Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.
Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.
“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.
“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.
Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,
“Pulang!” tegas batinku kemudian.
Brian masih melekat di bahu kanan
Dengan sigap, ibu menangkap ayunan tangannya itu. “Sabar mas.” “Lama-lama aku lelah dengan dia bu. Ini adalah kesekian kalinya dia berurusan dengan pihak yang berwajib. Mungkin yang sebelum-sebelumnya hanya sebatas hansip atau penjaga sekolah, tapi kali ini…. Hebat benar kamu ya Man, sekarang sudah betul-betul naik level,” sindir ayah dalam keheningan. Ibu tidak menimpali kalimatnya kali ini. Termasuk dua sosok polisi yang mematung di hadapanku. "Bawa segera dia pak. Biar dia lekas belajar, bahwa menjadi manusia itu harus punya hati dan nurani. Harus bisa berguna. Minimal buat hidupnya sendiri." "Masss…." lirih ibu yang suaranya hampir terdengar menghilang. Wajahku terus terdiam sambil menunduk. Dan saat kertas panggilan itu ditarik oleh satu dari mereka, aku langsung mendongak. Ku perhatikan lagi dua wajah yang hadir dengan tegasnya itu. Sebenarnya aku ingin sekali melirik ke paras ibu yang terus menahan kesedihannya, tetapi h
Sebuah tangan menahan dan menarik pundakku hingga tersentak. “Mau kemana?” ucapnya dengan suara yang amat berat. Dan aku amat sangat mengenalinya. “Dia mau ke ruang tahanan sendiri, Bos. Sudah hapal kan?” tanya petugas yang telah selesai meletakkan laporannya di dalam rak berkas. Aku memasang wajah yang datar ke kedua muka itu. Kemudian, seperti biasa, seseorang yang dia panggil dengan sebutan bos tadi merangkulku dengan santainya. “Biar gua yang anter. Sekalian ada yang mau gua obrolin sedikit.” “Oh… Siap Bos,” responnya dengan wajah yang tetiba semringah. Petugas itu lalu melengos seperti tidak terjadi apa-apa, dan aku amat me
“Huuus… Jangan gaduh brader. Gua paling sebel kalo otak polos lu tau-tau muncul kayak barusan,” kesalnya ke arah lain, seolah dia tidak mendengar atau menangkap kesimpulanku tadi. “Mau pesan apa mas?” sapa ramah satu pelayan pria dengan kemeja putih lengan panjang bercelana hitam. Jari-jarinya yang halus sudah menggenggam erat pulpen yang ujungnya menekan di atas sebuah kertas nota kecil. Batang tinta itu pun sepertinya sudah siap untuk bergerak secepat kilat jika nanti bibir Brian atau bibirku mengucapkan kata atau kalimat pesanannya. Wajahnya nampak benar-benar terawat dengan baik. Tidak hanya bulu-bulu kumis dan jenggot tipisnya yang rapi, atau sapuan rambutnya yang benar-benar klimis manis. tetapi juga kulitnya yang begitu terlihat amat remaja. Bola matanya yang hitam mengkilap juga sesekali bermain ke arahku
“Yup!” jawabku dengan penuh kemantapan sambil menghisap lagi batang rokok itu, sampai-sampai baranya menyala terang dan berlari mendekati jepitan dua jariku.“Mau lu kasih peran kayak apa mereka?”“Bukan mereka. Tapi dia.”“Dia?” bingung Brian di samping. Aku yakin, kalau barusan, keningnya pasti mengernyit karena perkataanku tadi.“Iya, dia, Atau tepatnya, Agus.”“Agus?”Aku mengangguk dalam keremangan jalanan.“Iya. Gua udah punya peran yang tepat buat dia. Juga buat teman kita yang satu lagi.”Brian tak b
“Anjriit!” Biji mataku hampir melompat! Aku sampai-sampai terkejut dan tersentak dalam jejak diamku barusan. Cepat-cepat aku berputar ke belakang untuk memastikan siapa sumber kalimat yang mengagetkan tadi. “Eh?” Netraku langsung menangkap kalau pria subur yang ada di depanku kini, dengan pakaian jas formal berwarna abu-abu layaknya para menteri, sedang berdiri dengan kedua tangan yang disisipkan ke dalam saku celananya yang masih licin dan rapi. Manik hitamnya pun mengamatiku dengan wajahnya yang terus bertanya-tanya. “Siapa yang ngimpi?” “Eh… anu om.” “Kamu ngimpi?”
Pipiku seperti ditepuk pelan olehnya barusan. “apa om Marcel punya narasumber tentang kelanjutan studiku? Apa Brian sudah menceritakan kasus gua yang dikeluarkan lagi dari sekolah? Brengsek itu monyet, kalo beneran dia yang ngasih tau!” kesal batinku. “Ba--baik Om. Semua baik-baik saja,” jawabku kikuk. Om Marcel tidak memberikan respon yang lain, semuanya masih sama seperti saat dia mengajakku naik ke balkonnya. “Baguslah kalau begitu. Sampaikan salamku buat ayahmu ya. Oiya! Om dengar, dia sedang mengalami kesulitan.” “Kesulitan?” bingung batinku tiba-tiba. “Kesulitan apa ya Om? Ayah… Biasa-biasa saja.” “Oh… Ya sudah, jangan ter
"Yoi.""Elu ngerti?"Seketika netraku terlontar ke muka Brian."Dikit. Tapi tenang. Semua bisa diatur.""Gua nggak mau ikut-ikutan kalau yang begituan. Sorry Bro," sambung Agus sambil mengangkat kedua tangannya yang menyerah."O.o.. Gua no comment. Gua nunggu kejelasannya aja. Kalau beresiko, gua ikut Agus," timpal Toha."Memang, barang antik apaan, Yan? Jam? Kalung?--""Arca!""Arca?" Heranku yang juga ditemani Agus dan Toha dengan wajah masing-masing yang ikutan bertanya-tanya."Yup! Arca Ganesha dari jaman Majapahit. Harganya bisa dapet dua M
Aku langsung berlari dan mengabaikan bentakan itu.BRAKK!“IBU! Ibu kenapa?”Sosok yang terbaring dan membelakangiku langsung mengangkat tempurung kepalanya yang merebah di atas bantal.“Hhh…. Man? Kamu, tidak apa-apa?” Wajahnya terlihat amat pucat dengan bibir yang berwarna seperti tanah.Lekas-lekas aku menghampirinya dan duduk di samping ranjangnya.“Tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang saja. Semua aman.”“Ayahmu--”“Alah, orang itu lebay. Kan Lukman barusan bilang, Bu. Lukman baik-baik saja. Ibu jangan terlalu khawatir. Lukman sudah