Saroh tak menyetujui hubungan putranya dengan Ning Salma. Dan aku juga punya pikiran kalau Umi sebetulnya sedang menempaku untuk menjadi pribadi yang kuat dan jauh lebih baik.

"Nggih, Umi. Insya Allah."

Umi Saroh tersenyum. Kami terus mengobrol hingga azan ashar berkumandang. Setelah itu kesibukan kami semakin padat. 

Aku dan Alina mendapat mandat mengajar ngaji di TPQ. Murid kami rata-rata anak kecil dari usia PAUD, TK sampai SD kelas 1. Tapi aku justru menyukai kegiatanku ini. Karena hanya merekalah yang menatapku tanpa tatapan mencemooh, menerima kehadiranku dengan tulus. 

"Ustazah ini gimana ya bacanya?" Salah satu muridku bernama Dina bertanya.

"Ini begini bacanya."

Aku terus mengajari para anak didikku hingga menjelang maghrib. Begitu selesai, aku dan Alina memutuskan akan sholat di TPQ saja. Malas ke masjid karena pasti akan ketinggalan jamaah.

"Murid kita makin banyak ya, Ki?"

"Iya. Alhamdulillah."

"Ini berkat kamu loh. Anak-anak pada suka sama kamu."

"Alhamdulillah kalau pada suka."

Aku dan Alina duduk tenang sambil mendengarkan azan maghrib.

"Ah, coba Kang Ammar masih di sini. Pasti dia yang azan terus. Suaranya itu loh. Bagus banget. Belum ada yang ngalahin. Mas Arnaf aja kalah."

Aku hanya tersenyum. Kang Ammar memang seluarbiasa itu. Dia adalah santri paling pintar dalam angkatan kami. Prestasinya banyak, makanya tak heran kalau dia bisa kuliah dan diterima di Al Azhar.

"Andai aku bisa berjodoh dengan dia, ya Allah? Aku bakalan bahagia banget, Ki?"

Alina seperti biasa bertingkah heboh. Aku hanya tersenyum saja. Dalam hati aku pun masih berharap, aku dan Kang Ammar berjodoh. Sayang, realitanya kami tak berjodoh. Mana sekarang statusku sebagai istri lagi. Istri dari lelaki yang belum bisa move on dan masih berhubungan dengan pacarnya. Dan aku, selalu menjadi tumbal untuk aksi ngedate mereka. Miris.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   19. Pesan Provokasi

    Satu minggu ini hubunganku dan Gus Arnaf kembali renggang. Aku sebetulnya sudah bisa memaafkan Gus Arnaf. Setelah kupikir-pikir, mungkin aku juga yang salah. Kalau tidur kayak orang mati, tentu saja aku tak merasakan apa yang terjadi pada tubuhku.Belum lagi pas dia cumbu rayu, sikapku kurang tegas dan tidak menolak. Tentu saja Gus Arnaf jadi kebablasan. Lagian dia cowok. Cowok kan begitu. Katanya cinta sama si A tapi bisa bercinta dengan cewek B.Dan hal yang paling membuatku sadar karena dia suamiku. Dia berhak atas diriku. Dalam islam, istri itu punya kewajiban melayani suami. Kalau tidak mau ya kena dosa. Nah, aku sudah jelas berdosa di sini.Tapi tidak mungkin aku mengatakan kalau dia boleh menyentuhku kan? Gila kalau aku sampai bilang begitu.Gus Arnaf sendiri lebih banyak diam setelah pertengkaran kami waktu itu. Dia tidak lagi bersikap dingin atau berbicara ketus. Tapi sikap perhatiannya tetap sama. Segala kebutuhanku tetap dia perhatikan. Sama seperti aku yang selalu memperha

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   18. Rasa Jijik

    Aku menatap penampakkan diri di cermin yang ada di kamar mandi. Ada rasa kesal begitu mengetahui sebuah kebenaran yang baru kuketahui dikarenakan minimnya pengalamanku."Pantas saja, waktu aku mau ngolesin Autan dia bilang, katanya itu obat nyamuk oles gak bagus," dengusku."Gak bagus buat dia, bisa keracunan kalau aku nekat pake. Aih, ternyata ini ulahnya. Dasar Drakula berkedok sok gak suka. Ish, kenapa aku gak pakai Autan aja sih! Biar dia wassalam sekalian. Aku jadi janda. Tapi ... kalau dia mati, dikira aku yang ngeracunin dong. Agh!" Aku mengacak-acak rambut basahku. Aku benar-benar kesal menyadari Gus Arnaf sudah bermain curang denganku. Apanya yang gak cinta. Bilang gak cinta tapi buktinya tiap malam, badanku dia gerayangin sampai bikin tanda dimana-mana. Ah, kesel banget rasanya pas aku sudah tahu nyamuk mana yang bikin tanda merah di area leher dan sekitarnya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak kerasa dan malah tetap tidur kayak kebo. Padahal aku sedang dicabuli sama monster

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   17. Ancaman

    Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi aku mendapat chat berisi ancaman dari nomer asing. Sejujurnya aku sudah mempunyai dugaan siapa dalangnya tapi aku berusaha tak menggubrisnya. Fokusku kini hanyalah menjalani hidup, fokus hapalan dan masuk ke universitas. Sementara untuk masalah pernikahanku, aku memilih bersikap seperti air yang mengalir saja. Tidak mau terlalu berharap.Kutatap kembali ponselku lalu segera menghapus pesan-pesan ancaman yang masuk.“Ini orang apa gak ada kerjaan? Gangguin orang aja. Main ancem-ancem segala. Kelihatan banget butuh validasi. Heran, kenapa Gus Arnaf bisa keblinger sama cewek modelan gini. Tampang aja sok alim, kelakuan kayak memedi."Aku menaruh ponselku di atas meja lalu kembali fokus ke hapalanku. Sayangnya, baru juga dapat satu ayat, pintu kamarku terbuka dan tampaklah Gus Arnaf yang baru pulang."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku mengernyitkan dahi, lalu segera mengambil ponsel untuk memastikan hari ini adalah hari selasa. Ter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   16. Keluarga Cemara

    "Kamu nyari apa?" tanya Gus Arnaf saat aku sibuk mencari minyak kayu putih di tas gendong kecil milikku."Nyari minyak kayu putih," ucapku tanpa melihatnya. Soalnya aku sibuk mencari minyak kayu putih.Aku senang karena berhasil menemukannya. Segera saja aku duduk di sisi ranjang. Tanpa membuka mukena atasan, aku langsung mengolesi leherku dengan minyak kayu putih."Kamu sakit?""Gak.""Kenapa ngolesin minyak kayu putih? Kamu masuk angin? AC-nya kegedean kah?"Gus Arnaf duduk di sampingku. Dia meraba dahiku dengan punggung tangannya."Gak panas, kok.""Aku gak panas, Gus. Cuma digigit nyamuk.""Nyamuk? Mana ada? Ruangan ini tertutup. Kamar ber-AC juga, ya gak bakalan ada nyamuk lah," ucapnya kebingungan.Aku menatap Gus Arnaf dengan wajah cemberut. Lalu dengan tergesa aku membuka mukena atasan. Sedikit menyingkirkan rambut yang mengenai leherku lalu menunjukkan banyaknya noda merah di leherku."Nih! Tuh lihat. Aku digigit Gus. Banyak banget ini. Mana gede banget bekas gigitannya. Nyam

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   15. Digigit Nyamuk?

    Awalnya terasa canggung saat berjumpa dengan rekan kerja plus keluarga dari rekan Gus Arnaf. Tapi lama kelamaan aku bisa beradaptasi.Meski kuakui, para istri, maupun dokter wanita di tempat kerja Gus Arnaf ada yang berpenampilan ala sosialita, tapi bersyukur aku bisa membaur. Yah, aku selalu ingat pesan Mamah, kalau dimana pun kita berada, langit harus dijunjung, pembawaan diri jangan sampai luntur tapi tidak boleh tidak beradab. Dan itu selalu kubawa ke mana pun aku pergi seperti saat ini."Mbak Kiran usia berapa ya?" tanya dokter spesialis kandungan bernama Mala. Katanya dia termasuk seniornya Gus Arnaf. Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya berusia empat tahun. Cewek. Dan si bocil kini sedang berada di pangkuanku."Delapan belas, Dokter.""Mbak Mala. Jangan panggil dokter. Orang lagi santai juga." Senyum persahabatan dari Dokter Mala membuatku merasa nyaman."Iya Mbak." Aku pun ikut tersenyum."Mmm, masih muda banget ya. Tapi gak papa deh, penting Arnafnya suka."Aku hany

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   14. Ambigu

    Beberapa hari ini aku merasa ada yang aneh dengan sikap Gus Arnaf. Dulu dia yang seringnya cuek padaku, terlihat lebih memperhatikan kehadiranku.Dia selalu pamit kalau akan berangkat bekerja. Gus Arnaf bekerja di RSUD saat siang. Sementara di sore hari, dia bekerja di salah satu rumah sakit swasta cukup ternama di kota kami. Sabtu minggu dia membantu di klinik temannya. Jadwalnya memang sepadat itu. Makanya untuk urusan pondok, dia cenderung bergerak di balik layar, tidak terjun langsung.Sesekali dia akan pulang larut karena kesibukannya. Anehnya, kini, kalau pulang larut, dia selalu chat aku. Bahkan bisa sehari sampai lima kali dia mengirimi chat hanya untuk bertanya hal-hal receh.Bukan hanya itu saja, beberapa kali kulihat dia membawakan jajanan untukku setiap pulang kerja, bahkan pernah dia membelikan aku beberapa stel gamis. Membuat Alina uring-uringan karena dia tidak dibelikan. Alina baru semringah saat sang kakak membelikan dia gamis juga. Tapi, ternyata dia juga membelikan

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   13. Sedikit Mencair

    "Kamu kenapa dorong aku? Sakit tahu gak?" teriak Gus Arnaf.Aku tak mempedulikan perkataannya malah sibuk mengamati keadaanku. Aku menghembuskan napas, merasa lega karena bajuku masih nempel dan artinya, semalam tidak terjadi apa-apa.Lalu kutatap Gus Arnaf yang mencoba bangun. "Gus Arnaf ngapain peluk-peluk aku segala sih? Tidur tinggal tidur aja," ucapku ketus."Ya mana kutahu, aku kan biasa peluk guling. Mana kutahu itu kamu.""Ck. Dasar lelaki. Selalu saja nyari kesempatan. Bilangnya gak suka gak napsu. Pantes banyak di luaran sana ngakunya sayang anak sayang istri tapi selingkuh juga. Poligami juga. Dasar!" gerutuku sambil turun dari ranjang dan memilih menuju ke arah kamar mandi.Tapi langkahku terhenti karena suara gedoran di depan pintu kamar. Disertai teriakan Alina yang bertanya aku sudah bangun apa belum."Udah, Lin. Makasih udah dibangunin.""Oke!" teriak Alina dari arah pintu.Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, buang air kecil dan tentu saja berwudhu

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   12. Merawat Suami

    "Umi istirahat aja. Biar Kirana yang nungguin, Guse," ucapku pada Umi Saroh.Umi Saroh tampak menghela napas. "Kamu pasti juga capek.""Gak papa Umi. Meski aku capek, besok kan aku nganggur gak ada kesibukan. Beda sama Umi yang harus sehat karena banyak tugas."Umi Saroh tersenyum. Dia menatap ke arah sang putra. Lalu membelai rambutnya dengan lembut.“Dulu dia manut sekali anaknya. Selalu bikin bangga. Tapi, nambah umur makin gak bisa umi kendalikan,” ucap beliau dengan tatapan sendu.“Gak tahu kenapa dia banyak berubah. Kadang umi mikir, apa umi salah didik dia ya?”“Perubahan kan bukan cuma faktor didikan, Umi. Mungkin banyak hal yang bikin Guse berubah. Bisa saja selama kuliah, Guse banyak dapat tekanan, atau hal-hal lain yang buat dia berubah.”“Bisa jadi. Umi juga baru tahu, kalau kuliah kedokteran itu, senioritas tinggi. Itu loh dari berita yang dr. Aulia sampai bunuh diri, kasus si Lady Lady itu juga. Baru umi tahu, kalau kuliah di dunia kedokteran begitu. Pantas, rata-rata ya

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   11. Gak Diajak

    Sarapan pagi berlangsung dalam keheningan. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya suara denting sendok yang bertarung dengan piring. "Umi selesai. Hari ini umi ada acara, di Purwokerto. Dan Ulya, kamu jadi balik ke Al Hikam hari ini?""Jadi Umi. Mulai besok, Ulya udah kuliah lagi.""Ya sudah. Bareng umi ya berangkatnya?""Iya Umi."Lalu Umi Saroh menatapku dan Alina."Mau ikut?""Ikut Umi. Mau ngelihat Gus Aslan yang katanya ganteng banget. Hihihi.""Dasar. Ayuk siap-siap.""Baik!" teriak Alina.Umi sama sekali tak mengajak putranya. Jangankan mengajak, menegur atau mengatakan satu patah kata pun tidak. Sepertinya beliau memang masih marah. Beliau berdiri. Kami pun ikut berdiri kecuali Gus Arnaf.Masing-masing berjalan menuju ke kamar termasuk aku. Tak kupedulikan sosok Gus Arnaf dan memilih menuju ke kamar untuk mengganti baju. Aku memilih salah satu gamis kesukaanku yang tentu saja pemberian Kang Ammar. Setelah itu aku juga menyiapkan gamis cadangan plus kerudungnya. Soaln

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status